Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Rsu Dr.Pirngadi Medan

(1)

HUBUNGAN PENGGUNAAN OBAT BRONKODILATOR

TERHADAP TERJADINYA XEROSTOMIA PADA

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

DI RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: JENNIFER NIM: 110600054

Pembimbing:

Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2015

Jennifer

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RSU Dr. Pirngadi Medan.

x + 40halaman

Xerostomia merupakan sensasi subjektif mulut kering yang dapat menyebabkan berbagai masalah di rongga mulut dan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Xerostomia sering terjadi sebagai efek samping penggunaan obat dan salah satu obat yang dapat menyebabkan xerostomia adalah obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan jenis obat dan lama pemberian obat. Jenis penelitian ini adalah survei analitik pendekatan cross sectional dengan melibatkan 97 subjek (75 orang laki-laki dan 22 orang perempuan) yang merupakan pasien PPOK di RSU Dr. Pirngadi Medan. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara pada subjek, menggunakan alat bantu kuesioner. Analisa data dilakukan secara manual dan komputerisasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan pasien PPOK yang mengalami xerostomia sebanyak 63 orang (64,9%) dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 34 orang (35,1%). Persentase xerostomia berdasarkan jenis obat paling tinggi terdapat pada penggunaan kombinasi obat agonis beta 2 dan obat antikolinergik dan persentase xerostomia berdasarkan lama pemberian obat paling tinggi terdapat pada penggunaan obat selama 1-5 tahun. Hasil uji statistik jenis obat dan lama pemberian obat menggunakan Pearson chi-square menunjukkan hasil yang signifikan (p < 0,05) yaitu dengan nilai signifikansi dari jenis obat adalah p = 0,045 dan nilai signifikansi dari lama pemberian obat adalah p = 0,035. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara jenis obat


(3)

dan lama pemberian obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia. Jenis obat yang paling menyebabkan xerostomia adalah penggunaan kombinasi agonis beta 2 dan antikolinergik dan penggunaan obat yang semakin lama akan semakin meningkatkan risiko terjadinya xerostomia.


(4)

HUBUNGAN PENGGUNAAN OBAT BRONKODILATOR

TERHADAP TERJADINYA XEROSTOMIA PADA

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

DI RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: JENNIFER NIM: 110600054

Pembimbing:

Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 01 April 2015

Pembimbing: Tanda tangan

Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM ..……….. NIP. 19700915 199701 1 001


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 01 April 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM ANGGOTA : Nurdiana, drg., Sp.PM


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di RSU Dr. Pirngadi Medan” selesai disusun

sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah mendapat banyak bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Terima kasih yang tidak terhingga kepada Ayahanda Ir. Susanto Limurti, Ibunda Linda Koesuma dan Adinda tersayang Lovelyn atas doa restu, cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan selalu memberi dukungan kepada penulis.

Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Sp.Ort., Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, pengarahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

3. Nurdiana, drg., Sp.PM dan Indri Lubis, drg selaku tim penguji skripsi atas waktu yang telah diberikan dan saran yang bermanfaat buat penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.

4. Cut Nurliza, drg., M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.


(8)

5. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa pendidikan, serta staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Mulut yang telah membimbing dan memberikan arahan selama masa penyusunan skripsi.

6. Direktur Utama RSU Dr. Pirngadi Medan, Direktur SDM dan Pendidikan RSU Dr. Pirngadi Medan, Kepala Instalasi Litbang RSU Dr. Pirngadi Medan beserta staf dan Kepala SMF Poli Paru RSU Dr. Pirngadi Medan beserta staf yang telah memberikan izin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

7. Kakak Intan yang telah memberi saran dan bantuan kepada penulis. 8. Sahabat-sahabat penulis: Juliana, Imelda, Handayani, Shella, Erin, Novia, Christina, Sumery, Fenny, Ingrid, Fredysen, Alvin, Sutanto, Vandersun yang telah memberikan bantuan, motivasi dan doa kepada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ilmu Penyakit Mulut yaitu Windy, Aldrian, Karina, Fatin, Shamini, Rizqa, Kiirtana, Khaera, Victor, Cindy, dan kakak Letario serta teman-teman angkatan 2011 yang telah memberikan kehidupan baru dan menghabiskan waktu bersama dalam menggapai cita-cita serta memberikan motivasi dan semangat dalam menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi dikemudian hari. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi, khususnya Departemen Ilmu Penyakit Mulut, serta pengembangan ilmu dikalangan masyarakat.

Medan, 01 April 2015 Penulis,

(Jennifer) NIM: 110600054


(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Hipotesis Penelitian ... 4

1.5Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik ... 5

2.2 Obat Bronkodilator... 6

2.2.1 Agonis beta 2 ... 7

2.2.2 Antikolinergik ... 7

2.3 Xerostomia ... 8

2.3.1 Definisi ... 8

2.3.2 Etiologi ... 9

2.3.3 Tanda dan Gejala... 12

2.3.4 Diagnosis ... 13

2.4 Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator pada Pasien PPOK terhadap Terjadinya Xerostomia ... 17

2.5 Kerangka Teori... 19


(10)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 21

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.3 Populasi dan Sampel ... 21

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 23

3.5 Variabel Penelitian ... 23

3.5.1 Variabel Bebas ... 23

3.5.2 Variabel Terikat ... 23

3.5.3 Variabel Terkendali ... 23

3.5.4 Variabel Tak Terkendali ... 23

3.6 Definisi Operasional... 24

3.7 Sarana Penelitian ... 24

3.7.1 Alat ... 24

3.7.2 Bahan ... 24

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 25

3.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 25

3.10 Etika Penelitian ... 26

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Data Demografi Subjek Penelitian ... 27

4.2 Frekuensi Xerostomia ... 27

BAB 5 PEMBAHASAN ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Macam-macam obat agonis beta 2 ... 7 2. Kuesioner untuk mendiagnosis xerostomia ... 13 3. Distribusi dan frekuensi penggunaan obat bronkodilator terhadap pasien

PPOK berdasarkan jenis kelamin dan usia ... 27 4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang

menggunakan obat bronkodilator ... 28 5. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang

menggunakan obat bronkodilator berdasarkan jenis kelamin ... 28 6. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang

menggunakan obat bronkodilator berdasarkan usia ... 29 7. Tabulasi silang antara jenis obat bronkodilator terhadap terjadinya

xerostomia pada pasien PPOK ... 29 8. Tabulasi silang antara lama pemberian obat bronkodilator terhadap


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid ... 16 2. Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual ... 16


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Persetujuan Komisi Etik Tentang Penelitian di Bidang Kesehatan 2. Surat Selesai Penelitian dari RSU Dr. Pirngadi Medan

3. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian 4. Lembar Persetujuan Subyek Penelitian

5. Lembar Pemeriksaan Pasien 6. Kuesioner


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Xerostomia adalah keluhan subjektif kekeringan pada rongga mulut yang tidak selalu berkaitan dengan hipofungsi kelenjar saliva dan hiposalivasi (penurunan sekresi saliva).1-3 Xerostomia paling sering terjadi sebagai bentuk efek samping obat-obatan di rongga mulut. Lebih dari 500 jenis obat-obat-obatan telah dikaitkan dengan terjadinya xerostomia.2 Penelitian yang dilakukan oleh Nagler dan Hershkovich (2005) pada kelompok usia lanjut menunjukkan penurunan sekresi saliva total tanpa stimulasi sebagai akibat dari penggunaan obat-obatan.4 Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia adalah obat yang dalam mekanisme kerjanya menganggu transimisi signal di saraf efektor parasimpatis, obat yang mengganggu akitivitas saraf efektor adrenergik dan obat yang menyebabkan depresi sistem saraf pusat.2

Xerostomia dapat menyebabkan berbagai masalah di rongga mulut dan juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Fungsi pengunyahan, penelanan dan fungsi bicara akan terganggu. Xerostomia juga dapat menyebabkan mukosa menjadi kering, sensitif dan rentan terhadap trauma, infeksi kandida, inflamasi, perubahan pengecapan, sindroma mulut terbakar dan halitosis.3

Salah satu obat yang menyebabkan xerostomia adalah obat bronkodilator yang digunakan pasien penyakit paru obstruktif kronik.4 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara, yang bersifat kronik progresif dan tidak sepenuhnya reversibel.5-7 PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema.7,8 PPOK telah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia akibat semakin tingginya pajanan faktor risiko seperti kebiasaan merokok, pencemaran udara dan akibat meningkatnya usia harapan hidup.5,9-11 Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7% dan di Sumatera Utara sebesar 3,6%. Prevalensi PPOK meningkat seiring bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki.10 Saat ini PPOK menjadi penyebab


(15)

kematian kelima di seluruh dunia dan WHO memprediksi pada tahun 2020 PPOK akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia.9

Pasien yang menderita PPOK biasanya diberikan obat bronkodilator. Jenis obat bronkodilator yang umumnya diberikan adalah agonis beta 2 dan antikolinergik (antimuskarinik).7,11-13 Kedua jenis obat tersebut mempunyai efek samping sistemik seperti tremor, takikardia, hipokalemia, nausea, konstipasi, sakit kepala dan efek samping di rongga mulut.7,13,14 Salah satu efek samping yang ditimbulkan di rongga mulut yaitu xerostomia.14,15

Ryberg (1987) melakukan penelitian terhadap laju sekresi saliva total dan laju sekresi saliva kelenjar parotid pada penderita yang menggunakan agonis beta 2 dan hasil menunjukkan terjadi penurunan sekresi saliva sebesar 26% dan 36% berturut-turut pada saliva total dan saliva kelenjar parotid.16 Penelitan yang dilakukan Najafizadeh dkk (2007) terhadap penggunaan salbutamol dan formoterol (agonis beta 2) menunjukkan 36,7% terjadi efek samping xerostomia pada kedua kelompok.17 Casaburi (2000) menyatakan xerostomia (9,3%) sebagai efek samping yang sering terjadi akibat penggunaan tiotropium (antikolinergik) pada penderita PPOK.18 Beberapa kelompok percobaan klinis dilakukan terhadap penggunaan Spiriva Handihaler (antikolinergik jenis tiotropium) pada penderita PPOK dalam beberapa waktu, yaitu pada penggunaanya selama enam bulan, satu tahun dan empat tahun. Hasil percobaan klinis menunjukkan terjadinya efek samping obat di rongga mulut berupa xerostomia dengan prevalensi sebesar 16% pada penggunaan selama enam bulan dan satu tahun, sementara penggunaan selama empat tahun menunjukkan xerostomia sebesar 5,1%.19

Secara teoritis, penggunaan obat bronkodilator dapat menyebabkan xerostomia, termasuk penggunaannya pada pasien PPOK. Namun dari penelitian sebelumnya belum menjelaskan hubungan penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK dilihat dari jenis obat dan lama pemberian obat terhadap terjadinya xerostomia. Oleh karena itu, peneliti perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan obat bronkodilator terhadap xerostomia yang akan dilakukan pada pasien PPOK di RSU Dr. Pirngadi Medan.


