Hasrat seksual dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan; kajian psikoanalisis
HASRAT SEKSUAL DALAM NOVEL
SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS
KARYA EKA KURNIAWAN; KAJIAN PSIKOANALISIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Gregorius Agung Rendra Prasastyo NIM: 134114002
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
I
HASRAT SEKSUAL DALAM NOVEL
SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS
KARYA EKA KURNIAWAN; KAJIAN PSIKOANALISIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Gregorius Agung Rendra Prasastyo NIM: 134114002
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(3)
II Skripsi
HASRAT SEKSUAL DALAM NOVEL
SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS KARYA EKA KURNIAWAN; KAJIAN PSIKOANALISIS
Oleh
Gregorius Agung Rendra Prasastyo NIM: 134114002
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
S. E. Peni Adji, S. S., M. Hum. Tanggal 6 juli 2017
Pembimbing II
(4)
III Skripsi
HASRAT SEKSUAL DALAM NOVEL
SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS
KARYA EKA KURNIAWAN; KAJIAN PSIKOANALISIS
Dipersiapkan dan ditulis oleh Gregorius Agung Rendra Prasastyo
NIM: 134114002
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 12 Juli 2017
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua S. E. Peni Adji, S. S., M. Hum. ... Sekretaris Drs. B. Rahmanto, M. Hum. ... Anggota Dr. Yoseph Yapi Taum, M. Hum. ... S. E. Peni Adji, S. S., M. Hum. ... Drs. B. Rahmanto, M. Hum. ...
Yogyakarta, 31 Juli 2017 Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
Dr. Paulus Ari Subagyo Dekan Fakultas Sastra
(5)
IV
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 30 Juni 2017
(6)
V
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Gregorius Agung Rendra Prasastyo
NIM : 134114002
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Hasrat Seksual dalam Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan; Kajian Psikoanalisis”.
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal, 30 Juni 2017 Yang menyatakan,
(7)
VI
Untuk kedua orang tua, Stefanus Mujiono Dwiatmaja dan Anna Elisabeth Krismiyapin
(8)
VII MOTO
“Jika hidup adalah sebuah permainan, maka bermainlah dengan adil”
“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa
dilakukan kepala”
(Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka Kurniawan)
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya
(9)
VIII
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan restu-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hasrat Seksual dalam Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan; Kajian Psikoanalisis”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Sastra Indonesia.
Penulis menyadari bahwa banyak bantuan dan dukungan yang diterima dalam penyelesaian skripsi. Oleh karena itu, dari hati yang paling dalam serta tidak mengurangi rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. S. E. Peni Adji, S. S., M. Hum, selaku Pembimbing I yang dengan sabar membimbing penulis serta memberi semangat dan setia memberikan waktu kepada penulis dalam bimbingan skripsi.
2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, selaku Pembimbing II yang selalu memberikan waktunya dan masukan-masukan kepada penulis serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Yoseph Yapi Taum, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu sabar memberikan dukungan kepada penulis menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Drs. Hery Antono, M. Hum (Alm), Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum, Dra. Fr. Tjandrasih
(10)
IX
Adji, M. Hum, Sony Christian Sudarsono, S. S., M.A, Maria Magdalena Sinta Wardani, S. S, M.A serta dosen-dosen mata kuliah tertentu.
5. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Sastra yang telah membantu penulis dalam administrasi akademik selama kuliah.
6. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dalam menyediakan buku-buku referensi yang dibutuhkan oleh penulis.
7. Kedua orang tua penulis, Stefanus Mujiono Dwiatmaja dan Anna Elisabeth Krismiyapin yang telah memberikan doa dan dukungan baik secara moril dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Untuk keluarga yang tidak hentinya memberi dukungan melalui doa-doa di segala kesempatan.
9. Bapak Januar dan keluarga selaku donatur penulis yang telah membantu penulis sehingga dapat melanjutkan studi di Universitas Sanata Dharma.
10.Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia Angkatan 2013. Terima kasih atas kebersamaan yang luar biasa selama menjadi mahasiswa sastra.
11.Seluruh keluarga Bengkel Sastra dan HMPS Sastra Indonesia yang telah banyak berproses dan berorganisasi selama masa studi.
(11)
X
12.Agatha Sulistyorini teman penulis yang telah senantiasa memberikan dukungan, semangat, dan motivasi sehingga penulis mampu berjuang kembali untuk menyelesaikan skripsi ini.
Serta seluruh pihak yang ikut andil dalam proses penyelesaian. Semoga jasa baik mereka mendapat balasan yang semestinya dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari skripsi ini tidak sempurna. Oleh karena itu, kesalahan dan kekuarangan yang terdapat pada skripsi ini merupakan tanggung jawab penuh penulis. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Kulon Progo, 30 Juni 2017
(12)
XI ABSTRAK
Prasastyo, Gregorius Agung Rendra. 2017. “Hasrat Seksual Dalam Novel
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan; Kajian Psikoanalisis”. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini menganalisis struktur kepribadian tokoh dalam novel Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan dengan kajian
psikoanalisis. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan serta (2) mendeskripsikan bentuk pengalihan perilaku terhadap hasrat seksual tokoh yang terdapat dalam novel Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Penelitian ini menggunakan teori
psikoanalisis Freud. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode formal dan metode analisis isi. Metode penyajian hasil analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Analisis struktur kepribadian tokoh meliputi id, ego, dan superego yang terdapat pada tokoh Ajo Kawir, Si Iteung, dan Mono Ompong. Ketiga tokoh memiliki id yang sama yaitu hasrat seksual. Pernah mengalami tindakan pelecehan seksual semasa kecil merupakan pengalaman traumatis mereka. Mereka berusaha mengalihkan pengalaman traumatis dengan suka berkelahi. Bentuk pengalihan perilaku tokoh terhadap hasrat seksual meliputi regresi, sublimasi, dan identifikasi. Ketiga hal tersebut merupakan upaya yang dilakukan oleh ketiga tokoh untuk mengalihkan pengalaman traumatis.
Regresi merupakan pengulangan kembali tingkah laku yang cocok bagi tahapan perkembangan atau usia sebelumnya yakni perilaku kekanak-kanakan. Regresi yang terjadi pada ketiga tokoh ditandai dengan sikap menangis. Sublimasi merupakan pembelotan atau penyimpangan libido seksual kepada kegiatan yang secara sosial lebih dapat diterima. Dalam banyak cara, sublimasi merupakan mekanisme yang sehat karena energi seksual berada di bawah kontrol sosial. Sublimasi yang terjadi pada Ajo Kawir ditandai dari keputusannya menjadi sopir truk. Sublimasi yang terjadi pada Si Iteung ditandai dari keputusannya belajar ilmu bela diri, sedangkan Mono Ompong memilih untuk menjadi kernet truk milik Ajo Kawir. Identifikasi merupakan proses memperkuat harga diri dengan membentuk suatu persekutuan nyata atau palsu dengan orang lain, baik seseorang maupun kelompok. Ajo Kawir melakukan identifikasi terhadap Iwan Angsa, sedangkan Si Iteung dan Mono Ompong melakukan identifikasi terhadap Ajo Kawir.
(13)
XII
ABSTRACT
Prasastyo, Gregorius Agung Rendra. 2017. “Sexual Desire in the Novel
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan; Kajian Psikoanalisis”. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letter, The Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
The objek of this research is to analyzed the personality structures of the characters in the novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas by Eka Kurniawan with psychoanalysis study. The purposes of this research were (1) to describe the personality structures of the characters in the novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas by Eka Kurniawan and (2) to describe the forms of
diversion behavior towards sexual desire characters that was in the novel Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas by Eka Kurniawan. This research used
psychoanalysis theory by Freud. Data collection method used was the literature study. Data analysis methods used were formal and analisis isi methods. The presentation method of the analysis result used was descriptive qualitative.
The analysis of personality structures of the characters covered id, ego, and
superego which were in the characters of Ajo Kawir, Si Iteung, and Mono
Ompong. The three characters had the similar id, it was traumatic experience. They ever experienced sexual harassment when they were kids. Then, id was manifested into ego. It was characterized by their behavior which would like to fight. The forms of diversion behavior towards sexual desire covered regression, sublimation, and identification. Those three matters were the efforts which were done by the three characters for shifting their id of sexual desire.
Regression is the repetition of behavior which is suitable for the stage development or earlier age namely infantile behavior. Regression which happened to the three characters was characterized by crying. Sublimation is defection or irregularities libido to the more acceptable social activities. In many ways, sublimation is the healthy mechanism because the sexual energy is under the social control. Sublimation which happened to Ajo Kawir was marked by his decision to be truck driver. Sublimation which happened to Si Iteung was marked by her decision to learn about martial arts, whereas Mono Ompong chose to be driver assistent in Ajo Kawir’s truck. Identification is the process to strengthen the self-esteem by composing the real or false alliance with others, either a person or group of people. Ajo Kawir did the identification to Iwan Angsa, while Si Iteung and Mono Ompong did the identification to Ajo Kawir.
(14)
XIII DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
MOTTO ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Kajian Pustaka ... 5
1.6 Landasan Teori ... 7
1.6.1 Kajian Psikoanalisis ... 7
1.6.2 Dinamika Kepribadian ... 8
1.6.2.1 Naluri ... 9
(15)
XIV
1.6.2.3 Kecemasan ... 11
1.6.2.4 Mekanisme Pertahanan Ego ... 13
1.6.3 Struktur Kepribadian ... 14
1.6.3.1 Id ... 15
1.6.3.2 Ego ... 15
1.6.3.3 Superego ... 16
1.7 Metode Penelitian... 17
1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 17
1.7.2 Metode Analisis Data ... 17
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 17
1.8 Sumber Data ... 18
1.9 Sistematika Penyajian ... 18
BAB II HASRAT SEKSUAL DALAM STRUKTUR KEPRIBADIAN TOKOH PADA NOVEL SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS KARYA EKA KURNIAWAN ... 20
2.1 Pengantar ... 20
2.2 Struktur Kepribadian Ajo Kawir ... 21
2.3 Struktur Kepribadian Si Iteung ... 32
2.4 Struktur Kepribadian Mono Ompong ... 39
2.5 Rangkuman Struktur Kepribadian Tokoh ... 43
2.5.1 Tabel Rangkuman Struktur Kepribadian Tokoh ... 44
BAB III REGRESI, SUBLIMASI, DAN IDENTIFIKASI SEBAGAI MANIFESTASI HASRAT SEKSUAL DALAM NOVEL SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS KARYA EKA KURNIAWAN ... 47
(16)
XV
3.2 Regresi ... 48
3.2.1 Regresi pada Tokoh Ajo Kawir ... 48
3.2.2 Regresi pada Tokoh Si Iteung ... 49
3.2.3 Regresi pada Tokoh Mono Ompong ... 51
3.3 Sublimasi ... 53
3.3.1 Sublimasi pada Tokoh Ajo Kawir ... 53
3.3.2 Sublimasi pada Tokoh Si Iteung ... 54
3.3.3 Sublimasi pada Tokoh Mono Ompong ... 54
3.4 Identifikasi... 55
3.4.1 Identifikasi pada Tokoh Ajo Kawir ... 56
3.4.2 Identifikasi pada Tokoh Si Iteung ... 57
3.4.3 Identifikasi pada Tokoh Mono Ompong ... 58
3.5 Rangkuman ... 59
BAB IV PENUTUP ... 61
4.1 Kesimpulan ... 61
4.2 Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
(17)
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara normatif, seksualitas dipandang sebagai ciri, sifat, atau peranan seks
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 1014). Kebanyakan ahli menganggap
bahwa dorongan seks manusia adalah warisan biologis (Horton, 1999: 147). Perilaku seksual seringkali dinilai sebagai sesuatu yang menyimpang dari norma atau kaidah yang telah berlaku di masyarakat. Aktivitas kejiwaan ini memiliki peranan dalam membentuk perilaku seseorang terutama dalam hubungannya dengan aktivitas sosial.
