Gambaran Spiritualitas Pada Perawat Rumah Sakit Umum DR. Pirngadi Medan

(1)

GAMBARAN SPIRITUALITAS PADA PERAWAT RUMAH

SAKIT UMUM DR. PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

KERRY DESIANA

041301066

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi yang berjudul “Spiritualitas Para Perawat Rumah Sakit Umum Dr. PIrngadi Medan” ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kesabaran Beliau dapat menjadi contoh teladan dalam pengerjaan skripsi ini dan tugas-tugas berikutnya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda Nurzaimah, SE, MM.Ak dan ayahanda H. Haryono, SE yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis sejak kecil, mendidik dan membimbing, serta selalu mendoakan penulis dalam setiap aktivitas. Semoga Allah SWT memberikan kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun di akhirat. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada adinda tercinta Yopie Handoko. Terima kasih atas dukungannya selama ini. Semoga kita menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi bangsa dan agama.

Penulis juga mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairul Yoel, Sp.A(K) sebagai dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Juliana, S. Psi sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan dan pertimbangan-pertimbangannya selama ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan ibu.


(3)

3. Ibu Siti Zahreni, M. Si sebagai dosen pembimbing seminar. Terima kasih atas masukan, nasehat serta ide-ide yang ibu berikan selama ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan ibu.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan bantuannya selama perkuliahan dan seluruh staf pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi. Terima kasih.

5. Ibuk (Idawaty) dan Bapak (Ngatino) terima kasih atas pengertian dan perhatian selama ini. Adinda tersayang (Dwi Jelita Sari) yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada kakanda tercinta Eko Winarno, SH, terima kasih atas kesabaran, cinta dan kesetiaan yang diberikan.

6. Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan, Ibu Kepala Bidang Keperawatan Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Terima kasih atas bantuan dan izin penelitiannya. Semoga penelitian ini dapat memberi manfaat.

7. Seluruh perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan yang menjadi subjek penelitian ini atas kesediaannya mengisi skala yang penulis berikan.

8. Kakanda Eka Diyah, S.Psi, abangda Ahmad Afandi, S.Psi, dan abangda Sahrun Joni Hsb, S.Psi yang telah bersabar dalam menghadapi penulis dan memberikan saran serta nasehatnya terhadap penulisan seminar ini.


(4)

9. Teman-teman senasib dan seperjuangan, Septika, Iin, Ocha, Fina, Ida, Pipit, Dina, dan Kris. Terima kasih untuk dukungan semangat dan persahabatan indah selama tujuh tahun ini.

10.Teman-teman seperjuangan, Sukmaya Izzati, Citra Suastika, Hanifa Laura, Debi Fadillah, Ihwanisifa, Sukmadiarti, Renny Tania, Isrin, Mutia, Dian Mardiah, Faqih, Via, Renna dan Retno Keumala. Terima kasih atas dukungan dan semua bantuan kalian. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita dalam taat kepada-Nya.

11.Semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, baik dalam penulisan maupun isi. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak agar bisa lebih menyempurnakan penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Desember 2008


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI ... 11

A. Spiritualitas ... 11

1. Pengertian Spiritualitas ... 11

2. Komponen Spiritualitas ... 13

3. Aspek-aspek Spiritualitas ... 17

4. Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang Berkembang... 18

5. Faktor yang Berhubungan dengan Spiritualitas ... 19

B. Perawat ... 20

1. Pengertian Perawat ... 18

2. Fungsi Perawat. ... ... 21

3. Peran Perawat ... 22


(6)

D. Pertanyaan Penelitian ... 29

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 31

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 32

1. Populasi dan Sampel. ... 32

2. Metode Pengambilan Sampel. ... 33

D. Metode Pengumpulan Data .. ... 34

1. Alat Ukur Yang Digunakan ... 34

E. Uji Coba Alat Ukur ... 38

1. Validitas Alat Ukur ... 38

2. Daya Beda Aitem ... 38

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 39

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 40

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan ... 45

2. Tahap Pelaksanaan ... 45

3. Tahap Pengolahan Data... 46

G. Metode Analisa Data ... 46

BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Gambaran Subjek Penelitian ... 48

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 48


(7)

1 Gambaran Umum Spiritualitas ... 50

a. Kategorisasi Skor Spiritualitas . ... 51

2. Gambaran Kompetensi Spiritualitas ... 53

a. Gambaran Kompetensi Personal Awareness ... 53

b. Gambaran Kompetensi Personal Skill ... 54

c. Gambaran Kompetensi SocialAwareness ... 55

d. Gambaran Kompetensi Social Skill . ... 57

C. Hasil Tambahan Penelitian ... 58

1. Gambaran Spiritualitas ditinjau dari Usia ... 58

D. Pembahasan . ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 71

1. Saran Metodologis ... 71

2. Saran Praktis ... 72


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue print Skala Etos Kerja Sebelum Uji Coba ... 36

Tabel 2. Bobot Nilai Pernyataan Skala Etos Kerja ... 38

Tabel 3. Blue print Skala Etos Kerja Setelah Uji Coba ... 39

Tabel 4. Blue print Skala Etos Kerja yang Akan digunakan Dalam Penelitian ... 41

Tabel 5. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 46

Tabel 6. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Tabel 7. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Latar belakang Pendidikan ... 48

Tabel 8. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama bekerja ... 49

Tabel 9. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Etos Kerja... 51

Tabel 10. Kategori Etos Kerja ... 52

Tabel 11. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Aspek Keahlian Interpersonal .... 53

Tabel 12. Kategori Keahlian Interpersonal ... 53

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Aspek Inisiatif ... 55

Tabel 14. Kategori Inisiatif ... 55

Tabel 15. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Aspek Dapat Diandalkan ... 56

Tabel 16. Kategori Dapat diandalkan... 57

Tabel 17. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Usia ... 58

Tabel 18. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 59

Tabel 19. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Latar Belakang Pendidikan ... 60


(9)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 46

Grafik 2. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47

Grafik 3. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 49

Grafik 4. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Kerja ... 50

Grafik 5. Kategorisasi Etos Kerja ... 52

Grafik 6. Kategorisasi Aspek Keahlian Interpersonal ... 54

Grafik 7. Kategorisasi Aspek Inisiatif ... 56

Grafik 8. Kategorisasi Aspek Dapat diandalkan ... 57

Grafik 9. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Usia ... 59

Grafik 10. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 60

Grafik 11. Gambaran Etos Kerja Ditinjau dari Latar belakang Pendidikan .... 61


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Try Out ... 76

Lampiran B. Skala Penelitian ... 82

Lampiran C. Data Uji Coba ... 87

Lampiran D. Data Penelitian ... 89

Lampiran E. Reliabilitas Item ... 92

Lampiran F. Hasil Uji Normalitas ... 100

Lampiran G. Hasil Frekuensi SPSS ... 101

Lampiran H. Hasil Deskriptif SPSS ... 109

Lampiran I. Hasil Crosstabs SPSS ... 110


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Beberapa tahun belakangan ini spiritualitas mulai berkembang, khususnya dalam kehidupan pribadi, meski harus berhadapan dengan arus nilai-nilai lain yang cenderung menekankan pada perolehan materi. Akan tetapi, ketika berada dalam dunia kerja seseorang yang mengembangkan spiritualitas seringkali terbentur dengan batasan manajemen dan organisasi klasik yang memandang manajer sebagai alat perusahaan untuk memperoleh materi sebagai tujuan akhir dan diharapkan untuk dapat mengontrol karyawannya. Akibat sistem manajemen yang cenderung bukan mengenai orang tertentu dan konsumerisme yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, banyak orang kehilangan makna dari pekerjaannya dan mendambakan untuk menemukan kembali makna pekerjaan (Widyarini, 2008).

Ashmos (2000) mengatakan bahwa banyak orang di tempat kerja merasa butuh menemukan kembali apa yang mereka rawat dalam hidup ini dan mencoba menemukan pekerjaan yang disukainya. Orang-orang berusaha menemukan makna pekerjaan dengan mencari suatu cara untuk lebih menjadi diri sendiri dalam melakukan sesuatu. Menemukan makna pekerjaan merupakan fokus dari spiritualitas. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih peduli terhadap kesejahteraan fisik, emosi, dan spiritual karyawan secara menyeluruh.


(12)

Dimensi spiritualitas manusia semula kurang dapat diterima dalam dunia kerja. Laabs (1995) mengatakan bahwa spiritualitas adalah suatu bagian yang penting dari setiap diri manusia, tetapi hal ini bukan sesuatu yang dapat diekspresikan oleh karyawan dalam perusahaan tradisional melainkan lebih nampak dan lebih terbentuk pada perusahaan di era milenium baru (dalam Ashmos, 2000).

