Kadar Hara Makro dan Logam Berat Latosol Darmaga yang Diperlakukan Terak Baja dan Bahan Organik

(1)

KADAR HARA MAKRO DAN LOGAM BERAT

LATOSOL DARMAGA YANG DIPERLAKUKAN TERAK

BAJA DAN BAHAN ORGANIK

AHYAR

A14070101

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

AHYAR. Kadar Hara Makro dan Logam Berat Latosol Darmaga yang Diperlakukan Terak Baja dan Bahan Organik. Dibimbing oleh SRI DJUNIWATI dan SYAIFUL ANWAR.

Indonesia berada dalam kawasan iklim tropis dengan suhu dan curah hujan tahunan yang tinggi, dan umumnya memiliki tanah bersifat masam dan tingkat kesuburan rendah. Latosol adalah salah satu tanah yang memiliki tingkat perkembangan lanjut dengan kadar bahan organik, KTK, dan KB rendah, serta fraksi liat yang agak tinggi sampai tinggi dan hampir merata pada semua horizon. Perbaikan kesuburan Latosol diantaranya melalui penambahan amelioran seperti terak baja dan bahan organik. Terak baja (steel slag) merupakan produk samping dari proses pemurnian besi cair dalam pembuatan baja. Penelitian menunjukkan bahwa terak baja berpotensi dimanfaatkan dalam bidang pertanian karena memiliki kandungan CaO berkisar antara 20% hingga diatas 50% dan juga kandungan Mg, Si, Fe serta beberapa unsur lainnya. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa terak baja sebagai bahan pengapuran lebih baik daripada dolomit. Namun Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup menggolongkan terak baja ke dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sehingga potensi terak baja untuk pertanian belum banyak dikembangkan. Keputusan yang menggolongkan semua terak baja ke dalam limbah B3 tidak realistis mengingat proses pembuatan baja bermacam-macam cara sehingga produk samping dari proses tersebut juga berbeda.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis sifat kimia tanah yang meliputi pH, kadar hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) serta kadar logam berat (As, Pb, Sn, Cd dan Hg) setelah pertanaman caisim pada Latosol yang diberi perlakuan terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya. Penelitian tersebut menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial 3 faktor dengan faktor utama adalah jenis terak baja yaitu S1 (convertor Jepang) dan S2 (Eletric Furnace Indonesia). Faktor kedua yaitu dosis terak baja dengan 4 dosis (T0, T1, T2, T3) dan faktor ketiga bahan organik (B0 dan B1). Masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ulangan sehingga terdapat 64 satuan percobaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah meningkat seiring dengan peningkatan dosis terak, dan pengaruh jenis terak menunjukkan efek yang sama terhadap pH. Peningkatan P-tersedia tanah hanya pada jenis terak S2 sedangkan jenis terak S1 tidak berbeda. Kadar Ca-dd dan Mg-dd meningkat pada kedua jenis terak. Pengaruh dosis terak S1 meningkatkan Ca-dd sebesar 113%-265% dan Mg-dd tanah sebesar 27%, sedangkan pada jenis terak S2 meningkatkan Ca-dd sebesar 91%-144% dan Mg-dd sebesar 75%-326%. Perlakuan bahan organik meningkatkan pH, P-tersedia, dan Ca-dd tanah. Kombinasi antara dosis terak dan bahan organik meningkatkan Mg-dd, namun menurunkan K-dd. Terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya menurunkan Pb dan Hg terlarut, akan tetapi pada beberapa kombinasi perlakuan, Cd terlarut, As terlarut dan Sn terlarut berturut turut meningkat sebesar 0.01 ppm, 0.01-0.02 ppm dan 0.08-0.15 ppm dari kadar yang tidak terdeteksi pada tanah tanpa perlakuan

Kata kunci: Latosol, amelioran, terak baja, bahan organik, kadar hara makro, kadar logam berat


(3)

SUMMARY

AHYAR. Macro Nutrients and Heavy Metals Content in Latosol Darmaga Treated with Steel Slag and Organic Matter. Supervised by SRI DJUNIWATI and SYAIFUL ANWAR.

Indonesia is located in the tropical climate area with high temperature and rainfall, and generally has acidic soils with low fertility. Latosol is one of the highly weathered soils that has low organic matter content, low CEC, low BS, and high to very high clay fraction in all soil horizons. The fertility of Latosol can be improved by addition of ameliorans such as steel slag and organic matter. Steel slag is byproduct of purification process of iron ore in steelmaking. Previous studies showed that steel slag is potential to be used as soil amelioran since it has 20-50% or more CaO, and contains Mg, Si, Fe and some other elements. Previous studies also showed that steel slag as liming material was better than dolomite. Utilization of steel slag as soil amelioran in Indonesia, however, is limited by the Indonesian regulation that categorized all steel slags as hazardous and toxic wastes (limbah B3 = limbah bahan berbahaya dan beracun). Since there are various steelmaking processes, not all steel slags included in hazardous and toxic wastes as indicated by previous studies.

The objective of this research is to analyze soil chemical properties that include pH, macro nutrients content (N, P, K, Ca and Mg), and heavy metals content (As, Pb, Sn, Cd and Hg) after cultivation of caisim in Latosol that treated with steel slag, organic matter, and their combination. The research was conducted in Factorial Randomized Block Design with three factors. The first factor was the type of steel slags that comprised of S1 (converter steel slag from Japan) and S2 (electric furnace steel slag from Indonesia). The second factor was the dosages of steel slag (4 dosages namely T0, T1, T2, T3), while the third factor was organic matter (B0 and B1). The each treatment was consisted of 4 replication such that there were 64 experimental units.

The results showed that the soil pH increased with the increasing of steel slag dosages, and the type of the steel slags gave the same effect toward soil pH. Available P was increased by S2 treatment but not by S1 treatment. Exch-Ca and exch-Mg were increased by both slags. S1 treatments increased the exch-Ca by 113-265%, and the exch-Mg by 27%. The S2 treatments increased the exch-Ca by 91-144%, and the exch-Mg by 75-326%. Organic matter treatments increased pH, available P, and exch-Ca of the soil. Combination of slags and organic matters treatments increased exh-Mg, but decreased exch-K. Slag, organic matter, and their combination treatments decreased the soluble Pb and Hg of the soil. In some combination treatments, however, soluble Cd, soluble As, and soluble Sn were increased consecutively to 0.01 ppm, 0.01-0.02 ppm, 0.08-0.15 ppm from undetected concentration of the untreated soil.

Keyword: Latosol Darmaga, Ameliorant, Steel Slag, Organic Matter, Nutrient Level, Heavy Metals


(4)

KADAR HARA MAKRO DAN LOGAM BERAT

LATOSOL DARMAGA YANG DIPERLAKUKAN TERAK

BAJA DAN BAHAN ORGANIK

AHYAR

A14070101

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Kadar Hara Makro dan Logam Berat Latosol Darmaga yang Diperlakukan Terak Baja dan Bahan Organik

Nama : Ahyar

NRP : A14070101

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc.) (Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.)

NIP. 19530626 198303 2004 NIP. 19621113 198703 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP. 19621113 198703 1 003


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampa, Polewali Mandar pada tanggal 11 Maret 1989 sebagai anak kedua dari pasangan M. Agus dan Ibu Hj. Nurbia. Penulis memulai pendidikan dasar selama 6 tahun di SDN No. 600 Mandar Jaya, Kab. Luwu (1997-2001). Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Pesantren Modern Al-Ikhlash Lampoko, Polewali Mandar, dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Pesantren Modern Al-Ikhlash selama 3 tahun (2004-2007). Penulis kemudian melanjutkan studi ke tingkat perguruan tinggi di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) pada tahun 2007.

Selama menjalani studi di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan CSS MoRA IPB 2008/2009. Penulis juga aktif mengikuti beberapa kegiatan kemahasiswaan seperti seminar dan lomba baik sebagai peserta maupun sebagai panitia. Selain aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengantar Ilmu Tanah pada tahun 2011. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Kadar Makro dan Logam Berat pada Latosol Darmaga yang Diperlakukan Terak Baja dan Bahan Organik” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc. dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Sc.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Yang Maha Pemberi, Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya kepada semua mahluk-Nya, tak terkecuali kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Kadar Makro dan Logam Berat pada Latosol Darmaga yang Diperlakukan Terak Baja dan Bahan Organik”.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi atas segala bimbingan, nasihat, teladan dan dukungan kepada penulis selama studi, penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Syaiful Anwar selaku dosen pembimbing kedua atas segala bimbingan dan dukungannya.

3. Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku dosen penguji yang telah bersedia menjadi penguji dan memberikan banyak masukan bagi penulis.

4. Kedua orang tua tercinta, Kak Mahfud, dan adik-adikku (Nawir, Abrar, Zulfikar) atas semua dukungan, kasih sayang, dan do’a yang senantiasa mengalir kepada penulis.

5. Nurul Hayati, atas semua dukungan, semangat dan do’anya kepada penulis. 6. Kementrian Agama RI atas beasiswa yang diperoleh penulis selama kuliah di

IPB.

7. Seluruh staf Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah ITSL yang telah memberikan bantuan selama melakukan analisis di laboratorium.

8. Seluruh teman-teman dari Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah dan seluruh teman-teman dari Soilscaper 44 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas bantuan, doa, dan semangatnya yang tidak akan pernah dilupakan oleh penulis.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor,11 Juli 2012


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ...v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II.TINJUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Sifat dan Ciri Umum Latosol ... 3

2.2. Terak Baja dan Kegunaannya ... 4

2.3. Logam Berat ... 6

2.4. Bahan Organik ... 7

2.5. Nitrogen, Fosfor dan Kalium dalam tanah ... 8

2.5.1. Nitrogen ... 8

2.5.2. Fosfor ... 9

2.5.3. Kalium ... 10

2.6. Basa-basa dapat Dipertukarkan (Ca-dd dan Mg-dd) dalam Tanah dan Karakteristiknya ... 11

2.7. Reaksi Tanah (pH) ... 11

III.BAHAN DAN METODE... 13

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

3.2. Bahan dan Alat ... 13

3.3. Pelaksanaan Percobaan ... 13

3.4. Rancangan Penelitian ... 14

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga. ... 17

4.2. Komposisi Hara pada Terak Baja ... 17

4.3. Nilai pH Tanah Setelah Pertanaman Caisim dipanen ... 18

4.4. Kadar Hara (N, P, K, Ca, Mg) Tanah Setelah Penanaman ... 19

4.4.3. Kalium dapat dipertukarkan (K-dd) ... 22


(9)

4.4.5. Magnesium dapat dipertukarkan (Mg-dd) ... 24

4.5. Kandungan Logam Berat Terlarut pada Tanah Setelah Pertanaman Caisim ... 25

V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

5.1. Kesimpulan ... 28

5.2. Saran ... 28


(10)

DAFTAR TABEL

1. Jenis dan Dosis Terak Baja serta Kesetaraannya ... 14 2. Komposisi Hara pada Terak Baja ... 18 3. Nilai pH tanah akibat pemberian terak baja dan bahan organik ... 18 4. Kadar Nitrogen Tanah Akibat Interaksi antara Jenis Terak dengan Dosis