Menurut Endraswara (2003: 97) psikologi sastra merupakan kajian yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Dalam arti yang luas, karya sastra dipandang sebagai bentuk yang merepresentasikan kehidupan nyata manusia. Kajian psikoanalisis diharapkan mampu menemukan aspek-aspek ketidaksadaran yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Sigmund Freud disebut-sebut sebagai pencetus teori psikoanalis ini. Menurut Sigmund Freud, setiap karya sastra mempunyai tiga unsur sistem penting, yakni id, ego, dan superego.
Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan novel ketiga Eka Kurniawan. Novel sebelumnya adalah Cantik Itu Luka dan Lelaki
(18)
2
karya Eka Kurniawan adalah alur ceritanya yang ringan serta kepribadian para tokoh yang penulis anggap sangatlah kompleks.
Secara umum novel karya Eka Kurniawan ini mengisahkan tentang “burung”, alias kemaluan seorang pria yang suka berkelahi bernama Ajo Kawir. Masalah yang dihadapi oleh Ajo Kawir adalah “burung”nya yang tidak bisa bangun dan mengeras. Kemaluan milik Ajo Kawir seperti orang yang sedang tidur pulas. Hal ini bermula ketika sahabatnya yang bernama Si Tokek mengajaknya untuk mengintip seorang wanita sinting berparas cantik bernama Rona Merah yang diperkosa oleh dua oknum polisi. Karena ketidakhati-hatiannya, Ajo Kawir tertangkap basah sedang mengintip. Kemaluan Ajo Kawir memutuskan untuk tidur dalam waktu yang cukup lama setelah mendapatkan paksaan dari dua oknum polisi untuk turut serta memperkosa Rona Merah. Sudah beberapa cara dilakukan oleh Ajo Kawir untuk membuat kemaluannya bangun, mulai dari mengoleskan cabai rawit, menyengatkan lebah, membaca buku-buku tipis stensilan karya Valentino bahkan mengancam akan memenggalnya dengan golok, tetapi kemaluannya tidak juga bangun. “Burung” milik Ajo Kawir yang tertidur pulas merupakan alegori dari kehidupannya yang brutal dan keras. Konflik-konflik yang timbul dalam cerita tidak lepas dari kemaluan milik Ajo Kawir itu sendiri. Yang menarik dari novel ini adalah tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam cerita merupakan tokoh-tokoh yang perilakunya dilandasi oleh hasrat seksual.
Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan merupakan karya sastra yang dipilih oleh penulis untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. Penulis memilih topik struktur kepribadian tokoh Novel Seperti
(19)
3
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas didasarkan pada alasan bahwa perilaku
tokoh Ajo Kawir, Si Iteung, dan Mono Ompong dilandasi oleh hasrat seksual mereka. Sementara itu, hasrat seksual merupakan isu atau masalah penting dalam dinamika kepribadian. Para tokoh ini dipilih karena mereka memiliki kepribadian dan keterkaitan yang kuat terhadap tokoh lainnya yang memicu adanya perkembangan dan perubahan struktur kepribadian para tokoh serta menghidupkan alur cerita.
Karya sastra ini akan dianalisis struktur kepribadian tokoh sebelum kemudian dianalisis menggunakan kajian psikoanalisis. Selanjutnya kajian psikoanalisis ini diharapkan mampu mengungkapkan nilai-nilai seksualitas dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dalam 1.1, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana struktur kepribadian tokoh pada novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan?
1.2.2 Bagaimana bentuk pengalihan perilaku tokoh terhadap hasrat seksual pada novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan?
(20)
4 1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tiga tujuan sebagai berikut.
1.3.1 Melakukan analisis dan mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan.
1.3.2 Mendeskripsikan bentuk pengalihan perilaku tokoh terhadap hasrat seksual yang terdapat dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini adalah deskripsi pengaruh seksualitas dalam novel
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan yang
diperoleh dari analisis struktur kepribadian serta dari analisis psikoanalisis tokoh-tokoh sentral pada novel tersebut. Secara umum hasil penelitian tentang perilaku tokoh pada novel ini muncul karena perkembangan seksualitas yang dialami oleh para tokoh.
Manfaat teoretis penelitian ini adalah memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang psikoanalisis dan sosiologis sastra yaitu memberikan contoh kajian penerapan teori struktur kepribadian serta psikoanalis tokoh dalam novel karya Eka Kurniawan. Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai rujukan penelitian tentang studi sosiologi khususnya pengaruh seksualitas pada perilaku seseorang terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, diharapkan
(21)
5
penelitian ini dapat membantu pembaca memahami novel Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan secara lebih mendalam.
1.5 Kajian Pustaka
Topik yang sama mengenai perilaku tokoh dalam sebuah karya sastra (novel) yang didasari oleh hasrat seksual secara umum pernah dibahas oleh Yulianti (2007), Oktivita (2009), dan Budiman (2015).
Topik tentang seksualitas dan psikologis secara umum pernah dibahas oleh Yulianti (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Psikoanalisis dalam Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan”. Yulianti berpendapat bahwa perkembangan figur tokoh terutama dalam kaitannya dengan perilaku seksual mereka timbul karena gangguan psikis (rasa iri). Dalam skripsinya, Yulianti juga mengungkapkan bahwa perkembangan kelima tokoh perempuan dalam novel
Cantik Itu Luka di dasari oleh perilaku seperti Oedipus Kompleks, Narsisme,
Kastrasi, Fantasme, Mimpi, dan Mitologi. Yulianti menegaskan bahwa manusia telah memiliki sejumlah libido pada saat lahir sebagai bayi kemudian lima tahun pertama hidupnya sangat berpengaruh pada kepribadiannya ketika dewasa, termasuk pula di dalamnya tentang perilaku seksualitas.
Tinjauan mengenai perilaku seksualitas dan psikologi juga pernah dibahas oleh Oktivita (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Perilaku Seksual dalam Novel Saman karya Ayu Utami: Tinjauan Psikologi Sastra”. Oktivita berpendapat bahwa psikologi seksual bersangkut paut dengan tingkah laku seksual. Pada hakikatnya, konsep tentang moralitas dan seksualitas itu sangat samar-samar
(22)
6
batasnya. Sebab, kebiasaan-kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan sebagai normal oleh suatu kelompok masyarakat, dapat dianggap sebagai seksual oleh kelompok kebudayaan lainnya.
Selain itu, banyak ditemukan resensi mengenai novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan, salah satunya adalah resensi
yang dilakukan oleh Budiman (2015) yang dimuat dalam blog Kompasiana. Hasil resensinya adalah novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mengisahkan mengenai kemaluan seorang lelaki bernama Ajo Kawir yang tidak bisa berdiri. Berbagai cara telah Ajo Kawir lakukan untuk dapat membuat kemaluannya dapat berdiri kembali. Menurut Budiman, ada tiga hal menarik dari novel ini yang pertama adalah cover novel yang bergambar seekor burung dengan corak batik. Gambar burung yang sedang tertunduk ini membuat orang yang melihatnya saja akan penasaran dan memutuskan untuk mencari tahu isi cerita novel. Kedua, judul dari novel karya Eka Kurniawan ini sungguh sangat menarik. Kata “Rindu” tidak semata-mata mengacu pada kerinduan tokoh Ajo Kawir terhadap kekasihnya yang bernama Iteung belaka. Kerinduan yang ditawarkan adalah mengenai kerinduan seorang lelaki dan bagaimana hasrat seksual itu dapat terpenuhi. Ketiga, akhir cerita novel ini sungguh sangat luar biasa karena dapat membuat pembacanya merasa terharu, terkesan, tersenyum karena geli. Sebuah penutup yang sempurna untuk menyelamatkan pembaca dari dalamnya lautan permenungan yang ditawarkan oleh novel ini.
Dari hasil kajian pustaka di atas, diketahui bahwa topik yang dipilih oleh peneliti belum pernah diteliti sebelumnya. Topik dalam penelitian ini termasuk
(23)
7
topik baru. Berdasarkan uraian di atas maka orisinalitas penelitian berjudul “Hasrat Seksual dalam Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan dengan pendekatan psikoanalisis” dapat dipertanggungjawabkan.
1.6 Landasan Teori
Suatu penelitian memerlukan teori-teori atau pendekatan yang tepat dan sesuai dengan objeknya. Landasan teori dalam penelitian ini memaparkan kajian psikoanalisis, dinamika kepribadian, struktur kepribadian tokoh, kajian psikologi, dan pengertian mengenai hasrat seksual.
1.6.1 Kajian Psikoanalisis
Pendekatan psikoanalis menurut Sigmund Freud sesungguhnya merupakan suatu pendekatan yang sangat ampuh untuk memahami perilaku seseorang, terutama yang sulit diamati secara kasat mata. Pikiran-pikiran yang tidak sering muncul dalam perilaku, dapat tiba-tiba muncul bahkan kebanyakan tinggal bersembunyi sampai suatu saat mendapatkan jalan keluar untuk ekspresinya dalam mimpi atau fantasi dalam bentuk yang terselubung (Moesono, 2003: vii-viii). Kontribusi yang tepat bagi pemahaman insting seksual dalam diri seseorang yang setidaknya berhubungan dengan pribadi normal, hanya dapat diperoleh dari satu sumber, dan hanya dapat dicapai melalui satu jalur yang pasti (Freud, 2014: 34).
