Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara historis, para sejarahwan sependapat bahwa Patani 1 merupakan salah satu negara Melayu di Nusantara dan pernah menjadi salah satu pusat peradaban Islam terbesar di Asia Tenggara. Kemajuan dan perkembangannya terdapat pada masa munculnya Kerajaan Melayu Patani Darussalam, sehingga bahasa Melayu Patani telah menjadi salah satu bahasa yang digunakan di kalangan pedagang- pedagang dalam menyebarkan agama Islam di kepulauan Melayu Nusantara. Pada abad ke-18 dan ke-19 M bahasa Melayu merupakan bahasa yang digunakan oleh para ulama Patani yang berada di Timur Tengah dalam penulisan buku-buku agama atau kitab kuning. 2 Dengan kata lain, Arab Melayu selain menjadi bahasa sehari-hari Lingua Franca, juga sebagai bahasa ilmiah. Sebagian dari ulama Patani yang belajar di Timur Tengah setelah menyelesaikan studi dan kembali ke tanah air membuka lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan “Pondok”, dengan mengikuti pola pendidikan di Timur Tengah. Salah seorang ulama Patani yang terkenal adalah : Dawud bin Abdullah bin Idris Al- Fatani, yang pengajarannya terus dikembangkan pula oleh Ahmad bin Muhammad 1 Selanjutnya, penulisan akan menggunakan istilah ‘Patani’ ditulis dengan satu ‘t’ yang mencerminkan suatu wilayah yang perbatasannya lebih luas dari pantai laut Cina Selatan. Sedangkan ‘Pattani’ dengan dua ‘tt’ merupakan salah satu propinsi di Thailand Selatan sekarang. 2 Shaghir Abdullah, Sejarah Ringkas Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani, Malaysia: Akademi Islam Universiti Malaya, 1991, h. 34 Zayn Al-Fatani. 3 Lambat laun lembaga ini berkembang tidak hanya di Patani, tetapi sampai ke Semenanjung Tanah Melayu dan Nusantara pada umumnya. Namun, kejayaan yang pernah dicapai oleh Patani berakhir seiring dengan ditaklukkannya negara ini oleh kerajaan Siam Thailand, dan dimasukannya wilayah tersebut ke dalam kekuasaannya. Dalam “Sejarah Kerajaan Melayu Patani”, Ibrahim Syukri mengatakan bahwa: Pada tahun 1902 M, kedudukan negara Patani secara berangsur telah tercantum menjadi bagian dari jajahan negara—Thai. Kerakyatan orang Melayu Patani pun telah berubah menjadi kewarganegara Siam-Thai. Pegawai pemerintah Siam dari Bangkok mulai masuk dan memegang jabatan di Patani. 4 Pencaplokan wilayah Patani oleh dinasti Thailand ke dalam kekuasaannya secara formal pada tahun 1909 M, yaitu setelah diperlakukan perjanjian yang dikenal dengan “Anglo-Siamese Treaty”, mengenai wilayah Semenanjung Melayu yang berada di bawah kekuasaan Siam. Dalam perjanjian tersebut ditentukan bahwa bangsa Inggris mendapatkan wilayah Kelantan, Kedah, Terangganu, dan Perlis sekarang menjadi negara bagian dari Malaysia. Sedangkan Patani, yang terdiri atas propinsi Pattani, Narathiwat, Yala, Setul dan sebagian dari propinsi Songkhla sekarang diberikan kepada Siam. 5 Pemerintah kolonial Inggris melepaskan klaimnya atas wilayah Siam yang sebelumnya pernah diajukannya, dan mengakui kedaulatan Siam atas wilayah 3 Ibid, h. 35 4 Ibrahim Syukri, Sejarah Kerajaan Melayu Patani, Malaysia: UKM, 1958, h. 101 5 Riza Sihbudi, ed, Probelematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara, Jakarta: PPW- LIPI, 2000, h. 123 Patani. Perjanjian ini memberikan jaminan penuh bagi pemerintah Thailand untuk menguasai sepenuhnya Patani dan memberikan akses baginya untuk mengambil beberapa langkah kebijakan yang memperlemah kedudukan Muslim