Peranan Pembangunan Ekonomi Sektoral dalam Pembangunan

1 1 12 1 1 z z z p R p E − + = ……………………………………………. 11 Dimana p1z = L1L dan R12z adalah the equito ratio, dan keduanya didefinisikan pada Z, titik output agregat yang maksimum. Selanjutnya berdasarkan gambar dan model matematik di atas, Richardson 1972 menyimpulkan bahwa: 1 bidang transformasi diantara efisiensi dan pemerataan dapat diperoleh jika fungsi produksi wilayah dapat diketahui, 2 biaya dari efisiensi lebih besar, disparitas antar wilayah dalam pendapatan per kapita lebih lebar pada titik efisiensi, 3 biaya efisiensi lebih rendah pada kondisi fungsi produksi Cobb-Douglas dimana substitusi antar factor produksi memungkinkan daripada pada kondisi fungsi produski pada koefisien yang tetap, dan 4 Jika fungsi produksi Cobb-Douglas lebih reaistis daripada koefisien yang tetap, maka redistribusi populasi lebih kuat daripada redistribusi capital sebagai suatu alat pencapaian pemertaan antar wilayah keculai pada kasus dimana p1z relative kecil dan tingkat tingkat homogenitas fungsi produksi mendekati unity.

3.3. Peranan Pembangunan Ekonomi Sektoral dalam Pembangunan

Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan Wilayah Dalam proses pembangunan ekonomi, sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan tercapai melalui perubahan struktur ekonomi. Pengalaman di banyak negara, perubahan struktur ekonomi yang membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi ditandai dengan meningkatnya kontribusi sektor industri manufaktur dan menurunnya kontribusi sektor primer pertanian dan pertambangan yang dikenal dengan tahap industrialisasi. Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan antar negara yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi. Dapat dikatakan bahwa progres teknologi dan inovasi adalah dua faktor penting yang mengubah struktur ekonomi suatu negara dari sisi penawaran agregat produksi, sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur ekonomi dari sisi permintaan agregat Tambunan, 2001. Menurut Tambunan 2002, kalau saja mekanisme pasar seperti tertulis dalam text book ekonomi berfungsi baik, sebenarnya tidak perlu ada strategi industrialisasi. Namun demikian, kegagalan pasar market failure telah menimbulkan masalah distorsi pasar, antara lain disebabkan oleh incomplete market , struktur monopoli dan excessive intervention dari pemerintah. Distorsi ini menjadikan mekanisme pasar ala laissez-faire tidak berfungsi. Dengan kata lain, bagi suatu negara berkembang, rencana strategi industrialisasi masih tetap diperlukan. Sementara menurut pendapat Chenery 1992, meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antar negara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor dan kesempatan kerja. Terdapat tiga pilihan dalam mengimplementasikan strategi industrialisasi untuk membangun ekonomi. Pertama adalah strategi industrialisasi Substitusi Impor SI yang berorientasi ke dalam inward looking yaitu menekankan pada pengembangan industri yang berorientasi ke pasar domestik. Dalam strategi ini, industri tersebut diarahkan untuk menghasilkan produk yang dapat menggantikan impor. Kedua adalah strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor export-led industrialization yang berorientasi ke luar outward looking. Strategi industrialisasi ini biasa juga disebut dengan strategi promosi ekspor PE. Ketiga adalah strategi industrialisasi dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang disebut dengan Agricultural Development Led-Industrialisation ADLI. Alasan utama penerapan strategi industrialisasi SI adalah untuk mencukupi kebutuhan domestik dalam jangka panjang dan menghemat devisa dengan mensubstitusi barang-barang impor dengan produksi dalam negeri. Oleh karena itu kebijakan yang dilakukan dalam mengimplentasikan strategi SI adalah dengan melakukan proteksi terhadap industri yang menghasilkan produk substitusi impor infant-industry argument melalui melalui fasilitas bea masuk terhadap barang- barang modal dan bahan mentah. Dengan kebijakan tersebut, industri yang berkembang adalah industri yang menengah dan besar serta padat modal