Terak dan interaksi Dosis Terak dengan Bahan Organik ... 19 5. Kadar Kalium Dapat Dipertukarkan dalam Tanah Akibat Interaksi Dosis

Terak dengan Bahan Organik ... 22 6. Kadar Logam Berat Terlarut ( Pb, Cd, As, Sn, Hg) Tanah pada Perlakuan

Jenis Terak S2 (Convertor Slag Japan) Akibat Pemberian Terak Baja dan Bahan Organik ... 26 7. Kadar Logam Berat Terlarut ( Pb, Cd, As, Sn, Hg) Tanah pada Perlakuan

Jenis Terak S2 (Electric Furnace Slag Indonesia) Akibat Pemberian Terak Baja dan Bahan Organik ... 26


(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Kadar P-tersedia tanah interaksi antara jenis terak dengan dosis terak ... 21

2. Kadar P-tersedia tanah faktor tunggal bahan organik ... 21

3. Kadar Ca-dd tanah pengaruh interaksi jenis jerak dengan dosis terak ... 23

4. Kadar Ca-dd tanah faktor tunggal bahan organik ... 23

5. Kadar Mg-dd dalam tanah pengaruh interaksi jenis terak dengan dosis terak 25 6. Kadar Mg-dd dalam tanah pengaruh interaksi dosis terak dengan bahan organik ... 25


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga ... 33

2. Kriteria Penilaian Analisis Tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983 dalam Sulaeman et al., 2005) ... 34

3. Persyaratan Logam Berat (Total) Tanah ... 35

4. Pengaruh Pemberian Terak Baja dan Bahan Organik Terhadap Kadar Hara Tanah ... 36

5. Pengaruh Pemberian Terak Baja dan Bahan Organik Terhadap Basa dapat ditukar dan pH Tanah ... 37

6. Analisis Ragam Kadar N-Total Tanah ... 38

7. Analisis Ragam Kadar P-Tersedia Tanah ... 38

8. Analisis Ragam Kadar K-dd Tanah ... 39

9. Analisis Ragam Kadar Ca-dd Tanah ... 39

10. Analisis Ragam Kadar Mg-dd Tanah... 40

11. Analisis Ragam Nilai pH Tanah ... 40


(13)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang berada dalam kawasan iklim tropis dengan suhu dan curah hujan tahunan yang tinggi, sehingga kebanyakan tanah di Indonesia berada pada tingkat pelapukan lanjut. Curah hujan tahunan yang tinggi mengakibatkan aktivitas pencucian hara dalam tanah berlangsung sangat intensif sehingga tanah kehilangan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Selain itu, tingkat pelapukan yang lanjut mengakibatkan bahan organik tanah juga menjadi rendah. Dengan kondisi demikian, tanah menjadi masam dan kesuburannya menjadi rendah. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, para petani di Indonesia menggunakan bahan-bahan seperti kalsit atau dolomit untuk menurunkan kemasaman tanah. Kalsit dan dolomit merupakan bahan kapur yang sudah dikenal di Indonesia dan telah dipakai secara luas.

Akhir-akhir ini terak baja (basic slag/steel slag) diperbincangkan oleh para peneliti dunia pertanian. Terak baja merupakan limbah industri pembuatan baja yang mengandung unsur Ca, Mg Si, Fe, dan beberapa unsur lain serta mampu memperbaiki masalah keasaman tanah dengan menaikkan pH tanah (Dev dan Sharma 1970). Terak baja memiliki kandungan CaO sebanyak 52.85%, MgO 2.22%, P2O5 4.76% (Ali dan Shahram, 2007) dan unsur Si, Fe serta beberapa unsur lainnya. Suwarno dan Goto (1997) juga menyatakan bahwa terak baja sebagai bahan pengapuran lebih baik daripada dolomit. Disamping itu, terak baja juga bermanfaat untuk meningkatkan ketersediaan unsur Si dan unsur mikro lain yang dibutuhkan tanaman. Hal ini menjadikan terak baja dapat digunakan sebagai bahan amelioran. Namun demikian, terak baja diduga memiliki kandungan logam berat yang berbahaya seperti As, Cr, Pb, Ni, Cd, dan Th sehingga Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengkategorikan terak baja sebagai Bahan Berbahaya Beracun (B3), tercantum dalam PP No. 85 Tahun 1999. Hal ini menyebabkan potensi terak baja untuk pertanian belum banyak dikembangkan. Namun tidak semua produk samping limbah baja memiliki komposisi yang sama mengingat proses pembuatan baja bermacam-macam cara sehingga produk samping proses tersebut berbeda. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sebagian terak baja mengandung logam berat yang kadarnya


(14)

masih di bawah ambang batas yang dapat membahayakan lingkungan, sehingga diharapkan beberapa sumber/jenis terak baja dapat digunakan sebagai bahan amelioran. Oleh karena itu perlu pengkajian kembali untuk pertimbangan pengkategorian sumber/jenis terak baja sebagai limbah B3.

Bahan organik (BO) merupakan hasil dekomposisi dari sisa tanaman, hewan atau bahan lain yang mengandung karbon. Hasil dekomposisi bahan organik sudah terbukti mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pengaruh pada sifat fisik tanah antara lain tanah menjadi lebih gembur dan mampu memegang air lebih banyak, sedangkan pengaruh terhadap sifat kimia tanah diantaranya dapat meningkatkan KTK dan ketersediaan hara tanah terutama N, P, S dan sebagai penyumbang sifat aktif koloid tanah. Pengaruhnya terhadap sifat biologi tanah antara lain adalah mempengaruhi aktifitas mikrob tanah. Mench et al., (1998) menunjukkan bahwa aplikasi bahan organik akan mengubah spesiasi logam berat dalam larutan tanah dari ionik ke bentuk-bentuk terkompleks, sehingga serapan logam berat oleh akar dan perpindahannya ke bagian atas tanaman menurun. Dengan demikian fitotoksisitas dan akumulasi logam berat ke rantai makanan dapat dihindari. Oleh karena itu pemberian terak baja dan bahan organik serta kombinasi keduanya pada tanah diharapkan dapat memberi pengaruh yang baik pada sifat kimia tanah.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat kimia tanah yang meliputi pH, kadar hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) serta kadar logam berat (As, Pb, Sn, Cd dan Hg) setelah pertanaman caisim pada Latosol yang diberi perlakuan terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya.


(15)

II. TINJUAN PUSTAKA 2.1. Sifat dan Ciri Umum Latosol

Latosol merupakan jenis tanah yang penyebarannya cukup luas dan menempati area sekitar 9% daratan di Indonesia (Soepardi, 1983). Tanah ini diantaranya dapat dijumpai di Darmaga, Kabupaten Bogor. Menurut sistem klasifikasi USDA, Latosol coklat kemerahan Dramaga Bogor termasuk dalam order Inceptisol dan terletak pada zona fisiografi Bogor bagian barat, dengan bahan induk vulkanik kuarter yang berasal dari Gunung Salak.

Dudal dan Soepraptohardjo (1957) menyebutkan bahwa tanah Latosol terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi terjadi di bawah pengaruh curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropik dimana gaya-gaya hancuran bekerja lebih cepat dan pengaruhnya lebih ekstrim daripada daerah dengan curah hujan dan suhu sedang. Pelapukan dan pencucian sangat intensif dan mineral silikat cepat hancur. Pada banyak tempat di daerah tropik, musim basah dan kering terjadi silih berganti. Hal ini berakibat semakin meningkatnya kegiatan kimia dalam tanah.

Latosol umumnya telah mengalami perkembangan lanjut, solum tebal, batas horizon baur, lapisan atas sedikit mengandung bahan organik, lapisan bawah yang berwarna merah, kadar fiksasi liat yang agak tinggi sampai tinggi dan hampir merata pada semua horizon. Horizon B kaya akan seskuioksida (Al2O3+Fe2O3) bertekstur halus, struktur lemah sampai gumpal, konsistensi gembur sampai agak teguh, porositas sedang sampai baik, permeabilitas dan drainase sedang sampai cepat dan cadangan mineral rendah sampai sedang (Dudal dan Supraptohardjo, 1957). Proses hidrolisis dan oksidasi berlangsung sangat intensif, sehingga basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na cepat dibebaskan oleh bahan organik. Oleh karena itu, tanah Latosol memiliki kejenuhan basa rendah (<35%) dan KTK yang sangat rendah (<24 me/100g) (Soepraptohardjo, 1961). Kalpage (1974) menyebutkan bahwa kesuburan tanah Latosol umumnya sedang sampai sangat rendah, kandungan akan mineral primer (kecuali kwarsa) dan unsur hara tanah rendah. Tanah bereaksi masam sampai sangat masam dan fiksasi ion fosfat tinggi. Masalah kemasaman ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, tapi pengapuran kurang nyata pengaruhnya karena kapasitas pertukaran basa rendah


(16)

sehingga penambahan bahan kapur akan meninggalkan efek residu yang sangat terbatas atau kecil.

2.2. Terak Baja dan Kegunaannya

Terak baja atau Steel Slag merupakan produk sampingan dari hasil pemurnian besi cair dalam pembuatan baja. Di Eropa, terak baja dalam jumlah yang besar digunakan dalam bidang pertanian pada masa perang dunia ke-dua, yaitu digunakan sebagai bahan kapur untuk tanah masam dan penambahan unsur-unsur seperti Si dan P.

Boxus (1965 dalam Rahim, 1995) menyatakan bahwa terak baja memiliki komposisi kimia yang kompleks. Terak baja juga mengandung unsur-unsur sekunder yang terdiri dari Magnesium (Mg), Silikon (Si), Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Kobalt (Co), dan Molibdenum (Mo) sehingga terak baja dianggap sangat baik digunakan untuk pertanian. Menurut Barber (1967), penggunaan terak baja dalam bidang pertanian antara lain : (1) untuk menetralkan kemasaman tanah serta menambah unsur kalsium (Ca) dan magnesium (Mg); (2) menurunkan kadar unsur mangan dalam tanah; (3) meningkatkan jumlah P dalam tanah; serta (4) sebagai sumber silikat.

Terak baja terdiri dari beberapa macam jenis, beberapa diantaranya adalah

converter slag dan electric furnace slag. Pengelompokan jenis ini ditentukan berdasarkan metode yang digunakan dalam proses pembuatan baja dimana

converter slag menggunakan metode converter, sedangkan electric furnace slag

menggunakan metode electric furnace. Converter terbentuk dari industri baja yang menggunakan proses Basic Oxigen Furnace (BOF) sedangkan electric furnace terbentuk pada industri baja yang menggunakan proses Electric Arc Furnace (EAF ) (Proctor et al., 2000). Pada proses converter, besi cair berasal dari

blast furnace, yaitu besi cair murni. Besi cair yang ditambahkan berkisar antara 80%-90%, sedangkan potongan baja berkisar 10%-20%. Pada tahap awal, potongan baja dimasukkan ke dalam tungku pemanas. Selanjutnya besi cair disiramkan di atas potongan baja kemudian dialirkan oksigen dengan kemurnian di atas 90%. Pada proses pengaliran oksigen, terjadi reaksi oksidasi yang sangat intensif sehingga bahan pengotor pada baja dapat dikurangi. Karbon teroksidasi membentuk karbon monoksida menyebabkan peningkatan suhu mencapai


(17)

1600°C-1900°C. Pada suhu ini, potongan-potongan baja mencair dan kadar karbon pada baja menurun. Untuk menurunkan kadar bahan yang tidak diinginkan pada baja ditambahkan fluxing agent, yaitu CaO atau MgCa(CO3)2. Selama pengaliran oksigen, bahan yang tidak diinginkan teroksidasi kemudian berikatan dengan bahan kapur membentuk terak baja yang mengapung diatas besi cair (Yildirim dan Prezzi, 2011).

