PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

46 Berikut adalah hasil uji korelasi antara aspek-aspek locus of control dengan aspek-aspek penyesuaian diri dalam dimensi afiliasi affiliation keterangan tabel: ditebalkan = signifikan p 0,05; dimiringkan = tidak signifikan p 0,05: Tabel 18. Uji Korelasi Aspek-aspek Kedua Variabel dalam Dimensi Afiliasi PD LOC Penyesuaian Diri Akademik Sosial Komitmen LOC - 0,253 - 0,066 - 0,292 - 0,243 LOC Internal - 0,226 - 0,095 - 0,308 - 0,133 LOC Int-Ability - 0,159 - 0,085 - 0,196 - 0,052 LOC Int-Effort - 0,187 - 0,095 - 0,278 - 0,030 LOC Eksternal - 0,409 0,058 0,051 - 0,073 LOC Eks-Context 0,096 0,073 0,117 0,025 LOC Eks-Luck - 0,066 0,008 - 0,019 - 0,134 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dalam dimensi afiliasi, Locus of Control memiliki hubungan signifikan dengan dua aspek Penyesuaian Diri, yaitu Sosial ρ = - 0,292 dan Komitmen ρ = - 0,243. Akan tetapi jika ditinjau dari atribusi, maka atribusi kemampuan dan usaha yang berkorelasi secara signifikan dengan penyesuaian diri sosial. Sementara atribusi keberuntungan hanya berkorelasi secara signifikan dengan komitmen ρ = - 0,134.

C. PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa semakin internal locus of control subjek, maka semakin baik pula penyesuaian diri mereka; demikian sebaliknya. Hubungan antara locus of control dan penyesuaian diri ini didukung pernyataan Phares yaitu, individu dengan internal locus of control memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah, tingkat self-esteem yang lebih tinggi, lebih 47 siap untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, dan menikmati tingkat kesehatan mental yang lebih baik Schultz Schultz, 1994. Hal ini terjadi karena individu dengan internal locus of control mampu mengatasi stres dengan cara menjadi lebih aktif dalam mencari informasi yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi Andre, 2008. Ketika individu berhasil mengatasi stres yang timbul dari masalah yang sedang dihadapinya, maka individu tersebut akan menyesuaikan diri dengan lebih baik. Berdasarkan data dari Tabel 13, diperoleh hasil bahwa 79,31 subjek penelitian memiliki penyesuaian diri yang baik, 20,11 subjek dengan penyesuaian sedang, dan 0,57 subjek lainnya dengan penyesuaian diri yang buruk. Salah satu faktor yang dapat menjelaskannya adalah masalah tuntutan akademis yang berbeda antara universitas di Indonesia dengan di luar negeri. Penelitian-penelitian yang dilakukan di luar negeri menunjukkan bahwa ada masalah dan tekanan yang cukup berat yang akan dihadapi oleh mahasiswa baru di masa awal perkuliahan Friedlander, Reid, Shupak, Cribbie, 2007; Thurber Walton, 2007; Al-Qaisy, 2010. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tuntutan akademis dan sosial antara masa SMA dan kuliah yang jauh lebih besar Papalia, Olds, Feldman, 2009; Al-Qaisy, 2010. Sementara di Indonesia, perbedaan-perbedaan yang ada sepertinya tidak menjadi kendala yang begitu berarti dalam usaha menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nofrianda di UIN SUSKA Riau 2013 bahwa mahasiswa baru freshmen ternyata mampu menyesuaikan diri dengan baik. Nofrianda menuturkan bahwa 48 beberapa kendala akademis yang ada tidak menjadi masalah berarti karena tidak terlalu banyak perbedaan materi pelajaran antara masa SMA dan kuliah semester satu, seperti pendidikan kewarganegaraan, sosiologi, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, agama, dan lainnya. Selain itu hampir seluruh universitas di Indonesia telah menetapkan sistem paket untuk mata kuliah yang dapat diambil oleh mahasiswa tingkat pertama, sehingga tidak terlalu berbeda dengan masa