(24)
8
Davidoff (1988: 19) mengemukakan bahwa teori psikoanalisis merupakan satu teori penelitian Freud mengenai kepribadian, abnormalitas, dan perawatan penderita. Freud mendasarkan teori kepribadiannya pada dua ide yang sangat mendasar yaitu:
a. Tingkah laku manusia tidak dikuasai oleh akal, tetapi oleh naluri irrasional, naluri menyerang, terutama naluri seks.
b. Sebagian kecil dari pikiran dan kegiatan manuisa muncul dari proses mental yang disadari dan yang paling besar mempengaruhi tingkah laku manusia adalah ketidaksadaran (suatu tempat penyimpanan ingatan dan keinginan-keinginan) yang tidak pernah timbul mencapai kesadaran atau telah tertekan, yaitu terdorong keluar kesadaran, sebab menimbulkan rasa takut dan memalukan dalam diri sendiri.
Sejalan dengan pendapat Freud, penulis berusaha menganalisis perilaku para tokoh yang didasari oleh hasrat seksual. Bertolak dari hal ini pula penulis akan memfokuskan penelitian pada psikoanalisis.
1.6.2 Dinamika Kepribadian
Freud memandang manusia sebagai sebuah sistem energi yang kompleks dan dikuasai oleh hukum konservasi energi yang mengatakan: energi dapat berubah bentuk tetapi jumlahnya akan tetap sama. Menurut Freud hukum ini juga berlaku bagi kehidupan psikis. Berbagai kebutuhan badaniah manusia menimbulkan berbagai ketegangan atau kegairahan dan
(25)
9
akan terungkap melalui sejumlah perwakilan mental dalam bentuk dorongan atau keinginan yang dinamakan naluri (Hartono, 2003: 5). Selanjutnya, isi dari dinamika kepribadian adalah naluri, penyaluran dan penggunaan energi psikis, kecemasan, dan mekanisme pertahanan ego.
1.6.2.1 Naluri
Naluri atau instink adalah perwujudan ketegangan badaniah yang berusaha mencari pengungkapan dan peredaan ketegangan, serta merupakan bawaan tiap makhluk hidup. Setelah perang dunia pertama (sekitar tahun 1920), ia melihat banyak agresi manusia. Freud mengatakan terdapat dua naluri utama manusia yaitu naluri hidup dan naluri mati. Energi yang mendasari naluri hidup adalah libido. Libido bukan hanya merupakan dorongan seksual tetapi juga merupakan dasar bagi seluruh dorongan untuk hidup. Bila cinta dan seks merupakan perwujudan naluri hidup, maka benci dan agresivitas merupakan perwujudan naluri mati (Hartono, 2003: 5-6).
Seksualitas meliputi sebuah perasaan, hubungan antar manusia, serta komunikasi antar pasangan sehingga tidak dibatasi oleh keadaan fisik seseorang. Seksualitas adalah aspek penting dalam kehidupan yang mempengaruhi cara kita memperlihatkan kasih sayang, menilai diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Seskualitas didasarkan pada nilai-nilai pribadi kita sendiri (www.wordpress.com)
(26)
10
Perilaku seksual adalah gejala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2000: 137).
Tidak terdapat definisi yang dapat diterima secara universal mengenai hasrat seksual (sexual desire). Seringkali definisi hasrat seksual dibingungkan dengan aspek lain dari seksualitas manusia. Pada kenyataannya, hasrat seksual dapat diasosiasikan dengan perilaku seksual (sexual behavior) tapi pada dasarnya hasrat seksual terpisah dengan perilaku seksual (DeLamater dan Morgan Sill, 2005).
Freud menyebutkan libido sebagai energi yang mendasari naluri hidup. Libido tidak hanya merupakan dorongan seksual tapi merupakan dasar bagi seluruh untuk hidup. Istilah seks dan cinta merupakan perwujudan naluri hidup (Hartono, 2003: 5-6). Teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud khususnya yang berhubungan dengan kajian seksualitas akan diterapkan dalam menganalisis perilaku tokoh karena seperti yang diyakini oleh Freud, sejak lahir manusia telah memiliki libido (dorongan seksual) yang harus dipenuhi.
(27)
11
1.6.2.2 Penyaluran dan Penggunaan Energi Psikis
Dinamika kepribadian ditentukan oleh cara energi psikis didistribusikan serta digunakan oleh id, ego, dan superego. Jumlah energi yang terbatas mengakibatkan persaingan di antara ketiga sistem itu dalam menggunakan energi tersebut. Jika salah satu sistem menjadi lebih kuat, kedua sistem lainnya akan menjadi lebih lemah, kecuali ada energi baru yang ditambahkan kepada seluruh sistem (Semiun, 2006: 83).
Id memiliki semua energi psikis dan menggunakannya untuk refleks serta pemenuhan hasrat melalui proses primer dengan upaya pemuasan kebutuhan. Energi id sangat mudah berubah, itu berarti id dapat dengan mudah berpindah-pindah dari satu gerakan atau gambaran ke gerakan atau gambaran lain. Hal itu disebabkan karena id tidak mampu mengadakan diskriminasi secara cermat di antara objek (Semiun, 2006: 83).
Ego tidak mempunyai sumber energi sendiri. Oleh karena itu, ego meminjam energi dari id. Pengalihan dari id ke proses-proses yang membentuk ego terlaksana lewat suatu mekanisme yang disebut identifikasi (Semiun, 2006: 84).
1.6.2.2 Kecemasan
Kecemasan menurut Freud (1933/1964) adalah suatu perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang
(28)
12
akan datang. Seiring berjalannya waktu, pandangan Freud tentang kecemasan berubah. Libido yang tidak diungkapkan atau energi dorongan seksual yang terbendung karena represi kemudian dilepaskan secara eksplosif dalam suatu keadaan yang berubah, yakni keadaan kecemasan. Singkatnya, kecemasan terjadi karena represi dorongan seksual (Semiun, 2006: 87-88).
Pandangan awal Freud yang mengatakan kecemasan terletak di id kemudian diganti dengan kecemasan terletak di ego. Hal itu dikarenakan model struktural baru dari Freud mengemukakan bahwa ego harus menjadi tempat kecemasan. Dengan demikian, hanya ego yang dapat merasakan kecemasan, sementara id,
superego, dan dunia luar terlibat salah satu dari tiga kecemasan
menurut Freud. Ketergantungan ego dengan id menyebabkan kecemasan neurotik, ketergantungan ego dengan superego menyebabkan kecemasan moral, dan ketergantungan ego dengan dunia luar menyebabkan kecemasan realistik (Semiun, 2006: 88).
Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap suatu bahaya yang tidak diketahui. Kecemasan moral adalah kecemasan yang terjadi karena adanya konflik antara kebutuhan realistik dengan tuntutan superego. Kecemasan realistik adalah perasaan yang tidak menyenangkan terhadap suatu bahaya yang mungkin terjadi (Semiun, 2006: 88-89).
(29)
13 1.6.2.3 Mekanisme Pertahanan Ego
Freud mengartikan mekanisme pertahanan ego sebagai strategi yang digunakan individu untuk mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan bisa dikurangi atau diredakan. Mekanisme pertahanan ego tersebut adalah represi, sublimasi, proyeksi, displacement, rasionalisasi, reaksiformasi, dan regresi (Koeswara, via Setiadi, 2012: 12-13).
Represi merupakan mekanisme pertahanan ego yang paling utama karena menjadi basis bagi mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang lainnya serta paling berkaitan langsung dengan peredaan kecemasan. Hal itu karena represi adalah mekanisme yang dilakukan oleh ego untuk meredakan kecemasan ke dalam alam tak sadar manusia. Sublimasi adalah mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk mencegah dan atau meredakan kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif id yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam tingkah laku yang bisa diterima dan dihargai oleh masyarakat. Proyeksi adalah pengalihan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan kecemasan pada orang lain. Displacement adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam dibanding dengan objek atau individu semula.
(30)
14
Rasionalisasi ialah upaya individu menyelewengkan atau memutarbalikkan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang mengancam ego melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-akan masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu yang bersangkutan. Reaksi formasi berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengendalikan dorongan-dorongan primitif agar tidak muncul sambil secara sadar mengungkapkan tingkah laku sebaliknya. Regresi adalah usaha yang dilakukan individu untuk menghindarkan diri dari kenyataan yang mengancam dengan cara kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah serta bertingkah laku seperti ketika ia berada dalam taraf yang lebih rendah itu (Hatono, 2003: 12-13).
1.6.3 Struktur Kepribadian
Salah satu penemuan besar psikoanalisis adalah adanya kehidupan tak sadar pada manusia. Freud membayangkan manusia sebagai gunung es di tengah lautan yang hanya nampak kecil saja yaitu puncak teratasnya. Sebagian besar badan gunung es tersebut berada di bawah permukaan air laut. Bagian yang berada di bawah permukaan air laut ini kemudian dibagi menjadi dua yaitu bagian pra-sadar yang dengan usaha dapat kita angkat ke atas dan bagian tak sadar yang hanya muncul dalam perbuatan-perbuatan tidak sengaja, fantasi, khayalan, mimpi, mitos, dongeng, dan sebagainya. Pada tahun 1923, Freud mengemukakan dalam bukunya The Ego and The Id
(31)
15
pandangannya mengenai struktur kepribadian manusia, yaitu terdiri dari tiga bagian yang tumbuh secara kronologis: Id, Ego, dan Superego. (Hartono, 2003:2.3)
1.6.3.1 Id
Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber energi manusia, sehingga dikatakan juga oleh Freud sebagai jembatan antara segi biologis dan psikis manusia. Id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip primitif sehingga bersifat kaotik (kacau, tanpa aturan), tidak mengenal moral, dan tidak memiliki rasa benar-salah (Hartono, 2003: 2-4). 1.6.3.2 Ego
Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Oleh karena itu, ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan serta mau menanggung ketegangan dalam batas tertentu. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas artinya dapat menunda pemuasan diri atau mencari bentuk pemuasan lain yang sesuai dengan batasan lingkungan dan hati nurani. Ego menjalankan proses sekunder artinya menggunakan kemampuan
(32)
16
berpikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah terbaik (Hartono, 2003: 4).
1.6.3.3 Superego
Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan
norma yang ada dalam masyarakat di tempat individu itu hidup. Anak mengembangkan superego nya melalui berbagai perintah dan larangan yang diberikan orang tuanya. Titik perkembangan yang sangat penting dalam pembentukan superego adalah dilaluinya tahap oeidipal dengan baik. Freud membagi superego dalam dua hal yaitu hati nurani dan ego ideal. Hati nurani diperoleh dari penghukuman berbagai perilaku anak yang dinilai jelek oleh orang tua dan menjadi dasar bagi rasa bersalah. Ego ideal adalah hasil pujian dan penghadiahan atas berbagai perilaku yang dinilai baik oleh orang tua. Anak yang mengejar keunggulan dan kebaikan akan memiliki nilai diri jika itu berhasil dilakukan. Superego memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri dan selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan (Hartono, 2003: 4-5).