Proses electric furnace tidak bergantung dengan proses blast furnace karena bahan yang digunakan adalah potongan baja yang berasal dari baja-baja bekas. Sumber panas diperoleh dari percikan api yang berasal dari listrik bertegangan tinggi. Proses electric furnace dimulai dengan memasukkan potongan baja kedalam tungku pemanas listrik kemudian elektroda grafit diturunkan hingga masuk ke dalam tungku. Ketika dialirkan listrik, pertemuan antara elektroda dan potongan baja akan menghasilkan panas. Potongan baja meleleh dan kemudian dilanjutkan dengan proses pemurnian. Selama proses pemurnian, dialirkan oksigen dengan kemurnian tinggi. Beberapa besi (Fe) dan berbagai material yang tidak diinginkan termasuk Al, Si, Mn, P dan C teroksidasi. Komponen yang teroksidasi ini akan berkombinasi dengan CaO mapun dengan MgO membentuk terak (Yildirim dan Prezzi, 2011). Pada jenis terak electric furnace, terak ini dihasilkan dari hasil pengurangan pembakaran secara elektrik dari batuan fosfat dalam penyimpanan bahan-bahan fosfor. Terak baja ini terbentuk ketika pembakaran silikat dan kalsium oksida yang menghasilkan kalsium silikat dalam jumlah yang besar.

Kadar CaO dan MgO yang tinggi ini dapat dimanfaatkan langsung dalam proses pemurnian bijih besi sebagai bahan pengganti sebagian bahan kapur yang ditambahkan (Shen dan Forssberg, 2002). Menurut Barber (1967), reaksi slag

serupa dengan kapur dalam menetralkan kemasaman tanah. Daya netralisasi dihitung berdasarkan ekivalen CaCO3 seperti halnya kapur. Demikian juga kehalusan terak baja akan memberi pengaruh terhadap kecepatan kenaikan pH tanah. Terak baja dengan kehalusan 100% lolos dari saringan 80 mesh menyebabkan kenaikan pH yang lebih cepat dibandingkan terak baja dengan kehalusan 20% lolos dari saringan 60 mesh.

Hasil penelitian Suwarno (1993) yang memanfaatkan terak baja sebagai bahan pengapuran pada tanah masam menunjukkan bahwa terak baja secara nyata


(18)

dapat meningkatkan ketersediaan boron dan mangan, serta dapat memperbaiki sifat tanah sama baiknya dengan kalsit dan dolomit. Disamping itu, hasil penelitian Prambudi (1997) pada Latosol Darmaga menunjukkan bahwa secara umum terak baja dapat memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan hasil tanaman kedelai, dan pengaruh terak baja lebih baik dibandingkan dengan kalsit.

Terak baja yang ditambahkan dalam tanah meninggalkan residu yang dapat bertahan beberapa tahun seperti bahan pengapuran yang lain yang sifatnya tidak merugikan bagi tanaman. Suwarno (1993) membandingkan electric furnace slag

Indonesia dan converter furnace slag Jepang dengan kalsit dan dolomit dalam rotasi tanaman kedelai-sorghum-bayam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan pengapuran tersebut memperbaiki pertumbuhan dan produksi ketiga tanaman tersebut. Suwarno (1997) juga menyatakan bahwa terak baja sebagai bahan pengapuran lebih baik daripada dolomit.

2.3. Logam Berat

Unsur logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih dari 5 gr/cm3. Unsur Hg mempunyai densitas 13.55 gr/cm3. Diantara semua unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam hal sifat racunnya dibandingkan dengan logam berat lainnya, kemudian diikuti oleh logam berat antara lain Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Zn (Fardiaz, 1992 dalam Sudarmadjiet al., 2006).

Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain (Pasal 1 (17) UU No.23 1997). Bahan Berbahaya dan Beracun dalam ilmu bahan dapat berupa bahan biologis (hidup/mati) atau zat kimia. Zat kimia B3 dapat berupa senyawa logam (anorganik) atau senyawa organik, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai B3 biologis, B3 logam dan B3 organik (Sudarmadji et al., 2006)

Menurut data Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1997 yang menyusun ”TOP-β0” B3, dari 20 B3 tersebut antara lain adalah logam berat seperti Arsenic (As), Lead (Pb), Mercury (Hg), dan Kadmium (Cd) (Sudarmadji et al., 2006). Soepardi (1983) menyatakan bahwa hingga batas tertentu logam berat sangat beracun bagi manusia atau binatang. Kadmium (Cd) dan arsen (As) sangat


(19)

beracun; timah (Sn), nikel (Ni), dan fluor (F) mempunyai tingkat racun yang sedang; dan bromin (Br), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan seng (Zn) mempunyai tingkat racun terendah.

Darmono (1995) menyatakan limbah yang mengandung As, Cd, Pb dan Hg selain berasal dari limbah penggunaan batu bara dan minyak juga berasal dari limbah pabrik peleburan besi dan baja, pengabuan sampah, pabrik produksi semen dan limbah dari penggunaaan logam yang bersangkutan untuk hasil produksinya (pabrik baterai atau aki, listrik, pigmen atau cat warna atau tekstil, pestisida, gelas, keramik dan lain-lain).

2.4. Bahan Organik

Pupuk organik merupakan nama kolektif untuk semua jenis bahan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006 tentang pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padatan atau cairan yang digunakan untuk mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah (Litbang Pertanian, 2006).

Bahan organik mempengaruhi sifat-sifat tanah seperti; 1) kemampuan tanah menahan air meningkat; 2) warna tanah menjadi coklat hingga hitam; 3) merangsang granulasi agregat dan memantapkannya; 4) menurunkan plastisitas, kohesi dan sifat buruk lainnya dari liat (Hakim et al., 1986). Hasil penelitian Syukur dan Harsono (2008) juga menyebutkan fungsi penting bahan organik lainnya, yaitu memperbaiki struktur tanah dan daya simpan air, mensuplai nitrat, sulfat, membentuk asam-asam organik, mensuplai nutrisi, meningkatkan KTK dan daya ikat hara serta sebagai sumber karbon, mineral dan energi bagi organisme.

Kurnia et al. (2001) menyebutkan bahwa bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat berasal dari limbah/hasil pertanian dan limbah nonpertanian, yaitu limbah kota/limbah industri seperti limbah industri tahu. Dari hasil pertanian antara lain dapat berupa sisa tanaman, pupuk kandang (kotoran hewan) dan pupuk hijau.


(20)

Bahan organik yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibandingkan pembenah tanah lainnya. Sebagai bahan pembenah tanah, bahan organik membantu dalam mencegah terjadinya erosi dan mengurangi terjadinya retakan tanah, memperbaiki porositas tanah dan menyumbang ketersediaan hara. Namun kandungan hara yang terdapat dalam pupuk kandang lebih rendah dari pupuk anorganik sehingga biaya aplikasi pemberian pupuk kandang ini lebih besar daripada pupuk anorganik. Namun demikian, kandungan hara yang terdapat dalam kotoran hewan ini ketersediaannya relatif lambat sehingga tidak mudah hilang. (Litbang Pertanian, 2006).

Nisbah C/N memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan organik tersebut dilapuk, tingkat kematangan dari bahan organik tersebut ataupun tentang mobilisasi N pada tanah.Nisbah C/N pupuk kandang dapat mencapai nilai 90. Nilai nisbah C/N bahan organik segar menentukan reaksi dalam tanah. Tanah-tanah dengan bahan organik stabil umumnya mempunyai nisbah C/N sekitar 10.0 (Leiwakabessy, 1988). Proses penguraian bahan organik dengan nisbah C/N yang tinggi akan memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap tanaman karena dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan hara seperti, nitrogen tersedia dalam tanah. Hal ini karena terjadinya persaingan antara tanaman dan mikrob, sehingga tanaman akan mengalami penurunan suplai nitrogen (Hakim et al., 1986).

2.5. Nitrogen, Fosfor dan Kalium dalam tanah

2.5.1. Nitrogen

Menurut Soepardi (1983), nitrogen merupakan unsur yang paling cepat memberikan pengaruh pada tanaman dengan mencolok. Hampir pada seluruh tanaman, nitrogen menjadi pengatur dari penggunaan kalium, fosfor, dan penyusun lainnya, namun dalam tanah jumlahnya sedikit, yaitu berkisar antara 0.02-0.4%. Secara alamiah, N yang terdapat dalam tanah berasal dari air hujan, bahan organik dan fiksasi jasad renik. Air hujan diperkirakan memberikan 22.4 kg N/ha/tahun tergantung lokasi dan dari fiksasi biologi yang diperkirakan antara 16.8-50.4 kg N/ha/tahun. Dengan laju dekomposisi bahan organik 2% pertahun, sumber tersebut diperkirakan memberikan 22-45 kg N/ha/tahun. Dengan menghitung jumlah yang hilang, ketiga sumber yang dikemukakan di atas tidak


(21)

mencukupi kebutuhan tanaman (Leiwakabessy, 1998). Sebagian besar nitrogen dalam tanah berada dalam bentuk N organik baik yang terdapat dalam bahan organik maupun fiksasi N oleh mikroba tanah yang tidak tersedia bagi tanaman dan hanya sebagian kecil berupa N-anorganik yaitu NH4+ dan NO3- (Prasetyo et

al., 2004). Pelapukan N-organik merupakan proses yang menjadikan N yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi N tersedia bagi tanaman. Pelapukan merupakan proses biokimia kompleks yang membebaskan karbondiokasida. Akhirnya nitrogen kemudian dibebaskan menjadi nitrit kemudian nitrat. Kedua proses terakhir disebut nitrifikasi, sedangkan proses berubahnya organik menjadi N-anorganik disebut mineralisasi. (Soepardi, 1983).

Hilangnya nitrogen dalam tanah dapat melalui proses denitrifikasi, volatilisasi, pencucian oleh air, dan penyerapan oleh tanaman. Sekitar 40% N hilang melalui volatilisasi amonia (Buckman & Brady 1987). Minggu pertama setelah pemupukan, proses nitrifikasi telah berlangsung, dan ketika musim penghujan, 30 hari setelah pemupukan hampir sebagian N akan hilang. Pada kondisi curah hujan yang tinggi, NO3- akan tercuci dari horizon atas tanah dan akan cepat hilang karena denitrifikasi. Pada musim kemarau, nitrat akan diakumulasikan pada bagian atas horizon tanah, sehingga kadar nitrat akan meningkat (Tisdale et al., 1985). Amonium merupakan bentuk N yang stabil terutama dalam tanah tergenang. Amonium dapat terfiksasi oleh mineral silikat, tidak larut dalam air, dan tidak mudah ditukar (Notohadi 1998).