SMA. Begitu juga dengan metode pengajaran kurang lebih masa sama seperti guru di SMA, dimana kebanyakan dosen masih berceramah di depan kelas ataupun dengan kerja kelompok. Selain itu, dalam proses menyesuaikan diri, belajar dari pengalaman di masa lalu itu penting Schneiders, 1964. Individu dapat menggunakan pengalamannya atau pengalaman orang lain di masa lalu untuk membantu dirinya melakukan penyesuaian diri. Pada saat dilakukan pengambilan data, seluruh subjek penelitian sedang menempuh pendidikan di semester dua. Periode satu semester memungkinkan sebagian besar subjek telah belajar banyak dari pengalaman pribadi, pengalaman rekan-rekan sesama mahasiswa, ataupun pengalaman senior di masa awal-awal perkuliahan. Selain itu, semakin matang dan berkembangnya aspek intelektual, sosial, moral, dan emosi individu dalam menghadapi dan mengatasi tuntutan-tuntutan juga memengaruhi proses penyesuaian diri yang dilakukan para subjek penelitian. Hal ini juga menunjukkan bahwa dibutuhkan kurang lebih 1 semester bagi mahasiswa baru yang terlibat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahan. 49 Seperti terlihat pada Tabel 14, tingkat locus of control yang dimiliki oleh subjek penelitian lebih mengarah ke kategori Ambivalen. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa remaja cenderung lebih eksternal dibandingkan orang dewasa Neill, 2006; Nwankwo, Balogun, Chukwudi, Ibeme, 2012. Semakin dewasa seseorang akan menjadi semakin internal, dimana usia dewasa madya adalah puncaknya dan perlahan berubah semakin eksternal ketika memasuki masa lansia Rotter, dalam Neill, 2006. Subjek penelitian yakni mahasiswa tingkat pertama berada pada masa transisi, yaitu peralihan dari remaja akhir menuju dewasa awal. Jika berpedoman pada penjelasan di atas, wajar jika 60,34 subjek penelitian kemudian termasuk dalam kategori Ambivalen. Akan tetapi, faktor usia tidak menjadi satu-satunya yang memengaruhi karena ada faktor-faktor lain yang tidak terukur yang juga dapat memengaruhi locus of control, seperti faktor keluarga, faktor sosial, faktor pelatihan, dan lainnya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa individu yang lebih internal memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan kemampuan yang mendukung untuk mengatasi masalah sehingga memungkinkan individu yang internal mencapai prestasi yang lebih cemerlang dan menjadi sosok yang sukses dalam berhubungan dengan orang lain Seiter Waddell, 1989; Schultz Schultz, 1994; Andre, 2008; Sumijah, 2015. Hal ini sejalan dengan penelitian Mathur 2014 yang melaporkan bahwa individu dengan internal locus of control memperoleh nilai akademik yang lebih baik daripada individu dengan external locus of control. Begitu pula dengan yang disebutkan oleh Lefcourt, Martin, Fick, Wendy 1985 bahwa individu dengan internal locus of control merupakan 50 individu yang mampu berinteraksi dengan baik skilled social interactors karena memiliki keahlian sosial social skill dan sensitivitas tinggi terhadap orang lain dan lingkungan. Munir Sajid 2010 juga menyebutkan bahwa individu yang internal cenderung lebih bertanggung jawab terhadap komitmennya. Orang-orang yang internal meyakini bahwa komitmen adalah pilihan yang ia tentukan sendiri sehingga konsekuensi dari pelaksanaan ataupun pelanggaran komitmen tersebut akan ditanggungjawabi sendiri. Gautam juga menemukan bahwa orang-orang yang internal cenderung lebih terikat dengan komitmen secara afektif dimana individu tersebut menjalani komitmen yang ditetapkannya karena memang ia mau, bukan karena ia harus ataupun karena menghindari kerugian-kerugian lainnya dalam Munir Sajid, 2010. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kemampuan dan usaha memiliki hubungan signifikan dengan penyesuaian diri. Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Weiner 1979, dalam Edmonds, 2002, dimana usaha dan kemampuan memiliki dampak yang lebih menonjol terhadap performa akademis dan bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dibandingkan dengan konteks dan keberuntungan. Pada penelitian ini, usaha berkorelasi lebih besar dengan penyesuaian diri daripada kemampuan, kemudian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chandler, Shama, Wolf di 5 negara berbeda 1980. Hal ini karena tentu lebih mudah untuk mengubah usaha daripada kemampuan. Sebagai contoh, jika mahasiswa tersebut meyakini bahwa penyesuaian dirinya buruk karena ia belum berusaha cukup keras, maka ia akan berusaha lebih keras lagi walaupun kemudian ia menyadari kemampuannya biasa 51 saja. Sementara jika ia meyakini bahwa penyesuaian dirinya buruk karena memang kemampuannya tidak memadai, usaha sekeras apapun akan sulit membuatnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keberuntungan berkorelasi secara signifikan dengan komitmen pada dimensi afiliasi. Artinya, semakin seseorang tidak meyakini konsep keberuntungan, takdir, dsb., maka semakin baik komitmen individu tersebut dalam membina hubungan pertemenan; dan sebaliknya. Salah satu konsep yang dapat menjelaskan hal ini adalah soulmate, yaitu seseorang yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi pasangan atau teman dari seseorang lainnya. Knee, Patrick, Vietor, Neighbors dalam Nicholson, 2012 melaporkan dalam penelitiannya bahwa individu- individu yang percaya dengan soulmate cenderung lebih sulit untuk berkomitmen, terlebih pada saat hubungan tersebut sedang bermasalah. Finkel, Burnette, Scissors 2007, dalam Nicholson, 2012 juga menyatakan bahwa individu- individu yang percaya dengan soulmate memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dalam berhubungan yang dapat menyebabkan hubungan tersebut lebih sulit bertahan lama. Hal ini karena orang-orang yang percaya dengan takdir dalam berhubungan dengan orang lain, cenderung mencari reaksi emosional yang positif dan kecocokan saat awal pertemuan. Mereka meyakini bahwa mereka akan merasa ‘klik’ dan ditakdirkan bersama, atau tidak sama sekali. Ketika masalah muncul, mereka cenderung tidak dapat mengatasi masalah dengan baik dan meninggalkan pasangannya dengan alasan bahwa mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama. 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Locus of control terbukti memiliki hubungan dengan penyesuaian diri, baik secara akademik, sosial, dan komitmen. Semakin internal locus of control, maka semakin baik penyesuaian diri yang dilakukan mahasiswa tingkat pertama yang menjadi responden; demikian sebaliknya. 2. Pada dimensi prestasi, kemampuan dan usaha memiliki hubungan dengan penyesuaian diri, baik secara akademik, sosial, dan komitmen. Sementara konteks dan keberuntungan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penyesuaian diri dan masing-masing aspeknya. Semakin baik kemampuan dan usaha, maka semakin baik penyesuaian diri yang dilakukan mahasiswa tingkat pertama yang menjadi responden dalam mencapai prestasi akademik di kampus; demikian sebaliknya. 3. Pada dimensi afiliasi, kemampuan, usaha, dan keberuntungan memiliki hubungan dengan penyesuaian diri secara keseluruhan. Akan tetapi jika dilihat dari aspek penyesuaian diri, kemampuan dan usaha berhubungan dengan aspek sosial, dan keberuntungan berhubungan dengan aspek komitmen. Sementara konteks tidak memiliki hubungan yang signifikan, baik dengan penyesuaian diri, maupun dengan masing-masing aspeknya.