Pada masa sekarang penolakan dunia kerja terhadap dimensi spiritual manusia telah berkurang. Gerakan spiritualitas di tempat kerja mulai tampak di beberapa negara seperti di negara Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dari merebaknya publikasi tertulis (jurnal cetak maupun on line, buku) dan konferensi-konferensi dengan tema spiritualitas di tempat kerja (Widyarini, 2008).

Hal ini mendapatkan perhatian dari perusahaan Amerika karena pengetahuan tentang memelihara jiwa di tempat kerja adalah suatu hal yang memberi dampak baik untuk bisnis. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam HR magazine yang menulis bahwa moto bisnis kemarin adalah ”lean and mean” sedangkan moto bisnis hari ini adalah “lean and meaningful” (Ashmos, 2000).

Ashmos (2000) menjelaskan beberapa alasan perusahaan-perusahaan di Amerika mulai mengembangkan minat dalam spiritualitas di tempat kerja. Alasan tersebut antara lain, pertama banyaknya orang yang percaya bahwa downsizing,

reengineering, dan pemberhentian karyawan telah mengubah tempat kerja orang

Amerika menjadi lingkungan yang para pekerjanya kehilangan semangat, dan mengakibatkan pertumbuhan tingkat gaji menjadi tidak seimbang. Kedua, tekanan kompetisi global juga telah membuat pemimpin perusahaan berpikir bahwa


(13)

kreativitas karyawan dibutuhkan untuk mengekspresikan diri secara penuh dalam bekerja dan hal ini hanya akan terjadi jika pekerjaan tersebut dirasa bermakna bagi karyawan. Ketiga, bagi orang-orang Amerika, tempat kerja menyediakan satu-satunya jaringan komunikasi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan manusia akan hubungan dan kontribusi. Keempat, adanya rasa penasaran akan budaya dan filosofi timur, seperti filosofi budha yang menganjurkan meditasi dan menekankan nilai-nilai seperti loyalitas terhadap kelompok dan menemukan pusat spiritual seseorang dalam tiap kegiatan mulai diterima oleh orang-orang Amerika. Kelima, bertambahnya kekhawatiran orang terhadap ketidakpastian dalam hidup – kematian – ada peningkatan minat dalam mempertimbangkan makna hidup.

Beberapa alasan di atas memperlihatkan bahwa pengembangan dan pengekspresian dari spiritualitas di tempat kerja dapat memberi keuntungan untuk organisasi. Saat ini semakin banyak karyawan mengembangkan spiritual di tempat kerja sebagai cara untuk menambah loyalitas dan meningkatkan semangat juang (USA Today, May 4, 1998 dalam Ashmos 2000).

Walaupun spiritualitas merupakan hal baru di tempat kerja, tapi bukan hal baru di tempat lain. Semua tradisi religius menyarankan hidup yang menyeluruh, dimana pencarian akan makna dan tujuan hidup serta menjalani hidup secara harmoni dengan orang lain adalah suatu hal yang penting dan mendasar. Spiritualitas di tempat kerja bukanlah tentang agama atau perubahan, atau tentang membuat orang untuk menerima sistem kepercayaan tertentu melainkan tentang karyawan yang mengerti bahwa dirinya adalah makhluk spiritual yang jiwanya memerlukan ”makanan” di tempat kerja serta mengenai pengalaman akan tujuan


(14)

dan makna dalam pekerjaan mereka (Ashmos, 2000). Spiritualitas di tempat kerja adalah tentang pekerjaan yang lebih bermakna, tentang hubungan antara jiwa dan pekerjaan.

Beberapa ahli telah memberikan definisi spiritualitas, diantaranya Tischler (2002) yang mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.

Selain itu Schreurs (2002) merujuk spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup kehidupan batin individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Elkins et al. (1988) menyatakan bahwa spiritualitas adalah suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.

Howard (2002) mengemukakan bahwa terdapat empat hal yang berhubungan dengan spiritualitas yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan kekuatan yang melebihi manusia. Tischler (2002) mengemukakan empat kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang yaitu personal awareness, personal


(15)

awareness), orang-orang yang spiritualnya berkembang memperlihatkan sikap

sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar. Pada sisi keterampilan sosial (social skill), orang-orang dengan spiritualitas yang berkembang menunjukkan keterbukaan sosial yang lebih besar, mudah beradaptasi dengan perubahan, memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan, dan baik dalam menanggapi kritikan.

Globalisasi mengakibatkan perdagangan bebas tidak bisa terbendung lagi sehingga menimbulkan tingkat kompetisi yang semakin tinggi di semua sektor, termasuk sektor kesehatan. Perkembangan sektor kesehatan yang sangat dinamis menuntut kelenturan serta penyesuaian secara terus menerus dan menyeluruh dari para pihak yang terlibat didalamnya (Loetfia, 2000). Spiritualitas juga menarik perhatian para profesional penyelenggara kesehatan, karena terbukti bahwa faktor spiritualitas merupakan unsur penting dari kesehatan dan kesejahteraan (Dossey dalam Young, 2007). Rumah sakit sebagai salah satu lembaga penyedia jasa pelayanan kesehatan memiliki peranan yang sangat besar. Kebutuhan masyarakat yang meningkat menyebabkan banyak rumah sakit swasta berlomba–lomba menyediakan mutu pelayanan dan peralatan medis yang prima. Rumah sakit milik pemerintah pun tidak mau kalah. Pihak pemerintah membuat program pembangunan kesehatan yang bertujuan agar terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dan setara, akan tetapi tujuan ini masih belum berjalan secara optimal karena masih banyak pelayanan rumah sakit di Indonesia yang belum mencapai mutu yang optimal (Utama, 2003).


(16)

Salah satu Rumah Sakit Pemerintah yang ada di Medan adalah Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi. Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi yang beralamat di Jalan Prof. H. M. Yamin SH Nomor 47 Medan, Sumatera Utara diresmikan pada 11 Agustus 1928, status kepemilikan saat ini ada pada Pemerintah Kota Medan (www.pdpersi.co.id, 2003).

Kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit sangat ditentukan oleh tersedianya sumber daya yang berkualitas termasuk tenaga perawat (Megawati, 2005). Keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan dan merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya pembangunan nasional karena keperawatan mempunyai andil yang cukup besar dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan jumlah tenaga keperawatan mendominasi tenaga kesehatan secara keseluruhan dan mempunyai kontak yang paling lama dengan pasien (Loetfia, 2000).

Keperawatan modern berawal dari usaha Florence Nightingale. Ia berpendapat bahwa keperawatan dilandasi oleh filsafat spiritual yang mendalam. Ia percaya bahwa spiritualitas merupakan bagian yang hakiki dari kodrat manusia dan sumber yang paling mujarab untuk penyembuhan. Walaupun ia tidak tertarik pada agama tradisional, Nightingale tertarik pada karya para mistikus Barat seperti St. Fransiskus Asisi dan Yohanes dari Salib serta Kitab Suci dari Timur. Nightingale asing dengan istilah spiritualitas, tetapi ia percaya bahwa ilmu pengetahuan merupakan landasan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Nightingale percaya bahwa manusia harus dipandang dari perspektif fisik, psikologis, lingkungan, dan spiritual. Keperawatan memandang pasien sebagai manusia


(17)

”utuh” dan merawatnya secara holistik. Nightingale merupakan pendukung perawatan holistik dan tidak pernah merawat pasien hanya karena penyakit. Ia mengakui adanya daya yang menyembuhkan dan daya itu lebih kuat dari dirinya (Young, 2007). Beazley dalam Strack (2002) mengatakan bahwa kepercayaan akan adanya daya yang lebih kuat dari dirinya merupakan definisi spiritualitas. Widjaja (1994) mengemukakan bahwa fungsi-fungsi esensial perawat antara lain mengontrol lingkungan penyembuhan, membantu rehabilitasi atau memantau dan menanggulangi klien dengan penyakit kronis. Perawat dalam menjalankan tugasnya juga banyak terkait dengan mengawasi teknologi yang kompleks, memberi informasi dan pendidikan kesehatan serta berusaha untuk memahami kebutuhan klien sebagai manusia yang utuh termasuk empati.

Penjelasan-penjelasan di atas menjabarkan pentingnya spiritualitas bagi dunia kerja, khususnya pada profesi perawat. Oleh karena itu, penulis ingin melihat bagaimana gambaran spiritualitas pada perawat rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.

B. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini, bagaimanakah gambaran spiritualitas pada perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran spiritualitas pada perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.