(16)

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Masalah Umum

Apakah terdapat hubungan penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK?

1.2.2 Masalah Khusus

1. Berapakah prevalensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator?

2. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan jenis obat?

3. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan lama pemberian obat?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator.

2. Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan jenis obat.

3. Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK berdasarkan lama pemberian obat.


(17)

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara terjadinya xerostomia dengan penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK.

2. Ada hubungan antara terjadinya xerostomia dengan penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK terhadap jenis obat.

3. Ada hubungan antara terjadinya xerostomia dengan penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK terhadap lama pemberian obat.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK akan berhubungan dengan terjadinya xerostomia.

2. Menambah wawasan peneliti mengenai penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK berhubungan dengan terjadinya xerostomia.

3. Sebagai dasar penelitian lebih lanjut terhadap timbulnya xerostomia akibat obat bronkodilator pada pasien PPOK.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Menambah wawasan pasien PPOK dan tenaga kesehatan tentang terjadinya xerostomia pada pasien berhubungan dengan penggunaan obat bronkodilator.

2. Sebagai usaha dalam mengatur rencana perawatan bagi setiap gejala xerostomia yang timbul pada pasien PPOK akibat penggunaan obat bronkodilator.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik progresif yang tidak menular, ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat reversibel parsial. Penyakit PPOK berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas racun.11 Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama penyakit PPOK. Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko lainnya seperti riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang dan defisiensi antitripsin alfa-1 yang sangat jarang terjadi di Indonesia.6,11

Diagnosis PPOK ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan uji faal paru.8,12 Gejala awal PPOK berupa batuk produktif yang sebagian besar terjadi diantara perokok berusia 40-50 tahun, sementara dyspnea (sesak napas) merupakan gejala lanjutan pada usia 50-60 tahun.12 Penyakit paru obstruktif kronik terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau sering merupakan gabungan keduanya.7,8,12

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas dimana penderita mengalami batuk kronis dan produksi sputum berlebihan yang terjadi minimal selama tiga bulan dalam dua tahun berturut-turut, disertai rasa kelelahan dan rasa tidak nyaman pada penderita.8,12,20 Gejala-gejala pada bronkitis kronik seperti batuk kronik dan produktif, obstruksi jalan napas dan gangguan pertukaran gas merupakan akibat perubahan patologi struktur paru. Perubahan struktur paru yang disebabkan oleh proses inflamasi kronik tersebut berupa peningkatan ukuran epitel-epitel kelenjar, hipertrofi otot polos dan jaringan penunjang pada dinding jalan napas, serta degenerasi tulang rawan jalan napas. Perubahan bronkiolus dan gangguan pertukaran gas di alveoli menyebabkan aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli yang


(19)

tidak sesuai (mismatched), dimana sebagian tempat (alveoli) terdapat aliran darah yang adekuat, tetapi sangat sedikit aliran udara dan sebaliknya pada sebagian tempat lain. Selain itu, juga terjadi penurunan kerja otot-otot respirasi dan penyempitan jalan napas yang menimbulkan hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli, hingga akhirnya menyebabkan peningkatan karbondioksida dalam darah dan kekurangan oksigen. Sementara itu, mediator-mediator inflamasi yang didominasi oleh sel T limfosit (CD8+), makrofag dan neutrofil mengakibatkan hipertrofi kelenjar-kelenjar yang memproduksi mukus dan peningkatan jumlah sel goblet, sehingga terjadi hipersekresi mukus.20

Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan kerusakan dinding alveoli.8 Pada emfisema terjadi penurunan elastisitas alveoli dan berkurangnya permukaan pertukaran gas sehingga pernapasan menjadi susah. Merokok adalah penyebab utama selain polusi dan faktor herediter.21,22 Gejala awal emfisema berupa sesak napas dan batuk yang disertai penurunan aktivitas menjadi sangat terbatas, hingga akhirnya terjadi kerusakan alveoli yang permanen dan hilangnya kemampuan pertukaran gas oleh seluruh bagian paru. Emfisema tidak dapat disembuhkan, tetapi perubahan sikap dengan berhenti merokok dan perawatan dapat menurunkan degenerasi paru dan mengatasi simtom. 21

2.2 Obat Bronkodilator

Obat bronkodilator merupakan obat utama perawatan PPOK.13 Bronkodilator menyebabkan relaksasi otot-otot saluran pernapasan sehingga saluran bertambah lebar dan pernapasan menjadi lebih mudah.23 Bronkodilator diberikan dalam perawatan reguler untuk mendapat efek bronkodilatasi dan juga digunakan untuk meredakan gejala eksaserbasi PPOK.7,12 Jenis obat bronkodilator yang digunakan dalam merawat PPOK yaitu obat golongan agonis beta 2 dan antikolinergik.13 Obat bronkodilator dapat diberikan secara tunggal ataupun dikombinasi, sesuai dengan klasifikasi derajat berat penyakit.8 Pemilihan bentuk obat diutamakan bentuk inhalasi yaitu metered-dose inhalers (MDIs) dan dry-powder inhalers (DPIs).7,12,13


(20)

2.2.1 Agonis beta 2

Obat golongan agonis beta 2 merupakan obat yang umumnya digunakan dalam perawatan penyakit asma dan PPOK.24 Efek farmakologi utama agonis beta 2 adalah sebagai bronkodilator yaitu untuk merelaksasi otot polos pernapasan melalui stimulasi reseptor adrenergik beta 2 yang banyak terdapat pada otot polos saluran napas.15,24 Stimulasi reseptor adrenergik beta 2 pada tingkat sel akan meningkatkan siklik adenosin monofosfat intraselular (cAMP) yang berperan dalam mengatur tonus otot polos pernapasan, sehingga terjadi bronkodilatasi. Selain itu, agonis beta 2 yang juga menstimulasi reseptor adrenergik beta 2 pada presinaptik ganglia parasimpatis saluran napas, menghambat pelepasan asetilkolin yang merupakan bronkokonstriktor sehingga menyebabkan bronkodilatasi.15,24,25

Berdasarkan lama kerjanya, agonis beta 2 dibedakan menjadi agonis beta berefek singkat/SABAs (Short Acting Beta Agonists) dan agonis beta berefek panjang/LABAs (Long Acting Beta Agonists). SABAs digunakan sebagai obat pereda simtom akut (reliever) karena memiliki onset kerja yang cepat (1-5 menit) walaupun tidak bertahan lama (4-6 jam).13,15,23 LABAs mempunyai efek bronkodilator yang bertahan sekitar 12 jam hingga 24 jam sehingga lebih efektif penggunaanya dalam pengobatan reguler penyakit PPOK.23

Agonis beta 2 dapat menimbulkan efek samping tremor, takikardia, gagal jantung kronik dan efek samping di rongga mulut berupa xerostomia.26,27

Tabel 1. Macam-macam obat agonis beta 215,18

Agonis Beta 2 Macam Obat

SABAs Salbutamol (albuterol), terbutaline, pirbuterol LABAs Salmeterol, formoterol, vilanterol, indacaterol

2.2.2 Antikolinergik

Pada PPOK, antikolinergik digunakan untuk mengurangi tonus otot yang menyebabkan hambatan aliran udara dan untuk menekan sekresi mukus.28 Sistem saraf parasimpatis berperan dalam mengatur tonus otot bronkus.13 Dalam keadaan


(21)

normal, rangsangan asetilkolin pada saraf parasimpatis reseptor muskarinik paru akan menyebabkan bronkokonstriksi, yaitu pada reseptor muskarinik M1 dan M3, sementara pada reseptor muskarinik M2 memiliki efek feedback untuk membatasi pelepasan asetilkolin. Selain itu, rangsangan asetilkolin pada reseptor muskarinik M3 di kelenjar submukosa saluran napas akan menyebabkan peningkatan sekresi mukus.13,28 Antikolinergik atau antimuskarinik bronkodilator merupakan antagonis reseptor muskarinik kolinergik non selektif yang bekerja dengan menghambat asetilkolin padasaraf parasimpatis sehingga menimbulkan bronkodilatasi.28

Bronkodilator antikolinergik terdiri dari antikolinergik berefek singkat/SAMA (Short acting muscarinic antagonist) seperti ipratropium bromida dan antikolinergik berefek panjang/LAMA (Long acting muscarinic antagonist) yaitu tiotropium bromida. SAMA bersifat non selektif dan menghambat ketiga reseptor muskarinik, menyebabkan bronkodilatasi dan sedikit supresi mukus, sedangkan LAMA bersifat lebih selektif terhadap reseptor M3.29 Seperti fungsi SABA, SAMA juga digunakan untuk mengatasi simtom akut bronkospasme, sementara LAMA digunakan dalam pengobatan reguler.15 Akan tetapi, jika dibandingkan dengan agonis beta 2, antikolinergik memiliki onset kerja yang lebih lama sehingga kurang efektif digunakan sebagai obat pereda simtom (reliever).23,28 Ipratropium bromida (SAMA) bekerja dalam 15 menit dan bertahan selama 6-8 jam, sementara tiotropium (LAMA) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bekerja (20 menit), walaupun dapat bertahan selama 24 jam.23

