Sebagai bukti bahwa istilah ganti rugi memiliki konotasi korban, terlihat dari cara perhitungan pemerintah atas harga tanah, yakni berdasarkan NJOP, tidak
berdasarkan harga tanah terkini. Pemegang hak atas tanah sulit membeli kembali tanah atau mendapatkan harga tanah yang sudah semakin mahal. Bukti lain dari
paradigma ganti rugi selama ini bahwa kalau untuk kepentingan umum, pemilik tanah itu terugikankorban. Jika demikan maknanya, mengapa istilah ganti rugi
tetap bertahan hingga saat ini, bahkan muncul dalam UU 22012. Kompensasi adalah sejumlah uang yang diperoleh pemegang hak atas
tanah setelah melepaskan tanahnya senilai dengan nilai tanah di pasar terbuka ditambah kerugian fisik dan nonfisik lain akibat pelepasan hak atas tanah.
114
Artinya kompensasi dimaknai sebagai sejumlah uang yang harus dibayar untuk pihak yang berhak atas tanah karena kehilangan tanahnya, dimana jumlah yang
dibayar tidak hanya untuk tanah yang diambil, tetapi juga kerugian lain yang diderita akibat dari kehilangan tanahnya untuk pengadaan tanah bagi kepentingan
umum. Prinsip mendasar dalam kompensasi adalah menempatkan pemilik tanah yang berhak atas tanah yang terkena dampak akuisisi dalam posisi yang sama
setelah akuisisi seperti keadaan dia sebelumnya, tidak lebih buruk, atau lebih baik. Prinsip ini disebut prinsip kesetaraan, dan prinsip ini masih jarang diterapkan
dalam pemberian kompensasi di negara-negara berkembang.
115
2. Perlindungan Dalam Hal Ganti Rugi
Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya
114
Ibid, hal. 364.
115
Teo, K.S Khaw,L.T., dalam Bernhard Limbong, Op.Cit. hal. 366.
Universitas Sumatera Utara
ganti kerugian. Masalah ganti kerugian menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah. Pembahasan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian seringkali menjadi proses yang panjang, dan berlarut-larut akibat tidak adanya kesepakatan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam Pasal 18 UUPA, yang dimaksud dalam ganti kerugian yang layak akan diatur dalam undang-undang. Undang-undang dimaksud adalah UU 201961,
yang dijabarkan secara terperinci dalam Penjelasan UU 201961, angka 5, sebagai berikut:
“Ganti rugi yang layak itu akan didasarkan atas nilai nyatasebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Harga yang didasarkan atas nilai
yang nyatasebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga umum, harga umum bisa merupakan harga “catut”. Tetapi sebaliknya harga tersebut
tidak pula berarti harga murah. Tidak hanya orang berhak atas tanah atau yang haknya dicabut itu saja yang akan mendapat ganti kerugian, tetapi
orang-orang yang menempati rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan akan diperhatikan pula. Misalnya mereka akan diberi ganti
tempat tinggal atau tanah garapan lainnya. Atau jika tidak mungkin dilaksanakan, akan diberi ganti kerugian berupa uang atau fasilitas-
fasilitas tertentu misalnya transmigrasi”.
Dalam Perpres 362005 Jo. Perpres 652006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa:
“Ganti kerugian adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik danatau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, danatau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang
lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.”
Sedangkan pengertian ganti kerugian menurut UU 22012 adalah penggantian yang layak adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan
tanah. Walaupun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian layak dan adil dalam undang-undang tersebut, namun UU 22012 menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus berasaskan asas keadilan, dimana terdapat jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang
berhak sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
Asas keadilan tersebut jelas sekali menyatakan bahwa ganti rugi tersebut harus dapat memulihkan keadilan sosial ekonomi masyarakat yang terkena
dampak pengadaan tanah dimaksud dan ganti rugi itu haruslah memperhitungkan kerugian tidak hanya fisik seperti hilangnya tanah, bangunan, tanaman dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan tanah, tetapi juga kerugian yang sifatnya non fisik, misalnya hilangnya pekerjaan ataupun lahan berusaha, dan lain-lain.
Kondisi ekonomi masyarakat yang terkena pembebasan lahan sulit akan pulih jika tidak ada bidang usaha. Karena usaha atau pekerjaanlah yang membuat
mereka mampu meneruskan roda perekonomian keluarga. Oleh karenanya ganti rugi yang bersifat non fisik ini tidak boleh diabaikan begitu saja, perlu pengaturan
dan penjelasan lebih lanjut oleh pembuat kebijakan. Prinsip pemberian ganti rugi harus seimbang dengan nilai tanah.
Keseimbangan tersebut adalah bahwa ganti rugi yang diberikan merupakan imbalan yang layak, atau tidak menjadikan pemegang hak atas tanah yang
melepaskan tanahnya mengalami kemunduran sosial atau tingkat ekonominya.
116
Penilaian besaran ganti rugi akan sangat menentukan terhadap masa depan para pemilik tanah, hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Adrian Sutedi:
“Begitu vitalnya ganti rugi, maka ganti rugi itu minimal harus sama dan senilai dengan hak-hak dan pancaran nilai atas tanah yang akan digusur.
116
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op.Cit., hal 30.
Universitas Sumatera Utara
Bila tidak senilai, namanya bukan ganti rugi, tetapi sekedar pemberian pengganti atas tanahnya yang tergusur. Prinsip dan tujuan UUPA harus
dimaknai bahwa ditempuhnya prosedur penggusuran tidak berarti akan merendahkan nilai ganti rugi tanah, bangunan dan tanamannya serta
benda-benda lain yang melekat pada bangunan dan tanah”.
117
Dalam pemberian ganti rugi tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah ganti rugi yang layak. Untuk itu, perlu dirumuskan pengertian dari kata
“layak” tersebut, yang secara awam dapat saja kita sebut dengan “harga yang wajar” atau titik tengah dari harga pasar dengan harga dalam tagihan pajak nilai
jual objek pajakNJOP.
118
Namun demikian ada pendapat yang patut dipedomani dari pengertian layak ini, yakni sebagaimana yang ditegaskan oleh AP.
Parlindungan:
119
“bahwa orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang ganti pembayaran
rugi itu telah habis dikonsumsi, minimal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti sebelum dicabut haknya,
syukur kalau bertambah lebih baik, atau minimal harus dapatlah dia pengganti yang wajar, misalnya dengan pemberian ganti rugi tersebut yang
bersangkutan dapat membeli tanah di tempat lain yang memungkinkan dia membangun rumah kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat
yang baru.”
3. Penilaian Ganti Kerugian