karena terjadi distorsi dalam harga relatif faktor produksi modal terhadap tenaga kerja. Fasilitas bea masuk impor barang modal dan bahan mentah menyebabkan harga relatif faktor modal lebih murah dibandingkan harga relatif tenaga kerja. Sementara industrii kecil dan rumahtangga yang banyak terdapat di pedesaan tidak akan dapat bersaing di pasar. Fasilitas subsidi dan proteksi lebih banyak dinikmati pemilik modal, sementara buruh sebagai faktor produksi utama pada industri-industri kecil di pedesaan tidak banyak memperoleh manfaat dan memunculkan kesenjangan antara industri besar dan menengah dengan industri kecil di pedesaan. Dapat disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi melalui industrialisasi berbasis SI pada dasarnya lebih berorientasi terhadap pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan. Seperti yang dikemukakan oleh Gillis et al. 1987 dan Todaro 2000 bahwa strategi industrialisasi SI pada hakikatnya merupakan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal yang dipandang sebagai pencipta surplus. Dengan demikian, berdasarkan pengalaman banyak LDCs atau negara berkembang termasuk pengalaman Indonesia 1970-1985, strategi industrialisasi SI dipandang telah gagal sebagai pendekatan pembangunan ekonomi. Penyebab kegagalan strategi industrialisasi SI dikemukakan oleh Tambunan 1996 dan Tambunan 2001. Pertama, dampak proteksi dan subsidi industri manufaktur pada sektor pertanian dan pedesaan. Pelaksanaan industrialisasi SI cenderung bias terhadap sektor manufaktur dan kurang menguntungkan sektor pertanian sehingga mengakibatkan underinvestment dan double squeeze di sektor pertanian. Akibatnya, terjadi penurunan pendapatan riil petani sehingga daya beli petani menurun dan pengembangan pasar domestik mengalami keterlambatan. Kedua, dampak pada sektor industri. Dalam strategi industrialisasi SI, sektor industri dilindungi dari kompetisi dengan perusahaan yang memproduksi barang sejenis dari luar negeri melalui berbagai kebijakan tarif dan suubsidi. Proteksi ini telah membuat jajaran industri menjadi tidak efisien dan praktis menjadi high cost industry . Ketiga, dalam hal transfer teknologi, strategi indus trialisasi SI juga tidak berjalan karena industri yang ada hanya industri assembling yang berbahan baku impor atau industri yang bersifat footloose industry. Oleh karena itu penerapan strategi ini berdampak negatif terhadap neraca pembayaran serta mempunyai keterkaitan ke belakang backward linkage yang lemah. Setelah melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi industrialisasi SI, maka badan-badan dunia seperti IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar menerapkan strategi industrialisasi PE. Strategi industrialisasi PE ini mengacu pada teori klasik mengenai perdagangan internasional dimana pembangunan sektor industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi industrialisasi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumberdaya ekonomi yang ada mengikuti pola dari keunggulan komparatif. Orientasi keluar yang merupakan dasar dari industrialisasi PE, menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia melalui promosi perdagangan. Keberhasilan strategi industrialisasi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong. Saran berdasarkan studi Lall 1980, agar jejak keberhasilan di negara-negara tersebut dapat diikuti adalah: 1 pasar harus menciptakan signal harga yang benar, sepenuhnya merefleksikan kelangkaan barang yang bersangkutan, baik di pasar input maupun di pasar output, 2 tingkat proteksi dari impor harus rendah, 3 nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan, dan 4 lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan ekspor. Namun demikian dalam prakteknya, banyak negara menerapkan strategi industrialisasi PE dengan menghilangkan beberapa rintangan terhadap ekspor. Analisis Poot et al. 1990 menunjukkan bahwa walaupun liberalisasi perdagangan ekonomi dilakukan semenjak 1983, struktur dan kebijakan proteksi industri masih tetap dilanjutkan sehingga industrialisasi PE menjadi “liberalisasi setengah hati” tanpa aplikasi sistem kompetisi yang kemudian