(33)
17 1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Metode ini merupakan prosedur yang sistematik dan standar utnuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 1985:211). Penelitian ini dilakukan menggunakan metode studi pustaka dengan mencari dan membaca banyak pustaka, termasuk karya sastra secara cermat (Nazir, 1985: 111-132). Teknik catat digunakan untuk mencatat data yang diperoleh dari teks-teks novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan.
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode ini digunakan untuk menganalisis isi. Metode ini dilakukan dengan cara pencatatan untuk memudahkan dalam mengetahui pandangan masing-masing tokoh setelah melakukan penyimakan dan pencermatan novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Metode analisis data yang penulis lakukan adalah dengan menganalisis struktur kepribadian tokoh dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas. Analisis struktur kepribadian tokoh dilakukan untuk
menjembatani penulis dalam melakukan kajian psikoanalisis tokoh pada novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. 1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Data yang telah dianalisis disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan mengunakan metode analisis data yang bertujuan menggambarkan
(34)
18
atau melukiskan keadaan subjek atau objek yakni seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya yang tergambar dalam teks Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Nawawi dalam Siswantoro, 2005:
56).
1.8 Sumber Data
Data merupakan bahan penelitian. Karya sastra yang menjadi objek penelitian ini adalah novel dengan identitas sebagai berikut:
Judul Buku : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Pengarang : Eka Kurniawan
Tahun Terbit : 2014 edisi pertama
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Halaman : 256 halaman
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Sistematika penelitian ini dirinci sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagai menjadi delapan sub bab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
(35)
19
Bab II berisi analisis hasrat seksual dalam struktur kepribadian tokoh pada novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan. Analisis ini digunakan untuk menjembatani ke tahap analisis selanjutnya.
Bab III berisi deskripsi analisis psikoanalisis, regresi, sublimasi, dan identifikasi sebagai manifestasi hasrat seksual dalam novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan.
Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan dengan tinjauan psikoanalisis.
(36)
20 BAB II
HASRAT SEKSUAL DALAM STRUKTUR KEPRIBADIAN TOKOH PADA NOVEL SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS
KARYA EKA KURNIAWAN
2.1 Pengantar
Pada bab ini penulis akan mengkaji Novel Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas dari segi struktur kepribadian tokoh. Dalam asumsi penulis, untuk
mengetahui perilaku tokoh yang erat kaitannya dengan hasrat seksual, penulis menganalisis terlebih dahulu struktur kepribadian tokoh-tokoh yang terdapat pada novel. Dalam hal ini, penulis mengolah teks manifes dan mencoba mengungkapkan teks yang tersembunyi di baliknya untuk mengungkap perilaku para tokoh yang berhubungan dengan hasrat seksual.
Struktur kepribadian manusia mencakup tiga hal, yakni id, ego,dan
superego. Id berada pada alam ketaksadaran, sementara ego dan superego
meliputi alam sadar manusia (Hartono, 2003: 5). Penulis mendapati setidaknya tiga tokoh yang dapat dianalisis struktur kepribadiannya dalam novel Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Ketiga tokoh tersebut adalah Ajo Kawir
yang merupakan tokoh utama, Si Iteung dan Mono Ompong yang merupakan tokoh tambahan dalam novel. Ketiga tokoh tersebut memiliki sikap yang sama yakni gemar berkelahi. Kegemaran mereka berkelahi merupakan bentuk pengalihan terhadap pengalaman traumatis tokoh yaitu pelecehan seksual.
(37)
21 2.2 Struktur Kepribadian Ajo Kawir
Ajo Kawir merupakan tokoh utama dalam alur cerita pada novel Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Ia digambarkan sebagai seorang lelaki
yang gagah perawakannya juga gemar berkelahi. Kegemarannya berkelahi bertolak belakang dari perilakunya semasa kecil. Semasa kecil, Ajo kawir digambarkan sebagai seorang remaja yang taat beribadah. Ia juga digambarkan sebagai seorang remaja yang cukup pandai di kelasnya, ia tidak pernah mendapatkan nilai jelek untuk setiap mata pelajaran.
“Pada dasarnya Ajo Kawir anak baik, begitu Si Tokek akan berkata. Di antara teman-teman sepermainan mereka, Ajo Kawir yang paling rajin pergi ke surau. Di sekolah nilainya tak pernah memalukan.” (Kurniawan, 2014: 9)
Ajo Kawir gemar membaca, ia lebih suka membaca komik mengenai surga dan neraka.
“Ajo Kawir memperlihatkan komik-komiknya. Tapi ini komik tentang surga dan neraka, katanya. Bahkan kiai di surau memuji komik-komik ini.” (Kurniawan, 2014: 8)
Tanpa disadari, kegemarannya membaca komik mengenai surga dan neraka ini menjadi pengetahuan dasar atau lebih tepat sebagai pedoman hidupnya dalam berperilaku. Pengetahuan dasarnya dalam berperilaku ini merupakan superego nya. Ia beranggapan bahwa apa yang ia lakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat nantinya.
“Astagfirullah, bisakah kita cari mainan lain? Aku tak mau masuk neraka dan kemaluanku digigit memek bergigi.” (Kurniawan, 2014: 9)
(38)
22
Kegemarannya berkelahi sendiri muncul karena masalah yang menimpa kemaluannya. Hal ini bermula ketika ia diajak oleh sahabatnya yang bernama Si Tokek untuk mengintip wanita gila bernama Rona Merah. Ajo Kawir merasa tidak nyaman dan ketakutan dengan perbuatan yang ia lakukan bersama dengan sahabatnya. Ia sering mendapatkan nasihat dari Wa Sami ibu dari Si Tokek untuk tidak mendekati rumah wanita gila itu.
“Ajo Kawir segera bilang bahwa Wa Sami berkali-kali sudah mengatakan agar tidak mengganggu perempuan itu.” (Kurniawan, 2014: 10)
Rasa tidak nyamannya berubah menjadi rasa ingin tahu ketika mendapati dua oknum polisi yang masuk ke rumah Rona Merah. Setelah menanti beberapa saat, Ajo Kawir mengetahui apa yang akan dilakukan oleh kedua oknum polisi tersebut. Kedua oknum polisi tersebut ternyata berniat akan memperkosa Rona Merah. Karena ketidakhati-hatiannya, ia tertangkap basah sedang mengintip perbuatan kedua oknum polisi tersebut.
“Ajo Kawir, menonton semua adegan itu sambil menggigil dengan mata tak lepas dari lubang tempat mengintip, tak kuasa menopang tubuhnya. Pegangannya ke kusen jendela terlepas, dan tanpa bisa dicegah ia tergelincir. Suara gaduhnya mengagetkan semua orang.” (Kurniawan, 2014: 27)
Ia dipaksa oleh dua oknum polisi yang memperkosa Rona Merah untuk turut serta memasukkan batang kemaluannya ke dalam lubang senggama milik Rona Merah. Salah seorang polisi bahkan menodongkan pistol ke kepala Ajo Kawir.
(39)
23
“Ajo Kawir ketakutan, menggeleng dan hendak pergi. Tapi Si Perokok Kretek mengeluarkan dan menempelkan moncong pistol ke dahi si bocah sambil berkata, diam dan lihatlah!” (Kurniawan, 2014: 28)
Kedua oknum polisi memaksa Ajo Kawir untuk turut memperkosa Rona Merah. Pada saat itu juga batang kemaluan milik Ajo Kawir memutuskan untuk tidur dalam waktu yang cukup lama.
“Ajo Kawir diam saja, kedua polisi kesal dan hampir mengangkatnya untuk memasukkan kemaluannya secara paksa ke dalam perempuan itu. Tapi mendadak mereka terdiam dan menoleh ke arah selangkangan Ajo Kawir. Di luar yang mereka duga, kemaluan bocah itu meringkuk kecil, mengerut dan hampir melesak ke dalam. Setelah berpandangan sejenak, kedua polisi tiba-tiba tertawa sambil menggebrak-gebrak meja.” (Kurniawan, 2014: 29)
Alasan mendasar dari rasa takut yang dialami oleh Ajo Kawir sehingga membuat batang kemaluannya memutuskan untuk tidak bergerak bukan karena paksaan atau pistol yang ditodongkan oleh oknum polisi ke kepalanya melainkan karena superego yang dimilikinya. Ia sadar betul bahwa perbuatannya akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Pengalaman traumatis ini timbul akibat dominasi superego.
Si Tokek merasa bersalah atas kejadian yang menimpa sahabatnya itu. Ia sering menyalahkan dirinya sendiri dan berusaha keras untuk membuat sahabatnya dapat melupakan kejadian itu. Untuk menebus kesalahannya, ia memutuskan untuk senantiasa menemani ke mana pun sahabatnya itu pergi. Bahkan, ketika Ajo Kawir memutuskan untuk mencari masalah dengan anak lain dan mengajak mereka berkelahi, Si Tokek tidak akan tinggal diam. Ia akan
(40)
24
dengan senang hati ikut dalam perkelahin itu. Kegemaran Ajo Kawir berkelahi merupakan bentuk pengalihan trauma miliknya.
“Untuk urusan ini, Si Tokek merupakan orang yang merasa paling bersalah, meskipun Ajo Kawir tak pernah menganggapnya demikian. Si Tokek ingin melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya, tapi ia sadar tak ada apa pun yang berharga di dunia ini yang bisa dilakukannya untuk menebus semua kesalahan itu.” (Kurniawan, 2014: 5)
“Dan apa boleh buat, Si Tokek tak pernah mau membiarkan sahabatnya babak -belur sendirian, maka ia pun sering memperoleh bagian lebam di sana-sini.” (Kurniawan, 2014: 4)
Suatu ketika, Paman Gembul datang menemui Iwan Angsa yang merupakan ayah dari Si Tokek. Paman Gembul merupakan rekan kerja dari Iwan Angsa semasa keduanya masih muda. Maksud kedatangannya adalah mencari orang yang mau bekerja untuknya (berkelahi). Iwan Angsa menolak untuk berkelahi kembali dan menyarankannya untuk bertemu dengan Ajo Kawir. Ajo Kawir tentu dengan senang hati menerima tawaran itu. Ia merasa senang bukan karena imbalan yang ditawarkan oleh Paman Gembul, ia hanya berpikir akan sangat menyenangkan jika dapat berkelahi dengan banyak orang sehingga dapat melupakan masalah yang menimpa kemaluannya tersebut. Sikap Ajo Kawir yang dengan senang hati menerima tawaran Paman Gembul merupakan bentuk pengalihan trauma miliknya.