(18)

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu : 1. Secara teoritis

a. Penelitian ini dapat dijadikan usaha pemahaman tentang spiritualitas. b. Memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu Psikologi khususnya di

bidang Psikologi Industri dan Organisasi dalam mengelola sumber daya manusia.

c. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian-penelitian selanjutnya terkait dengan penelitian spiritualitas di tempat kerja.

2. Secara praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan mengenai tingkat spiritualitas perawat, khususnya perawat rawat inap di rumah sakit tersebut.

b. Memberi masukan kepada dunia akademisi, khususnya dunia keperawatan dalam mendidik calon-calon perawat, dan mendiskusikan mengenai pentingnya spiritualitas dalam pola pendidikan bagi para anak didiknya, sebagai calon perawat di masa yang akan datang, serta dalam menyikapi semakin beratnya tugas dan tanggung jawab mereka dalam melaksanakan kewajibannya.

c. Apabila spiritualitas perawat di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan berkembang, pihak rumah sakit bisa menginformasikan hal ini kepada para


(19)

perawatnya dan memberikan pengetahuan kepada para perawat akan pentingnya spiritualitas untuk diri mereka dan rumah sakit ke depannya. d. Apabila spiritualitas para perawat di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi

Medan tidak berkembang, pihak rumah sakit bisa menciptakan kegiatan-kegiatan yang lebih memperhatikan kondisi spiritualitas perawat agar para perawat lebih bisa memaknai pekerjaannya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN PENELITIAN

Penelitian ini disusun atas 5 (lima) bab, dengan tujuan agar mempunyai suatu susunan yang sistematis, dapat memudahkan untuk mengetahui dan memahami hubungan antara bab yang satu dengan bab yang lain sebagai suatu rangkaian yang konsisten, yaitu:

BAB I : Pendahuluan

Berisikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan BAB II : Landasan Teori

Berisi uraian kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.

BAB III: Metode Penelitian

Berisi uraian mengenai metode penelitian yang digunakan, meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, metode


(20)

pengambilan sampel, instrumen/ alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV: Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi mengenai hasil pengolahan data penelitian berupa gambaran subjek penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan penelitian serta pembahasan hasil penelitan.

BAB V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, dan saran, baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk penelitian yang berhubungan dengan apa yang diteliti di masa mendatang.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SPIRITUALITAS 1. Pengertian Spiritualitas

Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.

Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal:

- Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini. - Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet

secara keseluruhan.

Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Schreurs (2002) yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang


(22)

Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang mengartikan spiritualitas sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.

Sedangkan komponen horizontal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Fernando (2006) yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain. Pendapat ini tidak memasukkan agama dalam mendefinisikan spiritualitas dan spiritualitas.

Spiritualitas dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari termasuk juga di tempat kerja. Ashmos (2000) mendefinisikan spiritualitas di tempat kerja sebagai suatu pengenalan bahwa karyawan memiliki ”kehidupan dalam” yang memelihara dan dipelihara oleh pekerjaan yang bermakna yang mengambil tempat dalam konteks komunitas. Pengertian spiritualitas di tempat kerja dari Ashmos memiliki tiga komponen, yaitu kehidupan dalam (inner life), pekerjaan yang bermakna, dan komunitas. Ashmos ingin menekankan bahwa spiritualitas di tempat kerja bukan tentang agama, walaupun orang terkadang mengekspresikan kepercayaan agama mereka di tempat kerja.

Spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi dari Tischler (2002) yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang berhubungan dengan


(23)

perilaku atau sikap tertentu dari seorang individu, menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.

Setelah menguraikan beberapa definisi spiritualitas dan spiritualitas di tempat kerja, selanjutnya akan diuraikan mengenai komponen-komponen dari spiritualitas.

2. Komponen Spiritualitas

Elkins et al. (1988) melakukan penelitian dengan melibatkan beberapa orang yang mereka anggap memiliki spiritualitas yang berkembang (highly spiritual). Partisipan dalam penelitian ini diberikan pertanyaan menyangkut berbagai komponen spiritualitas (yang didapat dari studi teoritis berbagai literatur humanistik, fenomenologis dan eksistensialisme yang telah dilakukan sebelumnya) dan diminta untuk menilai komponen-komponen tersebut berdasarkan pengalaman dan pengertian pribadi mereka mengenai spiritualitas itu sendiri. Hasil dari penelitian ini mengarahkan Elkins et al. untuk sampai pada sembilan komponen dari spiritualitas, yaitu:

1. Dimensi transenden

Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Inti yang mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora. Pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu yang lebih dari sekedar


(24)

hal-hal yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut. Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi transenden. Komponen ini sama dengan komponen kesatuan dengan yang transenden dari LaPierre dalam Hill (2000).

2. Makna dan tujuan dalam hidup

Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Dasar dan inti dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di dunia memiliki tujuan. Komponen ini sama dengan komponen pencarian akan makna hidup dari LaPierre dalam Hill (2000).

3. Misi hidup

Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.


(25)

4. Kesakralan hidup

Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal keduniaan.

5. Nilai-nilai material

Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun tidak mencari kepuasaan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.

6. Altruisme

Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers). Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama.


(26)

7. Idealisme

Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya masing-masing.

8. Kesadaran akan peristiwa tragis

Individu yang spiritual menyadari akan perlu terjadinya tragedi dalam hidup seperti rasa sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya dalam hidup.

9. Buah dari spiritualitas

Komponen terakhir merupakan cerminan atas kedelapan komponen sebelumnya dimana individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya. Pada komponen ini individu menilai efek dari spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai aspek transenden.


(27)

Komponen-komponen spiritualitas menurut Elkins et. al. (1988) mencakup hubungan seorang individu dengan daya yang melebihi dirinya dan juga dengan orang-orang di sekitarnya. Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas. Selanjutnya akan diuraikan mengenai aspek-aspek dari spiritualitas.

3. Aspek-Aspek Spiritualitas

Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional:

1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self). 2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif

terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.

3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya). Pada aspek ini seseorang


(28)

membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai kompetensi apa saja yang didapat dari spiritualitas yang berkembang.

4. Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang Berkembang

Tischler (2002) mengemukakan terdapat empat kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang, yaitu :

a. Kesadaran Pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana seseorang mengatur dirinya sendiri, self-awareness, emotional self-awareness, penilaian diri yang positif, harga diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi waktu, aktualisasi diri b. Keterampilan Pribadi (personal skills), yaitu mampu bersikap mandiri,

fleksibel, mudah beradaptasi, menunjukkan performa kerja yang baik

c. Kesadaran Sosial (social awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang positif, empati, altruisme

d. Keterampilan Sosial (social skills) yaitu memiliki hubungan yang baik dengan teman kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka terhadap orang lain (menerima orang baru), mampu bekerja sama, pengenalan yang baik terhadap nilai positif, baik dalam menanggapi kritikan

Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas. Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, Orang-orang yang spiritualnya baik memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar. Mereka juga cenderung untuk merasa lebih


(29)

puas dengan pekerjaannya. Penelitian ini akan menggunakan kompetensi-kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang sebagai dasar untuk membuat alat ukur.

Setelah diuraikan beberapa kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang, selanjutnya akan diuraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan spiritualitas.

5. Faktor yang berhubungan dengan spiritualitas

Dyson dalam Young (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu:

a. Diri sendiri

Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi atau penyelidikan spiritualitas

b. Sesama

Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawi

c. Tuhan

Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat Tuhan mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna


(30)

yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Manusia mengalami Tuhan dalam banyak cara seperti dalam suatu hubungan, alam, musik, seni, dan hewan peliharaan. Penyelenggara kesehatan dan penyelenggara perawatan spiritual yang efektif dapat mengintegrasikan semua ungkapan spiritualitas ini dalam perawatan pada pasien.

Howard (2002) menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu lingkungan. Young (2007) mengartikan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar seseorang.

Young (2007) juga menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.

B. PERAWAT

1. Pengertian Perawat

Perawat berasal dari kata Latin nutrix yang artinya merawat atau memelihara. Kata ini pertama kali digunakan oleh Ellis & Hartley (dalam Gaffar, 1999). Seorang perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat dan memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit atau cedera dan proses penuaan (Taylor, dkk dalam Gaffar, 1999).


(31)

Hasil Lokakarya Keperawatan Nasional tahun 1983 (dalam Praptianingsih, 2006) mengartikan keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.

Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memuat bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.

Perawat pada penelitian ini adalah orang yang merawat, memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit atau cedera dan proses penuaan (Taylor dalam Gaffar, 1999). Perawat memiliki fungsi dalam melaksanakan praktek keperawatannya.