menyebabkan faktor efisiensi menjadi terabaikan Poot et al. dalam Tambunan, 2002. Sementara menurut Gillis et al. 1987, berbagai intervensi yang dilakuka n pemerintah dalam mensukseskan strategi industrialisasi PE cenderung menyuburkan perilaku rent-seeking dan menimbulkan distorsi seperti yang ditimbulkan oleh strategi indu strialisasi SI. Disamping itu, intervensi pemerintah cenderung menyebabkan high cost economy dan hanya sedikit prospek industri yang kompetitif secara internasional. Indonesia setelah dianggap gagal dalam mengimplementasikan strategi industrialisasi SI maka kemudian proses pembangunan ekonomi dijalankan dengan menerapkan strategi industrialisasi PE mulai tahun 1986. Akan tetapi sama halnya dengan strategi industrialisasi SI, industrialisasi PE juga didasarkan pada pendekatan konsep industri hulu dan hilir dan sikap bias pemerintah yang memihak pada usaha besar kebijakan kredit, subsidi dan fasilatas eksporimpor, cenderung melahirkan industri padat modal capital intensive industries. Konsep industri hulu dan hilir ini tidak menguntungkan bagi Indonesia karena beberapa alasan: 1 BUMN besar tidak dapat jadi pelopor industrialisasi, 2 industri hilir tidak berkembang, dan 3 industri besar selalu ingin membesarkan korporasinya sendiri dengan self-sufficiency concept dan bukan out-sourcing. Disamping itu, pengalaman Indonesia, dengan strategi industrialisasi PE meskipun ekspor mengalami peningkatan, akan tetapi diikuti pula oleh peningkatan impor. Ini menunjukkan bahwa ekonomi sangat rawan terhadap external shocks, terbukti ketika Indonesia mengaami krisis ekonomi tahun 1997 Tambunan, 2002. Strategi industrialisasi baik SI maupun PE dinilai tidak berhasil sebagai pendekatan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang. Kegagalan tersebut disebabkan: 1 kedua proses industrialisasi tidak terintegrasi dengan sektor pertanian yang menjadi penghidupan sebagian besar masyarakat dan 2 kedua strategi tersebut menghasilkan ketimpangan ekonomi atau redistribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan pemilik modal. Oleh karena itu, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia dimana transformasi ekonomi dalam perspektif jangka panjang mengandung tujuan peningkatan output dan produktivitas ekonomi, serta penciptaan lapangan kerja di setiap sektor ekonomi maka dalam proses transformasi industrial, sektor pertanian seharusnya dijadikan sebagai sektor andalan. Melalui suatu proses ekstrasi dengan mengkaitkan industrialisasi pertanian dengan industri manufaktur, pertanian dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan sektor industri itu sendiri Tambunan, 2002. Memang, secara historis proses pembangunan dan industrialisasi di berbagai negara umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian melalui modernisasi institusi pedesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian, Weisdorf 2006. Pilihan ini didasarkan atas fakta bahwa pertanian merupakan lapangan usaha tertua yang pertama dikenal dalam peradaban perekonomian tradisional dan menjadi sumber penghidupan utama pada hampir seluruh bangsa- bangsa di dunia. Strategi pembangunan ekonomi yang mengedepankan sektor pertanian adalah Agricultural Development Led-Industrialisation ADLI. Strategi pembangunan pertanian ADLI ini menutupi kelemahan teori Hirschman yang menurut Tambunan 2002, teori tersebut kelemahannya terletak pada ketidakmampuan dalam menjelaskan bagaimana sebenarnya pembangunan pertanian dalam industri itu sendiri. Dalam strategi ADLI pembangunan pertanian dilakukan melalui peningkatan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi yang sejalan dengan teori pembangunan pertanian Hayami dan Ruttan yakni induce innovation. Dalam hal penurunan relatif kontribusi sektor pertanian, Stringer dan Pingali 2004 mengemukakan bahwa sejumlah ahli ekonomi pembangunan Kuznets, 1964; Mellor, 1966; Singer, 1979; Adelman, 1984; Ranis, 1984; dan Vogel, 1994 berusaha menunjukkan bahwa ketika kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian mengalami penurunan relatif dibandingkan sektor industri dan jasa, namun demikian pertumbuhannya