“Dan sekarang aku ingin kamu menghajar seorang lelaki lain. Lebih tua darimu. Jauh lebih tua. Dan mungkin lebih kuat darimu. Namanya Si Macan.” (Kurniawan, 2014: 66)
(41)
25
“Aku hanya butuh duitmu, dan terutama aku hanya butuh seseorang yang mau berkelahi denganku.” (Kurniawan, 2014: 72)
Suatu hari, ketika Ajo Kawir mencari seorang lelaki bernama Pak Lebe seorang pengusaha tambak dan berniat untuk menghajarnya, Ajo Kawir bertemu dengan seorang gadis cantik yang juga ahli dalam berkelahi bernama Si Iteung. Si Iteung merupakan pengawal pribadi Pak Lebe. Pertemuan itu berujung pada perkelahinan antara keduanya. Dari perkelahian itu timbul perasaan cinta antara keduanya. Ia mengagumi sosok Si Iteung bukan saja karena ia memiliki paras yang cantik, tetapi karena Si Iteung merupakan wanita yang ahli bela diri. Ia jatuh cinta kepada wanita yang dapat mempertahankan kehormatannya. Anggapan seperti inilah yang kemudian menjadi cerminan ego tokoh Ajo Kawir.
“Ajo Kawir mencoba tersenyum. Bibirnya terasa sakit, tapi ia tersenyum. Matanya berbinar melihat Iteung di depannya. Ia senang melihat rambutnya yang beriak ketika menerjangnya, ketika mengiriminya pukulan. Ia senang melihat roman mukanya yang memerah menahan marah. Ia senang melihat matanya yang memancarkan kebencian.” (Kurniawan, 2014: 84)
“Kakinya masih terasa goyah, tapi gadis itu telah mengiriminya satu pukulan lagi. Ia kembali terhuyung dan terjatuh ke rerumputan. Rumput dengan tanah keras di bawahnya. Ia merasa ia tak mampu lagi untuk bergerak. Ia sudah selesai. Ia tak menyesal. Ia merasa bahagia. Ia bahagia merasakan pukulan gadis itu di tubuhnya. Ia bahagia merasakan gadis itu betapa dekat dengannya.” (Kurniawan, 2014: 88) “Iteung,” gumamnya. Ia tak tahu apakah gadis itu mendengarnya atau tidak. Ia bahkan nyaris tak bisa mendengar suaranya sendiri. “Aku, aku mencintaimu.” (Kurniawan, 2014: 89)
Hubungan mereka direstui oleh kedua orang tua masing-masing, tetapi tidak oleh teman Si Iteung yang bernama Budi Baik. Budi Baik merupakan teman seperguruan Si Iteung yang juga menaruh perasaan kepada Si Iteung. Kehadiran
(42)
26
tokoh Ajo Kawir dianggap sebagai penghalang bagi hubungannya dengan Si Iteung. Suatu waktu, Budi Baik dan teman-temannya mencegat Ajo Kawir dan mengeroyoknya hingga babak belur. Hal ini kemudian diketahui oleh Si Iteung dan Si Tokek yang kemudian balik menghajar mereka. Ajo Kawir dan Si Iteung pun memutuskan untuk menikah walaupun sebelumnya Ajo Kawir sempat ragu apakah ia dapat membuat Si Iteung bahagia dengan keadaannya. Ego dari Ajo Kawir yang menemukan pujaan hatinya yakni seorang wanita yang ahli bela diri dan beranggapan bahwa ia merupakan sosok wanita yang dapat mempertahankan kehormatannya membawanya ketingkat yang lebih tinggi yakni superego yang ditandai dengan menikahi Si Iteung.
“Kami sudah menentukan hari pernikahan. Aku akan bahagia. Ia akan bahagia. Aku akan melewati umur dua puluh dengan bahagia.” (Kurniawan, 2014: 101) “Beberapa bulan setelah melewati ulang tahun Ajo Kawir yang kedua puluh, dan beberapa hari setelah Iteung melewati umur yang sama, mereka menikah. Kedua orangtua Iteung sangat bahagia. Kedua orangtua Ajo Kawir juga sangat bahagia. Iwan Angsa dan Wa Sami sampai berkaca-kaca melihat Ajo Kawir menikah. Si Tokek tampak tersenyum ke sana-kemari, ikut menerima para tamu.” (Kurniawan, 2014: 112)
Menikah dengan Si Iteung merupakan bentuk pengalihan trauma miliknya. Kehadiran sosok Iteung pada kehidupan Ajo Kawir membuatnya dapat melupakan pengalaman traumatisnya. Sosok Iteung yang kuat dan ahli bela diri membuat Ajo Kawir dapat melupakan Rona Merah. Tindakan Ajo Kawir yang mencintai Iteung terjadi karena dorongan id nya yaitu hasrat seksul yang ia kelola agar tidak melakukan pemerkosaan kepada tokoh yang lebih kuat. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh ego miliknya. Superego miliknya mengatakan bahwa ia tidak
(43)
27
boleh melakukan pemerkosaan dan hubungannya dengan Si Iteung harus legal maka ia menikahi Si Iteung. Hal inilah yang menjadi motif Ajo Kawir memilih Iteung sebagai kekasihnya. Ada superego yang memang dipengaruhi oleh dorongan id akan tetapi ia dapat mengelola dengan memilih tokoh yang kuat sehingga ia tidak akan melakukan energi psikis negatif yaitu pemerkosaan.
Kehidupan keluarga Ajo Kawir yang tadinya baik-baik saja menjadi retak setelah ia mendapati bahwa Si Iteung hamil. Anggapan bahwa keahlian Si Iteung dalam berkelahi yang dapat mempertahankan kehormatannya runtuh seketika. Runtuhnya anggapan tersebut menimbulkan kembali pengalaman traumatisnya. Ajo Kawir tahu bahwa anak yang dikandung oleh Si Iteung bukanlah anaknya, Ajo Kawir sadar betul bahwa ia tidak dapat menghamili istrinya tersebut. Kehamilan Si Iteung menjadi tamparan keras bagi dirinya. Tamparan itu membuatnya kembali mengingat pengalaman traumatis yang menimpa dirinya di rumah Rona Merah. Karena hal itulah Ajo Kawir menjadi sangat marah kepada dirinya sendiri.
Rambut Iteung agak basah, begitu pula wajah dan pakaiannya. Tapi ia masih berdiri di tempatnya. Setelah beberapa saat, Ajo Kawir segera menyadari mata Iteung berkaca-kaca.
“Ada apa?” tanya Ajo Kawir. “Kamu dari mana sejak pagi?” Airmata Iteung meleleh, mengalir di pipinya.
“Iteung? Ada apa?”
“Aku dari rumah sakit,” katanya. Ia mulai terisak. “Aku... aku hamil.” “Ha . . . apa?”
Iteung tertunduk dan terduduk di kursi. Ia menangis dan menyembunyikan wajahnya. Di sela isaknya ia mengatakan sesuatu, tapi Ajo Kawir tak mendengarnya dengan jelas.
“Iteung!” Ajo Kawir mulai berteriak. “Katakan siapa? Siapa?” Bahu Iteung terguncang-guncang.
(44)
28
Ajo Kawir berbalik, membuka pintu dan membantingnya. Ia berjalan meninggalkan rumah itu, menerobos gerimis. (Kurniawan, 2014: 118-119)
Ajo Kawir memutuskan untuk meninggalkan rumah dan kembali menjalankan misi yang diberikan oleh Paman Gembul untuk mencari dan membunuh orang yang bernama Si Macan. Ajo Kawir berusaha untuk menolak timbulnya kembali pengalaman traumatis miliknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tindakan Ajo Kawir yang membunuh Si Macan. Terjadi pertemuan antara unsur id dan superego miliknya yang direalisasikan oleh unsur ego miliknya. Disatu sisi Ajo Kawir berusaha melakukan perlawanan terhadap pengalaman traumatisnya dengan membuat unsur ego baru di dalam dirinya yaitu membunuh Si Macan, tetapi di sisi lain superego miliknya tidak dapat mengontrol tindakan dari Ajo Kawir. Tindakan perlawanan superego ini menjadi klimaks dari struktur kepribadian tokoh Ajo Kawir.
“Ajo Kawir merebut tongkat itu. Si Macan terhuyung. Sebelum Si Macan roboh ke tanah, tongkat itu menyambar batok kepalanya. Terdengar bunyi derak tongkat patah, serta batok kepala yang terbelah.” (Kurniawan, 2014: 120)
Anti klimaks dari struktur kepribadian tokoh Ajo Kawir ditandai dari sikapnya yang menyerahkan diri kepada polisi dan mendekam di penjara selama beberapa tahun. Tindakan Ajo Kawir menyerahkan diri kepada polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut merupakan cerminan superego miliknya yang kemudian direalisasikan oleh ego.
(45)
29
“Jangan berbuat bodoh,” kata Paman Gembul. “Kau aman di sini. Kau bisa belajar mesin mobil di sini. Ini bengkel yang bagus. Mereka tak tahu kau di sini. Aku tak ingin melihatmu mati.” (Kurniawan, 2014: 152)
Setelah keluar dari penjara Ajo Kawir memutuskan membeli sebuah truk dan bekerja menjadi sopir truk. Banyak hal yang kemudian ia pelajari dari semua kejadian yang telah menimpa dirinya, khususnya dari kemaluannya sendiri selama mendekam di penjara. Ia bertekad untuk tidak kembali menjadi seorang yang gemar berkelahi dan memutuskan untuk hidup damai seperti yang diajarkan oleh kemaluannya. Hal ini membuktikan perkembangan ego yang dimiliki oleh Ajo Kawir. Kegemarannya berkelahi menghilang bahkan berubah menjadi pribadi yang lebih tenang serta berpikiran jernih. Pekerjaannya menjadi seorang sopir truk mempertemukannya dengan tokoh yang bernama Mono Ompong dan Jelita.
