57
Dengan begitu apa yang harus dilakukan sebagaimana al-Qur’an anjurkan adalah menerima dan menghargai kemajemukan budaya
dan agama, namun dalam kerangka kesatuan iman terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
27
Gejala yang demikian kemudian memunculkan gagasan megenai multikulturalisme. Gagasan ini merupakan kesadaran
baru dalam perkembangan kehidupan Negara bangsa yang berbasis multi-etnis, bangsa dan migran. Prinsip multikulturalisme
sejak awal Islam telah ada. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Yasrib yang sekarang dikenal dengan Madinah
al Munawarah. Peristiwa itu menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad SAW melalui al-Qur’an, menanamkan tali
persaudaraan dalam hati setiap muslim dan menata hati setiap manusia dari latar belakang yang berbeda-beda. Sehingga bukan
hal yang berlebihan kalau Tuhan menegaskan dalam firman- Nya al-Qur’an: “Kami tidak mengutus engkau Muhammad
kecuali sebagai rahmat bagi seluruh seantero alam” QS. 21: 27 dan Allah juga bertita kepada Muhammad: “Katakalah kepada
umat manusia, aku adalah Rasul Tuhan untuk kalian semua” QS 7: 58.
Lebih lanjut, Samsu Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang multikulturalisme. Dia
menegaskan bahwa keanekaragaman itu sendiri ada dalam tubuh Islam masyarakat Islam, di samping keanekaragaman yang terjadi
di luar Islam. Kemudian Rizal menjelaskan multikulturalisme Islam dari dua arah pembicaraan, yaitu multikulturalisme internal dan
multikulturalisme eksternal.
A. MULTIKULTURALISME INTERNAL
Pendapat yang pertama ini merupakan keanekaragama internal di kalangan umat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa
27
Mahmoud Mustafa Ayoub, “Al-Qur’an dan Pluralisme Agama”, dalam Djohan Effendi, Islam dan Pluralisme Agama Kumpulan Tulisan,
Yogyakarta: Institut DIAN Interfi dei, 2009, hlm. 7-8.
58
kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudaaan-kebudayan lainnya
kecuali kebudayaan yang paling primtif. Mislanya mutkulturalisme dalam fiqih, teoogi, tasawuf, dan mazhab.
B. MULTIKULTURALISME EKSTERNAL
Pendapat yang kedua ini menggambarkan bahwa keanekaragaman komunal keagamaan merupakan fakta yang
tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat muslim. Di masa lalu, imperium-imperium Islam, walaupun ada penisbatan
dan pembelaan Islam pada umumnya, namun selalu mencirikan multikulturalisme dalam keanekaragaman komunitas keagamaan.
Imperium besar seperti Usmani di Turki, imperium yang lebih kecil lagi seperti Ternate dan Tedore di wilayah Timur
Nusantara.
Sebagaimana pluralitas agama, multikuturalisme juga bisa memunculkan konflik sekaligus dialog dan kerjasama.
Pada tingkat praksis, multikulturalisme juga menunjukkan kemungkinan “penyesuaian budaya” atau “dialog budaya” baik
dalam pengalaman individu maupun kelompok. Dalam kasus agama Islam, hal ini banyak terjadi, misalnya bagaimana Islam
berinteraksi dan melakukan dialog dan penyesuaian dengan budaya lokal, sehingga muncul istilah sepert Islam Jawa dan
sebagainya.
KEPUSTAKAAN Abdul Mujib. 2007. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. Afif Abd al-Fatah Thabarah. 1966. Ruh al-Din al-Islami. Damaskus:
Syarif Khalil Sakr. Alex Sobur. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Ali Abdul Halim Mahmud. 2000. Pendidikan Ruhani. Jakarta: Gema Insani Press.
59
Bravmann, M. 1972. The Spiritual Background of Early Islam: Study In Ancient Arab Concept.
Leiden: E.J. Brill. Budhy Munawar-Rachman. 2001. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.
Coward, Harold. Tth. Pluralisme Tantangan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius.
Engineer, Asghar Ali. 2009. “Islam dan Pluralisme”, dalam Djohan Effendi, Islam dan Pluralisme Agama Kumpulan
Tulisan. Yogyakarta: Institut DIAN Interfidei.
Guanther Gebhart. 2000. “Toward a Global Ethic”, dalam Journal the Ecumenical Review.
No. 52, 2000. hlm. 504. Gordon W. Allport. 1981. Personality and Personal Encounter.
New York: University of Chicago Press. Harjana. Agus M. 2005. Religiusitas, Agama dan Spiritualitas.
Yogyakarta: Kanisius, hlm. 46 Hitti, Philip K. 2010. History of the Arabs. Jakarta: Serambi.
Komaruddin Hidayat. 1998. “Agama untuk Manusia”, dalam Andito ed, Atas Nama Agama Wacana Agama dalam Dialog
Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayat.
Komarudin Hidayat. 1999. Tragedi Raja Midas. Jakarta: Paramadina.
Mahmoud Mustafa Ayoub. 2009 “Al-Qur’an dan Pluralisme Agama”, dalam Djohan Effendi, Islam dan Pluralisme Agama
Kumpulan Tulisan. Yogyakarta: Institut DIAN Interfidei.
Muhammad Ghalib. 1998. Ahl Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta:Paramadina.
Nurcholish Majid, M. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Nurcholish Madjid. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Simuh. 1988. “Agama Islam” dalam Romdon dkk. Agama-agama di Dunia.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Steven Ivan. 2010. “Keteladanan dalam Pendidikan Karakter”
dalam opini Harian Jambi Ekspress. 25 Juni 2010.
60
William Liddle. R. 1999. “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia
Masa Orde Baru” dalam buku Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan, cet. II.
Sumber lain: CD Mausu’ah al Hadits al-Syarif, entri iman, islam dan ihsan.
Adian Husaini. ”Perlukah Pendidikan Berkarakter?”. Dalam:
http:www.hidayatllah.comkolomadian-husaini12301- perlukah-pendidikan-berkarakter.
61
PENDIDIKAN AGAMA PUTARAN 2
62
KEHARMONISAN DALAM HINDU
Budi Raharjo, M.A.
PENGANTAR
Setiap agama mempunyai perbedaan di dalamnya, tentu saja masing-masing menganggap jalannya yang paling baik
dan benar. Begitu pula dalam agama Hindu memiliki beberapa perbedaan sebagaimana diungkapkan dalam pertemuan pertama
Catur Marga. Namun demikian bukan berarti tidak ada jalan pemersatu. Dalam pertemuan ke dua inilah akan ditemukan
bagaimana ajaran Hindu mempersatukan perbedaan yang ada. Ajaran tersebut bukan hanya untuk kepentingan intern dalam
agama Hindu, akan tetapi juga untuk keharmonisan dengan agama lain atau dengan makhluk hidup lain.
TRI HITA KARANA
Tri hita karana adalah tiga hubungan untuk menjalin
harmonis. Pertama dengan sesama manusia, kedua harmonis dengan lingkungan dan ketiga menjalin hubungan harmonis
dengan Tuhan. Dari ajaran ini, umat Hindu menghargai adanya perbedaan satu dengan yang lain. Umat Hindu senantiasa
berupaya menjalin hubungan yang harmonis dengan tiga hal di atas. Jangankan kepada sesama orang sekalipun berbeda
keyakinan, pada makhluk yang lebih rendah pun seperti binatang dan tumbuhan umat Hindu tetap berupaya menjalin hubungan
yang harmonis.
1. Harmonis dengan sesama manusia