Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 3 Partai Politik

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang. Bahwa pemilihan umum perlu diselenggarakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil Tabel 1 Tingkat Partisipasi Pemilih No. Pemilu Partisipasi Pemilih 1. 1955 91, 45 2. 1971 94, 02 3. 1977 90, 93 4. 1982 91, 20 5. 1987 91, 20 6. 1992 73, 16 7. 1997 97, 51 8. 1999 93, 30 9. 2004 84, 10 10. 2009 60, 30 sumber : http shodid.com200907hasil-quick-count Elvan dany sutrisno, detik pemilu

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang ingin peneliti rumuskan adalah : 2.1 Mengapa masyarakat di Kecamatan Paranginan yang sudah terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap DPT, tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Presiden pada bulan juli tahun 2009 lalu? Universitas Sumatera Utara 2.2 Faktor apa yang mempengaruhi masyarakat Kecamatan Paranginan tidak menggunakan hak pilihnya? 2.3 Bagaimana tingkat kepedulian masyarakat terhadap masalah politik dan masalah berdemokrasi

3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian ilmiah senantiasa diupayakan kearah terwujudnya tujuan yang di inginkan. Adapau yang menjadi tujuan dalam penelitian adalah: 3.1 Untuk mengidentifikasikan profil pemilih yang tidak ikut memilih 3.2 Untuk mengetahui alasan pemilih, mengapa tidak menggunakan hak pilihnya 3.3 Untuk mengetahui tingkat kepedulian masyarakat dalam hal partisipasi politik dan berdemokrasi.

4. Manfaat Penelitian

4.1 Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian ilmu di bidang ilmu politik khususnya kajian kaderisasi partai politik 4.2 Secara teoritis penelitian ini diharapkan jadi salah satu pengetahuan dalam pengembangan dari pada teori-teori politik lainya 4.3 Hasil penelitian ini secara praktis kiranya bermanfaat bagi lembaga instansi pemerintahan seperti, Departemen Dalam Negeri, Pemerintahan Daerah dan KPU dalam kaitanya dengan perilaku pemilih.

5. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan pemikiranya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnaya. Untuk itu perlu Universitas Sumatera Utara disusun kerangka teori yang membuat pokok-pokok pemikiran yang menggambarkan sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti. 6 Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi dan proporsi menerangkan sesuatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara merumuskan hubungan antara konsep

5.1 Perilaku Pemilih

Secara teoritis ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori mengenai perilaku pemilih Voter behavior. Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih Voting turnout dilacak pada sebab- sebab dari individu pemilih. Secara umum analisa-analisa mengenai ” Voting Behaviour ” atau perilaku pemilih didasarkan pada empat pendekatan model yaitu 7

5.1.1 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis, yang sering disebut Mazhap Columbia The Columbia School Of Elektoral Behaviour, merupakan pendekatan yang menekankan pada peran faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial seperti umur tuamuda, jenis kelamin 6 . Hadawi Nawawi, Metode Penelitian Bidang Social, Yogyakarta: Gaja Mada Universty Press, 1995 7 . Masri Singarimbun dan Sofian Efendy, Metode penelitian survey, Jakarta Rajawali Perss, 1999 hal 122 Universitas Sumatera Utara PriaWanita, agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Dari berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, faktor sosial merupakan unsur yang juga berpengaruh terhadap pemilihan politik seseorang, terutama dihampir semua negara-negara industri. Di Eropa, kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif.