2. Fungsi Perawat

Fungsi perawat dalam praktek ada tiga (Hikey dalam Praptianingsih 2006), yaitu:

1) Fungsi independen

Tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter, tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan. Oleh karena itu, perawat bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul terhadap tindakan yang diambil.


(32)

2) Fungsi interdependen

Tindakan perawat berdasar pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lain berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien.

3) Fungsi dependen

Perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medik. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntikan. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab dokter karena setiap tindakan perawat berdasarkan perintah dokter.

Perawat di rumah sakit dan dunia kesehatan memiliki beberapa peran yang akan diuraikan selanjutnya.

3. Peran perawat

Gaffar (1999) memaparkan beberapa peran perawat. Berikut ini merupakan uraian peranan dari perawat:

1. Nursing is caring, perawat berperan dalam pemberian asuhan keperawatan.

Perawat harus memperlihatkan bahwa dalam pemberian asuhan keperawatan tidak dikenal pasien atau kasus pribadi. Semua pasien diperlakukan sama.

2. Nursing is sharing, dalam pemberian asuhan keperawatan perawat selalu

melakukan sharing (berbagi) atau diskusi antara sesama perawat, kepada anggota tim kesehatan lain dan kepada klien.


(33)

3. Nursing is laughing, perawat meyakini bahwa senyum merupakan suatu kiat

dalam asuhan keperawatan untuk meningkatkan rasa nyaman klien.

4. Nursing is crying, perawat menerima respon emosional dari perawat atau

orang lain sebagai sesuatu hal yang biasa pada situasi senang duka.

5. Nursing is touching, perawat dapat menggunakan sentuhan untuk

meningkatkan rasa nyaman pada saat melakukan massage (pijat).

6. Nursing is helping, asuhan keperawatan dilakukan untuk menolong klien

dengan sepenuhnya memahami kondisinya.

7. Nursing is believing in others, perawat meyakini orang lain memiliki hasrat

dan kemampuan untuk meningkatkan status kesehatannya.

8. Nursing is trusting, perawat harus menjaga kepercayaan orang lain (klien)

yaitu dengan menjaga mutu asuhan keperawatan.

9. Nursing is learning, perawat harus selalu belajar atau mengembangkan

pengetahuan dan keterampilan keperawatan profesional melalui auhan keperawatan yang dilakukan.

10. Nursing is respecting, perawat memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan

kepada orang lain (klien dan keluarganya) dengan menjaga kepercayaan dan rahasia klien.

11.Nursing is listening, perawat harus menjadi pendengar yang baik ketika klien

berbicara atau mengeluh.

12.Nursing is doing, perawat melakukan pengkajian dan intervensi keperawatan

berdasarkan pengetahuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta asuhan keperawatan secara komprehensif.


(34)

13.Nursing is feeling, perawat dapat menerima, merasakan dan memahami

perasaan duka, senang, frustrasi dan rasa puas klien.

Menurut Gaffar dalam Praptianingsih (2006) selain tiga belas peran di atas, dalam melaksanakan profesinya, perawat juga memiliki empat peran lain, yaitu: 1) Peran sebagai pelaksana

Perawat bertindak sebagai comforter (mengupayakan kenyamanan dan rasa aman pada pasien), protector dan advocat, (melindungi pasien dan mengupayakan terlaksananya hak dan kewajiban pasien dalam pelayanan kesehatan), commmunicator (tampak ketika perawat bertindak sebagai penghubung antara pasien dengan anggota tim kesehatan) serta rehabilitator (perawat membantu pasien untuk beradaptasi dengan perubahan tubuhnya). 2) Peran sebagai pendidik

Perawat melakukan penyuluhan kepada klien (pasien) yang berada di bawah tanggung jawabnya.

3) Peran sebagai pengelola

Peran ini berkaitan dengan jabatan struktural di rumah sakit. Perawat harus memantau dan menjamin kualitas asuhan keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan.

4) Peran sebagai peneliti

Perawat harus memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian di bidangnya.


(35)

C. SPIRITUALITAS PADA PERAWAT RUMAH SAKIT UMUM DR. PIRNGADI MEDAN

Ashmos (2000) mengatakan bahwa banyak orang di tempat kerja merasa butuh menemukan kembali apa yang mereka rawat dalam hidup ini dan mencoba menemukan pekerjaan yang disukainya. Orang-orang berusaha menemukan makna pekerjaan dengan mencari suatu cara untuk lebih menjadi diri sendiri dalam melakukan sesuatu. Menemukan makna pekerjaan merupakan fokus dari spiritualitas.

Gerakan spiritualitas di tempat kerja mulai tampak di beberapa negara seperti di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dari merebaknya publikasi tertulis (jurnal cetak maupun on line, buku) dan konferensi-konferensi dengan tema spiritualitas di tempat kerja (Widyarini, 2008).

Ashmos (2000) menjelaskan beberapa alasan mengapa perusahaan di Amerika mulai mengembangkan minat dalam spiritualitas di tempat kerja. Alasan tersebut antara lain, pertama banyaknya orang yang percaya bahwa downsizing,

reengineering, dan pemberhentian karyawan telah mengubah tempat kerja orang

Amerika menjadi lingkungan yang para pekerjanya kehilangan semangat, dan mengakibatkan pertumbuhan tingkat gaji menjadi tidak seimbang. Kedua, tekanan kompetisi global membuat pemimpin perusahaan berpikir bahwa kreativitas karyawan dibutuhkan untuk mengekspresikan diri secara penuh dalam bekerja dan hal ini hanya akan terjadi jika pekerjaan tersebut dirasa bermakna bagi karyawan. Ketiga, bagi orang-orang Amerika, tempat kerja menyediakan satu-satunya jaringan komunikasi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan manusia akan


(36)

hubungan dan kontribusi. Keempat, rasa penasaran akan budaya dan filosofi timur, seperti filosofi budha yang menganjurkan meditasi dan menekankan nilai-nilai seperti loyalitas terhadap kelompok dan menemukan pusat spiritual seseorang dalam tiap kegiatan, mulai diterima oleh orang-orang Amerika. Kelima, bertambahnya kekhawatiran orang terhadap ketidakpastian dalam hidup – kematian – menyebabkan peningkatan minat dalam mempertimbangkan makna hidup.

Spiritualitas di tempat kerja adalah tentang pekerjaan yang lebih bermakna, tentang hubungan antara jiwa dan pekerjaan (Ashmos, 2000).

Beberapa ahli telah memberikan definisi spiritualitas, diantaranya Wigglesworth yang mengatakan bahwa spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal:

- Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini. - Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet

secara keseluruhan.

Komponen horizontal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Tischler (2002) yang mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu


(37)

dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih. Ia juga mengemukakan empat kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang yaitu personal

awareness, personal skills, social awareness dan social skills.

Howard (2002) mengemukakan bahwa terdapat empat hal yang berhubungan dengan spiritualitas yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan kekuatan yang melebihi manusia. Hal ini ditambahkan oleh Young (2007) yang menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.

Globalisasi mengakibatkan perdagangan bebas tidak bisa terbendung lagi sehingga menimbulkan tingkat kompetisi yang semakin tinggi di semua sektor, termasuk sektor kesehatan. Perkembangan sektor kesehatan yang sangat dinamis menuntut kelenturan serta penyesuaian secara terus menerus dan menyeluruh dari para pihak yang terlibat didalamnya (Loetfia, 2000).

Rumah sakit sebagai salah satu lembaga penyedia jasa pelayanan kesehatan memiliki peranan yang sangat besar. Kebutuhan masyarakat yang meningkat menyebabkan banyak rumah sakit swasta berlomba–lomba menyediakan mutu pelayanan dan peralatan medis yang prima. Rumah sakit milik pemerintah pun tidak mau kalah. Pihak pemerintah membuat program pembangunan kesehatan yang bertujuan agar terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dan setara, akan tetapi tujuan ini masih belum berjalan secara optimal karena masih


(38)

banyak pelayanan rumah sakit di Indonesia yang belum mencapai mutu yang optimal (Utama, 2003).

Salah satu Rumah Sakit Pemerintah yang ada di Medan adalah Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi. Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi yang beralamat di Jalan Prof. H. M. Yamin SH Nomor 47 Medan, Sumatera Utara diresmikan pada 11 Agustus 1928, status kepemilikan saat ini ada pada Pemerintah Kota Medan (www.pdpersi.co.id, 2003).

Kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit sangat ditentukan oleh tersedianya sumber daya yang berkualitas termasuk tenaga perawat (Megawati, 2005). Keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan dan merupakan salah satu faktor yang menentukan tercapainya pembangunan nasional karena keperawatan mempunyai andil yang cukup besar dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan jumlah tenaga keperawatan mendominasi tenaga kesehatan secara keseluruhan dan mempunyai kontak yang paling lama dengan pasien (Loetfia, 2000).

Widjaja (1994) mengemukakan bahwa perawat dalam menjalankan tugasnya juga banyak terkait dengan mengawasi teknologi yang kompleks, memberi informasi dan pendidikan kesehatan serta berusaha untuk memahami kebutuhan klien sebagai manusia yang utuh termasuk empati.

Berdasarkan kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang yang dikemukakan oleh Tischler (2002), pada sisi kesadaran sosial (social awareness), orang-orang yang spiritualnya berkembang memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar. Sikap yang


(39)

ditunjukkan ini sesuai dengan peran perawat yaitu nursing is helping, nursing is

listening, nursing is feeling (Gaffar, 1999). Hal ini juga senada dengan peran yang

dikemukakan Gaffar (dalam Praptianingsih, 2006) yaitu peran perawat sebagai pelaksana, dalam hal ini sebagai comforter.

Pada sisi keterampilan sosial (social skill), orang-orang dengan spiritualitas yang berkembang menunjukkan keterbukaan sosial yang lebih besar, mudah beradaptasi dengan perubahan, memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja dan atasan, dan baik dalam menanggapi kritikan. Keterampilan ini dibutuhkan perawat untuk menjalani peran-perannya dengan baik. Peran-peran yang membutuhkan keterampilan ini antara lain, peran perawat sebagai pelaksana dalam hal ini sebagai communicator, peran sebagai pengelola (Gaffar dalam Praptianingsih, 2006), dan nursing is sharing (Gaffar, 1999).

D. PERTANYAAN PENELITIAN

Dari uraian di atas maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan secara umum?

2. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan berdasarkan kompetensi kesadaran diri (self awareness)?

3. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan berdasarkan kompetensi keterampilan pribadi (personal skills)?


(40)

4. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan berdasarkan kompetensi kesadaran sosial (social awareness)?

5. Bagaimana gambaran spiritualitas perawat Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan berdasarkan kompetensi keterampilan sosial (social skills)?


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Azwar (2004) penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai sampel atau mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan hanya bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.

Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, rata-rata nilai atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variabel. Penelitian ini berusaha menggambarkan spiritualitas pada perawat rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah spiritualitas pada perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional merupakan suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang diamati (Azwar, 2004).


(42)

1. Spiritualitas

Definisi operasional dari spiritualitas adalah suatu hal mirip atau dengan suatu cara berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi dan penuh kasih (Tischler, 2002). Spiritualitas diukur dengan menggunakan kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang. Kompetensi-kompetensi ini yaitu kesadaran pribadi, keterampilan pribadi, kesadaran sosial, dan keterampilan sosial.

Semakin tinggi skor total tiap kompetensi, maka semakin berkembang spiritualitas yang dimiliki perawat tersebut.

C. POPULASI, SAMPEL DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sampel adalah sebagian dari populasi. Karena merupakan bagian dari populasi, tentulah ia harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya (Azwar, 2004).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Sampel dalam penelitian ini adalah 205 orang perawat rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.


(43)

Tabel 1. Daftar Ketenagaan Perawat Rawat Inap yang Berada di Bawah Bidang Keperawatan Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah

1 S-1 Keperawatan 13 orang

2 D-IV Keperawatan 3 orang

3 D-III Keperawatan 218 orang

4 D-III Kebidanan 41 orang

5 APK (Akademi Perawat Kesehatan) 3 orang

6 SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) 103 orang

7 D IV Kebidanan 30 orang

8 PKC/ LCPK 16 orang

Jumlah 427 orang

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa di RSU Dr. Pirngadi perawat rawat inap yang berada di bawah bidang keperawatan terdiri dari 8 kelompok pendidikan yang keseluruhannya berjumlah 427 orang.

2. Metode Pengambilan Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat rawat inap pada RSU Dr.Pirngadi Medan yang


(44)

berjumlah 427 orang. Jumlah perawat yang dilibatkan sebagai sampel dalam penelitian ini sebanyak 205 orang. Pengambilan jumlah sampel mengacu pada tabel Krejcie yang melakukan perhitungan ukuran sampel yang didasarkan atas kesalahan 5% jadi sampel yang diperoleh mempunyai kepercayaan 95% (Sugiono, 2004).

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik quota

sampling yaitu teknik sampling yang terlebih dahulu menetapkan jumlah subjek

yang akan diselidiki dimana jumlah subjek yang telah ditetapkan tersebut harus dipenuhi (Hadi, 2000).

D. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Alat Ukur Yang Digunakan

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi. Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk/konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2005).

Metode skala psikologi memiliki beberapa karakteristik yaitu (1) stimulasinya tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan; (2) skala psikologi selalu berisi banyak aitem dan respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban ’benar’ atau ’salah’.


(45)

Menurut Azwar (2005) metode skala mempunyai perbedaan dengan angket, karakteristik skala yaitu :

1. Data yang diungkap berupa konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu.

2. Pertanyaan sebagai stimulus tertuju pada indikator perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subjek yang biasanya tidak disadari oleh responden yang bersangkutan.

3. responden terhadap skala psikologi, sekalipun memahami isi pertanyaannya, biasanya tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan tersebut.

4. Respon terhadap skala psikologi diberi skor melewati proses penskalaan. 5. Satu skala psikologi hanya diperuntukkan guna mengungkap suatu atribut

tunggal (unidimensional).

6. Hasil ukur skala psikologi harus teruji reliabilitasnya secara psikometris dikarenakan relevansi isi dan konteks kalimat yang digunakan sebagai stimulus pada skala psikologi lebih terbuka terhadap eror.

7. Validitas skala psikologi lebih ditentukan oleh kejelasan konsep psikologis yang hendak diukur dan operasionalisasinya.

Spiritualitas pada sampel diukur melalui skala spiritualitas yang disusun berdasarkan kompetensi kesadaran pribadi, keterampilan pribadi, kesadaran sosial, dan keterampilan sosial yang dikemukakan oleh Tischler (2002). Skala spiritualitas ini terdiri dari 200 item dengan blue print yang disajikan sebagai berikut:


(46)

Tabel 2. Blue print Skala Spiritualitas Sebelum Uji Coba

No Kompetensi Indikator Perilaku Item

TOTAL Favorabel Unfavorabel

1. Personal Awareness

Mengetahui kondisi diri, kesukaan, kemampuan dan intuisi

1, 6, 11, 16, 21

26, 31, 36, 41, 46

10

Mengenali emosi diri sendiri dan efek dari emosi tersebut

51, 56, 61, 66, 71

76, 81, 86, 91, 96

10

Mengetahui kekuatan dan batasan-batasan diri 101, 106, 111, 116, 121 126, 131, 136, 141, 146 10

Memiliki rasa percaya diri, pengetahuan yang luas, dan kompeten 151, 156, 161, 166, 171 176, 181, 186, 191, 196 10

Mengetahui bahwa dirinya dapat mengandalkan diri sendiri

2, 7, 12, 17, 22

27, 32, 37, 42, 47

10

Adanya dorongan untuk menjadi lebih baik atau untuk memenuhi standar keberhasilan

52, 57, 62, 67, 72

77, 82, 87, 92, 97

10

Dapat mengatur waktu 102, 107,

112, 117, 122 127, 132, 137, 142, 147 10

Adanya perasaan untuk terus berprestasi, merasa penting dan penyelesaian tugas 152, 157, 162, 167, 172 177, 182, 187, 192, 197 10

2. Personal Skills

Dapat melakukan suatu

pekerjaan tanpa bergantung pada orang lain

3, 8, 13, 18, 23

28, 33, 38, 43, 48

10

Menunjukkan perilaku yang tepat di waktu yang tepat

53, 58, 63, 68, 73

78, 83, 88, 93, 98

10

Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan 103, 108, 113, 118, 123 128, 133, 138, 143, 148 10

Bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan

153, 158, 163, 168, 173 178, 183, 188, 193, 198 10

3. Social Awareness

mengenali perasaan dan pandangan orang lain

4, 9, 14, 19, 24

29, 34, 39, 44, 49

10 Kesadaran terhadap

perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain

54, 59, 64, 69, 74

79, 84, 89, 94, 99


(47)

Menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan dalam bentuk apapun walaupun hal itu menyebabkan kerugian bagi diri sendiri

104, 109, 114, 119, 124 129, 134, 139, 144, 149 10

4. Social Skills Melakukan interaksi terus menerus dengan orang lain

154, 159, 164, 169, 174 179, 184, 189, 194, 199 10

Menyediakan waktu untuk mengadakan percakapan,

tidak memotong pembicaraan

5, 10, 15, 20, 25

30, 35, 40, 45, 50 10 Menciptakan saling ketergantungan dalam kelompok untuk memperjuangkan tujuan bersama

55, 60, 65, 70, 75

80, 85, 90, 95, 100

10

Memberikan perhatian terhadap nilai yang dianut oleh seseorang 105, 110, 115, 120, 125 130, 135, 140, 145, 150 10

Menerima dan memeriksa pandangan yang berbeda

155, 160, 165, 170, 175 180, 185, 190, 195, 200 10

Total 100 100 200

Skala ini akan disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung dan tidak mendukung. Setiap aitem pada skala terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai, Sesuai, Tidak Sesuai dan Sangat Tidak Sesuai.

Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: Sangat Sesuai = 4, Sesuai = 3,

Tidak Sesuai = 2, Sangat Tidak Sesuai = 1. sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: Sangat Sesuai = 1, Sesuai = 2, Tidak Sesuai = 3,


(48)

Tabel 3. Bobot Nilai Pernyataan Skala Spiritualitas

Bentuk Pernyataan

Skor

1 2 3 4

Mendukung Sangat Tidak Sesuai

Tidak Sesuai Sesuai Sangat Sesuai

Tidak Mendukung

Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sangat Tidak Sesuai

E. UJI COBA ALAT UKUR 1. Validitas Alat Ukur

Untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut mampu menghasilkan data yang akurat yang sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas. Suatu alat tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2005). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini ádalah content validity (validitas isi) dimana peneliti meminta pendapat profesional (profesional

judgement) dari dosen pembimbing dalam proses telaah soal baik dari isinya

maupun validitas muka (face validity).

2. Daya Beda Item

Daya beda aitem atau daya diskriminasi aitem merupakan parameter yang penting pada skala psikologi (Azwar, 2004). Daya beda aitem dapat membedakan antara individu-individu atau kelompok yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur.


(49)

Pengujian keselarasan fungsi aitem dengan fungsi tes menghendaki dilakukannya penghitungan koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor total tes itu sendiri. Prosedur pengujian konsistensi aitem total akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem. Penelitian ini menggunakan menggunakan formula korelasi Product Moment Pearson untuk menguji daya beda aitem (Azwar, 2004). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada skala spiritualitas. Setiap aitem pada skala akan dikorelasikan dengan skor total skala. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0, 30 daya pembedanya dianggap memuaskan (Azwar, 2005).

3. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas artinya adalah tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran. Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi diantara individu lebih ditentukan oleh kesalahan daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai 1,00. semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2005). Sekaran (dalam Hardaningtyas, 2005) mengatakan bahwa umumnya bila koefisien alpha cronbach

 0,6 dapat dikatakan tingkat reliabilitasnya kurang baik. Sedangkan jika nilai koefisien alpha cronbach  0,7 – 0,8 tingkat reliabilitasnya dapat diterima dan


(50)

akan sangat baik jika nilai koefisien reliabilitasnya  0,8. penelitian ini melakukan uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach. Data untuk menghitung koefisien reliabilitas alpha diperoleh lewat penyajian satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada satu kelompok responden (single-trial

administration) (Azwar, 2005).

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Dalam penelitian ini dilakukan uji coba yang bertujuan untuk mengetahui kualitas aitem-aitem sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya. Aitem-aitem yang kualitasnya kurang baik akan dibuang dan aitem-aitem yang kualitasnya baik akan digunakan sebagai alat ukur pada penelitian yang sesungguhnya. Aitem-aitem yang berkualitas akan ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi, yaitu korelasi antara masing-masing aitem dengan aitem total.

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 13 diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,964.

Tabel 4. Blue print Skala Spiritualitas Setelah Uji Coba

No Kompetensi Indikator Perilaku

Item TOTAL

Favorabel Unfavorabel

1. Personal

Awareness

Mengetahui

kondisi diri, kesukaan,

kemampuan dan intuisi

6, 16 31, 36, 41, 46


(51)

Mengenali emosi diri sendiri dan efek dari emosi tersebut

51, 71 76, 81, 86, 91 6

Mengetahui

kekuatan dan batasan-batasan

diri

121 126, 131,

141, 146

5

Memiliki rasa percaya diri, pengetahuan yang luas, dan kompeten

156, 161 181, 191 4

Mengetahui bahwa dirinya dapat mengandalkan diri sendiri

12, 17 27, 37, 42, 47

6

Adanya dorongan untuk menjadi lebih baik atau untuk memenuhi standar

keberhasilan

67, 72 77, 82, 87, 92

6

Dapat mengatur waktu

107 132, 137,

142, 147 5 Adanya perasaan untuk terus berprestasi, merasa penting dan penyelesaian tugas 152, 157, 167, 172 182 5

2. Personal

Skills

Dapat melakukan suatu pekerjaan tanpa bergantung pada orang lain

13 33, 38, 48 4

Menunjukkan perilaku yang tepat di waktu yang tepat

53, 63 78, 88 4

Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan 113, 118, 123 133, 138, 143, 148 7 Bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan 153, 158, 163, 173 183, 188, 193 7

3. Social

Awareness

Mengenali perasaan dan pandangan orang lain


(52)

Kesadaran

terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain

64, 74 84, 89, 99 5

Menolong orang lain tanpa mengharapkan

balasan dalam bentuk apapun walaupun hal itu menyebabkan kerugian bagi diri sendiri

109, 119 134, 139, 144

5

4. Social Skills Melakukan

interaksi terus menerus dengan orang lain

159, 174 179, 184, 189, 199 6 Menyediakan waktu untuk mengadakan percakapan, tidak memotong pembicaraan

5, 10, 20, 25 35, 40, 50 7

Menciptakan saling ketergantungan dalam kelompok untuk memperjuangkan tujuan bersama

60, 65, 70 80, 85, 90, 95, 100

8

Memberikan

perhatian terhadap nilai yang dianut oleh seseorang

105, 115, 125

130, 135, 140, 145, 150

8 Menerima dan memeriksa pandangan yang berbeda 155, 160, 165, 170, 175 180, 185, 195, 200 9


(53)

Tabel 5. Blue print Skala Spiritualitas Yang Akan Digunakan Dalam

Penelitian

No Kompetensi Indikator Perilaku Item

TOTAL Favorabel Unfavorabel

1. Personal

Awareness

Mengetahui kondisi diri, kesukaan, kemampuan dan intuisi

6, 16 31, 36, 41, 46

6

Mengenali emosi diri sendiri dan efek dari emosi tersebut

51, 71 76, 81, 86, 91 6

Mengetahui

kekuatan dan batasan-batasan diri

121 131, 141,

146

4

Memiliki rasa percaya diri, pengetahuan yang luas, dan kompeten

156, 161 181, 191 4

Mengetahui bahwa dirinya dapat mengandalkan diri sendiri

12, 17 27, 37, 42, 47

6

Adanya dorongan untuk menjadi lebih baik atau untuk memenuhi standar keberhasilan

67, 72 77, 82, 87, 92

6

Dapat mengatur waktu

107 132, 137,

147 4 Adanya perasaan untuk terus berprestasi, merasa penting dan penyelesaian tugas 152, 157, 172 182 4

2. Personal

Skills

Dapat melakukan suatu pekerjaan tanpa bergantung pada orang lain

13 33, 38, 48 4

Menunjukkan

perilaku yang tepat di waktu yang tepat

53, 63 78, 88 4

Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan 113, 118, 123 133, 138, 143, 148 7


(54)

Bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan 153, 158, 163, 173 183, 188, 193 7

3. Social

Awareness

mengenali perasaan dan pandangan orang lain

14, 24 29, 39 4

Kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain

64, 74 84, 89, 99 5

Menolong orang lain tanpa mengharapkan

balasan dalam bentuk apapun walaupun hal itu menyebabkan

kerugian bagi diri sendiri

109, 119 134, 139, 144

5

4. Social Skills Melakukan interaksi

terus menerus dengan orang lain

159, 174 184, 189, 199 5

Menyediakan waktu untuk mengadakan percakapan, tidak memotong

pembicaraan

5, 10, 20, 25

35, 40, 50 7

Menciptakan saling ketergantungan dalam kelompok untuk memperjuangkan tujuan bersama

