menjaga perbedaan identitas. Namun upaya yang dilakukan pemerintah lebih cenderung menjauhkan mereka dari induk masyarakat Thai. Di antara kebijakan
tersebut adalah sebutan Thai-muslim yang biasa dilontarkan pemerintah dan juga para pengamat dalam menunjukan identitas mereka, dianggap kurang tepat.
96
Setelah politik integrasi disusul dengan politik asimilasi, baik bahasa, sejarah, lagu kebangsaan dan lain-lainnya. Sejak munculnya telah mendapat pertentangan dari
masyarakat Muslim Patani, namun pemerintah tetap menjalankannya. Politik integrasi tampak jelas ketika Phibul Songkhram menjabat sebagai Perdana Menteri
pada tahun 1938 M,
97
ia coba memberi tekanan yang lebih kuat. Langkah integrasi dan asimilasi jangka panjang dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Bagi
masyarakat Muslim Patani, integrasi dan asimilasi adalah intervensi yang membahayakan. Sebab, akan mengoyahkan akar budaya yang menjadi identitas
mereka. Dengan demikian, makin efektif asimilasi dilakukan makin besar pula perasaan terancam di kalangan masyarakat Muslim Patani.
98
2. Politik Asimilasi
Masa pemerintahan
Phibul Songkram sangat meresahkan masyarakat, karena
di samping ia menerapkan politik asimilasi, juga telah membangkitkan gerakan nasionalisme yang berdasarkan pada tiga simbol terpenting yaitu; Raja, negara, dan
96 Sebutan Melayu Muslim memang lebih punya dukungan psikologis bagi mereka, karena
merasa berakar pada kekuatan kultural. H Sulong pada tahun 1947 M. pernah menuntut pemerintah agar menyebut mereka dengan Melayu Muslim. Lihat, Pitsuwan, Islam di Muang Thai, h. 278-393
97 Phibul Songkram menjabat sebagai Perdana Menteri mulai 1938-1944 dan 1948-1957 M
98
Riza Sihbudi, ed, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara, Jakarta: PPW-LIPI, 2000, h. 124-127
agama Budhis. Penekanan terhadap tiga simbol itu berkonsekuensi dan mengidentik negara dengan hirarki agama Budha serta memunculkan konsep Raja sebagai
pelindung agama. Kedudukan Raja sebagai pelindung agama bukan saja menentukan keharusan Raja seorang Budhis, tetapi juga memberikan hak kepada Raja melalui
negara untuk memurnikan masyarakat melalui agama dan bertindak sebagai juru moral.
99
Sebagian besar masyarakat Thai-Budhis tidak menimbulkan persoalan. Tetapi, merupakan suatu ancaman bagi masyarkaat Muslim Melayu. Oleh karenanya,
masyarakat Muslim Patani melakukan oposisi terhadap kekuasaan negara Munculnya perasaan akan terancam akibat politik asimilasi, pada sisi lain
makin tingginya kesadaran masyarakat. Perbedaan ras, bahasa, agama, adat istiadat dan kesadaran keterpisahan etnis yang dilandasi oleh munculnya problem di daerah
tersebut telah membangkitkan kelompok-kelompok untuk mempertahankan diri dan melawan politik asimilasi. Kesadaran ini makin menguat seiring dengan
berkembangnya masalah itu sendiri. Hal ini terbukti dengan munculnya tuntutan- tuntutan baru yang bukan lagi seperti tuntutan mereka pada awal otonomi,
melainkan bersifat separatisme. Pemberontakan dan protes umum terjadi sepanjang sejarah merupakan bagian
dari usaha untuk mempertahankan identitas mereka. Walaupun sekarang politik asimilasi dan integrasi tidak diterapkan secara keras seperti pada masa Phibul, tetapi
perasaan benci dan dendam selalu muncul di kalangan masyarakat. Seperti yang
99 Surin Pitsuwan, Islam di Muang Thai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta:
LP3ES, 1989, h. 171
dikatakan Surin Pitsuwan bahwa pemberontakan yang terjadi selama ini berasal dari politik asimilasi tersebut.
100
Seperti yang kita saksikan, semenjak tragedi pembantaian di Takbai- Narathiwat pada tahun 2003 M sampai sekarang peristiwa pengeboman, penembakan
terhadap guru sekolah umum dan agama, pembunuhan terhadap aparat pemerintah dan penangkapan aktivis Muslim, dan lain sebagainya. Gambaran kekerasan yang
terjadi selama ini belum membuahkan hasil ke arah yang lebih baik. Sehingga muncul kekhawatiran di kalangan masyarakat dan juga pemerintah bangkok
.
101
P
enyebab utama yang dilancarkan pemerintah terhadap masyarakat Melayu Muslim Patani di
antara lain: Ada tiga persoalan utama yang pemerintah benahi adalah pendidikan,
penyebaran birokrasi dan ekonomi. Pendidikan menjadi masalah utama dalam membenahi sistem pendidikan yang sudah ada yaitu pendidikan pondok dan
madrasah. Pemerintah menganggap pendidikan merupakan pokok bagi politik integrasi terhadap minoritas, yakni pendidikan yang mengandung arti kesamaan
bahasa dan fungsi literatur yang cukup penting dalam berkomunikasi antara masyarakat dan karenanya akan menumbuhkan “shared national sentiment”.
102
100 Ibid, h. 87-93
101 Observasi di empat propinsi di Selatan Thailand.
102 Thomas M. Ladd, Political Violence In The Muslim Province Of Southern Thailand,
Singapura: ISEAS, 1975, h. 23
Sementara respon yang muncul di kalangan masyarakat terhdap program itu bervariasi. Bagi orang Melayu yang sinis mereka melakukan penolakan
pendidikan modern, dan lebih didasarkan sikap kecuriagaan. Menurut mereka usaha tersebut merupakan jalan menuju asimilasi dengan tujuan “munculnya
masyarakat Melayu yang lupa dengan agama dan rasnya karena diselimuti oleh kesetiaan kepada pemerintah Bangkok”.
103
Pemerintah berusaha
menata pendidikan yang mencakup institusi pendidikan
tradisional pondok. Artinya, di samping pondok harus melakukan modernisasi kurikulum, juga ditempatkan di bawah kontrol pemerintah. Hal ini secara tegas
dianggap akan merugikan pihak pondok. Sebagai reaksi terhadap penolakan itu, tidak kurang dari 109 buah pondok 1971 M menghentikan kegiatannya. Karena
pada saat itu pondok mulai diajarkan pelajaran baru seperti bahasa Thai, studi sosial di samping agama Islam.
104
Sebagai contoh, salah satu sikap tradisional yang diperlihatkan kelompok separatis adalah penolakan terhadap sistem pendidikan modern yang diatur oleh
Bangkok. Pada tahun 1980 M, Mc Beth menulis bahwa di Universitas Pattani terdapat 3 mahasiswa yang Muslim.
105
Hal ini terjadi barangkali karena mereka beranggapan bahwa pendidikan sekuler merupakan sebuah proses Budhanisasi.
Oleh karenanya untuk mendapatkan pendidikan ke jenjang berikutnya, mereka
103 Suhrk, The Thai Muslims, h. 238
104 Thomas, Political Violence In The Muslim Province Of Southern Thailand, h. 24
105 Mc Beth, Separatism is the Goal and Religion the Weapon. FEER, Jilid 108 No. 26 20
Juni 1980, h. 21
lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke daerah Timur Tengah, Malaysia dan Indonesia sebagai alternatif dengan harapan pada saat mereka
kembali ke tanah air dapat meningkat perasaan identitas Islam serta memperkuat kebanggaan etnik mereka. Karena yang mereka pelajari pada umumnya adalah
ilmu agama. Namun, dalam pandangan pemerintah mereka dilihat lebih berbahaya dari kepemimpinan tradisional mereka. Karena pengalaman di luar
negeri cukup mendukung kapasitas politik mereka. Peraturan yang mewajibkan sekolah agama menyelenggarakan pendidikan
sekuler dengan menggunakan bahasa Thai sebagai bahasa pengantar. Sementara masyarakat menganggap peraturan tersebut merupakan bagian dari upaya
menggerogoti bahasa Melayu, demikian juga dimasukkan pelajaran agama Islam dalam kurikulum sekolah umum.
106
Oleh karena itu, semua sarana pendidikan seperti sekolah pemerintah sering menjadi sasaran serangan masyarakat. Di antara
1979-1980 M terjadi 26 kasus pembakaran sekolah, pengeboman bangunan, pengrusakan jembatan dan guru-guru yang beragama Budhis menjadi sasaran
pembunuhan dan penculikan. Tujuannya adalah untuk menyurutkan usaha pemerintah tersebut.
107
Penyebaran birokrasi juga didominasikan oleh Thai-Budhis. Kebanyakan pegawai pemerintah tidak bisa dan tidak berusaha untuk memahamai bahasa
Melayu. Hal ini tentu saja menyulitkan mereka dalam berkomunikasi dan menyampaikan pesan pemerintah. Sementara masyarakat Muslim menilai,
106 Nasir Ramli, Jakarta: Panji Masyarakat, 1986,, no. 492, h. 28
107 Pitsuwan, Islam di Muang Thai, h. 242
partisipasi masyarakat ke dalam birokrasi pemerintah sebagai integrasi penuh.
108
Oleh karena itu, partisipasi tersebut dianggap sebagai pengkhianatan. Terbukti ketika masyarakat Muslim berpartipasi dalam program pemerintah dengan
menjabat sebagai pemimpin atau kepala desa dalam rangka untuk menjembatani antara rakyat dan pemerintah terkadang dianggap sebagai intel pemerintah.
Sementara di bidang ekonomi sering dilihat sebagai pemicu terjadinya ketegangan. Kesenjangan antara perekonomian masyarakat Muslim Patani yang
pendapatannya dan strata sosial lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat Thai-budhis dan Cina yang berada pada strata sosial yang lebih tinggi,
109
sangat memungkinkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan masyarakat Melayu.
Apalagi ada pemahaman di kalangan mereka bahwa di empat propinsi selatan Thailand merupakan daerah yang kaya dengan perkebunan karet.
Pada sisi lain, terdapat industri yang banyak menyerap tenaga kerja dari kaum remaja Melayu Muslim. Sebagian besar di kalangan masyarakat merasa
masuknya kaum remaja yang bekerja di industri dapat mengubah cara hidup dan nilai agama Islam akan hilang. Karena mereka berpendirian bahwa pendidikan
yang berdasarkan moral keagamaan sangat diperlukan dan meyakini bahwa struktur masyarakat harus dibangun atas dasar nilai Islam.
108 Suhrke, The Thai Muslims, h. 545
109 Riza ed, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara, h. 128
Tuntutan-tuntutan keadilan
sosial ekonomi menjadi sebuah isu yang muncul,
walaupun dalam kenyataannya banyak penduduk Thai-budhis yang pendapatannya lebih rendah. Beberapa usaha yang dilakukan pemerintah melalui
pembangunan ekonomi dimaksudkan untuk menjembatani kesejangan yang terjadi selama ini, di samping usaha untuk memperkuat politik integrasi.
C. Langkah dan Upaya Penyelesaiannya.