melaksanakan  bersama  apa  yang  telah  diputuskan  karena  adanya  rasa keterikatan dengan apa yang mereka buat.
c.  Loyalitas Anggota bersedia melanggengkan hubungannya dengan organisasi,
kalau  perlu  dengan  mengorbankan  kepentingan  pribadinya  tanpa mengharapkan apapun.
Dari  pemaparan  tokoh-tokoh  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa komitmen organisasi memiliki tiga aspek, yaitu :
a.  Identifikasi,  merupakan  keyakinan  yang  kuat  serta  menerima  nilai-
nilai  dan  tujuan  organisasi,  meliputi  adanya  dukungan  anggota terhadap  organisasi  dan  penerimaan  nilai-nilai  dan  tujuan  organisasi
oleh anggota yang dipercaya telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi  mereka  serta  merasa  bahwa  berada  dalam  organisasi  tersebut
adalah hal yang terbaik baginya.
b.  Keterlibatan, merupakan kesediaan untuk berusaha dengan keras demi
kepentingan organsiasi,
meliputi kesediaan
anggota untuk
menyumbangkan usaha dan kontribusi bagi kepentingan organisasi dan merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan
peduli pada masa depan organisasi serta senang bekerjasama dengan anggota-anggota yang tergabung dalam organisasi tersebut.
c.  Loyalitas,  merupakan  keinginan  yang  kuat  untuk  tetap  menjadi
anggota organisasi, meliputi kesediaan anggota untuk mempertahankan diri  tetap  melakukan  aktivitas  dalam  organisasi  serta  untuk
melanggengkan  hubungannya  dengan  organisasi.  Di  samping  itu, anggota  juga  merasakan  adanya  keamanan  dan  kepuasan  di  dalam
organsiasi tempat ia bergabung.
3. Tahapan Terbentuknya Komitmen dalam Organisasi
Menurut  Staw  1991  terdapat  tiga  tahap  terbentuknya  komitmen  dalam organisasi, yaitu :
a.  Complience,  merupakan  tahap  dimana  individu  menerima  pengaruh dari  organisasi,  terutama  mendapatkan  sesuatu  dari  organisasi  seperti
imbalan berupa materi. b.  Identification,  merupakan  tahap  dimana  individu  menerima  pengaruh
dari organisasi dengan tujuan untuk mempertahankan kepuasan. c.  Internalization,  merupakan  tahap  dimana  individu  menemukan  nilai-
nilai  organisasi  yang  pada  hakekatnya  menguntungkan  dan  sama dengan nilai-nilai pribadi.
C. KOMUNITAS SANT’EGIDIO
1. Sejarah Komunitas Sant’Egidio
Komunitas  Sant’Egidio  dimulai  di  Roma  pada  tanggal  7  Februari 1968  dari  inisiatif  seorang  remaja  bernama  Andrea  Riccardi  yang  pada
waktu itu usianya kurang dari 20 tahun. Beliau mengumpulkan anak-anak dari murid sekolah menengah pertama seperti dirinya untuk mendengarkan
dan  menerapkan  Injil  ke  dalam  kehidupan  sehari-hari.  Komunitas  ini
merupakan  komunitas  Kristen  pertama  yang  bertindak  seperti  rasul  dan mengacu pada kehidupan Santo Fransiskus Asisi.
Pada  awal  berdirinya  komunitas,  nama  Sant’Egidio  belum ditemukan.  Pada  tahun  1973,  komunitas  menemukan  sebuah  gereja  yaitu
gereja  Sant’Egidio  yang  sudah  lama  tidak  terpakai  kemudian  digunakan sebagai tempat untuk berdoa anggota komunitas. Gereja ini juga memiliki
semangat  yang  sama  dengan  komunitas  sesuai  dengan  spiritualitas Sant’Egidio. Sejak saat itu, komunitas ini memakai nama Sant’Egidio.
Kelompok  kecil  ini  pada  awalnya  mengunjungi  barak-barak  yang ada  di  daerah  pinggiran  Roma,  mengunjungi  daerah  kumuh  dan  mereka
memulai  sekolah  pada  sore  hari  untuk  anak-anak  namanya  “scuola popolare” artinya sekolah rakyat, sekarang disebut “sekolah damai”.
Sejak saat itu, komunitas mulai berkembang. Sekarang Komunitas Sant’Egidio  sudah  ada  di  lebih  dari  70  negara,  di  empat  benua.  Jumlah
anggotanya  juga  mulai  bertambah  secara  konstan.  Ada  sekitar  50.000 anggota  dan  orang  di  luar  komunitas  yang  bekerja  untuk  melayani  orang
miskin  dan  berbagai  kegiatan  lainnya  yang  ada  dalam  komunitas Komunitas Sant’Egidio, 2007.
2. Komunitas Sant’Egidio di Indonesia dan Yogyakarta
Komunitas  Sant’Egidio  mulai  masuk  ke  Indonesia  diawali  oleh pertemuan  antara  Valeria  Martano  salah  seorang  anggota  komunitas
Roma  dan  sekarang  sebagai  penanggung  jawab  Komunitas  di  Asia
dengan  Maria  Felisia  yang  pada  waktu  itu  sedang  berkunjung  ke  Roma. Maria  Felisia  menceritakan  tentang  kondisi  kota  Padang  yang  kemudian
Valeria Martano mengatakan bahwa komunitas bisa di mulai di sana. Pada tahun 1990 setelah Maria Felisia kembali ke Padang, Valeria
Martano  datang  ke  Indonesia  untuk  pertama  kalinya.  Kegiatan  yang dilakukan adalah belajar berdoa dan memulai pelayanan dengan anak-anak
di Bukit Karang. Komunitas  Sant’Egidio  mulai  berada  di  Yogyakarta  karena
kunjungan  seorang  anggota  Komunitas  dari  Padang  ke  Yogyakarta.  Pada tanggal  9  Mei  2001  mereka  memulai  komunitas  di  Yogyakarta  dengan
mengadakan  doa  dan  melakukan  pelayanan  yang  diawali  dengan mengunjungi  anak-anak  jalanan  di  perempatan  Condongcatur  dan
membantu mereka untuk belajar. Saat  ini  kegiatan  rutin  Komunitas  Sant’Egidio  Yogyakarta  adalah
doa  komunitas  yang  dilakukan  setiap  hari  Selasa,  Rabu  dan  Minggu; kunjungan terhadap orang-orang kusta yang berada di perempatan Sagan;
membantu  belajar  anak-anak  asuh  yang  tinggal  di  Prayan,  PA  Sayap  Ibu, dan  pondok  asuh  di  gang  Beo,  Mrican;  Komunitas  juga  melakukan
kunjungan  terhadap  pastor-pastor  sepuh  yang  tinggal  di  Domus  Pacis Pringwulung. Selain kegiatan tersebut, Komunitas Sant’Egidio juga sering
mengikuti  kegiatan-kegiatan  seperti  dialog,  doa  damai  dan  mengadakan acara menjelang perayaan hari-hari suci yang ada di Indonesia.