Bronkodilator antikolinergik memiliki lebih sedikit efek samping dibanding agonis beta 2. Xerostomia dan retensi urin merupakan efek samping yang paling sering dijumpai.23 Tiotropium menyebabkan xerostomia pada 6-13% pasien.27

2.3 Xerostomia 2.3.1 Definisi

Xerostomia berasal dari kata xeros (kering) dan stoma (mulut) yang artinya mulut kering. Xerostomia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan sensasi subjektif mulut kering yang tidak selalu disertai dengan hipofungsi kelenjar saliva/


(22)

hiposalivasi.3 Dasar terjadinya xerostomia adalah perubahan kuantitatif atau kualitatif fungsi kelenjar saliva.30 Perubahan komposisi dan kualitas saliva dapat menyebabkan xerostomia, walaupun tanpa terjadi penurunan aliran saliva.3,31

Xerostomia sering ditemukan pada usia lanjut dan prevalensinya tinggi pada wanita postmenopause. Prevalensi xerostomia juga meningkat seiring pertambahan umur, dengan estimasi sekitar 30% populasi yang berumur 65 tahun ke atas menderita xerostomia. Akan tetapi, dalam keadaan sehat/tanpa masalah medis dan tanpa mengkonsumsi obat-obatan, aliran saliva dan komposisi saliva bersifat stabil dan tidak berhubungan dengan peningkatan umur.3

2.3.2 Etiologi

Xerostomia dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya akibat merokok, penggunaan obat-obatan, proses penuaan, penyakit sistemik, penyakit kelenjar saliva, efek radioterapi kepala leher dan akibat bernapas dari mulut.1-3,30,32 Selain faktor-faktor tersebut, xerostomia juga dapat terjadi akibat perubahan inervasi saraf autonom pada kelenjar saliva. Perubahan inervasi saraf yang didominasi rangsangan simpatis, seperti pada episode stres dan cemas akut mengakibatkan perubahan komposisi saliva yang menyebabkan sensasi mulut kering/xerostomia. Kondisi psikologis seperti depresi dan insomnia juga dapat menyebabkan xerostomia.3 Beberapa penyebab xerostomia dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Obat-obatan

Obat-obatan sering menyebabkan efek samping di rongga mulut berupa xerostomia. Lebih dari 500 jenis obat menyebabkan xerostomia dan dari obat yang sering diresepkan, 80% menyebabkan efek samping xerostomia. Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia diantaranya obat golongan antikolinergik, antidepresan, antihistamin, obat diuretik, obat antihipertensi, bronkodilator dan opioid.3,27

Efek samping obat-obatan terhadap terjadinya xerostomia juga dipengaruhi oleh kombinasi obat, dosis obat dan lama penggunaan obat. Semakin banyak seseorang mengkonsumsi obat-obatan (polifarmasi) atau semakin tinggi dosis obat dan semakin lama penggunaan obat, simtom mulut kering akan semakin parah.1,3


(23)

2. Penyakit kelenjar saliva

Beberapa penyakit kelenjar saliva dapat menyebabkan hiposalivasi dan xerostomia. Penyakit kelenjar saliva yang menyebabkan hiposalivasi/xerostomia diantaranya seperti parotitis, sialolithiasis, mukokel, obstruksi kelenjar saliva, adenoma dan karsinoma.1

3. Penyakit sistemik

Sejumlah besar penyakit sistemik dapat menyebabkan xerostomia, baik sebagai efek samping penyakit maupun yang secara langsung mempengaruhi kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya sekresi saliva. Beberapa penyakit sistemik yang menyebabkan xerostomia diantaranya sindrom Sjogren’s, diabetes, sarkoidosis, sistemik lupus eritematosus, infeksi HIV, hepatitis C, penyakit Graft-versus-host-disease, tuberkulosis dan penyakit ginjal kronik.1-3,30

Sindrom Sjogren’s merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan inflamasi kelenjar eksokrin, sehingga menyebabkan kekeringan permukaan mukosa, terutama pada mukosa mata dan mukosa mulut. Infiltrasi limfosit yang progresif merusak asini sekretori kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor secara perlahan, mengakibatkan hiposalivasi dan xerostomia. Selain itu, hipofungsi kelenjar juga diakibatkan adanya gangguan stimulus pada kelenjar saliva.3

Selain sindrom Sjogren’s, penyakit autoimun yaitu kronik Graft-versus-host-disease (cGVHD) juga menimbulkan manifestasi oral dan xerostomia merupakan keluhan yang paling sering ditemukan. Penyakit cGVHD menyebabkan fibrosis kelenjar saliva dan perubahan komposisi saliva (berkurangnya konsentrasi Na+ dan meningkatnya konsentrasi K+) sehingga terjadi penurunan aliran saliva. Pada tahap lanjut, penyakit cGVHD akan merusak fungsi kelenjar saliva mayor dengan menyerang reseptor muskarinik, transporter air dan ion kalsium.2,33

Keadaan xerostomia juga menjadi salah satu komplikasi oral penyakit diabetes mellitus. Sebesar 38,5% anak-anak dan 53% dewasa penderita diabetes mellitus tipe 1 mengalami xerostomia dan 14%-62% penderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami xerostomia.30 Xerostomia terjadi terutama pada penderita penyakit diabetes mellitus dengan kontrol glikemik yang buruk, dimana ini diyakini berkaitan


(24)

dengan keadaan poliuri dan dehidrasi yang dialaminya.30,33,34 Pada penderita dengan kontrol diabetes buruk, pemeriksaan laju aliran saliva stimulasi pada kelenjar parotid menunjukkan nilai terendah dibandingkan dengan kelompok diabetes terkontrol. Sekitar 24%-48% penderita diabetes mengalami pembesaran kelenjar parotid.2 Penurunan laju sekresi saliva dan perubahan komposisi saliva terjadi sebagai akibat komplikasi kronis penyakit diabetes mellitus berupa neuropati, kelainan mikrovaskular dan disfungsi endotelial yang menyebabkan gangguan mikrosirkulasi.34

4. Usia

Xerostomia sering menjadi keluhan saat usia lanjut dan diperkirakan sekitar 12-47% individu usia lanjut mengalami mulut kering.30 Proses penuaan mengakibatkan berkurangnya sekresi saliva total saat istirahat.4,27 Sekitar 70% saliva total saat istirahat berasal dari kelenjar saliva submandibular dan sublingual sehingga berkurangnya aliran saliva yang berkaitan dengan usia disebabkan berkurangnya aliran saliva kelenjar submandibula dan sublingual dan sedikit dipengaruhi oleh kelenjar parotid.27 Pemeriksaan histomorfometrik pada jaringan kelenjar saliva menunjukkan berkurangnya volume asinar, meningkatnya volume duktus, dan terjadinya penggantian sel-sel asinar oleh jaringan adiposa dan jaringan fibrotik.4

Keadaan xerostomia pada manula dapat diperparah apabila manula menderita penyakit sistemik maupun mengkonsumsi obat-obatan akibat penyakit sistemik yang dideritanya.3,4 Penggunaan obat-obatan meningkat seiring bertambahnya umur. Lebih dari 75% individu berusia 65 tahun ke atas mengkonsumsi minimal satu obat, sehingga prevalensi xerostomia akibat obat-obatan tinggi pada usia lanjut.35

5. Terapi radiasi kepala dan leher

Radioterapi kepala dan leher dapat menyebabkan komplikasi akut dan komplikasi kronis pada kelenjar saliva, menyebabkan perubahan komposisi saliva dan akhirnya menyebabkan xerostomia.3 Pada tahap awal, ionisasi kelenjar saliva mengakibatkan inflamasi dan degenerasi pada parenkim kelenjar saliva, terutama pada sel asinar serous. Pada tahap akhir, radioterapi mengakibatkan hilangnya


(25)

sel-sel asinar, perubahan duktus epitelium, fibrosis dan degenerasi jaringan adiposa kelenjar saliva.36

Kelenjar saliva yang paling radiosensitif yaitu kelenjar parotid, diikuti kelenjar submandibula, sublingual dan kelenjar saliva minor. Efek akut radioterapi pada fungsi salivasi berlangsung pada minggu pertama radioterapi. Radiasi pada minggu pertama menyebabkan penurunan saliva sebesar 50%-60% dan setelah tujuh minggu mengalami penurunan sebesar 20%.3 Fungsi salivasi terus menurun hingga beberapa bulan setelah radioterapi (1-3 bulan).3,36 Jumlah dosis, durasi dan lamanya radioterapi berhubungan dengan keparahan xerostomia.3

2.3.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala klinis xerostomia yaitu sebagai berikut: 1. Tanda

Mukosa oral terlihat kering dan eritema, dorsal lidah terlihat berlobus dan fisur, yang disertai dengan atrofi papila filiformis.32,37 Xerostomia mengakibatkan mukosa menjadi rentan terhadap trauma, kandidiasis, terjadinya sindrom mulut terbakar dan halitosis.3 Prevalensi kandidiasis dan angular cheilitis meningkat akibat menurunnya aktivitas cleansing dan antimikroba saliva.37 Penderita xerostomia juga akan rentan terhadap karies servikal, karies rekuren, erosi enamel dan penyakit periodontal.3,32,37

2. Gejala

Penderita xerostomia akan mengalami kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan serta mengalami perubahan pengecapan. Berkurangnya lubrikasi saliva saat makan, bahkan dapat menyebabkan makanan melekat dengan membran oral. Selain itu, penderita mengeluh adanya ketidaknyamanan oral dan pada yang memakai gigi tiruan, xerostomia akan menyebabkan retensi gigi tiruan yang buruk. Penderita xerostomia juga mengeluh adanya peningkatan kebutuhan untuk minum terutama pada malam hari dan ketika makan.1,32,35


(26)

2.3.3 Diagnosis

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis xerostomia, diantaranya:

1. Anamnesis dan Kuesioner

Xerostomia merupakan keluhan subjektif mulut kering, sehingga diagnosis xerostomia dapat ditegakkan dengan hanya melakukan anamnesis, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang detail tentang keluhan mulut kering yang dialami seseorang.4

Kuesioner juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis xerostomia. Pertanyaan dalam kuesioner meliputi gejala xerostomia dan perilaku dalam mengatasinya.4,38

Tabel 2. Kuesioner untuk mendiagnosis xerostomia38 1 Apakah mulut anda terasa kering saat ini?