60, 65, 70 80, 85, 90, 100

7

Memberikan

perhatian terhadap nilai yang dianut oleh seseorang 105, 115, 125 135, 140, 145, 150 7 Menerima dan memeriksa pandangan yang berbeda 155, 165, 170, 175 180, 185, 195, 200 8


(55)

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan

Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah membuat alat ukur dan setelah itu alat ukur dujicobakan. Sebelum pembuatan alat ukur, terlebih dahulu menentukan kompetensi dari alat ukur tersebut. Kemudian dari kompetensi tersebut dibuat indikator perilaku yang lalu dibuat menjadi pernyataan-pernyataan. Setelah melakukan persiapan alat ukur, maka persiapan selanjutnya adalah mengurus perizinan. Proses perizinan ini dimulai dari Fakultas Psikologi USU. Kemudian peneliti memasukkan surat izin ke RSU. Dr. Pirngadi Medan pada tanggal 31 Oktober 2008. surat izin dari rumah sakit tersebut diperoleh pada tanggal 5 November 2008 dan peneliti harus mendapatkan izin dari kepala bidang keperawatan rumah sakit. Setelah mendapatkan izin dari pihak rumah sakit, khususnya bagian keperawatan, peneliti lalu melakukan pengambilan data.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSU. Dr. Pirngadi bagian ruang rawat inap, yang berlokasi di jalan Prof. H. M. Yamin, S. H. Nomor 47 Medan. Pengambilan data berlangsung dari tanggal 5 November 2008 – 28 November 2008.

Pada penelitian ini, dari 222 eksemplar kuesioner yang disebarkan, sebanyak 205 eksemplar yang kembali.


(56)

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh hasil skor skala sikap dari masing-masing subjek, maka data dimasukkan ke excel dan selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS versi 13.

a. Gambaran skor spiritualitas diperoleh dengan menggunakan perintah statistik ”descriptive”. Skor yang diperoleh dari subjek yang yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi.

b. Gambaran tentang subjek penelitian yang didapat dari data identitas diri, diolah dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Persentase ini didapat melalui pengolahan statistik, SPSS, dengan perintah ”frequencies”.

G. METODE ANALISA DATA

Azwar (2005) menyatakan bahwa penelitian deskriptif menganalisa dan menyajikan data secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan analisa statistik. Pertimbangan penggunaan analisa statistik dalam penelitian ini adalah karena analisa statistik bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif, bersifat universal, dalam arti dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian (Hadi, 2000).

Data yang diperoleh akan diolah dengan statistik deskriptif. Hasil dari statistik deskriptif ini berupa skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi.


(57)

Azwar (2005) menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif didasari oleh angka yang diolah secara tidak terlalu mendalam.

Pengolahan data hasil skala dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 13.


(58)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas mengenai gambaran keseluruhan hasil penelitian. Diawali dengan menguraikan gambaran subjek penelitian dan dilanjutkan dengan analisis serta interpretasi data penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang ingin dilihat dari penelitian ini maupun analisis tambahan terhadap data yang ada.

A. GAMBARAN SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian adalah perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan sampel keseluruhan berjumlah 205 orang. Seluruh subjek dalam penelitian ini akan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, suku, agama dan jabatan.

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, penyebaran subjek penelitian digambarkan seperti pada tabel di bawah ini:


(59)

Tabel 5. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Rentang Usia Jumlah %

20 – 24 tahun 27 13,2

25 – 29 tahun 82 40

30 – 34 tahun 25 12,2

35 – 39 tahun 14 6,8

40 – 44 tahun 26 12,7

45 – 49 tahun 16 7,8

50 – 54 tahun 13 6,3

55 – 59 tahun 2 1

Total 205 100

Tabel 5 menunjukkan subjek penelitian pada rentang usia 25 – 29 tahun merupakan jumlah yang paling banyak yaitu 82 orang atau 40% dibandingkan dengan subjek dengan rentang usia yang lainnya. Rentang usia terbanyak berikutnya adalah rentang usia 20 – 24 tahun yaitu 27 orang atau 13,2 %. Selanjutnya rentang usia 40 – 44 tahun sebanyak 26 orang atau 12,7%, rentang usia 30 – 34 tahun sebanyak 25 orang atau 12,2%, rentang usia 45 – 49 tahun sebanyak 16 orang atau 78%, rentang usia 35 – 39 tahun sebanyak 14 orang atau 6,8%, rentang usia 50 – 54 tahun sebanyak 13 orang atau 6,3%, dan yang paling sedikit adalah pada rentang usia 55 – 59 tahun sebanyak 2 orang atau 1%.


(60)

Gambaran subjek berdasarkan usia dapat dilihat pada Grafik 1 berikut:

Grafik 1. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

gambaran subjek berdasarkan usia

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59

gambaran subjek berdasarkan usia

B. HASIL UTAMA PENELITIAN

1. Gambaran Umum Spiritualitas pada Perawat Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan

Data penelitian yang akan disajikan adalah nilai mean, standar deviasi, minimum dan maksimum.

Analisis deskriptif pada penelitian ini dilaksanakan dengan bantuan program SPSS versi 13. Gambaran umum skor spiritualitas pada perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Gambaran Umum Spiritualitas pada Perawat Rawat Inap RSU. Dr. Pirngadi Medan

Variabel N Mean SD Min Maks Spiritualitas 205

205


(61)

Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat untuk gambaran umum skor spiritualitas pada perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan memiliki nilai mean sebesar 355.28, nilai median sebesar 356.00, standar deviasi sebesar 32.095, nilai minimum sebesar 219 dan nilai maksimum sebesar 421.

a. Kategorisasi Skor Spiritualitas

Berdasarkan deskripsi data penelitian tersebut dapat dilakukan pengelompokan yang mengacu pada kriteria kategorisasi. Kategorisasi skor spiritualitas diperoleh dengan membandingkan antara skor mean empirik dan skor mean hipotetik.

Skala spiritualitas terdiri dari 110 aitem dengan empat pilihan jawaban yang bergerak dari 1 sampai 4. Dari skala spiritualitas ini diperoleh mean hipotetik sebesar 275 dengan standar deviasi sebesar 55.

Tabel 7. Perbandingan Mean empirik dan Mean Hipotetik

Variabel Empirik Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Spiritualitas 219 421 355.28 32.095 110 440 275 55

Berdasarkan tabel 7 diperoleh mean empirik sebesar 355.28 dengan SD empirik sebesar 32.095. Sedangkan untuk mean hipotetik sebesar 275 dan SD hipotetik sebesar 55. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini berarti bahwa secara umum spiritualitas perawat rawat inap Rumah Sakit


(62)

Umum Dr. Pirngadi Medan lebih tinggi daripada rata-rata spiritualitas pada umumnya.

Setelah diketahui mean hipotetik sebesar 275 dan standar deviasi sebesar 55 dapat dibuat kategorisasi spiritualitas. Kategori dalam penelitian ini terbagi dua yaitu spiritualitas pada perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan yang berkembang dan spiritualitas pada perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan yang tidak berkembang. Skor tinggi dijadikan tanda spiritualitas pada perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan berkembang, skor sedang dijadikan tanda spiritualitas pada perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan ada yang berkembang dan ada yang tidak berkembang. Sedangkan skor rendah dijadikan tanda spiritualitas pada perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan tidak berkembang. Pengkategorian spiritualitas dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

Tabel 8. Kategorisasi Data Spiritualitas Perawat Rawat Inap pada RSU. Dr. Pirngadi Medan

Variabel Rentang Nilai Kategori Skor

Jumlah Persentase

Spiritualitas x < 220 Rendah 0 0 220 ≤ x < 330 Sedang 39 19.02

x 330 Tinggi 166 80.98

Berdasarkan tabel 8 diatas, spiritualitas perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan, yang tergolong ke dalam kategori tinggi sebanyak 166 orang (80.98%), tergolong ke dalam kategori sedang sebanyak 39 orang (19.02%) dan tidak ada yang tergolong ke dalam kategori rendah. Pada data empirik, mean empirik


(63)

(355.28) termasuk dalam kategori tinggi. Artinya secara keseluruhan spiritualitas perawat RSU. Dr. Pirngadi Medan memiliki spiritualitas yang berkembang.

2. Gambaran Kompetensi Spiritualitas

a. Gambaran Kompetensi Personal Awareness

Gambaran umum skor kompetensi personal awareness dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Kompetensi Personal Awareness

Variabel Empirik Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Spiritualitas 76 157 130.34 12.408 40 160 100 20

Berdasarkan tabel 9 diperoleh mean empirik sebesar 130.34 dengan SD empirik sebesar 12.408. Sedangkan untuk mean hipotetik sebesar 100 dan SD hipotetik sebesar 20. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini berarti bahwa secara umum kompetensi personal awareness perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan lebih tinggi daripada rata-rata kompetensi

personal awareness pada umumnya.