“Ajo Kawir menoleh ke si kenek dan berpikir, sebelas tahun lalu, ketika umurnya sama dengan bocah itu, ia benar-benar akan melakukan apa yang dikatakan si kenek. Barangkali lebih dari itu. Ia tak akan menghajar Si Kepala Botak, sebab itu tak perlu. Ia yakin, jika itu terjadi sebelas tahun lalu, ia akan membiarkan truknya menghajar sedan Si Kepala Botak.” (Kurniawan, 2014: 122)
Dari tokoh Mono Ompong ia dapat kembali mengingat sosok dirinya ketika masih remaja yang gemar sekali mencari masalah dengan anak yang sebaya dengannya dan mengajak mereka berkelahi. Dari tokoh Jelita inilah ia sering memimpikan kemaluannya dapat berdiri kembali. Hal ini menjadi bukti menguatnya unsur id miliknya. Keinginannya menjadi pribadi yang normal masih ada, tetapi disisi lain pengalaman traumatisnya belum sepenuhnya sembuh. Ia masih berharap dapat melihat batang kemaluannya berdiri kembali. Ia berjanji
(46)
30
pada dirinya sendiri jika suatu saat kemaluannya sembuh ia akan pulang ke rumah dan menemui Si Iteung. Jauh dalam benaknya ia masih mencintai istrinya.
“Di kamar mandi, setelah membuka celana dalamnya, ia melihat Si Burung memang basah dan lengket. Si Tokek yang pernah mengatakan hal ini: dipakai atau tidak burungmu, tubuh lelaki yang sehat terus menghasilkan pejuh. Lama-kelamaan itu akan penuh. Harus dikeluarkan dengan cara apa pun, atau mereka akan jebol dan memutuskan keluar sendiri. Dengan mimi atau tidak. Yang ia tahu, kini mereka jebol karena mimpi. Mimpi Jelita.” (Kurniawan, 2014: 217)
“Jika aku bisa kembali ngaceng, pikirnya, aku punya satu-satunya alasan untuk kembali ke rumah. Untuk melihat gadis kecilku, dan terutama untuk melihat isteriku.” (Kurniawan, 2014: 225)
“Jika aku bisa ngaceng, pikirnya kembali, aku bisa membuat Iteung bahagia. Dan aku juga bisa bahagia. Bahkan satu hari yang membahagiakan antara aku dan Iteung, barangkali bisa menghapus tahun-tahun yang menderitakan ini. Tapi apakah meniduri Jelita satu-satunya cara untuk membuat Si Burung bangun, seperti apa yang diajarkan mimpiku?” (Kurniawan, 2014: 226)
Keputusannya berdamai dan menerima segala kejadian yang telah menimpanya merupakan bentuk pengalihan trauma miliknya. Dari hal inilah secara tidak langsung kesembuhan mulai terjadi pada dirinya. Perkembangan id milik Ajo Kawir mulai termanifestasikan dalam mimpi. Mimpi merupakan salah satu bentuk alam bawah sadar manusia dimana id berperan penting di dalamnya sedangkan superego kehilangan kendali. Dari mimpi inilah Ajo Kawir sering mendapati kemaluannya dapat berdiri kembali ketika melihat Jelita.
“Tiba-tiba ia teringat sesuatu, menyadari sesuatu. Hal ini telah terjadi berkali-kali, tapi baru kali ini ia menyadarinya. Ingatannya sangat jelas: di mimpi itu, mimpi berbaring di karpet bersama Jelita di bak truk, Si Burung terbangun. Keras dan besar.” (Kurniawan, 2014: 218)
(47)
31
Hal yang dirasakan oleh Ajo Kawir ketika sedang memimpikan Jelita ternyata berdampak pada kehidupan nyatanya. Hal ini membuktikan bahwa id miliknya mencoba menerobos batas ego. Ia menjadi pribadi yang tidak fokus dalam bekerja. Ia semakin sering berbicara dengan kemaluannya. Ia merasa heran dengan selera atau hasrat seksual miliknya. Hal ini bukan tanpa alasan karena sebelumnya ia mengenal dua pribadi wanita berparas cantik yakni Rona Merah dan Si Iteung akan tetapi kemaluannya tidak bergerak sedikit pun. Berbeda dengan dua wanita berparas cantik tadi, dalam mimpinya ia mendapati kemaluannya tengah berdiri ketika menjumpai Jelita yang jauh tidak lebih cantik dari dua wanita yang pernah dikenalnya. Bahkan jauh dari kata cantik, Jelita lebih tepat jika dibilang jelek. Dari tokoh Jelita inilah ia kemudian dapat sembuh dari penyakit yang menimpa kemaluannya tersebut. Ia dan Jelita bercinta di bilik kamar mandi di sebuah pom bensin. Untuk pertama kalinya, Ajo Kawir merasa sangat bahagia mendapati kemaluannya dapat berdiri kembali. Hal ini membuktikan bahwa ia berhasil meloloskan id miliknya.
“Kemudian perempuan itu mendekatinya, menyentuh pipinya. Jelita berjinjit, mencium bibirnya. Ajo Kawir masih terdiam, bertanya-tanya apakah semua ini bagian dari mimpinya, atau sesuatu yang terjadi di luar tidurnya? Ia tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jelita memeluknya, terus menciuminya. Hingga akhirnya Jelita berlutut, dan mulai membuka kancing jins Ajo Kawir. Ketika celananya melorot, bahkan Ajo Kawir pun terpana dibuatnya. Ia melihat Si Burung bangun. Mengacung keras, besar, menunjuk. Ia belum pernah melihat Si Burung sedemikian indahnya.” (Kurniawan, 2014: 230-231)
Dari tokoh Jelita pula Ajo Kawir teringat kembali dengan sosok wanita yang pernah ia kenal sebelumnya. Ia merasa ada kemiripan antara Jelita dengan Rona
(48)
32
Merah. Kedua tokoh tersebut merupakan karakter yang sama lemahnya jika dibandingkan dengan Si Iteung.
“Ia memang jelek. Super jelek. Tapi tidakkah melihatnya kau merasa seperti pernah bertemu dengannya? Kurasa ia mengingatkanku kepada perempuan itu. Si perempuan gila. Rona Merah. Entahlah, tapi kurasa mereka perempuan yang sama.” (Kurniawan, 2014: 239-240)
2.3 Struktur Kepribadian Si Iteung
Si Iteung merupakan tokoh tambahan pada novel Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas. Ia digambarkan sebagai sosok gadis berparas cantik yang
juga pandai berkelahi. Keahliannya berkelahi tidak lepas dari latar belakang masa kecilnya yang pernah mendapatkan tindakan pelecehan seksual. Pengalaman pelecehan seksual ini menjadi trauma baginya. Sebagai pengalihan trauma miliknya ia ingin terlihat kuat di depan orang lain terutama di depan lelaki.
Pada masa kecilnya, Si Iteung yang masih duduk di bangku sekolah pernah mendapatkan perilaku pelecehan seksual dari gurunya. Gurunya yang bernama Pak Toto kerap kali melakukan aksi cabul terhadap dirinya setiap pulang sekolah.
“Iteung selalu teringat masa itu, masa ketika lonceng tanda sekolah berakhir berbunyi dan anak-anak ribut berlomba keluar dari kelas. Ia akan menjadi yang terakhir keluar dari kelas. Bukan semata karena ia tak mau berdesak-desakan dengan mereka, tapi karena Pak Toto, guru dan wali kelas mereka, selalu memintanya pulang terakhir, untuk membantunya melakukan beberapa pekerjaan kecil.” (Kurniawan, 2014: 160)
Sementara Iteung melakukan pekerjaanya, Pak Toto akan melingkarkan tangannya ke pundak Iteung, lalu jari-jemarinya menyentuh dada gadis itu, dengan sentuhan nakal. Dan Iteung akan menoleh sambil berkata: “Ih, Bapak. Apa-apaan, sih?” Pak Toto akan tertawa kecil dan berbisik: “Lihat, Iteung.
(49)
33
Dadamu mulai tumbuh. Sebentar lagi kamu perlu pakai beha.” (Kurniawan, 2014: 160-161)
“Pak Toto memegang erat Iteung dari belakang. Lelaki itu duduk di kursi, sementara Iteung duduk di pangkuannya. Satu tangan kiri mendekap dan menggenggam dada si gadis kecil. Tangan yang lain menerobos ke balik rok. Iteung mencoba melepaskan diri, tapi Pak Toto merengkuhnya semakin erat. Celana Pak Toto sudah setengah terbuka. Iteung bisa merasakan sesuatu menyodok-nyodok liar menyentuh pantatnya. Kemudian ia merasa ada yang basah dan lengket. Dan Pak Toto berhenti melakukan gerakan apa pun. Tangannya berhenti. Dengan cepat Iteung berdiri, membebaskan diri. Ia menoleh dan melihat kemaluan hitam legam terkulai di kursi. Iteung merasa ada yang sakit di celah antara kedua kakinya. Ia mencoba berjalan seperti biasanya tapi ada rasa sakit di sana.” (Kurniawan, 2014: 161-162)
Hal ini kemudian menjadi pengalaman traumatisnya. Oleh ego, trauma ini kemudian dialihkan dalam bentuk sosok wanita yang dapat dihormati dan dihargai derajatnya oleh kaum lelaki. Keinginannya masuk ke perguruan silat ini akhirnya ia utarakan kepada ayahnya. Ia beranggapan bahwa sikap lelaki yang ditunjukkan oleh ayahnya adalah sikap lelaki yang dapat diterimanya sebagai seorang perempuan. Sikap ayahnya yang terbuka, menghormati dan menghargai ibunya membuatnya merasa nyaman berada di dekatnya.
“Papa, aku ingin mengambil les,”
“Aku mau belajar berkelahi.” (Kurniawan, 2014: 165-166)
Ia merupakan satu-satunya anak perempuan dalam perguruan silat itu. Walaupun sempat mendapat berbagai macam bentuk ejekan dari teman-teman seperguruannya, Si Iteung tetap bertekad untuk menjadi seorang wanita yang ahli dalam bela diri. Hal ini merupakan wujud pengalihan trauma miliknya.
(50)
34 “Kenapa kamu ingin belajar berkelahi?”
“Aku ingin melindungi ini.” Ia menunjuk satu titik di pangkal kedua pahanya. (Kurniawan, 2014: 168)
Di perguruan silat itulah ia belajar banyak teknik berkelahi demi menjaga kehormatannya, dan dari perguruan silat itu juga ia kemudian berkenalan dengan tokoh bernama Budi Baik. Perilaku dari Budi Baik tidak sebaik namanya. Dari tokoh bernama Budi Baik ini ia juga kerap mendapatkan perilaku pelecehan seksual.