2 Apakah saat mengkonsumsi makanan mulut anda juga terasa kering?

3 Apakah anda mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi makanan yang kering? 4 Apakah anda mengalami kesulitan saat menelan makanan?

5 Apakah mulut anda membutuhkan air minum saat menelan makanan? 6 Apakah anda mengisap permen untuk meringankan mulut kering? 7 Apakah pada malam hari anda bangun untuk minum?

8 Apakah bibir anda terasa kering? 9 Apakah kulit wajah anda terasa kering? 10 Apakah mata anda terasa kering? 11 Apakah hidung anda terasa kering?

2. Pemeriksaan klinis rongga mulut

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan tanda-tanda kekeringan mukosa seperti bibir pecah, mukosa bukal yang pucat, lidah yang licin, eritema dan disertai atrofi papila. Kandidiasis sering ditemukan dan berkontribusi menyebabkan mukosa yang sensitif. Selain itu, lakukan pemeriksaan kelenjar saliva yaitu memeriksa apakah terjadi pembesaran, perubahan tekstur dan rasa sakit, serta memeriksa kuantitas dan kualitas saliva, melihat apakah saliva yang dihasilkan bersih, encer dan banyak.39


(27)

Xerostomia juga ditandai oleh sarung tangan dan kaca mulut yang terasa lengket dengan permukaan mukosa saat dilakukan pemeriksaan.3

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan fungsi kelenjar saliva dan laju sekresi saliva dapat dilakukan secara objektif menggunakan metode sialometri.3 Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap saliva total (campuran cairan rongga mulut) maupun terhadap saliva individu, baik dalam keadaan tanpa stimulasi/istirahat atau dalam keadaan terstimulasi.27,33 Saliva total lebih banyak digunakan sebagai indikator mulut kering dan penyakit sistemik yang bersangkutan, sementara pemeriksaan saliva individu lebih bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit kelenjar saliva.27

Teknik pengumpulan saliva dalam keadaan tanpa stimulasi diantaranya dengan metode draining/drooling, metode spitting, metode swabbing dan metode suction.40 Pengumpulan saliva yang terstimulasi dapat dilakukan dengan metode mengunyah parafin ataupun dengan mengaplikasikan asam sitrat pada lidah.40 Total waktu pengumpulan saliva sekitar 5-15 menit.27 Untuk melakukan pengumpulan saliva istirahat, individu yang akan diukur salivanya, diinstruksikan untuk tidak makan, minum, merokok atau melakukan stimulasi apapun (termasuk tindakan higiene oral) selama 90 menit sebelum dilakukan pengukuran.33

a. Saliva total tanpa stimulasi

Dalam keadaan tanpa stimulasi, laju alir saliva total normalnya sekitar 0,5 ml/menit dan dikatakan hiposalivasi jika laju alir saliva total kurang dari 0,1 ml/ menit.35,39 Pengumpulan saliva total istirahat dapat dilakukan dengan metode draining, spitting, suction dan absorbent (swab).3 Pada metode draining, saliva dibiarkan mengalir dari mulut ke dalam suatu wadah, sementara metode spitting yaitu mengumpulkan saliva dalam mulut yang kemudian ditampung dalam suatu wadah/sialometer 1-2 kali setiap menit. Metode suction menggunakan saliva ejector, sementara pada metode swab caranya menggunakan cotton roll/sponge yang sebelumnya diukur beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut dan dibiarkan saliva mengalir membasahinya. Cotton roll/sponge tersebut kemudian diukur kembali beratnya dan dicari hasil selisihnya. Metode swab merupakan teknik yang efektif


(28)

untuk memperkirakan derajat salivasi pasien dengan keadaan xerostomia yang parah.27

b. Saliva total terstimulasi

Pada keadaan terstimulasi, laju alir saliva meningkat menjadi 1,5-2 ml/menit dan dikatakan hiposalivasi jika kurang dari 0,7 ml/menit.33 Pengumpulan saliva total stimulasi dapat menggunakan metode mastikasi dengan parafin wax, metode rangsangan dengan asam sitrat dan metode absorbent dengan sponge. Pada metode mastikasi, individu diberi parafin wax untuk dikunyah selama 5 menit. Setelah itu, saliva yang terakumulasi dalam mulut ditampung setiap menit dalam suatu wadah. Metode rangsangan dengan asam sitrat yaitu dengan mengaplikasikan asam sitrat pada lateral lidah setiap 30 detik selama 5 menit, kemudian saliva dikumpulkan dalam suatu wadah setiap menit. Pada metode absorbent/swab, sponge diletakkan di dalam mulut setelah sebelumnya ditimbang beratnya. Kemudian individu diinstruksi untuk mengunyah sponge tersebut. Sponge kemudian diukur kembali beratnya dan dicari hasil selisihnya.27

c. Saliva individu kelenjar parotid

Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid dapat dilakukan dengan menggunakan alat cup Carlson-Crittenden/cupLashley. Alat cupLashley terdiri dari dua chamber, dimana bagian dalam chamber diletakkan diatas orifisi duktus stensen (mukosa bukal disekitar gigi molar satu permanen), sementara bagian luar chamber dihubungkan ke suction. Dalam keadaan tanpa stimulasi, aliran saliva individu kelenjar parotid sangat rendah/hampir tidak ada, sehingga pengumpulan saliva individu kelenjar parotid biasanya dilakukan dalam keadaan terstimulasi menggunakan larutan asam sitrat 2-4%. Larutan ini diaplikasikan pada lateral border lidah menggunakan cotton swab dengan interval 30-60 detik selama 10 menit.27


(29)

Gambar 1. Pengumpulan saliva individu kelenjar parotid. A= Alat cup Lashley, B= Posisi peletakan alat diatas orifisi kelenjar parotid (duktus Stensen)27

d. Saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual

Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual juga dapat dilakukan dalam keadaan tanpa stimulasi maupun dalam keadaan terstimulasi (dengan asam sitrat 2-4%). Pengumpulan saliva biasanya dilakukan dengan menggunakan metode suction. Pada teknik ini, duktus Stensen dihambat menggunakan cup Lashley atau cotton rolls dan saliva yang terakumulasi pada dasar mulut dapat diaspirasi menggunakan syringe atau menggunakan alat suction yang diperkenalkan Wolff.27

Gambar 2. Pengumpulan saliva individu kelenjar submandibula dan sublingual. A=Metode suction menggunakan syringe, B= alat suction menurut Wolff27

A B

B


(30)

4. Metode lain

Selain metode pemeriksaan seperti penjelasan sebelumnya, untuk mengevaluasi fungsi saliva dapat juga dilakukan dengan melihat kemampuan seseorang untuk mengunyah dan menelan biskuit kering dalam keadaan tanpa air.3 Sialografi, Ultrasonografi, MRI dan CT scan digunakan untuk mendeteksi adanya keadaan patologis seperti sialolith, obstruksi/kerusakan duktus, tumor dan kista yang menyebabkan disfungsi kelenjar saliva.39

2.4 Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator pada Pasien PPOK terhadap Terjadinya Xerostomia

Dalam keadaan istirahat, kelenjar saliva minor diperkirakan memproduksi setengah bagian dari saliva di rongga mulut.33 Sementara dalam keadaan stimulasi, sekitar 90% saliva dihasilkan oleh kelenjar mayor. Kelenjar mayor terdiri dari kelenjar parotid, kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual. Struktur anatomi kelenjar saliva terdiri dari sel asinar dan sel duktus. Sel asinar membentuk hasil akhir sekretori, sedangkan sel duktus membentuk sistem cabang yang mendistribusi saliva dari sel asinar kedalam rongga mulut. Sel asini kelenjar parotid menghasilkan saliva serous, kelenjar sublingual dan kelenjar minor menghasilkan saliva mukus dan kelenjar submandibula menghasilkan saliva seromukus yang didominasi sifat mukus.1,33 Saliva serous adalah saliva yang encer, sementara saliva mukus lebih kental karena adanya kandungan musin, glikoprotein.1

Saliva terdiri dari dua komponen, yaitu komponen cairan yang mencakup ion-ion dan komponen protein. Kedua komponen tersebut disekresi secara terpisah dengan mekanisme berbeda yang berada di bawah rangsangan sistem saraf autonom. Sekresi komponen cairan diatur oleh rangsangan parasimpatis melalui reseptor muskarinik-kolinergik dan pelepasan komponen protein oleh rangsangan simpatis melalui reseptor beta adrenergik. Rangsangan saraf parasimpatis akan menghasilkan saliva dengan kandungan komponen cairan yang tinggi, tetapi dengan konsentrasi protein yang rendah, sementara rangsangan saraf simpatis menghasilkan konsentrasi


(31)

protein yang tinggi, tetapi sedikit saliva. Oleh karena itu, rangsangan simpatis menyebabkan sensasi mulut kering.33,41