secara absolut mengembangkan keterkaitannya yang semakin kompleks dengan sektor-sektor non pertanian. Oleh karena itu para ahli tersebut menggarisbawahi ketergantungan diantara sektor pertanian dan pembangunan industri serta potensi bagi sektor pertanian untuk menstimulasi industrialisasi. Sektor pertanian yang produktif dan hubungan kelembagaan dengan perekonomian lain menciptakan insentif permintaan rumahtangga pedesaan dan insentif suplai produk pertanian tanpa adanya peningkatan harga yang mempromosikan medernisasi. Beberapa pertimbangan lain mengenai ADLI dikemukakan oleh Adelman et al. 1989 yaitu: 1 investasi di sektor pertanian cenderung menyebabkan impor menjadi kurang intensif dan cenderung lebih intensif tenaga kerja daripada investasi di sektor non pertanian, 2 tingkat pengembalian investasi di sektor pertanian sama atau lebih tinggi daripada tingkat pengembalian di sektor industri, 3 pola pengeluaran di pedesaan menyokong barang-barang yang dihasilkan secara domestik daripada barang impor, barang-barang dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi daripada barang-barang yang dihasilkan dengan intensif kapital serta barang-barang yang mengandalkan input domestik daripada input yang diimpor, serta 4 dengan bauran kebijakan yang benar, ADLI menjanjikan pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih besar, pemerataan dan pengurangan kemiskinan. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa strategi industrialisasi ADLI merupakan program investasi publik untuk mendorong kurva suplai produk pertanian menjadi lebih elastis. Permintaan dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sehingga sektor pertanian menjadi pasar yang efektif untuk produk-produk sektor industri melalui keterkaitan permintaan barang-barang antara intermedite demand dan permintaan akhir final demand. Proses pembangunan industri melalui strategi ADLI bukan hanya merupakan proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasan kesempatan kerja, namun juga merupakan program industrialisasi yang dapat mendukung program ketahanan pangan dan dan pemerataan pendapatan. Industrialisasi dengan strategi ADLI mendukung pengembangan sektor industri berbasis pertanian atau agroindustri Daryanto, 2000. Dalam strategi pembangunan industrialisasi yang berbasiskan sektor pertanian maka menurut Tambunan dan Priyanto 2005 sektor pertanian harus dimodernisasi yang sifatnya menciptakan sistem yang lebih fleksibel agar dapat menciptakan kekuatan ekonomi pertanian yang kuat dan dapat menyesuaikan terhadap pola perubahan struktural yang terjadi. Sementara menurut Suryana 2006 menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Oleh karena itu, dewasa ini pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun pendekatan kewilayahan, menempatkan kembali sektor pertanian sebagai sektor prioritas pembangunan ekonomi. Menurut Sjafrizal 2008, pendekatan kewilayahan berupaya meningkatkan utilisasi sumberdaya lokal melalui kawasan andalan dan komoditi unggulan; sementara pendekatan sektoral dapat disebut sebagai pendekatan klasik karena menempatkan sumber pertumbuhan pada beberapa sektor tertentu. Pembangunan daerah yang menggunakan pendekatan kewilayahan yaitu pembangunan perkotaan atau perdesaan. Dalam pendekatan ini, kawasan andalan dapat dipicu pertumbuhannya dan kemudian dapat mendorong pertumbuhan hinterlandnya sebagai wilayah pengaruhnya sehingga pembangunan daerah dapat mendorong kemajuan seluruh sektor dan wilayah. Sedangkan pendekatan sektoral untuk memacu pertumbuhan beberapa sektor yang potensial melalui berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah termasuk rangsangan untuk percepatan perkembangannya. Pendekatan sektoral memberikan kemudahan bagi perkembangan badan usaha seperti perkebunan dan juga memfasilitasi perkembangan kegiatan ekonomi rakyat yang bersifat mandiri atau terintegrasi sebagai plasma. Untuk mengatasi kemungkinan ketimpangan sekaligus untuk keadilan karena hambatan aksesibilitas suatu wilayah terhadap pusat pengembangan maka pemerintah membangun prasarana dan sarana dasar untuk melayani kebutuhan penduduk sekaligus