2.5.2. Fosfor

Mobilitas P dalam tanah sangat rendah karena reaksi dengan komponen tanah maupun dengan ion-ion logam dalam tanah seperti Ca, Al, Fe, dan lain-lain membentuk senyawa yang kurang larut dengan tingkat kelarutan berbeda-beda. Reaksi tanah (pH) memegang peranan sangat penting dalam mobilitas unsur P (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Sumber fosfor dalam tanah yang utama adalah pupuk buatan, pupuk organik, sisa tanaman dan pupuk hijau dan senyawa alamiah baik organik maupun inorganik dari unsur tersebut yang sudah ada dalam tanah. Ketersediaan P dalam tanah terutama P inorganik ditentukan oleh pH tanah, Fe, Al, Mn, tersedianya Ca


(22)

dalam tanah, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik dan kegiatan jasad mikro (Soepardi, 1983).

Ketersediaan fosfor yang sangat rendah adalah salah satu masalah penting pada tanah masam. Kelarutan Al dan Fe yang tinggi akan menyebabkan terhambatnya ketersediaan fosfat. Bahkan pada kondisi ini, mobilitas P menjadi rendah dan cepatnya unsur P dari pupuk dijerap tanah dalam bentuk Al-P, Fe-P, atau bentuk lain. Reaksi kimia antara ion fosfat dengan Al atau Fe tersebut menghasilkan bentuk hidroksi fosfat yang tidak larut. Konsekuensi dari hasil reaksi ini menyebabkan bentuk fosfat yang tidak larut, atau hanya sedikit ion H2PO-4 yang tersedia bagi tanaman. Mekanisme dari reaksi ini yakni ion fosfat menggantikan kedudukan ion OH dari koloid tanah atau mineral. Reaksi terjadi sebagai berikut:

Untuk mencegah ion fosfat dan atau melepaskan fosfat yang telah terikat pada keadaan ini maka dua mekanisme yang memungkinkan yakni: i) mengendapkan Fe dan Al menjadi tidak larut, melalui penetralan pH tanah; dan ii) mengkompleks Al atau Fe melalui pengkelatan oleh bahan organik tanah (Basuki, 2007).

2.5.3. Kalium

Kalium merupakan unsur hara mineral paling banyak dibutuhkan tanaman setelah Nitrogen dan merupakan kation monovalen (K+) yang diserap oleh akar tanaman yang lebih besar jumlahnya dari kation-kation lain. Jumlah K yang diambil tanaman berkisar antara 50-200 kg K/ha atau sebanding dengan 25-100 ppm K tergantung jenis tanaman dan besar produksi (Leiwakabessy, 2004). Berdasarkan ketersediannya bagi tanaman, K dalam tanah dapat dikelompokkan menjadi: 1) K tak dapat dipertukarkan; 2) K dapat dipertukarkan; dan 3) K dalam larutan tanah. Masalah utama kalium adalah ketersediaan. Kalium diikat dalam bentuk-bentuk yang kurang tersedia. Jumlah kalium dapat dipertukarkan (tersedia bagi tanaman) tidak melebihi 1% dari seluruh kalium tanah (Soepardi, 1983).

Al3+ + H2PO4 -Fe3+ + H2PO4

-AlPO4.2H2O + 2H+ FePO4.2H2O + 2H+


(23)

Sumber kalium dalam tanah yang utama adalah pupuk buatan, pupuk organik, sisa tanaman dan pupuk hijau, senyawa alamiah baik organik maupun inorganik dari unsur tersebut yang ada dalam tanah (Soepardi, 1983). Kalium peka terhadap pencucian, terutama pada tanah-tanah dengan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan kapasitas anion yang rendah. Leiwakabessy (1998) mengatakan bahwa kalium dalam tanaman tidak ditemukan dalam hasil-hasil metabolisme dalam senyawa-senyawa organik tertentu seperti halnya N, P, dan lain-lain, tetapi umumnya terdapat dalam ikatan yang mudah sekali larut. Sekitar 99% dari K dalam bagian tanaman yang kering diduga dapat terbilas oleh air hujan.

2.6. Basa-basa dapat Dipertukarkan (Ca-dd dan Mg-dd) dalam Tanah dan Karakteristiknya

Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) tergolong unsur-unsur mineral esensial sekunder yang dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit dibandingkan unsur-unsur esensial primer (N, P, dan K). Unsur Ca dan Mg diserap tanaman dalam bentuk Ca2+ dan Mg2+ terutama melalui mass flow dan intersepsi. Kedua unsur tersebut mempunyai sifat dan perilaku yang sama dalam tanah. Kadar Ca dalam larutan biasanya 10 kali lebih besar dibandingkan K+ tetapi serapannya jauh lebih rendah. Kadar Ca dalam tanah di daerah tropika basah antara 0.1%-0.3%, sedangkan kadar Mg dalam tanah di daerah tropika basah antara 5 ppm-50 ppm (Leiwakabessy, 1998).

Kalsium dan magnesium merupakan bagian dari bahan kapur yang berperan untuk mengurangi kemasaman tanah. Pada tanah-tanah di daerah basah, Ca dan sebagian kecil Mg bersama-sama dengan H+ merupakan kation-kation dominan pada kompleks jerapan. Senyawa Ca dan Mg mempunyai keuntungan tidak meninggalkan residu yang dapat merugikan tanah. Kehilangan Ca dan Mg dari tanah disebabkan oleh tiga hal, yaitu melalui erosi, pencucian dan terangkut oleh tanaman. Hal ini yang menyebabkan mengapa tanah di daerah humid cenderung bereaksi masam (Soepardi, 1983).

2.7. Reaksi Tanah(pH)

Kemasaman tanah berhubungan dengan ion Al3+ dan H+ dalam bentuk yang dapat dipertukarkan. Adapun ion Al3+ yang terjerap berada dalam keadaan keseimbangan dengan Al3+ dalam larutan tanah (Black, 1973). Dalam larutan


(24)

tanah Al merupakan sumber kemasaman tanah karena cenderung terhidrolisis. Ion hidrogen yang dibebaskan, selanjutnya akan memberikan nilai pH rendah bagi larutan tanah dan mungkin merupakan sumber utama ion hidrogen dalam sebagian besar tanah masam (Brady, 1990).

Sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam-asam organik dan anorganik yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah, merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan CO2 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+ yang ada dalam tanah yang akan dijerap oleh kompleks liat sehingga ion-ion H+ dapat dipertukarkan. Ion-ion H+ dapat dipertukarkan tersebut akan menjadi ion-ion H+ bebas. Derajat ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan kemasaman tanah. Ion-ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya kemasaman tanah potensial atau cadangan. Besaran dari kemasaman potensial ini dapat ditentukan dengan titrasi tanah. Ion-ion H+ bebas mengakibatkan kemasaman aktif. Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman inilah yang sangat menentukan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Tan, 1995).

Pengaruh pH terhadap pertumbuhan tanaman sangat kompleks. Pengaruh langsung ion H+ harus dipisahkan dari pengaruh tidak langsung yang berhubungan dengan perubahan kelarutan dan ketersediaan berbagai unsur yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Sanchez, 1976).


(25)

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dimulai pada November 2010 sampai Mei 2011, tempat penelitian dilakukan di rumah kaca University Farm Kebun Percobaan Cikabayan, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta di Balai Penelitian Tanah, Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan tanah bagian lapisan atas (0-20 cm) Latosol Darmaga, terak baja yang berasal dari dua sumber, yaitu terak baja convertor dari Sumitomo Metal Industry, Jepang dan terak baja

electric furnace dari Krakatau Steel Industry, Indonesia serta bahan organik berupa pupuk kandang kotoran sapi produksi Sarana Tani yang beredar dipasaran.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari cangkul, penumbuk tanah, saringan 5 mm, saringan 2 mm, label, selang, ember, alat semprot dan alat tulis. Peralatan yang digunakan dalam laboratorium untuk analisis tanah diantaranya adalah pH meter, Spectrophotometer, Atomic Absorption, dan Flamephotometer, serta alat-alat gelas kimia seperti tabung reaksi, pipet, labu erlenmeyer, serta bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis.

3.3. Pelaksanaan Percobaan

3.3.1. Persiapan Bahan Tanah

Bahan tanah yang digunakan adalah Latosol Darmaga pada kedalaman 0-20 cm yang telah dibersihkan dari akar tanaman dan bahan kasar, selanjutnya dikeringudarakan lalu dikompositkan. Untuk keperluan analisis pendahuluan, bahan tanah dihaluskan kemudian diayak dengan saringan berukuran 2 mm.

Bahan tanah dalam polybag yang berisi 5 kg BKM sebagai media tanam tanaman caisim diberi perlakuan terak baja dan bahan organik sesuai perlakuan. Dosis terak baja ini ditentukan berdasarkan Al-dd tanah dan daya netralisasi (DN) masing-masing terak. Untuk jenis terak baja convertor, perhitungan daya netralisasi menggunakan data analisis yang pertama, yaitu terak baja convertor

dengan komposisi CaO sebesar 19.56% dan MgO sebesar 6.46%. Namun setelah dilakukan analisis ulang jenis terak baja convertor tersebut saat penelitian sudah


(26)

berlangsung, didapatkan data kadar CaO (53.36%) dan MgO (2.86%) yang berbeda dengan analisis sebelumnya sehingga dosis perlakuan tidak didasarkan pada data analisis yang diulang, tetapi tetap berdasarkan analisis yang pertama. Perbedaan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa komposisi terak baja cukup heterogen bahkan pada satu sumber terak baja sekalipun. Dosis terak baja yang diberikan pada perlakuan (per pot dan kesetaraannya) tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan Dosis Terak Baja serta Kesetaraannya

Bahan organik yang digunakan berasal dari kotoran sapi dengan dosis 40.98 g/pot atau setara dengan 10 ton/ha. Hasil analisis nisbah C/N bahan organik (kadar air 61.00%) adalah sebesar 31.76. Bahan tanah, bahan organik dan terak baja yang telah tercampur sesuai dengan perlakuan kemudian diinkubasi selama dua minggu dengan kadar air yang dipertahankan sekitar 80% dari kapasitas lapang.

3.3.2. Analisis Tanah

Pengambilan contoh tanah dilakukan setelah pertanaman caisim dipanen pada tanah yang telah diberikan perlakuan terak baja dan bahan organik. Bahan tanah yang berada dalam polybag diambil kemudian diaduk/dicampur untuk mendapatkan kondisi yang homogen. Tanah kemudian dikeringudarakan lalu disaring dengan saringan 2 mm dan diambil secukupnya untuk keperluan analisis tanah. Analisis tanah meliputi pH tanah, N Total, P tersedia, Ca-dd, Mg-dd, dan K-dd. Dilakukan juga pengukuran kandungan logam berat Pb, Cd, As, Sn dan Hg.

3.4. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan tentang pengaruh terak baja dan bahan organik pada tanah setelah pertanaman caisim. Rancangan penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial 3 faktor dengan faktor utama adalah jenis terak baja yaitu S1 (convertor

Dosis Terak Baja S1 (Convertor) S2 (Electric Furnace)

ton/ha g/pot ton/ha g/pot

T0 (Tanpa Terak) - - - -

T1 (1 Al-dd) 5 12.97 4 9.98

T2 (2 Al-dd) 10 25.94 8 19.96


(27)

Jepang) dan S2 (electric furnace Indonesia). Faktor kedua yaitu terak baja dengan 4 dosis (T0, T1, T2, T3) dan faktor ketiga bahan organik (B0 dan B1) sehingga terdapat 16 kombinasi, yaitu S1T0B0, S1T0B1, S1T1B0, S1T1B1, S1T2B0, S1T2B1, S1T3B0, S2T3B1, S2T0B0, S2T0B1, S2T1B0, S2T1B1, S2T2B0, S2T2B1, S2T3B0, S2T3B1. Masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ulangan, sehingga terdapat 64 satuan percobaan (64 polybag). Model rancangan percobaan adalah sebagai berikut

Yijk = μ + ρk + αi + j + k + (α )ij +(α )ik + ( )jk + (α )ijk + εijk dengan i =1,β…,a; j = 1,β,…,b; k = 1,β,…,r

Yijk = pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B.

μ = nilai rata-rata yang sesungguhnya (rata-rata populasi)

ρk = pengaruh aditif dari kelompok ke-k

αi = pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor jenis terak

j = pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor dosis terak

k = pengaruh aditif taraf ke-k dari faktor bahan organik

(α )ij = pengaruh aditif taraf ke-i dari jenis terak dan taraf ke-j dari dosis terak

(α )ik = pengaruh aditif taraf ke-i dari jenis terak dan taraf ke-k dari bahan organik

( )jk = pengaruh aditif taraf ke-j dari dosis terak dan taraf ke-k dari bahan organik

(α )ijk = pengaruh aditif taraf ke-i dari jenis terak, taraf ke-j dari dosis terak, dan taraf ke-k dari bahan organik

ik = pengaruh acak dari petak utama, yang muncul pada taraf ke-i dari jenis terak dalam kelompok ke-k. Sering disebut galat petak utama.

ik ~ N(0,σ β).

εijk = pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh

kombinasi perlakuan ij. Sering disebut galat anak petak. εijk

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan jenis terak, dosis terak dan bahan organik terhadap kadar hara tanah, maka dilakukan analisis ragam dengan


(28)

menggunakan program SAS. Bila terdapat pengaruh nyata akan dilakukan analisis lanjut dengan menggunakan metode Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) atau uji wilayah Duncan pada taraf 5%.


(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga.

Berdasarkan kriteria penilaian menurut PPT (1983) (Tabel Lampiran 2), hasil analisis (Tabel Lampiran 1) menunjukkan bahwa sifat kimia dan fisik tanah pada Latosol yang digunakan dalam penelitian ini tergolong tanah masam (pH 5.0), mempunyai kandungan C-organik, N-total dan Ca yang rendah dengan P-Bray yang sangat rendah. Kandungan Mg, K dan Na yang tergolong sedang, KTK rendah serta KB yang tergolong sedang. Tanah ini masuk ke dalam kelas tekstur liat, karena memiliki persentase liat yang sangat besar yaitu 74.64%, sedangkan debu 18.17% dan pasir 7.19%. Secara umum tanah ini memiliki kandungan hara yang relatif rendah, terutama P-tersedia dan N-total, serta kandungan C-organik rendah.

4.2. Komposisi Hara pada Terak Baja

Komposisi hara pada terak baja Jepang (convertor) dan Indonesia (electricfurnace) disajikan pada Tabel 2. Masing-masing terak baja memiliki kandungan basa-basa yang cukup tinggi. Kandungan CaO dan MgO pada masing-masing terak baja menunjukkan bahwa kandungan CaO pada terak baja S1 (convertor slag Jepang) lebih tinggi dibandingkan pada terak baja S2 (electric

furnace slag Indonesia), namun kandungan MgO dan SiO2 pada jenis terak S2 lebih tinggi dibandingkan pada jenis terak S1. Daya netralisasi masing-masing terak baja berdasarkan equivalen CaCO3 dari unsur-unsur CaO dan MgO yang terdapat dalam terak adalah sebesar 102.44 % (jenis terak S1) dan 66.39 % (jenis terak S2). Disamping itu masing-masing terak baja juga memiliki kandungan unsur mikro Fe, Al, Mn, Cu dan Zn yang berbeda komposisinya pada masing-masing terak baja. Dengan kandungan yang terdapat dalam terak baja, diharapkan pemberian pada tanah mampu menaikkan pH serta memperbaiki sifat kimia tanah

Perbedaan komposisi terak baja ini dikarenakan karena proses pembuatan masing-masing slag juga berbeda. Terak baja S1 (convertor Jepang) terbentuk melalui proses convertor sedangkan jenis terak baja S2 (Electric Furnace Indonesia) melalui proses electric furnace. Meskipun mempunyai komposisi yang berbeda, kedua jenis terak tetap memiliki potensi yang baik untuk pertanian terutama untuk pengapuran. Hal ini dipertegas oleh Suwarno (1993) yang


(30)

menyatakan bahwa terak baja Jepang sama baiknya dengan terak baja Indonesia karena memiliki potensi untuk pengapuran.

Tabel 2. Komposisi Hara pada Terak Baja

Sumber : * Basuki Sumawinata (2010) ** Suwarno (1997)

4.3. Nilai pH Tanah Setelah Pertanaman Caisim dipanen

Hasil uji ragam menunjukkan nilai pH tanah dipengaruhi oleh dosis terak baja dan bahan organik. Hasil uji lanjut masing-masing dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Nilai pHtanah akibat pemberian terak baja dan bahan organik

Dosis Terak pH Bahan Organik pH

T0 5.08 d B0 6.10 b

T1` 6.16 c B1 6.29 a

T2 6.63 b

T3 6.99 a

Keterangan : Angka yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antara dosis terak pada dan bahan organik.

Tabel 3 menunjukkan bahwa pengaruh penambahan terak baja dan bahan organik nyata meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH pengaruh terak baja berkisar dari 1.08 sampai 1.91 unit pH, sedangkan pengaruh bahan organik hanya 0.19 unit pH. Peningkatan nilai pH oleh dosis terak baja disebabkan oleh tingginya kandungan CaO pada terak baja, yaitu 53.36% pada terak baja convertor

dan 21.6% pada electric furnace. Senyawa CaO bereaksi dengan H2O membentuk Parameter Satuan

S1 (Convertor Jepang)*

S2 (Electric

FurnaceIndonesia)**

Nilai Nilai

B-tersedia ppm 38.7 38.7

P2O5 % 0.84 0.37

K2O % 0.01 0.18

CaO % 53.36 21.6

MgO % 2.86 11.6

SiO2 % 6.57 14.6

Fe2O3 % 8.12 42.6

Al2O3 % 2.05 7.21

MnO2 % 3.30 1.55


(31)

Ca(OH)2 yang dapat terurai menjadi Ca2+ dan 2OH-. Peningkatan konsentrasi OH -dalam larutan tanah dapat meningkatkan nilai pH tanah. Ion OH- akan berikatan dengan H+ menjadi H2O sehingga ion H+yang menjadi penyebab kemasaman tanah aktif akan berkurang dan pH akan meningkat. Penambahan bahan organik pada tanah yang tergolong masam seperti Latosol juga meningkatkan pH tanah karena diduga asam-asam organik hasil dekomposisi dapat mengikat Al membentuk senyawa kompleks (khelat), sehingga Al tidak terhidrolisis lagi (Suntoro, 2003). Ia juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik pada tanah masam, antara lain Inseptisol, Ultisol dan Andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al-dd tanah.

4.4. Kadar Hara (N, P, K, Ca, Mg) Tanah Setelah Penanaman

4.4.1. Nitrogen Total.

Hasil analisis ragam kadar N tanah dipengaruhi oleh faktor tunggal dosis terak, interaksi jenis terak dengan dosis terak dan interaksi dosis terak dengan bahan organik. Hasil uji lanjut masing-masing disajikan pada Tabel 4.

Tabel4.Kadar Nitrogen Tanah Akibat Interaksi antara Jenis Terak dengan Dosis Terak dan interaksi Dosis Terak dengan Bahan Organik

Keterangan: Nilai dengan huruf yang berbeda kearah baris (huruf besar) dan kolom (huruf kecil) menunjukkan berbeda nyata (P<0.005) atau berbeda sangat nyata (P<0.01), sebaliknya huruf yang sama kearah baris dan kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 4 menunjukkan pada perlakuan S1,peningkatan dosis terak baja nyata menurunkan N total tanah, namun antara pengaruh dosis T1, T2, dan T3 tidak berbeda. Pada jenis terak S2, peningkatan dosis terak baja tidak berpengaruh terhadap N Total tanah namun pengaruh perlakuan T3 lebih tinggi daripada T1. Perbandingan pengaruh antar jenis terak menunjukkan bahwa pada dosis terak T0, T1, T2 kadar N total tanah antara S1 dan S2 tidak berbeda, kecuali pada dosis T3 pengaruh S2 menghasilkan N total tanah lebih tinggi daripada S1.

Bahan Organik Dosis

Terak

B0 B1

... % ...

T0 0.11 Aa 0.10 Aab

T1 0.09 Ab 0.09 Ab

T2 0.09 Bb 0.11 Aa

T3 0.09 Ab 0.10 Aab

Terak Baja Dosis

Terak

S1 S2

... % ...

T0 0.11 Aa 0.1Aab

T1 0.09Ab 0.09 Ab

T2 0.10Aab 0.10 Aab


(32)

Interaksi antara dosis terak dengan bahan organik (Tabel 4) menunjukkan bahwa pada perlakuan B0, peningkatan dosis terak baja menurunkan kadar N total tanah, sedangkan pada perlakuan B1, kadar N-total menurun pada T1 dan meningkat lagi pada perlakuan T2, namun kadar N tanah baik pengaruh dosis terak pada S1 dan S2 masih tergolong sangat rendah (berkisar dari 0.08-0.11%). Penurunan dan rendahnya kadar N tanah disebabkan karena terak baja bukan merupakan sumber nitrogen dan sebagian besar N diserap oleh tanaman. Adapun peningkatan yang disebabkan oleh penambahan bahan organik adalah karena bahan organik merupakan salah satu sumber nitrogen tanah.

4.4.2. P Tersedia

Hasil analisis ragam P-tersedia tanah dipengaruhi oleh faktor tunggal jenis terak, dosis terak dan bahan organik. Hasil analisis ragam juga menunjukkan adanya interaksi antara jenis terak dengan dosis terak. Rataan P-tersedia dan hasil uji lanjut digambarkan pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1 menunjukkan pada pengaruh jenis terak S1, kadar P-tersedia tanah berkisar antara 2.90 ppm-3.21 ppm, sedangkan pada jenis terak S2 berkisar antara 2.73 ppm-4.48 ppm. Peningkatan dosis terak pengaruh jenis terak S1 tidak nyata meningkatkan kadar P-tersedia tanah, sedangkan pengaruh jenis terak S2 nyata meningkatkan kadar P seiring dengan peningkatan dosis terak, meskipun kandungan pada T3 menurun, kadar P-tersedia pada pengaruh jenis terak S2 masih lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol. Perbandingan pengaruh antar jenis terak menunjukkan kadar P-tersedia tanah pengaruh dosis terak T0, T1, dan T3 tidak berbeda, namun pada T2 pengaruh jenis terak S2 lebih besar dibanding S1. Selanjutnya Gambar 2 menunjukkan pemberian bahan organik mampu meningkatkan P-tersedia dalam tanah dengan peningkatan sebesar 10%.

Pengaruh dosis terak terhadap kadar P-tersedia tanah selain disebabkan oleh sumbangan P oleh terak baja, juga diduga berhubungan dengan tingginya kandungan SiO2 pada terak baja (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan kandungan SiO2 pada terak baja S1 lebih rendah dibanding terak baja S2. Senyawa SiO2 pada terak baja terhidrolisis membentuk anion SiO44- yang mampu mendorong anion P dari ikatan unsur lain seperti Al dan Fe sehingga P dibebaskan ke dalam larutan tanah (Kristen dan Erstad, 1996). Selain itu pH tanah akibat pemberian terak baja dan


(33)

bahan organik (Tabel 3) menunjukkan nilai pH tanah berkisar antara 6-7. Menurut Leiwakabessy (2003), ketersediaan fosfor yang tertinggi diperoleh pada selang pH 6.0 - 6.5. Peningkatan pH akan menurunkan kelarutan Al dan Fe sehingga retensi P akan berkurang. Pada dosis terak T3 pengaruh jenis terak S2, kadar P-tersedia terlihat menurun. Hal ini diduga akibat pengikatan P oleh Ca (Ca-P) meningkat. Hal ini disebabkan karena kadar Ca-P akan meningkat pada pH>7 (pH tinggi).

Pemberian bahan organik meningkatkan P-tersedia tanah karena sumbangan P dari hasil mineralisasi bahan organik dari P-organik menjadi P-anorganik. Hal ini karena bahan organik sendiri merupakan sumber P selain unsur N dan S. Peningkatan P-tersedia ini juga diduga berhubungan dengan peningkatan pH akibat pemberian bahan organik, selain itu bahan organik juga akan membentuk senyawa kompleks yang stabil (khelat) dengan besi (Fe) dan aluminium (Al) (Leiwakabessy, 2003). Asam-asam organik yang terbentuk dari dekomposisi bahan organik memiliki daya tarik yang besar dengan Al dan Fe sehingga asam-asam tersebut akan membentuk formasi kompleks yang stabil dengan logam-logam yang terikat dengan fosfat, sehingga fosfat sebagian akan dibebaskan kedalam larutan tanah. Hal ini akan meningkatkan kadar P-tersedia dalam tanah.

Gambar 1.Kadar P-tersedia tanah interaksi antara jenis terak dengan dosis terak

Gambar 2. Kadar P-tersedia tanah faktor tunggal bahan organik

Keterangan: Huruf besar yang sama tidak berbeda nyata antara jenis terak baja, sedangkan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata antara dosis terak baja

Keterangan: Huruf besar yang sama tidak berbeda nyata antara bahan organik


(34)

4.4.3. Kalium dapat dipertukarkan (K-dd)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kalium dapat dipertukarkan (K-dd) dipengaruhi oleh faktor tunggal dosis terak dan bahan organik. Hasil analisis ragam juga menunjukkan terdapat interaksi antara dosis terak dengan bahan organik. Hasil uji lanjut disajikan pada Tabel 5.

Tabel5. Kadar Kalium Dapat Dipertukarkan dalam Tanah Akibat Interaksi Dosis Terak dengan Bahan Organik

Dosis B0 B1

... me/100 g ...

T0 0.43 Aa 0.40 Aa

T1 0.27 Ab 0.32 Ab

T2 0.25 Bb 0.31 Ab

T3 0.21 Bc 0.30 Ab

Keterangan: Nilai dengan huruf yang berbeda kearah baris (huruf besar) dan kolom (huruf kecil) menunjukkan berbeda nyata (P<0.005) atau berbeda sangat nyata (P<0.01), sebaliknya huruf yang sama kearah baris dan kolom menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 5 menunjukkan pada perlakuan tanpa pemberian bahan organik (B0), pengaruh dosis terak baja nyata menurunkan K-dd tanah, namun antara pengaruh perlakuan T1 dan T2 tidak berbeda nyata. Pada perlakuan dengan pemberian terak baja (B1), pengaruh dosis terak baja menurunkan K-dd tanah, namun antara pengaruh dosis T1, T2 dan T3 tidak berbeda. Perbandingan antar pengaruh perlakuan bahan organik menunjukkan bahwa pada dosis terak T0, T1, kadar K-dd tanah antara pengaruh B0 dan B1 tidak berbeda, namun pada dosis T2 dan T3 pengaruh B1 menghasilkan K-dd tanah lebih tinggi daripada B0 dengan peningkatan masing-masing sebesar 23% dan 46%.

Nilai K-dd dalam tanah menurun seiring dengan jumlah dosis terak baja. Hal ini diduga berhubungan dengan peningkatan kadar Ca-dd tanah (Gambar 3) dan Mg-dd tanah (Gambar 5) sehingga terjadi persaingan ketersediaan K, Ca, dan Mg dalam larutan tanah. Leiwakabessy (2003) menyatakan bahwa kandungan K dalam tanah dipengaruhi oleh ratio K/Ca+Mg, dimana semakin besar kadar Ca dan Mg akan mengakibatkan ratio makin kecil dan berarti kandungan K-dd dalam tanah menjadi rendah. Hal ini karena ion-ion Ca, Mg dan K memiliki sifat persaingan satu terhadap yang lain. Jika dalam tanah terdapat ion-ion yang lain lebih banyak dan terdapat ion yang jumlahnya lebih sediki diantara ketiga ion tersebut, maka ketersediaan ion yang sedikit tersebut akan menurun akibat terjadinya persaingan unsur-unsur tersebut. Kandungan Ca dan Mg dalam tanah


(35)

akibat pemberian terak baja sangat tinggi dibandingkan dengan kandungan K sehingga ketersediaan K dalam tanah akan menurun. Selanjutnya pemberian bahan organik ke dalam tanah cenderung meningkatkan K-dd tanah karena bahan organik (pupuk kandang) merupakan salah satu sumber K bagi tanah. Penurunan K-dd pada B0 dengan meningkatnya dosis terak diduga berhubungan dengan peningkatan serapan K tanaman (caisim) dengan meningkatnya dosis terak pada hasil penelitian sebelumnya dan pengaruh pada B1 tidak berbeda.

4.4.4. Kalsium dapat dipertukarkan (Ca-dd)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kalsium dapat dipertukarkan (Ca-dd) dipengaruhi oleh faktor tunggal jenis terak, dosis terak dan bahan organik. Hasil analisis ragam juga menunjukkan adanya interaksi antara jenis terak dengan dosis terak. Rataan Ca-dd dan hasil analisis lanjut digambarkan pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3 menunjukkan pengaruh pemberian terak baja mampu meningkatkan Ca-dd tanah baik pada perlakuan jenis terak S1 maupun pada S2 dengan kadar Ca-dd pada S1>S2, selanjutnya Gambar 4 menunjukkan bahwa pemberian bahan organik mampu meningkatkan kadar Ca-dd tanah.

Pada perlakuan S1, kadar Ca-dd cenderung lebih tinggi daripada S2. Hal ini karena kandungan CaO jenis terak S1 lebih tinggi dibandingkan jenis terak S2 (Tabel 2). Kadar Ca-dd pengaruh terak baja pada S1 berkisar 4.88–17.79 me/100 g sedangkan pada S2 berkisar antara 4.43–10.80 me/100 g. Peningkatan pengaruh S1

Gambar 3.Kadar Ca-dd tanah pengaruh interaksi jenis terak dengan dosis terak

Gambar 4. Kadar Ca-dd tanah pengaruh faktor tunggal bahan organik

Keterangan: Huruf besar yang sama tidak berbeda nyata antara jenis terak baja, sedangkan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata antara dosis terak baja

Keterangan: Huruf besar yang sama tidak berbeda nyata antara bahan organik


(36)

pada dosis T1, T2, dan T3 terhadap T0 masing-masing sebesar 113%, 170%, dan 265%, sedangkan pada S2 masing-masing sebesar 91%, 114%, dan 144%. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan Ca-dd sebesar 15%. Hal ini karena bahan organik juga merupakan sumber Ca walapupun kadarnya kecil.

Peningkatan kandungan Ca-dd selain karena sumbangan CaO dari terak baja, juga karena peningkatan pH akibat pengaruh terak dan bahan organik (Tabel 3). Peningkatan pH pada tanah akibat penambahan dosis terak maupun dengan penambahan bahan organik akan menurunkan aktivitas Al dan H sebagai ion yang mampu menekan Ca. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwarno dan Goto (1997) yang mengatakan bahwa pemberian terak baja meningkatkan konsentrasi Ca dan Mg dalam larutan tanah. Selain itu, bahan organik yang menyumbangkan Ca dari hasil dekomposisi juga akan menghasilkan senyawa kompleks (khelat) dengan Al sehingga Ca akan menempati bidang pertukaran pada permukaan koloid tanah yang membuat Ca akan tersedia dalam tanah.

4.4.5. Magnesium dapat dipertukarkan (Mg-dd)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa Magnesium dapat ditukar (Mg-dd) dipengaruhi oleh faktor tunggal dosis terak dan bahan organik. Hasil analisis ragam juga menunjukkan adanya interaksi antara jenis terak dengan dosis terak (Gambar 5) dan interaksi dosis terak dengan bahan organik (Gambar 6). Gambar 5 menunjukkan bahwa pengaruh pemberian terak baja pada perlakuan S1 meningkatkan Mg-dd tanah hanya pada dosis T3. Pengaruh S1 kadar Mg-dd berkisar dari 1.6-2.46 me/100 g dan peningkatan pada dosis T3 mencapai 27.34%. Pada perlakuan S2, pemberian terak baja meningkatkan Mg-dd tanah, dan berkisar dari 1.7-7.65 me/100 g dan peningkatan Mg-dd pada masing-masing dosis terak T1, T2, dan T3 terhadap T0 adalah 75%, 230%, dan 326%. Kandungan Mg-dd menurut kriteria PPT (1983) tergolong sedang sampai tinggi. Perbedaan pengaruh antar jenis terak menunjukkan bahwa Mg-dd dalam tanah pada jenis terak S1<S2. Hal ini karena kandungan MgO pada jenis terak S1<S2 (Tabel 2) yaitu masing-masing sebesar 2.86 % (S1) dan 11.6 % (S2). Pemberian bahan organik nyata meningkatkan Mg-dd pada dosis T1 sebesar 15%.

Interaksi antara dosis terak dengan bahan organik (Gambar 6) menunjukkan bahwa baik pada perlakuan B0 maupun pada B1, peningkatan dosis


(37)

terak baja mampu meningkatkan Mg-dd tanah. Peningkatan kandungan Mg-dd tanah pengaruh dosis terak T1, T2, dan T3 terhadap T0 pada B0 masing-masing sebesar 28%, 171% dan 208%, sedangkan pada B1 masing-masing sebesar 27%, 58% dan 145%. Peningkatan kadar Mg-dd tanah akibat pemberian terak baja karena kandungan MgO yang tinggi dalam terak baja (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Suwarno dan Goto (1997) yang menyatakan bahwa pemberian terak baja meningkatkan konsentrasi Ca dan Mg dalam larutan tanah. Selanjutnya, perlakuan penambahan bahan organik meningkatkan Mg-dd tanah. Hal ini diduga karena selain bahan organik mengandung hara Mg, juga karena bahan organik meningkatkan pH (Tabel 3). Kadar Mg-dd berhubungan langsung dengan peningkatan pH dimana seperti Ca-dd, Mg-dd akan menempati bidang pertukaran pada permukaan koloid tanah sehingga Mg-dd makin meningkat seiring dengan peningkatan pH.

4.5. Kandungan Logam Berat Terlarut pada Tanah Setelah Pertanaman Caisim

Hasil analisis logam berat terlarut tanah dengan metode pengeksrak HCl 0.05 N setelah pertanaman caisim disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Kadar Pb terlarut akibat pengaruh perlakuan terak baja dan bahan organik menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tanpa perlakuan (0.42 ppm) dengan kadar yang berkisar antara 0.02 ppm - 0.26 ppm pada jenis terak S1 dan 0.01 ppm - 0.26 ppm (Tabel 6). Hasil pengukuran pada jenis terak S1 menunjukkan tidak terdeteksinya

Gambar 5. Kadar Mg-dd dalam tanah pengaruh interaksi jenis terak dengan dosis terak

Gambar 6. Kadar Mg-dd dalam tanah pengaruh interaksi dosis terak dengan bahan organik

Keterangan: Huruf besar yang sama tidak berbeda nyata antara jenis terak baja, sedangkan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata antara dosis terak baja

Keterangan: Huruf besar yang sama tidak berbeda nyata antara bahan organik, sedangkan huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata antara dosis terak baja


(38)

kadar Cd terlarut pada semua perlakuan, namun pada jenis terak S2 terdeteksi dengan kadar sebesar 0.01 ppm.

Tabel 6. Kadar Logam Berat Terlarut ( Pb, Cd, As, Sn, Hg) Tanah pada Perlakuan Jenis Terak S2 (Convertor Slag Japan) Akibat Pemberian

Terak Baja dan Bahan Organik

Perlakuan Pb Cd As Sn Hg

... (ppm) ... ppb Kontrol (Tanpa

Perakuan) 0.42 td td td 0.70

Bahan Organik 0.26 td 0.01 td 2.17

S1T1B0 0.02 td 0.01 0.08 0.28

S1T1B1 0.02 td 0.02 td td

S1T2B0 0.02 td 0.01 td td

S1T2B1 0.03 td 0.01 0.15 td

S1T3B0 0.02 td td td 0.28

S1T3B1 0.03 td 0.01 td 0.35

Keterangan : td = tidak terdeteksi

Tabel 7. Kadar Logam Berat Terlarut ( Pb, Cd, As, Sn, Hg) Tanah pada Perlakuan Jenis Terak S2 (Electric Furnace Slag Indonesia) Akibat

Pemberian Terak Baja dan Bahan Organik

Perlakuan Pb Cd As Sn Hg

... (ppm) ... ppb Kontrol (Tanpa

Perlakuan) 0.42 td td td 0.70

Bahan Organik 0.26 td 0.01 td 2.17

S2T1B0 0.13 0.01 td td td

S2T1B1 0.11 td 0.01 td 0.42

S2T2B0 0.01 0.01 0.01 0.15 1.40

S2T2B1 0.03 0.01 0.01 td 0.42

S2T3B0 0.01 0.01 td td td

S2T3B1 0.02 0.01 0.01 td 0.84

Keterangan : td = tidak terdeteksi

Hasil pengukuran unsur As dan Sn terlarut(Tabel 6 dan 7) pada kontrol menunjukkan tidak terdeteksinya (td) logam berat, namun terdeteksi setelah penambahan terak baja dan bahan organik dengan kadar yang berkisar antara 0.01 ppm-0.02 ppm As terlarut pada jenis terak S1 dan 0.01 pada jenis terak S2, serta 0.08 ppm-0.15 ppm Sn terlarut pada jenis terak S1 dan 0.15 ppm pada jenis terak S2. Hasil pengukuran kadar logam berat Hg terlarut menunjukkan pada perlakuan kontrol kadarnya sebesar 0.70 ppb. Setelah perlakuan, kadar Hg terlarut terukur sebesar 2.17 ppb pada perlakuan bahan organik dan menurun setelah ditambahkan


(39)

terak baja dengan kadar yang berkisar antara 0.28 ppb – 0.35 ppb pada jenis terak S1 dan 0.42 ppb –1.40 ppb pada jenis terak S2.

Kandungan logam berat Pb dan Hg terlarut yang cenderung menurun dengan meningkatnya dosis terak baja diduga berhubungan dengan peningkatan pH akibat pemberian terak baja yang mengakibatkan kelarutan unsur logam berat menurun. Nilai pH yang tinggi menyebabkan kelarutan logam berat makin rendah, terutama bila berada dalam bentuk yang bervalensi tinggi atau bentuk teroksidasi (Soepardi, 1983). Darmono (1995) mengatakan bahwa pada tanah-tanah yang masam, pembebasan logam akan naik termasuk logam-logam yang toksik. Logam berat pada tanah yang beracun dapat diturunkan kelarutannya dengan menggunakan beberapa cara, antara lain dengan mempertahankan pH agar tetap tinggi sehingga unsur menjadi kurang mobil dan kurang tersedia (Soepardi, 1983), Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengapuran pada tanah masam sehingga pH akan naik dan menyebabkan imobilitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pH tanah akibat pemberian terak baja sangat berpengaruh terhadap perubahan sifat kimia tanah dibandingkan dengan ancaman keracunan akibat logam berat. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kelarutan logam berat yang selama ini menjadi masalah ancaman dalam pengaplikasian terak baja dalam dunia pertanian.


(40)

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Peningkatan dosis terak baja pada jenis terak S1 (convertor Jepang) menurunkan N-total tanah, sedangkan pada jenis terak S2 (electric furnace Indonesia) tidak berbeda. Nilai pH meningkat seiring dengan peningkatan dosis terak, dan pengaruh jenis terak menunjukkan efek yang sama terhadap pH. Pengaruh dosis terak pada jenis terak S1 meningkatkan Ca-dd dan Mg-dd, namun kadar P-tersedia tidak berbeda, sedangkan pada jenis terak S2 meningkatkan kadar P tersedia, Ca-dd dan Mg-dd.

Penambahan bahan organik meningkatkan pH, P-tersedia, dan Ca-dd tanah dan tidak dipengaruhi oleh jenis dan dosis terak. Selanjutnya, kadar N-total, K-dd, dan Mg-dd tanah meningkat dengan penambahan bahan organik dan dipengaruhi oleh dosis terak. Peningkatan dosis terak baik pada tanpa (B0) bahan organik dan dengan (B1) bahan organik pada interaksi antara dosis terak dan bahan organik meningkatkan Mg-dd, namun menurunkan K-dd tanah.

Terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya menurunkan Pb dan Hg terlarut, akan tetapi pada beberapa kombinasi perlakuan, Cd terlarut, As terlarut dan Sn terlarut berturut turut meningkat sebesar 0.01 ppm, 0.01-0.02 ppm dan 0.08-0.15 ppm dari kadar yang tidak terdeteksi pada tanah tanpa perlakuan.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di lapangan untuk mengetahui pengaruh terak baja jika diaplikasikan secara langsung dalam skala yang lebih luas.


(41)

VI. DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.T. and S.H. Shahram. 2007. Converter slag as a liming agent in the amelioration of acidic soils. International Journal of Agriculture and Biology. 9(5):715-720.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor. www.balittanah.litbang.deptan.go.id (Diakses tanggal 20 Februari 2012).

Barber, S. A. 1967. Liming materials and practice. In. R. W. Pearson and F. Adam (Eds). Soil Acidity and Liming. Am. SOC. Agron.Inc., Madison. p. 125-160.

Basuki, T. 2007. Pengaruh kompos, pupuk fosfat dan kapur terhadap perbaikan sifat kimia tanah Podzolik Merah Kuning, serapan fosfat dan kalsium serta pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Black, C.A. 1973. Soil Plant Relationship. 2nd ed. Wiley Eastern Private Limited, New Delhi.

Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soils. 10th ed. The Macmillan Publishing Company, New York.

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press, Jakarta. Dev, G. and P. Sharma. 1970. Basic slag as liming materials. The Indian Journal

of Agric. Sci. 40(10):856-863.

Dudal, R., dan M. Soepraptohardjo. 1957. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Pemberitaan Balai Besar Penyelidikan Tanah. Bogor.

Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M. Saul, M.A. Diha, G.B. Hong, H.H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Kalpage, F.S.C.F. 1974. Tropical Regions, Classification, Fertility and Management. Mac Millan Co. of India Limited. India

Kristen, M. and K.J. Erstad. 1996. Converter slag as liming material on organic soil. Norwegian J. Agri. Sci. 10. 83-93

Kurnia, U., D. Setyorini, T. Prihatini, S. Rochayati, Sutono dan H. Suganda. 2001. Perkembangan dan penggunaan pupuk organik di indonesia. Rapat koordinasi penerapan penggunaan pupuk berimbang dan peningkatan penggunaan pupuk organik. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian, Jakarta

Leiwakabessy, F.M., dan A. Sutandi. 2004. Pupuk dan pemupukan. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Leiwakabessy, F.M., U.M. Wahjudin, dan Suwarno. 2003. Kesuburan tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor


(1)

Tabel Lampiran 6. Analisis Ragam Kadar N-Total Tanah

Sumber DF JK FK F-hit Pr > F

Ulangan Jenis Terak Dosis terak Bahan Organik

Jenis Terak* Dosis Terak Jenis Terak*Organik Dosis Terak*Organik Jenis *Dosis*Organik Error Corrected Total 3 1 3 1 3 1 3 3 45 63 0.00090469 0.00026406 0.00342969 0.00035156 0.00424219 0.00003906 0.00240469 0.00151719 0.01097031 0.02412344 0.00030156 0.00026406 0.00114323 0.00035156 0.00141406 0.00003906 0.00080156 0.00050573 0.00024378 1.24 1.08 4.69 1.44 5.80 0.16 3.29 2.07 0.3074 0.3035 0.0062* 0.2361 0.0019* 0.6908 0.0291* 0.1170

* Pemberian terak baja dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap N-Total tanah dengan taraf nyata 5%

Tabel Lampiran 7. Analisis Ragam Kadar P-Tersedia Tanah

Sumber DF JK FK F-hit Pr > F

Ulangan Jenis Terak Dosis terak Bahan Organik

Jenis Terak* Dosis Terak Jenis Terak*Organik Dosis Terak*Organik Jenis *Dosis*Organik Error Corrected Total 3 1 3 1 3 1 3 3 45 63 0.33125000 7.84000000 11.07375000 1.69000000 4.50125000 0.81000000 0.60875000 2.21875000 17.80375000 46.87750000 0.11041667 7.84000000 3.69125000 1.69000000 1.50041667 0.81000000 0.20291667 0.73958333 0.39563889 0.28 19.82 9.33 4.27 3.79 2.05 0.51 1.87 0.8402 <.0001* <.0001* 0.0445* 0.0165* 0.1594 0.6755 0.1484

* Pemberian terak baja dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap P-Tersedia tanah dengan taraf nyata 5%


(2)

Tabel Lampiran 8. Analisis Ragam Kadar K-dd Tanah

Sumber DF JK FK F-hit Pr > F

Ulangan Jenis Terak Dosis terak Bahan Organik

Jenis Terak* Dosis Terak Jenis Terak*Organik Dosis Terak*Organik Jenis *Dosis*Organik Error Corrected Total 3 1 3 1 3 1 3 3 45 63 0.01657969 0.00000156 0.23785469 0.03018906 0.00616719 0.00018906 0.03530469 0.00012969 0.06384531 0.39026094 0.00552656 0.00000156 0.07928490 0.03018906 0.00205573 0.00018906 0.01176823 0.00004323 0.00141878 3.90 0.00 55.88 21.28 1.45 0.13 8.29 0.03 0.0148 0.9737 <.0001* <.0001* 0.2412 0.7168 0.0002* 0.9927

* Pemberian terak baja dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap K-dd tanah dengan taraf nyata 5%

Tabel Lampiran 9. Analisis Ragam Kadar Ca-dd Tanah

Sumber DF JK FK F-hit Pr > F

Ulangan Jenis Terak Dosis terak Bahan Organik

Jenis Terak* Dosis Terak Jenis Terak*Organik Dosis Terak*Organik Jenis *Dosis*Organik Error Corrected Total 3 1 3 1 3 1 3 3 45 63 17.0518750 169.6506250 786.0281250 32.7756250 94.9381250 15.4056250 16.5756250 17.9506250 226.433125 1376.809375 5.6839583 169.6506250 262.0093750 32.7756250 31.6460417 15.4056250 5.5252083 5.9835417 5.031847 1.13 33.72 52.07 6.51 6.29 3.06 1.10 1.19 0.3472 <.0001* <.0001* 0.0142* 0.0012* 0.0870 0.3598 0.3246

* Pemberian terak baja dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap Ca-dd tanah dengan taraf nyata 5%


(3)

Tabel Lampiran 10. Analisis Ragam Kadar Mg-dd Tanah

Sumber DF JK FK F-hit Pr > F

Ulangan Jenis Terak Dosis terak Bahan Organik

Jenis Terak* Dosis Terak Jenis Terak*Organik Dosis Terak*Organik Jenis *Dosis*Organik Error Corrected Total 3 1 3 1 3 1 3 3 45 63 1.6124250 115.9929000 100.3748750 1.2265563 71.2916500 0.9072562 6.1280688 3.5298187 27.5760250 328.6395750 0.5374750 115.9929000 33.4582917 1.2265563 23.7638833 0.9072562 2.0426896 1.1766062 0.6128006 0.88 189.28 54.60 2.00 38.78 1.48 3.33 1.92 0.4601 <.0001* <.0001* 0.1640 <.0001* 0.2300 0.0276* 0.1399

* Pemberian terak baja dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap Mg-dd tanah dengan taraf nyata 5%

Tabel Lampiran 11. Analisis Ragam Nilai pH Tanah

* Pemberian terak baja dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap nilaipH tanah dengan taraf nyata 5%

Sumber DF JK FK F-hit Pr > F

Ulangan Jenis Terak Dosis terak Bahan Organik

Jenis Terak* Dosis Terak Jenis Terak*Organik Dosis Terak*Organik Jenis *Dosis*Organik Error Corrected Total 3 1 3 1 3 1 3 3 45 63 0.08875000 0.04000000 31.43375000 0.56250000 0.16125000 0.04000000 0.38375000 0.06125000 2.10625000 34.87750000 0.02958333 0.04000000 10.47791667 0.56250000 0.05375000 0.04000000 0.12791667 0.02041667 0.04680556 0.63 0.85 223.86 12.02 1.15 0.85 2.73 0.44 0.5982 0.3602 <.0001* 0.0012* 0.3399 0.3602 0.0547 0.7282


(4)

41

Lampiran 12. Gambar Denah Percobaan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

S2T3B0 S1T0B0 S2T3B1 S1T0B0 S2T1B1 S1T1B1 S2T0B1 S1T2B0

S2T0B0 S1T0B1 S2T2B1 S1T0B1 S1T2B0 S2T0B1 S2T0B0 S2T3B0

S2T2B1 S2T0B1 S1T3B0 S2T0B0 S2T3B1 S2T2B0 S2T3B1 S1T0B1

S1T1B1 S2T1B1 S1T3B1 S2T1B1 S1T0B1 S1T2B1 S1T1B0 S1T3B1

S2T1B0 S1T3B1 S1T1B0 S2T0B1 S2T2B1 S1T3B1 S2T2B0 S2T1B1

S1T2B1 S2T2B0 S2T3B0 S1T1B1 S1T1B0 S2T1B0 S2T1B0 S1T0B0

S2T3B1 S1T1B0 S2T2B0 S1T2B0 S2T3B0 S2T0B0 S1T3B0 S1T1B1


(5)

RINGKASAN

AHYAR. Kadar Hara Makro dan Logam Berat Latosol Darmaga yang Diperlakukan Terak Baja dan Bahan Organik. Dibimbing oleh SRI DJUNIWATI

dan SYAIFUL ANWAR.

Indonesia berada dalam kawasan iklim tropis dengan suhu dan curah hujan tahunan yang tinggi, dan umumnya memiliki tanah bersifat masam dan tingkat kesuburan rendah. Latosol adalah salah satu tanah yang memiliki tingkat perkembangan lanjut dengan kadar bahan organik, KTK, dan KB rendah, serta fraksi liat yang agak tinggi sampai tinggi dan hampir merata pada semua horizon. Perbaikan kesuburan Latosol diantaranya melalui penambahan amelioran seperti terak baja dan bahan organik. Terak baja (steel slag) merupakan produk samping dari proses pemurnian besi cair dalam pembuatan baja. Penelitian menunjukkan bahwa terak baja berpotensi dimanfaatkan dalam bidang pertanian karena memiliki kandungan CaO berkisar antara 20% hingga diatas 50% dan juga kandungan Mg, Si, Fe serta beberapa unsur lainnya. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa terak baja sebagai bahan pengapuran lebih baik daripada dolomit. Namun Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup menggolongkan terak baja ke dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sehingga potensi terak baja untuk pertanian belum banyak dikembangkan. Keputusan yang menggolongkan semua terak baja ke dalam limbah B3 tidak realistis mengingat proses pembuatan baja bermacam-macam cara sehingga produk samping dari proses tersebut juga berbeda.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis sifat kimia tanah yang meliputi pH, kadar hara makro (N, P, K, Ca dan Mg) serta kadar logam berat (As, Pb, Sn, Cd dan Hg) setelah pertanaman caisim pada Latosol yang diberi perlakuan terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya. Penelitian tersebut menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial 3 faktor dengan faktor utama adalah jenis terak baja yaitu S1 (convertor Jepang) dan S2 (Eletric Furnace Indonesia). Faktor kedua yaitu dosis terak baja dengan 4 dosis (T0, T1, T2, T3) dan faktor ketiga bahan organik (B0 dan B1). Masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ulangan sehingga terdapat 64 satuan percobaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah meningkat seiring dengan peningkatan dosis terak, dan pengaruh jenis terak menunjukkan efek yang sama terhadap pH. Peningkatan P-tersedia tanah hanya pada jenis terak S2 sedangkan jenis terak S1 tidak berbeda. Kadar Ca-dd dan Mg-dd meningkat pada kedua jenis terak. Pengaruh dosis terak S1 meningkatkan Ca-dd sebesar 113%-265% dan Mg-dd tanah sebesar 27%, sedangkan pada jenis terak S2 meningkatkan Ca-dd sebesar 91%-144% dan Mg-dd sebesar 75%-326%. Perlakuan bahan organik meningkatkan pH, P-tersedia, dan Ca-dd tanah. Kombinasi antara dosis terak dan bahan organik meningkatkan Mg-dd, namun menurunkan K-dd. Terak baja, bahan organik dan kombinasi keduanya menurunkan Pb dan Hg terlarut, akan tetapi pada beberapa kombinasi perlakuan, Cd terlarut, As terlarut dan Sn terlarut berturut turut meningkat sebesar 0.01 ppm, 0.01-0.02 ppm dan 0.08-0.15 ppm dari kadar yang tidak terdeteksi pada tanah tanpa perlakuan

Kata kunci: Latosol, amelioran, terak baja, bahan organik, kadar hara makro, kadar logam berat


(6)

SUMMARY

AHYAR. Macro Nutrients and Heavy Metals Content in Latosol Darmaga Treated with Steel Slag and Organic Matter. Supervised by SRI DJUNIWATI

and SYAIFUL ANWAR.

Indonesia is located in the tropical climate area with high temperature and rainfall, and generally has acidic soils with low fertility. Latosol is one of the highly weathered soils that has low organic matter content, low CEC, low BS, and high to very high clay fraction in all soil horizons. The fertility of Latosol can be improved by addition of ameliorans such as steel slag and organic matter. Steel slag is byproduct of purification process of iron ore in steelmaking. Previous studies showed that steel slag is potential to be used as soil amelioran since it has 20-50% or more CaO, and contains Mg, Si, Fe and some other elements. Previous studies also showed that steel slag as liming material was better than dolomite. Utilization of steel slag as soil amelioran in Indonesia, however, is limited by the Indonesian regulation that categorized all steel slags as hazardous and toxic wastes (limbah B3 = limbah bahan berbahaya dan beracun). Since there are various steelmaking processes, not all steel slags included in hazardous and toxic wastes as indicated by previous studies.

The objective of this research is to analyze soil chemical properties that include pH, macro nutrients content (N, P, K, Ca and Mg), and heavy metals content (As, Pb, Sn, Cd and Hg) after cultivation of caisim in Latosol that treated with steel slag, organic matter, and their combination. The research was conducted in Factorial Randomized Block Design with three factors. The first factor was the type of steel slags that comprised of S1 (converter steel slag from Japan) and S2 (electric furnace steel slag from Indonesia). The second factor was the dosages of steel slag (4 dosages namely T0, T1, T2, T3), while the third factor was organic matter (B0 and B1). The each treatment was consisted of 4 replication such that there were 64 experimental units.

The results showed that the soil pH increased with the increasing of steel slag dosages, and the type of the steel slags gave the same effect toward soil pH. Available P was increased by S2 treatment but not by S1 treatment. Exch-Ca and exch-Mg were increased by both slags. S1 treatments increased the exch-Ca by 113-265%, and the exch-Mg by 27%. The S2 treatments increased the exch-Ca by 91-144%, and the exch-Mg by 75-326%. Organic matter treatments increased pH, available P, and exch-Ca of the soil. Combination of slags and organic matters treatments increased exh-Mg, but decreased exch-K. Slag, organic matter, and their combination treatments decreased the soluble Pb and Hg of the soil. In some combination treatments, however, soluble Cd, soluble As, and soluble Sn were increased consecutively to 0.01 ppm, 0.01-0.02 ppm, 0.08-0.15 ppm from undetected concentration of the untreated soil.

Keyword: Latosol Darmaga, Ameliorant, Steel Slag, Organic Matter, Nutrient Level, Heavy Metals