Penggunaan agonis beta 2 menyebabkan perubahan komposisi saliva dan berkurangnya sekresi saliva.16 Obat bronkodilator agonis beta 2, merupakan obat simpatomimetik, yaitu obat yang bekerja pada saraf simpatis dan menyerupai kerja neurotransmitter adrenergik.26 Dengan adanya rangsangan simpatis, maka akan terangsang kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual yang menghasilkan saliva mukus yang tebal dan kental, sedangkan kelenjar parotid yang tidak dipersarafi saraf simpatis tidak menghasilkan saliva.26 Dengan demikian, volume saliva yang dihasilkan akan lebih sedikit. Padahal dalam keadaan terstimulasi, kelenjar parotid berkontribusi besar menghasilkan saliva (50-70%).1 Selain itu, obat golongan simpatomimetik juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran saliva dan akhirnya mengakibatkan xerostomia.26

Obat bronkodilator antikolinergik memiliki mekanisme kerja yang berbeda dalam menyebabkan xerostomia. Obat golongan antikolinergik merupakan obat parasimpatolitik yang bekerja antagonis pada saraf parasimpatis.26 Seperti uraian sebelumnya, rangsangan parasimpatis berfungsi untuk mengatur sekresi komponen cairan saliva. Dengan adanya kerja obat antikolinergik yang menghambat perlekatan asetilkolin pada reseptor muskarinik-kolinergik saraf parasimpatis, maka akan terjadi gangguan sekresi cairan saliva yang akhirnya menyebabkan xerostomia.41


(32)

2.5 Kerangka Teori

Obat bronkodilator pada pasien PPOK

Antikolinergik/ antimuskarinik

SAMA LAMA

Efek sistemik : Batuk,

supraventikular takiaritmia, retensi urin, akut glaukoma

Rongga mulut : Xerostomia, iritasi oral

Efek sistemik : Nausea,

konstipasi, sakit kepala

Rongga mulut : Xerostomia

Agonis Beta 2

SABA LABA

Efek sistemik : Tremor,

takikardia, hipokalemia Rongga mulut : Xerostomia

Efek sistemik : Tremor,

takikardia, hipokalemia Rongga mulut : Xerostomia


(33)

2.6 Kerangka Konsep

Xerostomia Obat bronkodilator pada pasien

PPOK

 Jenis obat

 Lama pemberian obat

Jenis Kelamin Usia pasien


(34)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara survei analitik dengan pendekatan cross sectional, yang berusaha mempelajari dinamika hubungan antara faktor-faktor risiko (variabel bebas) dengan dampak atau efeknya (variabel tergantung) dengan melakukan pengukuran sesaat.42 Penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK dan xerostomia dapat diobservasi di satu waktu yang sama, yang artinya setiap pasien PPOK yang menjadi subjek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan obat bronkodilator yang dilihat dari jenis dan lama pemakaian obat dapat dilihat dari rekam medik serta terjadinya xerostomia diukur menurut keadaan atau status saat diobservasi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan (RSU Dr. Pirngadi) yang berlokasi di Jalan Prof H. Yamin No. 47 Medan. Menurut SK Menkes No. 433 tahun 2007 menetapkan RSU Dr. Pirngadi sebagai rumah sakit pendidikan karena kelayakan rumah sakit dalam memenuhi sarana dan prasarana dalam pelaksanaan pendidikan.43 Pemilihan RSU Dr. Pirngadi ini dikarenakan rumah sakit ini merupakan rumah sakit pusat di Medan yang memiliki poli paru dengan alat pemeriksaan dan rekam medik yang lengkap sehingga mempermudah peneliti menemukan subjek penelitian. Waktu penelitian dimulai dari bulan Januari 2015 hingga bulan Februari 2015 sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi


(35)

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien PPOK di RSU Dr. Pirngadi Medan. Jumlah sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan rumus penaksiran proporsi populasi dengan ketentuan absolut (simpangan mutlak).44

Keterangan :

n : besar sampel yang diperlukan d : tingkat akurasi = 10% (0,1)

P : proporsi populasi  diambil nilai 50% (0,5) karena belum ada penelitian sebelumnya tentang persentase xerostomia yang ditemukan pada pasien PPOK yang mengkonsumsi obat bronkodilator.

Z : nilai kepercayaan 95% = 1,96

 97 orang

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode non-probability sampling jenis consecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan diikutsertakan dalam penelitian dalam kurun waktu tertentu sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.42


(36)

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien PPOK yang berusia 30-60 tahun.

2. Pasien PPOK yang setuju menjadi sampel penelitian.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien PPOK yang menderita sindrom Sjogren’s, penyakit diabetes mellitus, infeksi HIV, penyakit ginjal kronik, penyakit sistemik lupus eritematosus dan penyakit sistemik lain yang dapat menyebabkan xerostomia.

2. Pasien PPOK yang menggunakan obat antihipertensi, obat diuretik, obat antihistamin, obat antidepresan dan obat-obatan lain yang dapat menyebabkan xerostomia.

3.5 Variabel Penelitian 3.5.1 Variabel Bebas

Obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK.

3.5.2 Variabel Terikat Xerostomia.

3.5.3 Variabel Terkendali Usia.

3.5.4 Variabel Tidak Terkendali Jenis kelamin.


(37)

3.6 Definisi Operasional

1. Obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK adalah obat yang menyebabkan relaksasi otot-otot saluran pernapasan sehingga saluran bertambah lebar dan pernapasan menjadi lebih mudah, yang akan dilihat jenis obat dan lama pemberian obat.23

- Jenis obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK adalah jenis obat-obatan yang digunakan pasien dalam terapi PPOK dan dapat dilihat dari rekam medik, meliputi:13

a. Golongan Agonis beta 2 b. Golongan Antikolinergik

c. Kombinasi Agonis beta 2 dan Antikolinergik

- Lama pemberian obat bronkodilator adalah penggunaan obat bronkodilator oleh pasien dari awal pemakaian sampai saat diteliti dengan satuan waktu (tahun) yang dapat dilihat dari rekam medik dan anamnesis.

2. Xerostomia adalah sensasi subjektif mulut kering yang tidak selalu disertai dengan hipofungsi kelenjar saliva/hiposalivasi, yang dinilai berdasarkan kusioner dengan skor xerostomia lebih besar atau sama dengan lima.3,38

3. Usia adalah usia responden yang terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir saat dilakukan penelitian yang dapat dilihat dari rekam medik.45

4. Jenis kelamin adalah aspek biologis yang membedakan seseorang menjadi laki-laki atau perempuan yang dapat dilihat dari rekam medik.46

3.7 Sarana Penelitian 3.7.1 Alat

Alat yang digunakan meliputi kuesioner, lembar pemeriksaan, dan alat tulis.

3.7.2 Bahan


(38)

3.8 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditujukan kepada pasien PPOK yang diperoleh dari rekam medik pasien dan datang ke poli paru RSU Dr. Pirngadi Medan yang dilakukan mulai pukul 09.00-01.00 dan pasien diberi informasi tentang tujuan penelitian ini. Setelah pasien setuju menjadi subjek penelitian, pasien diminta menandatangani informed consent. Kemudian dari rekam medik dicatat data pribadi pasien (nama, umur, jenis kelamin), jenis obat bronkodilator dan lama pemberian obat bronkodilator. Selanjutnya pertanyaan diajukan sesuai dengan kuesioner kepada pasien untuk membuktikan ada atau tidaknya xerostomia.

3.9 Pengolahan dan Analisis Data 3.9.1 Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan pasien kemudian dianalisis sesuai dengan sifatnya. Data yang bersifat univariat dianalisis secara manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem komputerisasi.

3.9.2 Data Univariat

Analisis univariat (analisis deskriptif) bertujuan untuk menguji hipotesis dari peneliti yang bersifat deskriptif.47 Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi:

1. Distribusi dan frekuensi penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK berdasarkan jenis kelamin dan usia.

2. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator.

3. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator berdasarkan jenis kelamin.

4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator berdasarkan usia.


(39)

3.9.3 Data Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk menguji ada tidaknya perbedaan atau perbandingan keberadaan variabel dari dua kelompok data atau lebih.44 Data bivariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi tabulasi silang antara jenis obat bronkodilator dengan terjadinya xerostomia pada pasien PPOK dan tabulasi silang antara lama pemberian obat bronkodilator dengan terjadinya xerostomia pada pasien PPOK.

Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji Pearson chi-square (X2) untuk mengetahui hubungan antara penggunaan obat yang digunakan pasien PPOK dengan xerostomia.

Berdasarkan uji statistik tersebut dapat diputuskan :

1. Menerima Ha (menolak Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung > X2 tabel atau nilai

p ≤ α (0,05).

2. Menolak Ha (menerima Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung < X2 tabel atau nilai

p > α (0,05).

3.10 Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut : 1. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.

2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, karena itu data yang ditampilkan dalam bentuk data kelompok bukan bentuk data pribadi subjek.


(40)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Demografi Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 97 orang pasien PPOK di RSU Dr. Pirngadi Medan. Berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini terdapat subjek laki-laki sebanyak 75 orang (77,3%), sedangkan subjek perempuan sebanyak 22 orang (22,7%). Berdasarkan usia subjek penelitian, kelompok usia 30-40 tahun sebanyak 3 orang (3,1%), kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 23 orang (23,7%) serta kelompok usia 51-60 tahun sebanyak 71 orang (73,2%).

Tabel 3. Distribusi dan frekuensi penggunaan obat bronkodilator terhadap pasien PPOK berdasarkan jenis kelamin dan usia

No. Variabel Frekuensi (n=97 orang) Persentase (%) 1. Jenis Kelamin

a. Laki – laki 75 77,3%

b. Perempuan 22 22,7%

2. Usia

a. 30-40 tahun 3 3,1%

b. 41-50 tahun 23 23,7%

c. 51-60 tahun 71 73,2%

4.2 Frekuensi Xerostomia

Hasil penelitian menunjukkan subjek penelitian yang mengalami xerostomia sebanyak 63 orang (64,9%) sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 34 orang (35,1%).