Patani, sekaligus mengkonsolidasikan kekuasaan terhadap Patani. Semua kebijakan yang dilancarkan dapat disebut sebagai mono-ethnic character of the state atau etnik tunggal yang menjadi ciri khas dari negeri Thailand. Permasalahan yang sedang dihadapi oleh hampir semua negara sedang berkembang khususnya di Patani, pada umumnya merupakan persoalan integrasi nasional. Di antara lain, disebabkan oleh kemajemukan kelompok masyarakat dalam suatu negara. Hal tersebut merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi. Kemajemukan berarti adanya keanekaragaman unsur dalam susunan masyarakat yang berupa bentuk suku bangsa, agama dan golongan-golongan sosial lainnya. Salah satu ciri yang menonjol adalah kecenderungan kuat memegang jati diri atau identitas kelompok masyarakat tertentu, memberi isyarat pekanya hubungan antar kelompok atau golongan dalam masyarakat yang kemudian memperkuat batas sosial dan perbedaan antar kelompok masing-masing. 6 Keanekaragaman tadi juga terdapat dalam pemahaman terhadap ajaran agama di dalam masyarakat yang disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sumber tersebut sehingga dapat melahirkan pemahaman keagamaan yang dapat menimbulkan konflik agama. Di dalam konflik agama, terkadang perbedaan agama 6 Surin Pitsuwan, Islam di Muang Thai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakatra: LP3ES, 1989, h. 1 dijadikan acuan dalam menghadapi lingkungan kelompok lainnya, seperti yang dikemukakan oleh Cliffort Geertz bahwa: “Faktor penting yang mempengaruhi timbulnya instabilitas adalah karena adanya ikatan primordial yang antara lain disebabkan oleh faktor agama, hubungan daerah, bahasa, dan kebiasaan adat-istiadat.” 7 Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Patani mempunyai rasa kesamaan atau kedekatan karena rasa solidaritas sebagai suatu kelompok. Dengan demikian, kelompok tersebut menolak kekuasaan kelompok lainnya, pada gilirannya adalah terjadi permusuhan. Kelompok golongan biasanya menempati teritorial tertentu. Keberadaan kelompok teritorial terdapat pada setiap negara, dan sering kali terjadi disebabkan adanya yang berkuasa. Karena, mereka mendapat perlakuan-perlakuan yang kurang adil dan tekanan dalam setiap aspek kehidupan sehingga menimbulkan usaha untuk memisahkan diri. Mengutip dari Cliffort Geertz menjelaskan bahwa: “Ketidakpuasan politik, ekonomi maupun kelas menjurus kepada revolusi. Tetapi ketidakpuasan yang didasarkan pada agama, bahasa, ras, atau kultur sejarah menjurus kepada pemisahan bangsa dari suatu negara atau penuntutan kembali kedaulatannya.” 8 Jika persoalan primodial seperti yang telah disebutkan tadi menjadi permasalahan bagi setiap negara, maka bagi masyarakat Muslim Patani memenuhi semua unsurnya, yaitu perbedaan dalam agama, hubungan daerah, bahasa, kebiasaan 7 Juwono ed, “Ikatan-ikatan Primordial dan politik Kebangsaan di Negara-negara Baru” dalam Pembangunan Politik dan Perubahan Politik , Jakarta: Gramedia, 1985 h. 16 8 Ibid, h. 21 adat-istiadat, dan ditambah dengan terkonsentrasinya hidup mereka pada territorial tertentu. Persoalan yang mereka hadapi merupakan suatu dilema yang cukup besar. Bagaimana seharusnya mereka lakukan? Berpartisipasi dalam proses politik sebuah negara yang didasarkan atas kelompok kosmologi Budha. Birokrasi yang mewakili negara didominasi oleh Thai-budhis di mana dalam berbagai upacara dan ritual kenegaraan seluruhnya adalah Budhis. 