53
Majusi, Hindu, Buddha, Konghucu, dan bisa juga Sinto.
24
Pembahasan Rasyid Ridha mengenai hal ini dapat diikuti dalam kitab tafsirnya al-Manar.
2. PLURALITAS AGAMA DALAM ISLAM
Dalam konteks pluralitas agama, beberapa tahun terakhir ini menjadi perbincangan yang hangat di berbagai kalangan,
tidak saja di Indonesia, tetapi juga dalam Konferensi Tingat Tinggi KTT Organisasi Konferensi Islam se-Dunia, sekitar
tanggal 13-14 Maret 2008.
Soal pluralitas agama ini menjadi ‘sosok’ yang menggelisahkan, bahkan menakutkan, terutama bagi sebagian individu dan
kelompok masyarakat Muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Kegelisahan dan ketakutan tesebut bukan disebabkan oleh sosok
pluralitas agama itu sendiri, yang seakan-akan menakutkan karena itu pantas untuk ditakuti, dihindari, tetapi lebih disebabkan oleh
kesalahpahaman, karena tidak ada komunikasi yang terbuka dan dialogis di antara individu atau kelompok yang berbeda
pandangan dan sikap terhadap pluralitas agama. Yang lebih memprihatinkan lagi, kesalahpahaman tersebut terjadi karena
salah satunya adalah faktor politis.
Selain itu juga karena individu atau kelompok yang gelisah dan takut tersebut membiarkan diri, pikiran dan hati mereka
berada dalam dunia pemikiran dan pengalaman yang sempit, tertutup dalam memaknai ajaran dan konsep-konsep keagamaan
dari agama yang dianut, serta menjalankan menjalankan apa makna hidup beragama bagi mereka dalam konteks masyarakat
yang plural, seperti di Negara Republik Indonesia.
Padahal pluralitas merupakan sebuah keniscayaan conditio sine qua non
dalam kehidupan di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Pluralitas tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa bahwa masyarakat kita majemuk,
24
Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama…, hlm. 52.
54
beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan perpecahan, bukan pluralitas.
Pluralitas juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisme.
Pluralitas harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralitas juga merupakan
suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara
sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada
umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan golongan lain, maka pastilah bumi hancur, namun
Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” QS. Al-Baqarah: 251.
25
Sehingga Pluralitas dapat diartikan sebagai suatu pandangan positif terhadap keragaman, disertai dengan
25
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Para- madina, 2001, hlm.31.
55
usaha yang sungguh-sungguh untuk mengelola keragaman itu secara damai dan berkeadilan.
Dikuatkan lagi dengan hadist Nabi, Ikhtilafu ummati Rahmatun
perbedaan yang terjadi pada umatku adalah rahmat. Perbedaan adalah fitrah, bahwa perbedaan pemikiran, sudut
pandang, bahkan keyakinan yang ada merupakan satu rahmat yang perlu dikelola dan diatur, sehingga tidak memunculkan
perpecahan dan konflik.
Dalam konteks keindonesiaan pluralisme adalah sebuah kenyataan, bahwa Indonesia terdiri dari banyak pulau yang
dipersatukan di bawah NKRI, juga memiliki keragaman warna kulit, bahasa, etnis, agama dan budaya. Tentu saja
akan memunculkan persoalan, jika tidak mampu memandang, memahami dan mengelolah keragaman dengan bijak.
Founding father menyadari keragaman Indonesia, maka
pertanyaan yang penting kala mendirikan negara ini adalah atas dasar apakah kiranya segala keanekaragaman itu dapat
dipersatukan? Atas dasar kebangsaan atau agama. Dengan begitu atas dasar kebangsaanlah keanekaragaman bangsa Indonesia
dapat dipersatukan, yaitu dengan dasar Panasila.
Dengan begitu maka pluralitas bisa dijadikan modal sosial yang strategis oleh masyarakat dalam membangun kerjasama
kemanusiaan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang ada dalam setiap agama, seperti prinsip kejujuran, keadilan,
musyawarah, persamaan, solidaritas, kemitraan, toleransi, da kemanusiaan. Dengan syarat kerjasama tersebut hendaknya
menyentuh persoalan-persoalan riil yang terjadi di masyarakat, misalnya persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, bencana
alam dan sebagainya.
3. MULTIKULTURALISME: MEMELIHARA KERAGAMAN BERAGAMA