“Lalu ia merasa sesuatu menyentuh bagian itu. Bagian yang telah menjadi basah. Tangan Budi Baik. Ia membuka mata, ia tak sadar matanya setengah menutup, dan segera sadar tangan Budi Baik berada di antara pangkal kedua pahanya. Menyentuh celah basah di sana, menyentuh dengan hangat. Ia merasa dirinya terbang.” (Kurniawan, 2014: 171)
Ternyata ketika ia berusaha untuk mencari pengalihan dari pengalaman traumatisnya ia masih diingatkan kembali akan pengalaman traumatisnya tersebut. Pengalaman traumatisSi Iteung semakin kuat, dendam terhadap gurunya semakin menjadi-jadi. Ketika sudah benar-benar mahir dalam berkelahi ia melakukan aksi balas dendam dengan menghajar gurunya tersebut. Aksi balas dendamnya ia lakukan dengan cara menggoda gurunya ketika berada di ruang bimbingan konseling. Saat gurunya yang bernama Pak Toto mulai tergoda dan melancarkan aksi pelecehan seksual Si Iteung tidak segan-segan untuk menghajar gurunya tersebut. Tidak hanya sampai di situ, Si Iteung bahkan menelanjangi gurunya dan membakar pakaian milik gurunya tersebut di tengah lapangan sekolah.
(51)
35
“Ia hampir menyentuh si gadis, hampir mengisap tubuhnya, tapi gerakan Iteung jauh lebih cepat. Satu tendangan keras mendarat di biji kemaluannya. Pak Toto memekik. Pekikannya tertahan, sebab satu pukulan menghajar rahangnya. Tendangan lain dan pukulan lain datang tak terelakkan. Hanya dalam beberapa saat, lelaki itu ambruk di samping kaki kursi, dengan hidung bengkak dan berdarah dan tangan memegangi biji kemaluan. Tergeletak tak sadarkan diri. Di dekat gerbang sekolah ada drum bekas aspal yang berfungsi sebagai tempat sampah. Ada bara api kecil di dalamnya, sisa pembakaran. Itung melemparkan kemeja, kaus dalam, celana dan cangcut Pak Toto ke dalam drum bekas aspal tersebut. Perlahan mulai digerogoti percik api.” (Kurniawan, 2014: 172)
Setelah aksi balas dendamnya tercapai Si Iteung memutuskan untuk menjadi seorang pengawal pribadi lelaki tua pengusaha tambak ikan bernama Pak Lebe. Ia juga beranggapan bahwa semua lelaki adalah musuh. Pertemuannya dengan Ajo Kawir yang hendak menghajar Pak Lebe berujung pada perkelahian merupakan awal dari hubungan cinta keduanya. Id Si Iteung yakni hasrat seksualnya mengalami perkembangan yang dapat dibuktikan dari hubungan cintanya dengan Ajo Kawir. Anggapan bahwa laki-laki adalah musuh berubah membentuk
superego bahwa laki-laki adalah teman.
“Kukatakan sekali lagi, aku enggak bisa ngaceng.”
“Aku enggak peduli, aku juga mencintaimu.” (Kurniawan, 2014: 89)
“Aku senang karena kamu berhasil membuatnya kembali menjadi perempuan,” kata calon mertuanya. “Aku sering sedih melihatnya berkelahi. Ia sering berkelahi. Ia memanjat pohon, ngebut dengan motor, naik gunung. Lalu ia masuk perguruan dan semakin sering berkelahi. Tapi lihat sekarang. Ia ke mana-mana memakai rok. Dan pagi ini aku melihat ia memoleskan lipstikku ke bibirnya.” Ajo Kawir tersenyum mendengarnya. “Ia benar-benar jatuh cinta kepadamu.” (Kurniawan, 2014: 97)
(52)
36
Si Iteung mengalami konsolidasi justru setelah bertemu dengan Ajo Kawir yang ternyata impoten, tetapi di situlah titik baliknya. Rasa aman yang ia dapatkan dari Ajo Kawir tidak semata-mata karena ia mencintainya melainkan juga karena ia tahu bahwa kemaluan Ajo Kawir tidak bisa berdiri. Ia beranggapan bahwa lelaki yang kemaluannya tidak bisa berdiri tentu tidak akan dapat menyakitinya. Hal ini membuktikan bahwa trauma miliknya mulai menghilang sedangkan
superego miliknya mulai dominan. Superego dari Si Iteung sendiri juga dapat
dibuktikan dari ia yang memutuskan untuk menikah dengan Ajo Kawir meskipun ia tahu bahwa kemaluan Ajo Kawir tidak bisa berdiri.
“Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang tak bisa ngaceng?” tanya Ajo Kawir. “Aku akan mengawininya.” (Kurniawan, 2014: 90)
Dalam kehidupan rumah tangga mereka, ia yang merupakan seorang wanita tulen ternyata juga merasakan kerinduan untuk dapat bercinta dengan suaminya tersebut. Hal ini tentu membuktikan bahwa tokoh Si Iteung mengalami perkembangan superego miliknya. Superego miliknya yang beranggapan bahwa lelaki adalah teman mulai berkembang. Lelaki seharusnya tidak hanya bisa melindunginya akan tetapi dapat memberikan keturunan terlebih kepuasan seksual. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Si Iteung yang sering meminpikan dan membayangkan kemaluan milik suaminya dapat berdiri kembali.
“Iteung selalu berharap ada keajaiban yang akan membuat kemaluan suaminya terbangun. Ia akan berusaha untuk membangunkannya, dan akan menyerah membiarkan tangan suaminya menyelinap ke selangkangannya yang basah. Ia akan memejamkan mata, dan entah kenapa ia mulai membayangkan burung hitam
(53)
37
legam milik Pak Toto. Lain kali ia memikirkan kemaluan milik Budi Baik. Ia tak bisa mengusir bayangan-bayangan itu. Bahkan setelah ia melenguh panjang.” (Kurniawan, 2014: 179)
Karena perkembangan superego nya mulai dominan menguasai ego nya, Si Iteung kemudian mencari Budi Baik yang dianggap dapat memberikannya kepuasan seksual. Hal ini membuktikan bahwa ego perlu direalisasikan.
“Ia tahu, tubuhnya tak hanya memerlukan jari tangan yang pandai menari. Ia membayangkan kemaluan hitam legam milik Pak Toto, tapi dengan perasaan jijik ia tak mungkin memperolehnya. Tapi ia bisa memperoleh kemaluan Budi Baik. Ia pernah memperolehnya, dan yakin bisa memperolehnya kembali. Ia hanya perlu diam.” (Kurniawan, 2014: 179)
Perbuatannya dengan Budi Baik berujung pada kehamilan yang menimpa dirinya. Kecemasan dan ketakutannya timbul seketika karena ia tahu bahwa suaminya pasti akan marah bahkan kecewa terhadap dirinya. Hal ini terbukti dengan Ajo Kawir yang pergi dari rumah dalam keadaan marah setelah mengetahui dirinya hamil. Kecemasan dan ketakutan yang timbul pada dirinya merupakan cerminan dari ego Si Iteung yang kembali muncul. Kehamilan yang menimpanya membuat dirinya kembali teringat akan pengalaman traumatisnya (pelecehan seksual). Anggapan bahwa lelaki merupakan musuh kembali menguat pada dirinya. Untuk menebus kesalahan dan penghianatannya terhadap Ajo Kawir yakni satu-satunya lelaki yang dianggapnya sebagai teman adalah dengan mengarahkan ego nya untuk membunuh Budi Baik.
(54)
38
”Iteung segera tahu, Budi Baik sudah sangat lembek. Ia tak kesulitan untuk menghajarnya, membuat bocor hidungnya, membuat robek ujung bibirnya, dan meremukkan jari-jemarinya. Iteung malas mengatakan apa pun. Ia mengirim tendangan ke rahang Budi Baik. Si bocah terlempar ke sudut rumah, membentur dinding. Iteung tak ingin memberinya kesempatan untuk lari. Ia mengejar. Ia menjambak rambut Budi Baik, mengangkatnya, lalu dengan deras membenturkan kepala itu ke dinding. Ia yakin batok kepala bocah itu retak. Budi Baik berhenti menjerit. Ia terdiam. Tubuhnya lemas jatuh ke lantai. Darah mengalir menggenang di lantai.” (Kurniawan, 2014: 236-237)
Energi ego yang dialami Si Iteung tidak berlangsung lama karena superego nya kemudian mulai mendominasi kembali. Hal ini dapat dibuktikan dari sikapnya yang menyerahkan diri kepada polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.
“Pak Polisi, aku sudah membunuh orang,” kata perempuan itu. Si Polisi masih terpaku. Perempuan itu mengulurkan tangannya, meminta diborgol. Si Polisi gugup, lalu kelabakan mencari borgol. Setelah menemukan benda itu, akhirnya Si Polisi memborgol tangan Iteung. (Kurniawan, 2014: 237)
Di dalam penjara ia kerap dikunjungi oleh Paman Gembul dan berbagi banyak informasi, terlebih ia mendapat informasi dari Paman Gembul perihal kesembuhan penyakit suaminya hanya akan terjadi ketika dapat membunuh dua oknum polisi yang pernah menyuruh suaminya untuk memperkosa Rona Merah.
“Kurasa hanya satu cara untuk merebut kembali kebahagiaan kalian. Aku telah menemukan mereka. Aku sudah memberitahu suamimu. Sial sekali. Penjara dan burung sialan itu telah banyak mengubah hidupnya. Ia tak ingin membunuh kedua polisi itu. Ia tak ingin membunuh siapa pun. Ia bahkan tak ingin berkelahi dengan siapa pun.” (Kurniawan, 2014: 233)
(55)
39
Ego Si Iteung kembali muncul setelah mendapatkan informasi tersebut dari Paman Gembul. Dorongan superego mulai mempengaruhi ego untuk dapat membalaskan dendam suaminya. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Si Iteung setelah keluar dari penjara. Keluar dari penjara Si Iteung memilih untuk segera mencari kedua oknum polisi tersebut dan membunuh mereka. Ia hanya bisa sebentar bertemu dengan Ajo Kawir yang memutuskan kembali ke rumah sebelum akhirnya ia sendiri harus kembali masuk ke dalam penjara untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut.
“Iteung, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ajo Kawir. “Aku membunuh dua polisi, Sayang. Dua polisi sahabat baikmu.” (Kurniawan, 2014: 242)
2.4 Struktur Kepribadian Mono Ompong
Mono Ompong merupakan tokoh tambahan dalam novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas. Ia digambarkan sebagai seorang remaja lelaki yang
gemar berkelahi. Kegemarannya berkelahi muncul sedari ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Pernah ia berkelahi dengan temannya karena tidak terima akan perilaku temannya tersebut yang memelorotkan celana olahraganya di depan teman-temannya.
“Ini untuk kelakuanmu menginjak sepatuku, ini untuk merobek bukuku, dan ini untuk kelakuanmu memelorotkan celana olahragaku di depan anak-anak perempuan. ia memukul membabi buta, dan ia memperoleh pukulan yang membabi buta pula.” (Kurniawan, 2014: 139)
(56)
40
Peristiwa tersebut menjadi pengalaman traumatisnya. Dari perkelahian itu ia kehilangan dua gigi depannya. Kegemarannya berkelahi ini merupakan bentuk pengalihan trauma sekaligus sebagai internalisasi nilai superego oleh ego bahwa perkelahian merupakan jalan termudah agar seorang lelaki dapat diakui oleh lelaki lainnya.