(41)

Tabel 4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator

Xerostomia Frekuensi

(F)

Persentase (%)

Xerostomia (+) 63 64,9%

Xerostomia (-) 34 35,1%

Jumlah 97 100%

Pasien pada penelitian ini sebagian besar adalah laki-laki, sehingga mayoritas pasien yang mengalami xerostomia adalah laki-laki. Penelitian menunjukkan dari 63 orang yang mengalami xerostomia, sebanyak 49 orang adalah laki-laki, sementara hanya 14 orang perempuan yang mengalami xerostomia. Pasien yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 34 orang, terdiri dari 26 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. (Tabel 5)

Tabel 5. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Xerostomia

Jumlah

Ya Tidak

n % n %

Laki-laki 49 50,5% 26 26,8% 75 (77,3%)

Perempuan 14 14,4% 8 8,3% 22 (22,7%)

Jumlah 63 64,9% 34 35,1% 97 (100%)

Penelitian terhadap 97 subjek dengan rentang usia 30-60 tahun menunjukkan 73,2% pasien PPOK berada dalam rentang usia 51-60 tahun, 23,7% pasien berusia 41-50 tahun dan hanya 3,1% pasien berusia 30-40 tahun. Pada rentang usia 51-60 tahun, xerostomia paling banyak terjadi, yaitu sebesar 47,4%. (Tabel 6)


(42)

Tabel 6. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator berdasarkan usia

Usia

Xerostomia

Jumlah

Ya Tidak

n % n %

30-40 1 1,0% 2 2,1% 3 (3,1%)

41-50 16 16,5% 7 7,2% 23 (23,7%)

51-60 46 47,4% 25 25,8% 71 (73,2%)

Jumlah 63 64,9% 34 35,1% 97 (100%)

Penelitian dari 97 subjek menunjukkan sebanyak 59 orang mengkonsumsi kedua jenis obat bronkodilator, dimana 42 orang mengalami xerostomia dan 17 orang lainnya tidak mengalami xerostomia. Hasil uji statistik menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p = 0,045 atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia. (Tabel 7)

Tabel 7. Tabulasi silang antara jenis obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK

Jenis obat bronkodilator

(Golongan)

Xerostomia

Jumlah Nilai P

Ya Tidak

n % n %

Agonis beta 2 13 13,4% 15 15,5% 28 (28,9%)

0,045 Antikolinergik 8 8,2% 2 2,1% 10 (10,3%)

Agonis beta 2 dan

antikolinergik 42 43,3% 17 17,5% 59 (60,8%) Jumlah 63 64,9% 34 35,1% 97 (100%)


(43)

Penelitian melihat hubungan lama pemberian obat PPOK terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK menunjukkan 48,4% pasien menggunakan obat bronkodilator selama 1-5 tahun, 34% menggunakan obat bronkodilator <1 tahun dan hanya 17,6% menggunakan obat bronkodilator >5 tahun. Berdasarkan lama pemberian obat, hasil uji statistik menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan

bahwa nilai signifikansi p = 0,035 atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak

atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia. (Tabel 8)

Tabel 8. Tabulasi silang antara lama pemberian obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia pada pasien PPOK

Lama pemberian obat PPOK

Xerostomia

Jumlah Nilai P

Ya Tidak

n % n %

<1 tahun 17 17,5% 16 16,5% 33 (34,0%)

0,035 1-5 tahun 31 31,9% 16 16,5% 47 (48,4%)

>5 tahun 15 15,5% 2 2,1% 17 (17,6%) Jumlah 63 64,9% 34 35,1% 97 (100%)


(44)

BAB 5 PEMBAHASAN

Xerostomia merupakan sensasi subjektif mulut kering yang sering terjadi sebagai efek samping penggunaan obat-obatan.35 Salah satu obat yang menyebabkan xerostomia adalah obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK, yaitu obat agonis beta 2 dan antikolinergik.4,14,27 Beberapa penelitian terhadap penggunaan obat bronkodilator, seperti penelitian Najafizadeh dkk terhadap penggunaan agonis beta 2 dan penelitian Casaburi dkk terhadap penggunaan antikolinergik menunjukkan xerostomia sebagai efek samping yang paling sering terjadi.17,18

Penelitian yang dilakukan di poli paru RSU Dr. Pirngadi Medan menunjukkan jumlah responden laki lebih banyak dibanding perempuan, yaitu 75 orang laki-laki dan 22 orang perempuan. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Sidabutar dkk pada tahun 2012 di RSUP H. Adam Malik yang menunjukkan mayoritas pasien PPOK adalah laki-laki (86,5%).48 Hasil survei Rycroft dkk juga menunjukkan prevalensi pasien PPOK lebih tinggi pada laki-laki.49 Tingginya persentase PPOK pada laki-laki berkaitan dengan kebiasaan merokok sebagai faktor risiko utama yang lebih tinggi pada laki-laki.5,6,9-11 Menurut Riskesdas 2013, proporsi perokok laki-laki

berusia ≥15 tahun sebesar 64,9%, sementara proporsi perokok perempuan hanya

sebesar 2,1%.10 Merokok dapat menyebabkan penyempitan pada bronkiolus, inflamasi dan fibrosis, yang kemudian mengakibatkan obstruksi aliran udara.50 Asap rokok dapat melemahkan mekanisme pertahanan saluran pernapasan antara lain mengakibatkan penurunan produksi komponen sekretori IgA yang berfungsi mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa saluran napas dan juga menyebabkan paralise silia saluran pernapasan, mengakibatkan hilangnya kemampuan menyingkirkan debris dan mukus dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi. Hilangnya kemampuan silia akan menimbulkan batuk sebagai usaha untuk menyingkirkan mukus dan batuk yang kronis dapat berkembang menjadi bronkitis kronik.20,21 Meningkatknya risiko infeksi akan memudahkan kolonisasi bakteri,


(45)

memicu respon inflamasi pada saluran pernapasan dan alveoli paru. Enzim proteolitik yang dikeluarkan oleh sel inflamatori alveoli pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan alveolar paru, yaitu hilangnya elastisitas alveolar paru. Keadaan ini disebut emfisema, yang merupakan efek akhir merokok akibat penyempitan saluran napas yang progresif.12,20,21,50 Walaupun demikian, kebiasaan merokok bukan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya PPOK. Beberapa faktor risiko lain ikut mendukung perkembangan PPOK, diantaranya faktor genetik, polusi lingkungan, infeksi dan adanya peningkatan usia harapan hidup, dimana terjadi peningkatan penyakit degeneratif.9,50

PPOK merupakan suatu penyakit kronis yang membutuhkan waktu tahunan untuk berkembang.12 Prevalensi terjadinya PPOK meningkat seiring bertambahnya usia.10 Berdasarkan kelompok usia, jumlah responden terbanyak berada pada rentang usia 51-60 tahun, yaitu sebanyak 71 orang dengan umur rata-rata adalah 53,85 ± 5,72. Hasil penelitian Sidabutar dkk juga menunjukkan prevalensi PPOK yang tinggi pada

usia tua, yaitu sebesar 64,5% pasien PPOK berada pada kelompok usia ≥60 tahun.48 Dengan bertambahnya usia, kekuatan otot dan fungsi paru akan menurun. Proses aging mengakibatkan kalsifikasi pada tulang kartilago yang dapat mempengaruhi kerja diafragma. Kekuatan diafragma pada manula yang sehat menurun sebesar 25%. Selain itu, proses aging juga menyebabkan degenerasi serabut elastik duktus alveolar, mengakibatkan udara terperangkap. Keadaan tersebut yang disertai adanya faktor-faktor risiko lainnya akan meningkatkan potensi terjadinya PPOK.51

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 97 subjek penelitian menunjukkan sebanyak 63 orang mengalami xerostomia, yaitu terdiri dari 49 orang laki-laki dan 14 orang perempuan. Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas pasien PPOK adalah laki, sehingga sebagian besar pasien PPOK yang mengalami xerostomia adalah laki-laki.

Prevalensi terjadinya xerostomia berdasarkan kelompok usia paling tinggi dijumpai pada kelompok usia 51-60 tahun, yaitu sebesar 47,4% (46 orang). Keadaan ini dikarenakan mayoritas subjek pada penelitian ini berada pada kelompok usia tersebut (73,2%).