9 Salah satu usaha suatu kelompok untuk memisahkan diri dari pemerintah untuk mendapatkan haknya, tidak diberikan begitu saja oleh negara yang menguasainya. Hal ini erat kaitannya dengan proses pembangunan politik di negara tersebut. Tindakan negara adalah mendominasi ke dalam kelompok tersebut agar tidak memisahkan diri. Pertentangan antar kelompok sosial tidak dapat dihindari lagi. Akibatnya, perbedaan tersebut makin menajam takala aspek politik dan ekonomi dalam struktur masyarakat mengisyaratkan perbedaan paham kelompok yang ada sehingga menyebabkan konflik-konflik di antara sesama warga masyarakat tersebut. Pertentangan ini pada hakikatnya terpusat pada persaingan kelompok dalam kekuasaan yang terbentuk dari kelompok-kelompok yang saling bertentangan. 10 Selanjutnya pertentangan akan menjurus kepada konflik fisik, yaitu perjuangan bersenjata digunakan oleh kelompok tertentu sebagai cara untuk memaksa pihak penguasa agar memenuhi tuntutan mereka, walaupun cara itu hanya bersifat 9 Pitsuwan, Islam di Muang Thai, h. 7 10 Walter Jones ed, “The distribution If Gains in Costoms Unions Between Developing Countries” dalam Logika Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali, 1988, h. 104 sementara atau selamanya sebelum tuntutan itu tercapai. Perlawanan bersenjata secara psikologis bertujuan meruntuhkan moral atau semangat penguasa agar lebih memperhatikan keberadaan mereka atau identitas kelompok tersebut. Konflik yang terjadi di Thailand Selatan, persoalan yang dihadapi adalah legitimasi pemerintahan, yaitu suatu bentuk pemerintahan yang dapat diterima oleh semua warganegara, tanpa terkecuali bangsa dan agama. 11 Meskipun negara Thailand bukan negara baru dalam artian eks-kolonial, dan merupakan satu-satunya negara yang tidak pernah dijajah oleh bangsa Barat. Tetapi dalam banyak hal terutama dalam konteks integrasi nasional, upaya revitalisasi nasionalisme Thai yang dibangkitkan oleh Phibul Songkram PM Thailand dalam rangka merangkul pemuka agama yang mengidentikkan Raja, negara, dan Agama—Raja sebagai pelindung agama yang mendapat hak melalui negara untuk melindungi dan memurnikan agama. Dalam kesatuan nasional, Phibul Songkram menyamakan patriotisme dengan Budhisme tanpa mempertimbangkan perasaan kelompok etnik lain, terutama Melayu. Mengutip dari Surin Pitsuwan mengatakan bahwa konflik di Selatan Thailand terjadi karena mereka mempunyai akar budaya yang sangat berbeda. Perbedaan persepsi mengenai peran pimpinan agama dalam negara dan wewenang negara dalam urusan hirarki 11 Ahmad Omar Capakia, Politik Thai dan Masyarakat Islam di Selatan Thailand, Malaysia: Pustaka Darussalam, SDN. BHD 2000, h. 90 keagamaan masyarakat. Hal ini menyebabkan semakin tajamnya konflik politik di daerah Patani Raya. 12 Ketika terjadi konflik pada tahun 2003 M dan pemerintah memperlakukan darurat militer, Isma’il Lutfi, seorang ilmuan Muslim Patani mengatakan bahwa: Konflik tidak akan berkepanjangan jika pemerintah dalam penyelesaiannya mengambil langkah yang tepat berdasarkan kebersamaan, keadilan dan tidak menggunakan kekerasan. Sekiranya pemerintah lebih utamakan cara golongan yang tidak suka dengan Islam dan mengabaikan ide-ide masyarakat setempat yang menjadi korban adalah masyarakat, mereka lebih mengetahui persoalannya. Pada zaman globalisasi ini media massa telah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam. Mereka mendesak agar dunia percaya bahwa perbedaan kebudayaan dan