Perkenalannya dengan Ajo Kawir sendiri terjadi ketika ia memutuskan untuk menjadi kernet truk miliknya. Perilaku dari Mono Ompong yang mudah sekali tersulut emosi dan suka berkelahi inilah yang kemudian membangkitkan trauma milik Ajo Kawir.
“Aku tak peduli. Tapi kurasa menjadi sopir truk akan banyak petualangan, akan banyak keributan, akan banyak caci-maki, dan akan banyak perkelahian. Tak ada pekerjaan lain yang memberi jalan untukku menjadi jagoan yang sesungguhnya.” (Kurniawan, 2014: 186)
Mono Ompong mencintai seorang gadis di desanya yang bernama Nina. Ia sering menceritakan soal Nina kepada Ajo Kawir, bahkan mengaku-ngaku bahwa Nina merupakan kekasihnya. Pernah suatu kali ia menggunakan uang SPP-nya hanya untuk dapat bercinta dengan Nina.
“Mono Ompong memejamkan mata. Semakin merinding. Nina menyentuhnya, mengelusnya. Mono Ompong mengigit bibir. Nina kembali mengelus barangnya. Ada sesuatu yang mendesak ingin keluar. Satu sentuhan lagi, dan sesuatu menyembur dari ujung kemaluan Mono Ompong.”
Ya ampun, Mono,” pekik Nina, sebelum tertawa ngakak.
“Pelbur. Baru nempel langsung nyembur.” Nina terus tertawa ngakak dan Mono Ompong merasa ingin mati. (Kurniawan, 2014: 209-210)
(1)
63
pengalaman traumatisnya yang ditunjukkan dengan memilih untuk kembali pada Si Iteung.
Pelecehan seksual yang diterima oleh Si Iteung yaitu perilaku cabul yang dilakukan oleh gurunya setelah jam sekolah berakhir. Pelecehan seksual ini kemudian menjadi pengalaman traumatis baginya. Ia berusaha mengalihkan traumanya dengan berlatih ilmu bela diri di perguruan silat Kalimasada. Akan tetapi, usahanya tersebut gagal setelah ia mendapatkan tindakan yang serupa dari teman seperguruannya yang bernama Budi Baik. Ia seolah ditarik kembali untuk mengingat pengalaman traumatisnya. Keinginannya berlatih ilmu bela diri merupakan sublimasi yang adalah bentuk manifestasi penyaluran id miliknya. Kehadiran Ajo Kawir menimbulkan superego pada dirinya. Ia mulai beranggapan bahwa lelaki adalah teman dan juga suami. Si Iteung mencoba melakukan identifikasi yang ditandai lewat kedekatannya dengan Ajo Kawir. Superego Si Iteung mengalami perkembangan dari anggapan lelaki adalah teman dan juga suami berkembang menjadi lelaki seharusnya dapat memberikan keturunan terlebih kepuasan secara seksual. Si Iteung yang tidak mendapatkan pemenuhan superego nya dari Ajo Kawir lantas mencari pemenuhan lewat tokoh Budi Baik. Hubungannya dengan Budi Baik tersebut berakhir pada kehamilan yang menimpanya. Si Iteung mengalami regresi yang ditandai dengan sikapnya menangis menahan kepergian Ajo Kawir. Ajo Kawir memutuskan pergi dari rumah setelah mengetahui Si Iteung tengah hamil. Kehamilan dan kepergian Ajo Kawir ini memicu timbulnya kembali pengalaman traumatis miliknya. Si Iteung berusaha membangun superego nya yaitu lelaki adalah teman dan suami dengan
(2)
64
mengalihkan ego nya pada Budi Baik dengan menghajarnya hingga tewas. Pada akhirnya Si Iteung menyerahkan diri kepada polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.
Pelecehan seksual yang pernah diperoleh oleh Mono Ompong semasa kecil yaitu sikap temannya yang memelorotkan celana olahraganya di depan teman-temannya. Pelecehan seksual ini menjadi pengalaman traumatis baginya. Kegemarannya berkelahi merupakan pengalihan traumanya, sekaligus sebagai interalisasi nilai superego bahwa perkelahian merupakan jalan termudah agar seorang lelaki mendapatkan pengakuan dari lelaki lainnya. Mono Ompong mencintai seorang gadis di desanya yang bernama Nina. Superego miliknya mengalami perkembangan yaitu anggapan bahwa seorang lelaki dapat memperoleh pengakuan bahwa dari lelaki lain jika ia kuat dalam bercinta. Sublimasi yang tejadi pada dirinya ditandai dengan ia yang memutuskan untuk berhenti dari sekolah dan menjadi seorang kernet truk milik Ajo Kawir. Pertemuannya dengan Ajo Kawir merupakan bentuk identifikasi. Ia menjadikan Ajo Kawir sebagai panutan dalam hidupnya karena Ajo Kawir yang dapat mengalahkan semua lawannya dalam sebuah perkelahian. Perilaku Mono Ompong yang mudah tersulut emosinya juga gemar berkelahi membangkitkan kembali trauma milik Ajo Kawir. Mono Ompong sering mendapatkan nasihat dari Ajo Kawir untuk berhenti berkelahi dan menjauhi segala macam masalah. Dominasi dari superego Mono Ompong membuatnya menerima tawaran Si Kumbang untuk berkelahi. Di sisi lain, ia merasa dilema karena jika ia kalah dalam perkelahiannya dengan Si Kumbang maka ia tidak akan dapat bertemu lagi
(3)
65
dengan Nina. Kecemasannya ini berujung pada sikapnya yang mengunci diri dalam kabin truk milik Ajo Kawir sembari menangis sesenggukan. Hal ini merupakan bentuk regresi yang terjadi pada Mono Ompong. Superego miliknya kembali menguat setelah mendapatkan nasihat dari Ajo Kawir. Ia memutuskan untuk tidak menjadi pecundang dengan lari dari perkelahiannya dengan Si Kumbang. Pada akhirnya ia memenangkan perkelahian dengan luka serius pada kakinya sehingga harus menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit tentara.
4.2 Saran
Dalam penelitian terhadap novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan ini difokuskan pada struktur kepribadian dan bentuk manifestasi penyaluran id. Adanya kedua fokus tersebut peneliti menemukan ada dinamika pada struktur kepribadian tokoh. Dinamika struktur kepribadian tokoh dipengaruhi oleh hasrat seksual para tokohnya. Hasrat seksual para tokoh tidak lepas dari tindakan pelecehan seksual yang diterima semasa kanak-kanak. Tindakan ini merupakan pengalaman traumatis ketiga tokoh.
Para tokoh berusaha memanifestasikan id mereka ke hal yang lebih positif. Dalam proses pengalihan tersebut memicu terjadi dinamika pada struktur kepribadian mereka. Sangat disarankan bagi peneliti selanjutnya yang menggunakan novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan ini untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan dinamika kepribadian.
(4)
66
Daftar Pustaka
Eka Kurniawan. 2014. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Pustaka Widyatama. Yogyakarta.
Davidoff, Linda L. 1988. Psikologi: Suatu Pengantar, Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Hartono, Budi. 2003. “Dasar-dasar Psikoanalisis Freudian”. Dalam Anggadewi Moesono (ed). Psikoanalisis dan Sastra. Depok. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian UI.
Horton, Paul B. 1999. Sosiologi Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Moesono, Anggadewi. 2003. Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Universitas Indonesia.
Mulyono, Y. Bambang. 1986. Kenakalan Remaja dalam Perspektif Pendekatan Sosiologis, Psikologis, Teologis dan Usaha Penanggulangannya. Andi Offset. Yogyakarta.
Nazir, Moh. 1985. Metode Penelitan. Grafika Indonesia. Bandung.
Oktivita, 2009. “Perilaku Seksual Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Tinjauan Psikologi Sastra”. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
Sarwono. 2000. Teori-teori PsikoanalisSosial. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Semiun, Yustinus. 2006.Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius.
(5)
67
Setiadi, Yustinus Wendi. 2012. “Dinamika Kepribadian Tokoh-tokoh Utama dalam Novel 3 Cinta 1 Pria karya Arswendo Atmowiloto: Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Sigmund Freud. 2014. Manifesto Seksualitas. Diterjemahkan dari Three Essays on the Theory of Sexuality. Basic Books, 2000. Titah Surga. Yogyakarta.
Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Muhamadiyah University Press. Surakarta.
Wellek, R & Warren, A. 1990. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh Melani Budianta). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yulianti, Yeni. 2007. “Psikoanalisis Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Sumber Online
Royanto. 2015. “Psikologi Sastra”. https://rochyanto.wordpress.com/2015/
04/15/91/ Diunduh pada Rabu, 23 September 2016 pukul 21.29 WIB
DeLamater, John D. & Morgan Sill. 2005. “Jurnal of Sexual Desire in Later Life”.http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00224490509552267/? journalCode=hjsr20 Diunduh pada Senin, 16 Mei 2016 pukul 21.18 WIB Budiman, Berry. 2014. “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas;
Novel Terbangsat yang Pernah Saya
Baca”. http://www.kompasiana.com/berry-budiman/seperti-dendam-rindu-
harus-dibayar-tuntas-novel-terbangsat-yang-pernah-saya-baca_54f452b6c8918 Diunduh pada Senin, 2 Mei 2016 pukul 11.34 WIB Adiputra, “ofwan. . Teori Kepribadian . http://bkpemula.wordpress.com/
2012/02/01/teori-kepribadian/ Diunduh pada Rabu, 19 Oktober 2016 pukul 23.37WIB
(6)
68
PROFIL PENULIS
Gregorius Agung Rendra Prasastyo atau yang lebih akrab disapa Rendra lahir di Kulon Progo, 5 September 1994. Pria asal Yogyakarta ini merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia memiliki hobi bermain musik, mendengarkan musik, dan bermain game. Pada tahun 2006, ia lulus dari SD Kanisius Promasan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di SMP Kemasyarakatan Promasan dan lulus pada tahun 2009. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan sebagai siswa di SMA Seminari Mertoyudan yang kemudian memutuskan keluar pada tahun 2012. Setelah keluar dari Seminari, ia melanjutkan pendidikan di SMA Kristen Bentara Wacana dan dan lulus pada tahun 2013.
Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk kuliah di Universitas Sanata Dharma jurusan Sastra Indonesia. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia (HMPS) dan Bengkel Sastra.