(46)

Penelitian yang dilakukan terhadap 97 pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator menunjukkan terjadinya xerostomia sebesar 64,9% (63 orang). Jenis obat bronkodilator yang paling banyak diberikan adalah kombinasi obat agonis beta 2 dan antikolinergik, yaitu pada 59 orang. Penggunaan kombinasi kedua golongan obat menunjukkan terjadinya xerostomia paling banyak, yaitu sebesar 43,3% (42 orang). Hal ini dapat terjadi karena efek dari masing-masing obat tersebut adalah xerostomia, sehingga keadaan xerostomia semakin jelas terlihat pada yang menggunakan kedua obat bonkodilator tersebut. Penggunaan obat bronkodilator secara tunggal menunjukkan penggunaan antikolinergik lebih dapat menyebabkan xerostomia dibanding penggunaan agonis beta 2, dimana dari 10 orang yang hanya menggunakan antikolinergik, 8 orang mengalami xerostomia dan hanya 2 orang yang tidak mengalami xerostomia, sedangkan dari 28 orang yang hanya menggunakan agonis beta 2, yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 15 orang, sedangkan hanya 13 orang yang mengalami xerostomia. Efek xerostomia yang disebabkan obat antikolinergik lebih jelas terlihat dibanding efek obat agonis beta 2. Keadaan ini dikarenakan obat antikolinergik memblokir saraf parasimpatis dan menyebabkan penurunan volume saliva, sedangkan obat agonis beta 2 mempengaruhi saraf simpatis, menyebabkan perubahan komposisi saliva.26,52 Amerongen menyatakan bahwa penggunaan agonis beta menyebabkan perubahan komposisi protein saliva yaitu menurunnya produksi dan sekresi musin saliva.53 Selain itu, adrenergik simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi mengakibatkan penurunan aliran darah pada kelenjar saliva sehingga terjadi penurunan aliran saliva.52

Analisis hubungan jenis obat bronkodilator yang digunakan pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia dengan uji statistik chi-square menunjukkan nilai p = 0,045 (p < 0,05) yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara jenis obat terhadap terjadinya xerostomia. Jenis obat yang paling menyebabkan xerostomia adalah penggunaan kombinasi kedua golongan obat bronkodilator. Keadaan ini sesuai dengan beberapa literatur yang menyatakan bahwa jumlah obat yang digunakan mempengaruhi terjadinya xerostomia. Penggunaan obat yang semakin banyak akan semakin menyebabkan mulut kering.1,3,27,32,52


(47)

Hasil penelitian yang dilakukan di RSU Dr. Pirngadi Medan menunjukkan mayoritas responden menggunakan obat bronkodilator selama 1-5 tahun dan responden yang mengalami xerostomia juga lebih banyak dijumpai pada kelompok tersebut, yaitu sebanyak 31 orang (31,9%). Xerostomia yang disebabkan penggunaan obat-obatan tidak menyebabkan kerusakan yang permanen pada kelenjar saliva. Simtom mulut kering yang terjadi bersifat transien, tergantung durasi dari efek pengobatan.35 Tidak semua obat-obatan yang dapat menyebabkan xerostomia menunjukkan simtom mulut kering pada awal pemakaian, tetapi simtom mulut kering dapat terjadi setelah penggunaan obat selama beberapa tahun kemudian, tergantung batas toleransi tertinggi yang bervariasi pada tiap individu.54

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square melihat hubungan lama pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia diperoleh nilai p = 0,035 (p < 0,05) yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara lama pemberian obat terhadap terjadinya xerostomia. Penggunaan obat yang semakin lama akan meningkatkan risiko terjadinya xerostomia.3 Hasil ini sesuai dengan pernyataan Benn tentang penggunaan obat antikolinergik dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva pada pemakaian jangka panjang.1 Godara dkk juga menyatakan bahwa penggunaan agonis beta 2 dalam jangka panjang berhubungan dengan berkurangnya produksi dan sekresi saliva.14


(48)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di poli paru RSU Dr. Pirngadi Medan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK terhadap terjadinya xerostomia. Prevalensi terjadinya xerostomia pada pasien PPOK sebesar 64,9%. Frekuensi terjadinya xerostomia tergantung pada jenis obat dan lama pemberian obat.

Penelitian yang dilakukan hanya melihat terjadinya xerostomia berdasarkan jenis obat dan lama pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK dengan menggunakan kuesioner. Diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk mengevaluasi lebih lanjut terjadinya xerostomia akibat penggunaan obat bronkodilator pada pasien PPOK.

Disarankan kepada tenaga kesehatan maupun dokter gigi agar mengedukasi pasien PPOK untuk senantiasa menjaga kesehatan rongga mulut agar efek samping yang dapat ditimbulkan penggunaan obat bronkodilator seperti xerostomia tidak memperburuk kesehatan pasien, khususnya kesehatan rongga mulutnya. Dokter gigi juga disarankan untuk bekerja sama dengan ahli paru dalam merawat pasien PPOK yang menggunakan obat bronkodilator. Penting diketahui dokter gigi mengenai obat-obatan yang meningkatkan risiko xerostomia dan diharapkan dengan hal ini tenaga kesehatan, khususnya dokter gigi dapat mengatur rencana perawatan yang tepat bagi setiap gejala xerostomia yang timbul pada pasien tersebut sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

1. Benn A. Xerostomia among adult New Zealanders: a national survey. Thesis. New Zealand: University of Otago, 2012: 1-27.

2. Sultana N, Sham ME. Xerostomia: an overview. International Journal of Dental Clinics 2011; 3(2): 58-61.

3. Stipetic MM. Xerostomia-diagnosis and treatment. Rad 514 Medical Sciences 2012; 38: 69-81.

4. Putten van der GJ, Brand HS, Schols JMGA, Baat C de. The diagnostic suitability of a xerostomia questionnaire and the association between xerostomia, hyposalivation and medication use in a group of nursing home residents. Clin Oral Invest 2011; 15: 185-92.

5. Hudoyo A. Penatalaksanaan asma & PPOK pada orang dewasa berdasar pedoman GINA (Global Initiative for Asthma) & GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). http://www.rspondokindah.co.id/public/files /events/Dr.Ahu_SIMPOS_RSPI_10_05_2014.pdf (5 September 2014).

6. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease: epidemiology, pathophysiology, and pathogenesis. In: Fishman AP, eds. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. United States: McGraw-Hill, 2008: 707-08. 7. Wise RA. Chronic obstructive pulmonary disease: clinical course and

management. In: Fishman AP, eds. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. United States: McGraw-Hill, 2008: 729-30,737-40.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Jakarta 2003: 2-12.

9. Susanto AD, Prasenohadi, Yunus F. 2010: The year of the lung. http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/Lung%20of%20the%20year-2.pdf (1 September 2014).

10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar. Jakarta 2013: 85-6,137.


(50)

11. Putra IGN PW, Artika I DM. Diagnosis dan tata laksana penyakit paru obstruktif

kronis. http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4872/3658 (1 September 2014).

12. Wise RA. Chronic obstructive pulmonary disease (copd). http://www.merckmanuals.com/professional/pulmonary_disorders/chronic_obstr uctive_pulmonary_disease_and_related_disorders/chronic_obstructive_pulmonar y_disease_copd.html (1 September 2014).

13. Montuschi P. Pharmacological treatment of chronic obstructive pulmonary disease. International Journal of COPD 2006; 1(4): 409-13.

14. Godara N, Godara R, Khullar M. Impact of inhalation therapy on oral health. Medknow Publications 2011; 28(4): 272-75.

15. Tashkin DP, Fabbri LM. Long-acting beta-agonists in the management of chronic obstructive pulmonary disease: current and future agents. Respiratory Research 2010; 11: 1-8.

16. Ryberg M, Moller C, Ericson T. Effect of beta 2-adrenoceptor agonists on saliva proteins and dental caries in asthmatic children. Pubmed 1987; 66(8): 1. (abstrak) 17. Najafizadeh K, Pour HS, Ghadyanee M, Shiehmorteza M, Jamali M, Majdzadeh S. A randomised, double-blind, placebo-controlled study to evaluate the role of formoterol in the management of acute asthma. Emerg Med J 2007; 24: 317-21. 18. Casaburi R, Briggs DD, Donohue JF, Serby CW, Menjoge SS, Witek TJ. The

spirometric efficacy of once-daily dosing with tiotropium in stable COPD: a 13-week multicenter trial. The US Tiotropium Study Group. Pubmed 2000; 118(5): 1294-302. (abstrak)

19. Boehringer Ingelheim International GmbH. Highlights of prescribing information. Ridgefield: Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals Inc, 2014: 1-9. 20. Sutoyo DK. Bronkitis kronis dan lingkaran yang tak berujung pangkal (vicious

circle). http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan09/File%20dr.%20Titi%20JRI.pdf (1 September 2014).

21. Whittemore S. The respiratory system. United States: Chelsea House Publishers, 2009: 83,86-8.


(51)

22. Bender L, Harding D, Kennedy D, Lee G, Parker S, Stokes J, eds. The facts on file illustrated guide to the human body respiratory system. United States: The diagram group, 2005: 94.

23. American Thoracic Society. Patient information series medicines used to treat copd. Am J Respir Crit Care Med 2005; 172: 3-4.

24. Larocca N, Moreno D, Garmendia JV, De Sanctis JB. Role of beta 2 agonists in respiratory medicine with particular attention to novel patents and effects on endocrine system and immune response. Recent Patents on Endocrine, Metabolic & Immune Drug Discovery 2011; 5: 1-3.

25. Loukeri AA, Kampolis CF, Tatsis I, Loukeri PSN, Tzagaraki A, Kythreotis P. Inhaled beta2-agonists and beta-blockers in patients with chronic obstructive pulmonary disease and cardiovascular cormobidities: therapeutic dilemmas, myths ad realities. Pneumon 2013; 26(1): 59-61.

26. Haveles E. Applied pharmacology for dental hygienist. 6th ed. United States: Elsevier, 2010: 34-45.

27. Sreebny LM, Vissink A. Dry mouth the malevolent symptom: a clinical guide. Singapore: Wiley-Blackwell, 2010: 4-6,40-1,64-75,114.

28. Kelly C. Did you know? anticholinergics: how do they work. The British Journal of Primary Care Nursing 2007; 2(1): 222-5.

29. Moulton BC, Fryer AD. Muscarinic receptor antagonists, from folklore to pharmacology; finding drugs that actually work in asthma and COPD. BJP 2011; 163: 44-8.

30. Mortazavi H, Baharvand M, Movahhedian A, Mohammadi M, Khodadoustan A. Xerostomia due to systemic disease: a review of 20 conditions and mechanisms. Annals of Medical and Health Sciences Research 2014; 4(4): 503-08.

31. Scully C, Felix DH. Oral Medicine-Update for the dental practitioner: dry mouth and disorders of salivation. British Dental J 2005; 199: 423-7.

32. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral&maxillofacial pathology. 2nd ed. United States: W.B. Saunders Company, 2002: 398-9.