agama menjadi faktor utama terjadi konflik. Pernyataan ini sangat bertentangan dengan Islam yang mengajarkan bahwa perbedaan antara manusia merupakan jembatan untuk saling mengenal dan menjalin hubungan baik antara satu dengan yang lainnya. Medialah yang menuduh tuan guru dan aktifis-aktifis Patani sebagai teroris untuk menyulut konflik antara pemerintah dan masyarakat muslim Thai. 13 Selain perbedaan di atas, ditambah dengan perlakuan keras dari aparat pemerintah dalam mengurus masyarakat Melayu Patani, terutama dalam menjalani kebijakan integrasi dan asimilasi secara paksa, akibatnya masyarakat bangun melawan penguasa merupakan suatu keharusan. Karena politik asimilasi sama saja artinya dengan pembasmian etnik mereka. Kesadaran itu makin lama semakin menguat sehingga lahir berbagai tuntutan yang dimulai dari tuntutan hak otonomi sampai kepada tuntutan kemerdekaan. Tuntutan mereka merupakan konsekuensi logis dari rangkaian tuntutan yang tidak pernah dipenuhi, mulai dari tragedi 12 Pitsuwan, Islam di Muang Thai, h. 9 13 Isma’il Lutfi, Islamic Guidance Post, ‘Edisi khusus’, Thailand: 2003, edisi ke-235, Oktober-September, h. 11 kematian H. Sulong. 14 Sebenarnya kegagalan tuntutan ‘tujuh perkara’ disebabkan oleh terjadinya perbedaan pendapat di kalangan pimpinan politik di Bangkok. 15 Tragedi yang disebutkan di atas merupakan permulaan sejarah bagi gerakan perjuang Muslim Melayu Patani yang terus memperjuangkan hak mereka sampai sekarang sejalan dengan semakin berkembangnya persoalan mereka yang tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah pusat. Meskipun sebelumnya masyarakat Muslim Patani tidak pernah setuju terhadap kekuasaan Thai, tetapi perlawanan yang mereka lakukan sebatas pada perlawanan yang pasif dan bersifat sporadis tanpa suatu arah yang jelas, kemudian pola tuntutan itu berkembang lebih jauh menjadi suatu perlawanan yang berorientasi ideologis serta mengarah kepada kekerasan politik dalam bentuk organisasi perjuangan bawah tanah. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian guna mendeskripsi substansi ideologis dari setiap kelompok perlawanan yang terorganisir. Kemudian akan membandingkan beberapa ideologi perjuangan politik yang telah digariskan oleh setiap organisasi serta masalah-masalah yang muncul di sekitar ideologi bila ditinjau dari perspektif internal maupun eksternal antar organisasi, yaitu 14 Seorang ulama dan pejuang menuntut keadilan bagi masarakat Muslim Patani. Ia dibunuh dan dibuang ke laut Senggora Semila Beach berdekatan dengan pulau Tikus pada malam sabtu, 13 Agustus 1954 M. Tuntutan yang ia ajukan kepada pemerintah adalah: 1 wilayah Patani seharusnya dipimpin seorang putra daerah; 2 80 pegawai Patani hendaknya Muslim; 3 Bahasa Melayu dan bahasa Thai dijadikan bahasa resmi; 4 Bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di sekolah dasar; 5 Bagi kaum muslim hendaknya diterapkan hukum islam, bukan hukum sipil; 6 Pendapatan asli daerah sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan wilayah Patani sendiri; 7 Hendaknya dibentuk suatu lembaga muslim. 15 Mohd. Zamberi A. Malik, Umat Islam Patani: Sejarah dan Politik, Malaysia, Shah Alam: HIZBI, 1993, h. 225 respon dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah Thailand. Penelitian ini, penulis memberi judul “IDEOLOGI POLITIK ORGANISASI PERJUANGAN MELAYU MUSLIM PATANI DI THAILAND SELATAN”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah