1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Isu atau persoalan wanita selalu menarik untuk diminati, bahkan dewasa ini semakin banyak ilmuwan atau peneliti lebih memfokuskan diri pada
pengkajian wanita secara khusus. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kompleksitas permasalahan yang berhubungan dengan wanita itu sendiri dimana selama ini
belum ada kesepakatan mengenai “Bagaimana sesungguhnya eksistensi wanita itu ditempatkan”.
Namun terlepas dari kontroversi yang ada, dewasa ini di Indonesia, upaya peningkatan peran dan kedudukan wanita terus berlanjut. Salah satu upaya
perhatian negara terhadap wanita adalah dimuatnya, hal ini dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN 1999 dengan visi pembangunan pemberdayaan
perempuan adalah kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
melalui kebijakan-kebijakannya masih menganggap perlu memaknai peran dan posisi wanita dalam pembangunan. Supardjo Rustam 1993 dalam bukunya
“Wanita, martabat dan pembangunan” mengatakan bahwa Indonesia masih jauh dari status “Mitra Sejajar” secara utuh, sehingga masih dibutuhkan pengakuan
yang lebih berarti dalam pembangunan. Mengikuti alur sejarah, sejak abad ke-7 sampai abad ke-19 kita mengenal
kepemimpinan wanita dipentas kekuasaan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Kepemimpinan para wanita itu bisa dikategorisasikan sebagai kepemimpinan
Universitas Sumatera Utara
2 tradisional, karena pada umumnya mereka berkuasa berdasarkan jenjang
keturunan dari keluarga elit tradisional. Keadaan ini berubah ketika barat yang bersifat modern mulai memperkenalkan dan mendorong munculnya kelompok
baru yang disebut kaum elit modern Robert Van Niel, 1960 : 98. Mereka memiliki cakrawala pandang yang lebih luas dan memahami dimensi
permasalahan dengan lebih mendalam dengan ide-ide luar biasa yang mereka pelajari seperti : liberalisme, nasionalisme dan hak azasi manusia.
Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan struktur peranan wanita Indonesia, ide atau pemikiran dari barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan
dan disebarluaskan pendidikan cara barat dalam kaitannya dengan politik etika yang dijalankan oleh kaum wanita pemerintah Hindia Belanda. Walaupun
jumlahnya masih terbatas, mulai ada yang berkesempatan menikmati pendidikan barat itu. Oleh karena itu, muncullah orang-orang yang sadar akan diri pribadi dan
statusnya. Kesadaran merekapun tumbuh bahwa mereka hidup dibawah kaum penjajah dengan praktek-praktek kolonialnya seperti : R.A. Kartini, Dewi Sartika,
Rohana Kudus, Rahmah El Yunussiyah, Nyonya Ahmad Dahlan dan Hajjah Rasuna Said merupakan nama-nama tokoh wanita dari kalangan kaum elit modern
Indonesia dari pendidikan dan pengetahuan yang mereka peroleh. Mereka menyadari akan keadaan kaumnya, oleh karena itu dengan berbagai cara mereka
berusaha untuk menyadarkan kaum wanita akan kedudukan dan perannya dalam masyarakat.
Memasuki abad ke-21, peranan wanita semakin meningkat. Saat ini, kita dapat melihat kiprah kepemimpinan wanita dalam berbagai peran dan posisi
strategis dalam kehidupan masyarakat. Kiprah kepemimpinan wanita tersebut
Universitas Sumatera Utara
3 menunjukkan bahwa wanita Indonesia memang merupakan sumber daya yang
potensial apabila kualitasnya ditingkatkan dan diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wanita Indonesia ternyata bisa memperoleh kedudukan, wewenang dan
kekuasaan tertinggi. Hal ini bertentangan dengan gambaran umum yang ada didalam masyarakat Indonesia, dimana kaum wanita dibedakan dengan kaum laki-
laki dimana kaum wanita mempunyai kedudukan yang rendah dan hidup terkekang. Namun, pada kenyataannya terdapat banyak bukti bahwa kaum wanita
telah memegang jabatan pimpinan dan juga berperan aktif dalam berbagai bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan militer. Dengan kesadaran dan pengetahuan
baru yang diperolehnya, wanita tidak hanya bisa menjadi ibu rumah tangga atau istri akan tetapi jiwa kepemimpinan yang ada di dalam diri setiap wanita justru
harus dikembangkan dengan cara memasuki wilayah publik. Bertumpu pada titik pandang kemanusiaan, pada dasarnya wanita dan laki-
laki sama cerdas otaknya, sama mulia budinya dan sama luhur cita-citanya. Mereka tentu sama-sama memiliki potensi kepemimpinan sebagai individu dan
sebagai makhluk sosial. Secara konstitusional tertuang dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Lebih operasional lagi
ditegaskan Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN yaitu didalam butir tentang “Peranan wanita dalam pembangunan bangsa” GBHN menggariskan, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
4 “Wanita…………., mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang
sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang. Pembinaan peranan wanita sebagai mitra sejajar pria ditunjukkan untuk meningkatkan
peran aktif dalam kegiatan pembangunan…………”
Dijelaskan bahwa wanita, baik warga negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria
dalam pembangunan disegala bidang. Wanita diakui sebagai mitra sejajar pria. Meskipun saat ini masih banyak terjadi perlakuan diskriminasi terhadap
wanita, namun belakangan ini jumlah wanita yang menduduki posisi strategis semakin bertambah. Persoalannya, perkembangan posisi dan peran politik wanita
sangat lamban dan posisi mereka dilembaga politik dan pemerintahan terlihat sekali kurang proporsional. Hal ini dapat dilihat pada lembaga legislatif
DPR-RI, persentase keterwakilan wanita kurang dari 9 persen dari 500 anggota Pemilu 1999, dan tidak ada seorang pun saat ini yang menjadi ketua komisi dari
9 komisi yang ada 2003. Kondisi di eksekutif pemerintahantidak lebih baik dibanding dengan
parlemen. Pada tahun 2000, dari 376 pejabat struktural eselon I mulai dari kantor Menko, Menteri Negara, Departemen dan LPND, hanya terdapat 31 orang pejabat
perempuan 9,8. Dilingkungan kantor kepresidenan Setneg, Setkab, Setmil, Setwalpres tidak seorangpun ada pejabat eselon I perempuan, begitu pula
disejumlah kementrian termasuk Deplu, Depkeh HAM, Depkeu, Dephan, Depesom, Deptan, Dephut, Deplaut perikanan, Dephub, Depdiknas, Depag,
Depnaketrans, menpan, Dep.Butpat, BUMN dan KTI.