Pengkategorian kompetensi personal awareness dapat dilihat pada tabel 10 berikut:


(64)

Tabel 10. Kategori Kompetensi Personal Awareness

Variabel Rentang Nilai Kategori Skor

Jumlah Persentase

Spiritualitas x < 80 Rendah 1 0.48 80 ≤ x < 120 Sedang 30 14.63

x 120 Tinggi 174 84.88

Berdasarkan tabel 10 diatas, kompetensi personal awareness perawat rawat inap RS. Dr. Pirngadi Medan, yang tergolong ke dalam kategori tinggi sebanyak 174 orang (84.88%), tergolong ke dalam kategori sedang sebanyak 30 orang (14.63%) dan tergolong ke dalam kategori rendah sebanyak 1 orang (0.48%). Mean empirik (130.34) tergolong ke dalam kategori tinggi. Artinya perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan memiliki kompetensi personal awareness yang tinggi.

b. Gambaran Kompetensi Personal Skill

Gambaran umum skor kompetensi personal skill dapat dilihat pada tabel 11 berikut:

Tabel 11. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Kompetensi Personal Skill

Variabel Empirik Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Spiritualitas 44 85 70.33 6.881 22 88 55 11

Berdasarkan tabel 11 diperoleh mean empirik sebesar 70.33 dengan SD empirik sebesar 6.881. Sedangkan untuk mean hipotetik sebesar 55 dan SD hipotetik sebesar 11. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik.


(1)

sebanyak 62 orang (30.24%) dan tidak ada yang tergolong ke dalam kategori rendah. Mean empirik (43.58) tergolong ke dalam kategori tinggi. Artinya perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan memiliki kompetensi social awareness yang tinggi. Mean empirik sebesar 43.58 dengan SD empirik sebesar 4.338. Sedangkan untuk mean hipotetik sebesar 35 dan SD hipotetik sebesar 7. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini berarti bahwa secara umum kompetensi social awareness perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan lebih tinggi daripada rata-rata kompetensi social awareness pada umumnya.

d. Secara umum, kompetensi social skill perawat rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan, yang tergolong ke dalam kategori tinggi sebanyak 178 orang (86.83%), tergolong ke dalam kategori sedang sebanyak 26 orang (12.69%) dan tergolong ke dalam kategori rendah sebanyak 1 orang (0.48%). Mean empirik (111.03) tergolong ke dalam kategori tinggi. Artinya perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan memiliki kompetensi social skill yang tinggi. Mean empirik sebesar 111.03 dengan SD empirik sebesar 10.624. Sedangkan untuk mean hipotetik sebesar 85 dan SD hipotetik sebesar 17. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini berarti bahwa secara umum


(2)

kompetensi social skill perawat rawat inap RSU. Dr. Pirngadi Medan lebih tinggi daripada rata-rata kompetensi social skill pada umumnya.

3. Berdasarkan karakteristik subjek, dilihat dari usia spiritualitas diketahui bahwa skor mean tertinggi berada pada rentang usia diatas 35 – 39 tahun (357.04) dan terendah pada rentang usia 55 – 59 tahun (341.00). Subjek penelitian yang memiliki spiritualitas yang berkembang sebanyak 166 orang, 16 orang berada pada rentang usia 20 – 24 tahun, 72 orang berada pada rentang usia 25 – 29 tahun, 22 orang berada pada rentang usia 30 – 34 tahun, 13 orang berada pada rentang usia 35 – 39 tahun, 19 orang berada pada rentang usia 40 – 44 tahun, 13 orang berada pada rentang usia 45 – 49 tahun, 10 orang berada pada rentang usia 50 – 54 tahun, dan 1 orang berada pada rentang usia 55 – 59 tahun.

B. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis ingin mengemukakan beberapa saran yang diharapkan berguna bagi penelitian selanjutnya dan juga bermanfaat bagi Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.

1. Saran Metodologis

a. Penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan pada perawat di rumah sakit lain, baik negeri maupun swasta dengan sampel mencapai seluruh populasi agar dapat melihat secara menyeluruh bagaimana


(3)

gambaran spiritualitas perawat khususnya di rumah sakit di kota Medan.

b. Hendaknya dilakukan juga penelitian mengenai spiritualitas pada karyawan di perusahaan lainnya, bukan hanya pada perawat di rumah sakit. Hal ini karena penelitian mengenai spiritualitas masih jarang dilakukan.

c. Menambah teori mengenai spiritualitas dan faktor-faktor yang berhubungan dengan spiritualitas

d. Kesungguhan dan kejujuran dalam mengisi skala sangat menentukan hasil penelitian. Oleh karena itu proses pengisisan skala harus dikontrol agar subjek benar-benar mengisi skala dengan sungguh-sungguh.

2. Saran Praktis

Kepada pihak direksi RSU. Dr. Pirngadi Medan agar melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan dan lebih meningkatkan spiritualitas para perawatnya dengan cara:

a. Memberi informasi kepada pihak rumah sakit mengenai gambaran spiritualitas perawat.

b. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya spiritualitas di tempat kerja, dalam hal ini rumah sakit.


(4)

c. Memberi pengetahuan kepada perawat mengenai spiritualitas dan pentingnya spiritualitas di tempat kerja untuk lebih meningkatkan pelayanan yang diberikan kepada pasien

d. Menganjurkan kepada perawat untuk lebih memperhatikan kondisi jiwa dirinya dan pasien.

e. Memperlakukan perawat sebagai seorang individu yang utuh, bukan hanya sebagai karyawan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ashmos, D, P. (2000). Spirituality at Work: A conceptualization and measure. Journal of Management Inquiry. 9 (2): 134

Azwar, S. (2004). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

. (2004). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Relajar

. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Danim, S. (1997). Metode Penelitian Untuk Ilmu-ilmu Prilaku. Jakarta: Bumi Aksara

Elkins, D. N., dkk. (1988). Toward a Humanistic-phenomenological spirituality: Definition, description and measurement. Journal of Humanistic Psychology. 28 (4): 5-18

Fernando, M. (2006). The influence of religion-based workplace spirituality on business leaders’ decision making: An inter-faith study. Journal of Management and Organization. 12 (1): 23

Gaffar, L. O. J. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC

Hadi, S. (2000). Metodologi Research (Jilid 1-4). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hardaningtyas, Dwi. (2005). Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosi dan Sikap pada Budaya Organisasi terhadap OCB Pegawai PT. Pelabuhan III. Thesis Universitas Airlangga Surabaya

Howard, S. (2002). A spiritual perspective on learning in the workplace. Journal of Managerial Psychology. 17 (3): 230

Loetfia, D. (2000). Analisis Konsep Diri dan Perilaku Profesional Tenaga Keperawatan. [On-line] www.damandiri.or.id tanggal akses 16 April 2008

Megawati. (2005). Analisis Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan Tahun 2004 [On-line].


(6)

Raymond, F., dkk. (2005). Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality. New York: The Guilford Press

Praptianingsih, S. (2006). Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. (2003). [On-line] www.pdpersi.co.id tanggal akses 12 Juni 2008

Schreurs, A. (2002). Psychotherapy and Spirituality: Integrating the Spiritual Dimension into Therapeutic Practice. London: Jessica Kingsley Publishers

Spencer, Lyle . M., Spencer, Signr. M., (1993). Competence At Work ; models for superior performance. United States America: John Wiley & Sons, inc. Strack, Gary et al. (2002). Spirituality and effective Leadership in Healthcare: Is

There a Connection?. Frontiers of Health service management. 18 (4): 3-18

Tischler, L. (2002). Linking Emotional Intelligence, Spirituality and Workplace Performance: Definitions, Models and Ideas for Research. Journal of Managerial Psychology. 17 (3): 203

Utama, Surya. (2003). Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit. Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Sumatera Utara

Widjaja, M, I. (1994). Mutu Dan Biaya Perawatan. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi khusus No. 9. [on line] www.portalkalbe.com tanggal akses 16 April 2008

Widyarini, N, MM. (2008). Spiritualitas Masuk Dunia Kerja. [On-line] www.kompas.com tanggal akses 14 April 2008

Wigglesworth, C. (2004). Spiritual Intelligence and Why it Matters. [On-line] www.consciouspursuits.com tanggal akses 5 April 2008

Young, C., Koopsen, C. (2007). Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan. Medan: Bina Media Perintis