menjadi daya tarik bagi kegiatan investasi. Membangun sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan ekonomi di negara berkembang, tidak hanya karena alasan pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, penyediaan pangan dan penyediaan kesempatan kerja, akan tetapi juga pembangunan sektor pertanian adalah dalam upaya pemerataan hasil pembangunan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah. Membangun pertanian, berarti membanguan perdesaan dan membangun wilayah yang kurang maju dimana sebagian besar penduduk di Indonesia berada di perdesaan dan sebagian besar dari penduduk perdesaan bekerja di sektor pertanian dan pada umumnya mereka termasuk kategori golongan penduduk miskin. Hal senada mengenai pentingnya peranan sektor pertanian dalam membangun perekonomian dikemukakan oleh Stringer dan Pingali 2004 berdasarkan studi-studi para ahli ekonomi pembanguan secara umum dan para ahli ekonomi pertanian. Dikemukakan bahwa kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilihat dampak investasi di sektor pertanian. Investasi di sektor pertanian lebih dari sekedar meningkatkan produksi. Dengan kebijakan dan insentif yang sesuai, investasi di sektor pertanian meningkatkan keamanan pangan, tingkat kemiskinan di pedesaan dan perkotaan menjadi lebih rendah, mengurangi kesenjangan atau ketidakmerataan serta mempertinggi hasil yang ramah lingkungan. Ahli ekonomi pembangunan secara umum dan ahli ekonomi pertanian khususnya telah lama fokus pada bagaimana pertanian dapat sangat berperan terhadap pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Mengenai hal tersebut juga dikemukakan Stringer dan Pingali 2004 secara detail berdasarkan temuan banyak analis terdahulu Rodan, 1943; Lewis, 1954; Hirschman, 1958; Fei dan Ranis, 1964 dimana mereka menggarisbawahi sektor pertanian karena sumberdayanya yang melimpah dan kemampuannya untuk mentransfer surplus bagi sektor industri penting. Peranan sektor pertanian primer dalam transformasi suatu perekonomian yang sedang berkembang dipandang sebagai jembatan untuk strategi pokok dalam mempercepat langkah industrialisasi. Pendekatan konvensional ini terhadap peranan sektor pertanian dalam pembangunan menekankan pada pentingnya sektor pertanian dalam mediasi keterkaitan pasar yakni: 1 menyediakan tenaga kerja bagi sektor industri melalui urbanisasi, 2 menghasilkan bahan makanan bagi penduduk yang terus meningkat jumlahnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, 3 suplai tabungan bagi investasi di sektor industri, 4 memperluas pasar bagi output sektor industri, 5 menyediakan pendapatan ekspor untuk membayar barang-barang kapital yang diimpor, dan 6 memproduksi bahan baku primer bagi industri pengolahan hasil pertanian Johnston dan Mellor 1961; Ranis, 1984. Dari sisi pendekatan wilayah, pentingnya membangun sektor pertanian dalam upaya mengurangi kesenjangan antar wilayah tergambar dari konsep pengembangan kawasan yang dikemukakan oleh Rondinelli 1985 yang mengidentifikasikan setidaknya tiga konsep pengembangan kawasan dalam upaya meningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, yakni: 1 konsep kutub pertumbuhan growth pole, 2 integrasi keterpaduan fungsional spasial, dan 3 pendekatan “Decentralized territorial”. Konsep growth pole yang mula-mula dikemukakan oleh Perroux 1955 sangat menekankan investasi masih pada industri industri padat modal di pusat pusat urban utama. Dengan berkembangnya kutub pertumbuhan ini, pemerintahan di negara-negara yang sedang berkembang berharap dapat menstimulasi dan menciptakan penyebaran pertumbuhan spread effect sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Dengan mengedepankan pengembangan kota kota besar utama diharapkan tercapai tingkat imbal balik investasi return of investment pembangunan vang sangat tinggi, mendukung pelayanan komersial, administrasi dan infrastruktur yang dibutuhkan industri- ndustri untuk bekerja secara efisien. Dengan demikian kutub pertumbuhan tidak lain berperan seperti mesin pembangunan atau engine of development Perroux dalam Sjafrizal, 2008. Namun dalam perkembangannya, secara umum, hasil pengalaman di negara negara yang sedang berkembang, kebijakan growth pole pada umumnya gagal menjadi pendorong utama prime mover pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Proses penetesan trickle down dan penyebaran spread effect yang ditimbulkan umumnya tidak cukup kuat untuk menggerakan perekonomian wilayah. Bahkan seningkali kutub kutub pertumbuhan hanya berkembang ibarat enclave dari sektor ekonomi modern yang telah “menguras”, menyerap dan mengalirkan bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat bakat entrepreneur dari perdesaan di sekelilingnya. Seperti yang diungkapkan Hansen 1982, bahwa proses penetesan dari modemisasi gagal menyentuh kelompok masyarakat miskin, terutama yang di perdesaan. Pandangan pandangan optimis yang memandang pertumbuhan ekonomi pada akhimya akan meningkatkan pendapatan per kapita secara regional, pada umumnya tidak didukung fakta fakta empirik. Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Penerapan konsep Growth Pole dalam kebijakan pembangunan ekonomi di era Orde Baru menyebabkan tingkat ketimpangan di masa tersebut mengalami peningkatan baik kesenjangan antar golongan masyarakat maupun kesenjangan antar wilayah Tambunan, 2006. Berkembangnya kota sebagai pusat pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah trickle down effect, tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya backwash effect . Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan growth poles yang semula. meramalkan bakal terjadinya penetesan tricle down effect dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata neteffect-nya malah menimbulkan pengurasan besar masive backwash effect. Dengan perkataan lain dalam ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar besaran. Proses interaksi antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan ke depan harus dalam konteks pembangunan inter regional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang seimbang dan proporsional antara keduanya. Di wilayah perdesaan harus dibangun strategi pengembangan yang sesuai dengan kondisi perdesaan, dengan kemampuan tingkat pelayanan infrastruktur, pendidikan, sosial, kesehatan, dan lain lain yang setara, sehingga mampu menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai tambah yang dinikmati oleh pelaku lokal. Konsep Integrasi Fungsional Spasial adalah pendekatan dengan mengembangakan sistem pusat pusat pertumbuhan dengan berbakai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu. Sistem seperti ini diharapkan dapat lebih mampu memfasilitasi dan memberikan pelayanan regional yang jauh lebih luas. Diyakini pula, bahwa untuk pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang, stimulan dari pengembangan regional harus dimulai dari pendekatan pertanian dibandingkan pengembangan industri. Berkaitan dengan pendekatan sektoral, Murty 2000 mendefinisikan kesenjangan wilayah sebagai pertumbuhan yang tidak sama pada sektor-sektor primer, sekunder dan tersier dan atau sosial yang berada dalam suatu negara, provinsi atau kabupatenkota. Di setiap negara apakah negara maju developed atau terbelakang underdeveloped, pertanian atau industri, besar atau kecil, masing-masing memiliki wilayah-wilayah yang memiliki tingkat ekonomi lemah dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, pengembangan infrastruktur, sosial pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain. Dengan demikian, membangun perekonomian suatu wilayah pada dasarnya adalah mengembangkan aktivitas-aktivitas ekonomi yang berada dalam suatu wilayah. Perkembangan suatu sektor tidak dapat terlepas dari peran antar sektor yang saling mendukung. Seperti peran sektor pertanian, pertambangan sebagai bahan baku maupun intermediate goods bagi sektor industri manufaktur, juga peran sektor perdagangan dalam memasarkan hasil-hasil industri manufaktur tersebut, dan juga berbagai sektor lainnya. Oleh karena itu menurut doktrin unbalanced growth school yang dikemukakan oleh Hirscman 1958 bahwa untuk dapat mengembangkan suatu wilayah terbelakang, maka suatu investasi yang besar harus diarahkan pada suatu sektor tertentu yang mampu membangkitkan keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya atau sektor yang mempunyai kedalaman backward dan forward linkages . Sektor demikian kemudian dikenal dengan sebutan leading sector. Hal ini agar dana yang relatif terbatas baik anggaran pemerintah maupun sumberdaya swasta dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam mengembangkan perekonomian wilayah. Dengan demikian wilayah yang belum maju dapat mengejar ketertinggalan dari wilayah lainnya sedemikian sehingga mampu memperkecil disparitas wilayah yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan perekonomian makro. Dalam hal ini beberapa ahli ekonomi Kuznets, 1964; Mellor, 1966; Ghatak dan Ingersent, 1984; Basu, 1984; dan Norton, 2004 mengemukakan bahwa sektor pertanian merupakan leading sector untuk negara-negara dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah low in-income country atau juga biasa disebut less developed countries LDCs yang akan meningkatkan kemampuan negara-negara tersebut dalam memecahkan kemiskinan sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan dan pada akhirnya membangun perekonomian secara keseluruhan. Menurut Kuznets 1964 pembangunan pertanian di LDCs atau di wilayah- wilayah yang belum maju dapat dapat menjadi leading sektor karena sektor pertanian tersebut mempunyai potensi menciptakan empat tipe kontribusi terhadap pembanguan dan pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan yaitu: 1 product contribution, 2 market contribution 3 factor contribution, dan 4 foreign exchange contribution . Dalam Tambunan 2001 dijelaskan kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi menurut Kuznets tersebut. Kontribusi produk product contribution menggambarkan bahwa ekspansi sektor-sektor ekonomi lain sangat tergantung pada produk-produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk suatu kelangsungan pertumbuhan suplai makanan mengikuti pertumbuhan penduduk, melainkan juga untuk penyediaan bahan baku yang digunakan oleh sektor industri manufaktur, seperti industri tekstil, industri barang-barang dari kulit dan industri makanan dan minuman. Sementara sektor pertanian dinilai dapat memberikan kontribusi pasar market contribution karena bias agraris yang sangat kuat dari ekonomi selama tahap awal proses pembangunan ekonomi, populasi di sektor pertanian perdesaan membentuk suatu proporsi yang sangat besar dalam pasar domestik untuk produk-produk dari industri dalam negeri, termasuk pasar untuk barang-barang produsen maupun barang-barang konsumsi. Sektor pertanian mampu memberi konstribusi faktor-faktor produksi factor contribution karena pentingnya sektor pertanian secara relatif menurun dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, sektor ini dilihat sebagai suatu sumber modal untuk investasi di dalam ekonomi. Jadi, pembangunan ekonomi melibatkan transfer surplus kapital dari pertanian ke sektor-sektor non pertanian. Sama seperti di dalam teori unlimited supply of labor dari Arthur Lewis, dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus tenaga kerja dari pertanian perdesaan ke sektor industri dan sektor-sektor non pertanian lainnya perkotaan, terutama dalam periode jangka panjang. Sektor pertanian juga dinilai mampu memberikan kontribusi devisa foreign exchange contribution karena sektor pertanian mampu berperan sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran sumber devisa, baik lewat ekspor hasil- hasil pertanian atau dengan ekspansi produksi dari komoditi-komoditi pertanian yang menggantikan impor substitusi impor. Hal senada dikemukakan oleh Mellor 1966 dan kemudian Norton 2004 menggambarkan peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi secara grafis pada Gambar 6. Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat pertanian dan memperluas kesempatan kerja, yang kemudian akan meningkatkan daya beli mereka baik terhadap pangan maupun produk-produk non pertanian sehingga pada gilirannya akan mengembangkan sektor non pertanian. Di pihak lain, peningkatan produktivitas pertanian menyebabkan ketersediaan produk pertanian meningkat dan sektor tersebut lebih kompetitif di pasar internasional, sehingga mampu mensubstitusi impor dan meningkatkan ekspor, serta menjamin ketersediaan bahan baku industri khususnya agroindustri yang lebih murah dan secara kontinu. Jadi perkembangan sektor non pertanian khususnya untuk agroindustri, tidak hanya karena meningkatkatnya permintaan, tetapi juga karena kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan produk yang lebih kompetitif. Dengan demikian pengembangan sektor pertanian, tidak hanya menjamin ketersediaan pangannutrisi, meningkatakan pendapatan masyarakat di wilayah kurang maju, tetapi juga mampu mengembangkan sektor- sektor perekonomian lainnya, meningkatkan ekspor dan persediaan devisa yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan memperkecil disparitas wilayah Mellor, 1966; Gathak dan Ingersent, 1984; Norton, 2004; World Bank, 2005. Dengan demikian, kemudian World Bank 2005 menempatkan sektor pertanian dalam agenda pembangunan di era millenium, yang secara eksplisit dikemukakan bahwa pertumbuhan di sektor pertanian akan berkontribusi secara langsung dalam pencapaian keempat dari Millenium Development Goals MDGs yakni: 1 mengurangi sebagian proporsi penduduk yang dengan jelas hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, 2 mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita, 3 mendukung kelestarian lingkungan, dan 4 mengembangkan kerjasama global melalui peningkatan market access. Efektifitas pembangunan pertanian dalam membangun perekonomian di LDCs atau wilayah-wilayah yang belum maju akan sangat tergatung pada tahap pembangunan yang telah dicapai oleh suatu negara atau wilayah dan tipe budaya Nutrition and other material needs in rural areas Rural household purchasing power Real Agricultural price Agricultural production in real value Non- agricultural production, income and employment Targeted food-assistance programs Consumer- demand multiplier effects Labor, capital, industrial policies and other factors Agricultural income and employment Investment Trade policy, exchange rate policy and regulatory policy Resource management programs and policies Acces to technology and markets Agricultural exports Foreign exchange and imports Nutrition and other material needs for urban areas Indicator of national economic development Gambar 6. Peranan Program Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Sumber: Norton 2004 pertanian yang terjadi. World Bank 2005, menyebutkan terdapat empat kondisi awal dalam meningkatkan prospek pertanian dalam peranannya untuk meningkatkan pertumbuhan yang pro terhadap kemiskinan yaitu: 1 pentingnya sektor pertanian bagi masyarakat miskin, 2 potensi agroklimat dalam meningkatkan produktivitas, 3 pendistribusian lahan yang lebih seimbang memungkinkan dilakukan, dan 4 pentingnya bahan makanan pokok yang tidak diperdagangkan bagi masyarakat miskin. Sementara menurut Mellor 1966 efektifitas dari sektor pertanian dalam mengembangkan perekonomian wilayah dan nasional akan sangat tergantung pada efektivitas investasi dan keterkaitan antar sektor dimana keterkaitan tersebut akan sangat tergantung pada tingkat elastisitas pendapatan dari permintaan produk pangan maupun non pangan dan elastisitas hargapermintaan produk-produk pertanian. Sementara Norton 2004 mengemukakan bahwa pengaruh yang besar dari pertumbuhan pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan muncul dari struktur pendapatan dan konsumsi di wilayah pedesaan: 1 selama masyarakat di perdesaan secara umum lebih miskin daripada masyarakat di perkotaan, ada kecenderungan untuk membelanjakan tambahan pendapatan mereka daripada ditabung lebih besar daripada di wilayah perkotaan dan 2 komposisi dari pengeluaran mereka adalah proporsi untuk pengeluaran terhadap Direct objectives of agricultural programs Indirect objectives of agricultural programs barang-barang domestik lebih banyak daripada barang-barang impor dibandingkan dengan perilaku konsumen di wilayah perkotaan. Kenyataan mendasar ini, dimana multiplier pendapatan yang tinggi telah dapat terdeteksi di banyak negara sebagai akibat dari adanya pertumbuhan pertanian dan pendapatan pedesaan.

3.4. Kerangka Analisis Penelitian