Universitas Sumatera Utara
5 Sebagai contoh : dari 38 orang menteri yang berjenis kelamin wanita yaitu :
Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Wanita.
Dibidang yudikatif tidak berbeda, kecuali di MA terdapat 6 Hakim Agung dari 46 13, di Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI tidak ada pejabat eselon I
wanita. Gambaran yang sama terjadi ditingkat daerah baik pejabat politis GubernurWakil Gubernur, BupatiWalikota dan Wakil BupatiWalikota sangat
kecil persentase wanita, begitu pula dengan anggota DPRD, pejabat struktural lain seperti Sekda, Kanwil, Ka.Dinas dan sebagainya.
Data lain menunjukkan pada tahun 1999 jumlah PNS wanita adalah 36,9, laki-laki sebesar 63,1 dari jumlah seluruh PNS 4.005.861 dan dari
jumlah tersebut hanya 15,2 PNS wanita yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,8. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit
perubahan dimana jumlah PNS wanita adalah 37,6, laki-laki sebesar 62,4 dari jumlah seluruh PNS 3.927.146 dan dari jumlah tersebut hanya 15,7 yang
menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3 Statistik dan Gender Indikator, BPS : 2000.
Menyikapi hal di atas, selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa kuatnya kultur patriarkhi di Indonesia menyebabkan peranan kepemimpinan
wanita di Indonesia terbatas. Masih banyak wanita yang belum berani mengambil kesempatan-kesempatan yang tersedia baginya, terlebih lagi untuk merebut
kesempatan. Tentu saja, hal tersebut akan menghambat cita-cita sebagai wanita karir. Selain
itu, peranan kepemimpinan wanita pada sektor publik dianggap masih banyak
Universitas Sumatera Utara
6 memiliki keterbatasan karena wanita dihadapkan pada situasi memainkan peran
ganda yaitu sebagai wanita karier dan sebagai istri serta ibu bagi anak-anaknya secara optimal dalam kurun waktu yang bersamaan. Seharusnya, wanita Indonesia
sudah diberi kesempatan secara bebas untuk menentukan pilihan kariernya dimana wanita sudah dipahami sebagai manusia utuh dan berperan sebagai mitra sejajar
yang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di segala bidang pembangunan. Hal ini akan mendorong wanita Indonesia untuk berproses
mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang utuh. A. Nunuk P. Murniati, 2004 : 221.
Gambaran umum tentang peranan kepemimpinan wanita pada jabatan publik dapat dilihat pada daerah Sumatera Utara, khususnya pada Kantor
Pelayanan Pajak Madya Medan. Namun pada kenyataannya, wanita yang menduduki jabatan publik dapat dihitung dengan jari karena jabatan tersebut
masih didominasi oleh laki-laki. Spesifikasi jabatan publik pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan dapat kita lihat pada tabel berikut :
Tabel 1.1. Spesifikasi Jabatan Publik Pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan
Jabatan Publik Jabatan
Wanita Orang
Laki-laki Orang
Jumlah Orang
Kepala Kantor Kasi. Kasubag Umum
Kasi. Pelayanan Kasi. Penagihan
Kasi. Pemeriksaan Kasi. Pengolahan
Data dan Informasi Waskon I
Waskon II Waskon III
Waskon IV Eselon III
Eselon IV Eselon IV
Eselon IV Eselon IV
Eselon IV Eselon IV
Eselon IV Eselon IV
Eselon IV -
- 1
- -
- -
- -
- 1
1 -
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1 1
1
Jumlah 1
9 10
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan, 2008
Universitas Sumatera Utara
7 Dari tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah pegawai yang berada dalam
jabatan struktural pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan saat ini masih didominasi oleh laki-laki, dimana jumlah laki-laki adalah 9 orang dari seluruh
ESELON III dan ESELON IV, sementara jumlah wanita hanya 1 orang yang terkonsentrasi pada jabatan ESELON IV.
Berdasarkan gambaran yang telah dikemukakan diatas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian yang berjudul “Peranan Kepemimpinan Wanita
dalam Jabatan Publik Studi Pada Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan” yang akan mengkaji kiprah kepemimpinan wanita khususnya pada
Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan.
I.2. Perumusan Masalah