5.1.2 Pendekatan Psikologis

Berbeda dengan pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis yang sering disebut Muzhab Michigan The Michigan Survey Reseach Center lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku atau pilihan politik. Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit di ukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan psikologis ini mengembangkan konsep psikologis. Khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku seseorang. Konsep merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih karena menurut Greenstein ada 3 fungsi sikap yakni; pertama, sikap merupakan fungsi penting. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, munat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan penyesuaian diri. Artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keiginan orang itu untuk sama Universitas Sumatera Utara atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan sikap eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan Defensce Mechanisme. Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam pendekatan psikologis ini. Dalam hal ini, hubungan pengaruh antara identifikasi partai dengan perilaku pemilih sudah menjadi aksioma. Identifikasi partai merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain tanpa disadari. Identifikasi partai dilakukan oranag kepada seseorang kandidat atau partai politik yang dianggapnaya ideal dimata pemilih. 5.1.3 Pendekatan Rasional Dua pendekatan terdahulu menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplit. Pemilihan ibarat wayang tidak mempunyai kehendak bebas kecuali atas kemauan dalangnya. Karasteristik sosiologis, latar belakang keluarga pembelahan kultural atau identifikasi partai melalui proses sosialis dan pengalaman hidup merupakan variabel yang secara sendiri-sendiri maupun komplomenter mempengaruhi perilaku atau pilihan politik seseorang. Tetapi pada kenyataanya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari suatu pemilu kepemilu lainya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa aja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam Universitas Sumatera Utara mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilihan bukan hanya pasif, melainkan juga individu. Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan, mempunyai peranan penting dalam menentukan pilihan politik seseorang. Dalam pendekatan rasional, terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Dampak peristiwa tertentu, pengaruh isu dan kandidat yang ditawarkan terhadap perubahan situasional perilaku pemilih membuat beberapa pakar melirik model peristiwa konsumen produk bisnis sebagai salah satu pendekatan dalam memahami perilaku pemilih. Bahwa perilaku pemilih, menurut Him Melweit, merupakan pengambilan keputusan cepat dan pengambilan keputusan tersebut tergantung situasi sosial politik tertentu yang tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lainnya. Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Perbedaan antara pendekatan rasional dengan lainnya bahwa pemilih rasional adalah pemberi suara yang responsitif dan tidak permanen. 8 8 . Chaniago Andrinaf A, ’’Pemilu 2004 dan Konsultasi Kita’’, Jurnal Ilmu Politik Volume 4. No 1 2004 Universitas Sumatera Utara

5.1.4 Pendekatan Kepercayaan Politik

Penggunaan variabel kepercayaan politik untuk menjelaskan perilaku politik nonvoting, sebenarnya diadopsi dari variabel kepercayaan untuk menjelaskan keaktifan atau ketidak aktifan seseorang dalam kegiatan politik. Ketidak aktifan dalam konsep ketidak percayaan politik sendiri selalu mengandung pengertian ganda. Pertama, ketidak aktifan dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi atas kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu ekspresi atas perasaan keterasingan alienasi. Kedua, ketidak aktifan juga dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi kepercayaan yang tinggi, di mana ketidak aktifan seseorang dalam bilik suara menendakan bahwa mereka puas terhadap sistem politik yang ada, atau tidak khawatir dengan keadaan politik yang ada.

5.2 Pemilihan Umum

Indonesia telah berulang kali melaksanakan pemilihan umum yang disebut sebagai pesta demokrasi pancasila rakyat indonesia, baik sewaktu orde baru, orde lama, sampai reformasi baru-baru ini. Pemilihan umum disebut juga dengan ” Political Market ”. Artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial Perjanjian Masyarakat antara peserta pemilihan umum Partai Politik dengan pemilih Rakyat yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktifitas politik yang meliputi kampanye, propoganda, iklan politik melalui media massa. Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. 9 9 . A. Rahma, Sistem Politik Indonesia, Yongyakarta, Graha Ilmu 2007 Hal 147-151 Universitas Sumatera Utara

5.2.1 Pengertian Pemilihan Umum

Pemilihan merupakan lembaga dan sekaligus praktek politik yang mempunyai dua dimensi, yang dilihat dari luar nampak berseberangan. Pemilihan dimengerti sebagai sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat yaitu sarana artikulasi kepentingan warga untuk menentukan wakil-wakil mereka, pemilihan juga merupakan sarana evaluasi dan sekaligus kontrol baik langsung maupun tidak langsung terhadap pemerintah dan kebijakan yang dibutuhkanya. Pemilihan juga diartikan sebagai salah satu sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi politik. Pemilihan sebagai sarana pencarian kesepakatan yang tak pelak lagi, akan merupakan sebuah ruang dimana kontestasi dan tawar menawar politik antara negara dan elit penguasa di satu pihak dan masyarakat pengelompokan didalamnya. Partai politik dan pemilihan umum merupakan suatu kegiatan politik yang tidak mungkin dipisahkan. Menurut Ali Murtopo pemilihan adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan dan merupakan lembaga demokrasi. 10

5.2.2 Sistem Pemilihan Umum

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis haruslah diatur sedemikian rupa, sehingga seluruh rakyatnya ikut serta dalam pemerintahan negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut sistem demokrasi langsung seluruh rakyat yang telah dewasa menjadi anggota dari suatu permusyawaratan rakyat yang bertugas untuk menetapkan dan menjalankan peraturan dari negara yang bersangkutan akan tetapi dalam sarana ketatanegaraan sistem demokrasi 10 . Syamsudin Haris Op. Cit., Hal 49-50 11. Bintar R . Saragih, Lembaga perwakilan dan pemilihan umum di Indonesia, Jakarta: gaya Media Pratama 1987, Hal 167-169 Universitas Sumatera Utara langsusng tidak pernah dapat diwujudkan seluruhnya. Pemilihan umum harus dilukukan dengan bebas, yang berarti bahwa para pemilih bebas sepenuhnya memberikan suaranya kepada calon-calonnya. Untuk itu harus ada jaminan, bahwa seorang pemilih tidak boleh mendapat tekanan, ancaman dengan maupun tanpa kekerasan dari siapa pun juga. Berkenan dengan pemilihan yang bebas maka pemberian suara itu harus dilaksanakan dengan rahasia tak seorang pun mengetahui kepada siapa pemilih memberikan suaranya. Untuk menjamin kebebasan dan rahasia dari pemilihan umum. 11 Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada prinsip pokok yaitu : 1. Single-Member constituency satu daerah pemilihan memilih suatu wakil biasanya disebut sistem Distrik. 2. Multi-Member constituency satu daerah memilih memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau perwakilan atau perwakilan berimbang. Secara umum sistem pemilihan umum dapat diklasifikasikan dalam dua sistem yaitu : 1. Sistem Distrik Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasrkan atas kesatuan geografis yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi mempunyai satu wakil dalam perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu daerah pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat 11 . C. S. T. Kansil memilih dan dipilih, Jakarta P. T Pradnya Paramita Anggota IKAPI 1971 Universitas Sumatera Utara dalam perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang tetbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecilnya selisih kekalahanya. 2. Sistem Proporsional. Sistem Pemilu proporsional memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap suara haruslah diperhitungkan. Dengan menggunakan asumsi tersebut, istilah pemenang sesungguhnya bukanlah mereka yang mengalahkan kontestan lainnya; melainkan peraih suara terbanyak karena selain mereka masih ada kontestan lainnya yang juga diperhitungkan perolehan suaranya walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Oleh karena itu, sistem proporsional ini lebih cocok untuk mencari wakil penduduk dan bukannya wilayah dan sering dipergunakan untuk negara-negara yang memiliki masyarakat yang cenderung plural. Derajat keterwakilan sistem ini relatif lebih baik, namun masih kalah oleh sistem distrik dalam hal kedekatan antara kontestan dengan pemilih. Beberapa variasi diperkenalkan oleh sistem ini untuk mengurangi kelemahan itu dengan mengambil beberapa prinsip sistem distrik dalam hal pemilih menentukan sendiri siapa kandidat yang disukainya di samping tanda gambar. 12

5. 3 Partai Politik

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota- anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan 12 . A. Rahma Op. Cit, Hal 151 Universitas Sumatera Utara kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik menurut Carl J. Friedrich partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pemimpin partainya. Salah satu sarana untuk berpartisipasi adalah partai politik, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Singmud Neuman mengatakan bahwa partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan perhatianya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda- beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan kekuasaan dan idiologi sosial dengan lembaga- lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkanya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas. Dalam negara demokrasi, partai politik menyelenggarakan 4 fungsi sebagai sarana yaitu : 1. Sebagai Sarana Komunikasi Politik Arus informasi dalam suatu negara bersifat dua arah, artinyawah berjalan dari atas kebawah dan dari bawah keatas. Kedudukan partai dalam arus ini adalah sebagai jembatan antara ” mereka yang memerintah” dengan mereka yang diperintah. 2. Sarana Sosialisasi Politik Universitas Sumatera Utara Sosialisasi politik adalah proses dimana seseorang memperoleh pandangan orientasi dan nilai-nilai masyarakat dimana dia berada. Proses itu juga mencakup proses dimana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai- nilai dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Proses sosialisasi politik sudah dimulai dari masa kecil dan diselenggarakan melalui berbagai lembaga dan kegiatan, seperti pendidikan formal, media massa seperti radio, TV dan partai politik. 3. Sarana Rekrutmen Politik Rekrutmen politik adalah proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Dengan didirikanya organisasi- organisasi massa yang melibatkan golongan- golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai sekaligus merupakan salah satu cara untuk menyeleksi calon-calonya. 4. Sarana Pengatur Konflik Dalam negara demokratis yang masyarakatnya bersifat terbuka adanya perbedaan dan persaingan pendapat sudah merupakan hal yang wajar.

5. 3.1 Sistem Kepartaian