(52)

33. Fox PC, Ship JA. Salivary gland diseases. In: Greenberg MS, Glick M, Ship JA,

eds. Burket’s oral medicine. 11th

ed. India: BC Decker Inc, 2008: 191-5,516. 34. Al-Maskari AY, Al-Maskari MY, Al-Sudairy S. Oral manifestations and

complications of diabetes mellitus. SQU Med J 2011; 11(2): 181-2.

35. Singh M, Singh RT. Xerostomia: etiology, diagnosis, and management. Dentistry Today 2012: 1-4.

36. National Cancer Institute. Oral complications of chemotherapy and head/neck radiation (PDQ®). http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/supportivecare/oral complications /HealthProfessional/page16 (7 September 2014).

37. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral pathology clinical pathologic correlations. 6th ed. United States: Elsevier, 2012: 200-1.

38. Thomson WM, Chalmers JM, Spencer AJ, Williams SM. The xerostomia inventory: a multi-item approach to measuring dry mouth. Community Dental Health 1999; 16:12-7.

39. Fox PC. Xerostomia: recognition and management. Adha 2008: 2-7.

40. Naresh Y, Kiranmayi VS, Bitla AR, Kumar VS, Rao PVLN S. Saliva as an emerging diagnostic biological fluid. J Clin Sci Res 2013; 2: 243-4.

41. Scully C. Salivary glands and saliva number 10 drug effects on salivary glands: dry mouth. Oral Diseases 2003; 9: 165-8.

42. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto, 2011: 99,131.

43. Dinas Kominfo Medan. Sekilas info profil rumah sakit umum Dr.Pirngadi Medan. http://www.rsudpirngadi.pemkomedan.go.id/statis-1-profil.html (26 Oktober 2014).

44. Kasjono HS, Yasril. Teknik sampling untuk penelitian kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009: 8-10,26-7.

45. Aditya D. Variabel penelitian & definisi operasional. https://adityasetyawan.


(53)

46. Chang L, Tonner BB, Fukudo S, et al. Gender, age, society, culture, and the

patient’s perspective in the functional gastrointestinal disorders.

Gastroenterology 2006; 130: 1436.

47. Siregar S. Statistik parametrik untuk penelitian kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 2014: 142-3.

48. Sidabutar P, Rasmaliah, Hiswani. Karakteristik penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012. Jurnal Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi 2013; 2(6): 1. (abstrak)

49. Rycroft CE, Heyes A, Lanza L, Becker K. Epidemiology of chronic obstructive pulmonary disease: a literature review. Pubmed 2012; 7: 457-94. (abstrak)

50. Weiberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Principles of pulmonary medicine. 5th ed. United States: Saunders, 2008: 91-2.

51. Tayde P, Kumar S. Chronic obstructive pulmonary disease in the elderly: evaluation and management. Asian J Gerontol Geriatr 2013; 8(2): 92.

52. Ameida PDV de, Johann ACBR, Alanis LR de A, Lima AAS de, Gregio AMT. Antidepressants: side effects in the mouth. In: Virdi M, ed. Oral health care - pediatric, research, epidemiology and clinical practices. Croatia: Intech, 2012: 113-23.

53. Amerongen van Nieuw. Influence of beta-adrenergic antagonists and agonists on dental caries development: an overview. Pubmed 1990; 97(9): 382-5. (abstrak) 54. Borgnakke WS, Taylor GW, Patricia F, Anderson MILS, Shannon MC. Oral and

general health exploring the connection - dry mouth (xerostomia): diagnosis, causes, complications and treatment research review. https://www.deltadentalnj.com/dentists/downloads/DryMouthDentalProfessional s.pdf (21 Februari 2015).


(54)

(55)

(56)

Lampiran III

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN

Selamat Pagi,

Saya Jennifer mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan dokter gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Saya akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RSU

Dr.Pirngadi Medan”. Saya mengikutsertakan Bapak/Ibu dalam penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan obat bronkodilator terhadap terjadinya xerostomia (mulut kering). Manfaat penelitian ini adalah memberi pengetahuan kepada Bapak/Ibu tentang mulut kering yang terjadi dan dapat menjaga kesehatan rongga mulut agar tidak terjadi lagi mulut kering.

Bapak/Ibu sekalian, pasien yang menggunakan obat bronkodilator yang dikonsumsi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dapat menyebabkan mulut kering. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan, sulit berbicara, perubahan rasa kecap pada lidah, dan bila telah parah dapat menyebabkan rasa terbakar dalam mulut, sehingga memerlukan penjagaan kesehatan rongga mulut yang lebih baik.

Penelitian yang akan saya lakukan menggunakan kuesioner. Dalam penelitian ini, saya akan meminta Ibu/Bapak untuk mengisi kuesioner dengan memilih jawaban yang disediakan. Setelah pengisian kuesioner selesai, kembalikan kuesioner kepada saya.

Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela, tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter dan komunitas bila Bapak/Ibu tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Bapak/Ibu akan tetap mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan.

Pada penelitian ini, identitas Bapak/Ibu akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti, dan anggota komis etik yang bisa melihat datanya. Kerahasiaan data Bapak/Ibu akan dijamin sepenuhnya. Bila data Bapak/Ibu dipublikasikan akan tetap dijaga.

Jika selama menjalankan penelitian ini akan terjadi keluhan pada Bapak/Ibu silahkan menghubungi saya Jennifer (HP : 08196002526).

Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi dan kesediaan waktu Bapak/Ibu sekalian, saya ucapkan terima kasih.

Peneliti,


(57)

Lampiran IV

LEMBAR PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

di RSU Dr. Pirngadi Medan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*)

Alamat :

Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini.

Mahasiswa peneliti Medan, 2015

Peserta Penelitian

(Jennifer) ( )


(58)

Lampiran V Nomor :

Tanggal : ..………. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT LEMBAR PEMERIKSAAN PASIEN

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

di RSU Dr. Pirngadi Medan A. DATA DEMOGRAFI

Nama Lengkap :

Umur :

Jenis Kelamin : P/L

Alamat :

No. Hp/Telp :

B. DATA REKAM MEDIK

1. Jenis Obat bronkodilator yang dikonsumsi pasien PPOK : 1. Golongan Agonis beta 2 ………. 2. Golongan Antikolinergik ……….

2. Lamanya pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK :

1. < 1 tahun

2. 1-5 tahun 3. > 5 tahun

1

2


(59)

Lampiran VI

Kotak di bawah ini diisi oleh Peneliti KUESIONER (BASCD 1999)38

1. Apakah mulut Anda terasa kering saat ini ? Ya Tidak

2. Apakah saat mengkonsumsi makanan mulut Anda juga terasa kering ? Ya Tidak

3. Apakah Anda mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi makanan yang kering?

Ya Tidak

4. Apakah Anda mengalami kesulitan saat menelan makanan ? Ya Tidak

5. Apakah Anda membutuhkan air minum saat menelan makanan ? Ya Tidak

6. Apakah Anda mengisap permen untuk meringankan mulut kering ? Ya Tidak

7. Apakah pada malam hari Anda bangun untuk minum ? Ya Tidak

Skor : 0 = Tidak

1 = Ya Xerostomia : ≥ 5

Xerostomia

Iya/Tidak

Skor


(60)

(61)

(62)

(1)

Lampiran IV

LEMBAR PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

di RSU Dr. Pirngadi Medan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*)

Alamat :

Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini.

Mahasiswa peneliti Medan, 2015

Peserta Penelitian

(Jennifer) ( )


(2)

Lampiran V Nomor :

Tanggal : ..………. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

LEMBAR PEMERIKSAAN PASIEN

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

di RSU Dr. Pirngadi Medan A. DATA DEMOGRAFI

Nama Lengkap :

Umur :

Jenis Kelamin : P/L

Alamat :

No. Hp/Telp :

B. DATA REKAM MEDIK

1. Jenis Obat bronkodilator yang dikonsumsi pasien PPOK :

1. Golongan Agonis beta 2 ………. 2. Golongan Antikolinergik ……….

2. Lamanya pemberian obat bronkodilator pada pasien PPOK :

1. < 1 tahun 2. 1-5 tahun

3. > 5 tahun

1


(3)

Lampiran VI

Kotak di bawah ini diisi oleh Peneliti

KUESIONER (BASCD 1999)38

1. Apakah mulut Anda terasa kering saat ini ?

Ya Tidak

2. Apakah saat mengkonsumsi makanan mulut Anda juga terasa kering ?

Ya Tidak

3. Apakah Anda mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi makanan yang kering?

Ya Tidak

4. Apakah Anda mengalami kesulitan saat menelan makanan ?

Ya Tidak

5. Apakah Anda membutuhkan air minum saat menelan makanan ?

Ya Tidak

6. Apakah Anda mengisap permen untuk meringankan mulut kering ?

Ya Tidak

7. Apakah pada malam hari Anda bangun untuk minum ?

Ya Tidak

Skor :

0 = Tidak : ≥ 5


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Penggunaan Obat Kardiovaskular Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSU Dr Pirngadi Medan

3 78 59

Perbandingan nilai Limfosit T CD8+ pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan laki-laki dewasa sehat perokok di RSUP H.Adam Malik Medan

0 68 74

Thalassemia Sebagai Penyakit Kronik Dilihat Dari Sudut Pandang Psikologis

0 80 21

Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2010-2011

1 63 90

Profil Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil Berdasarkan Penilaian BODE Index di RSUP H.Adam Malik dan RS PTP II Tembakau Deli Medan

2 58 67

Prevalensi Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dengan Riwayat Merokok di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan Periode Januari 2009 – Desember 2009

1 50 51

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik - Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Rsu Dr.Pirngadi Medan

0 0 16

Hubungan Penggunaan Obat Bronkodilator Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Rsu Dr.Pirngadi Medan

0 1 13

Hubungan Penggunaan Obat Kardiovaskular Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSU Dr Pirngadi Medan

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Penggunaan Obat Kardiovaskular Terhadap Terjadinya Xerostomia Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSU Dr Pirngadi Medan

1 1 11