BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada
usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab kematian sesudah penyakit jantung pada sebagian besar negara di dunia,
sedangkan di negara Barat yang telah maju, stroke menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian sesudah penyakit jantung dan kanker.
Stroke adalah penyebab kedua kecacatan berat di seluruh dunia pada usia di atas 60 tahun dan biaya perawatan stroke adalah sangat besar,
pada tahun 2004 diperkirakan 53,6 miliar dolar Amerika Nasution, 2007. Di Indonesia, data nasional stroke menunjukkan angka kematian
tertinggi, yaitu 15,4 stroke sebagai penyebab kematian Soertidewi, dkk, 2011. Data di Indonesia juga menunjukkan kecendrungan peningkatan
kasus stroke baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9 umur 45 – 54
tahun, 26,8 umur 55 – 64 tahun dan 23,5 umur ≥ 65 tahun.
Kejadian stroke insiden sebesar 51,6100.000 penduduk, dan kecacatan didapati 1,6 tidak berubah, serta 4,3 semakin memberat. Stroke
menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di
kemudian hari Guideline Stroke, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Penderita stroke mudah terjangkit banyak komplikasi. Penderita stroke umumnya mempunyai komorbiditas seperti hipertensi, diabetes,
penyakit jantung atau penyakit lain yang meningkatkan risiko komplikasi medis sistemik selama masa pemulihan. Namun demikian, beberapa
komplikasi dapat muncul sebagai akibat langsung dari kerusakan otak itu sendiri, dari akibat disabilitas dan immobilitas yang menyertai penderita
stroke atau akibat terapi stroke yang diberikan. Hal-hal ini mempengaruhi secara substansial outcome akhir dari penderita stroke dan sering
menghalangi pemulihan neurologis. Komplikasi jantung, pneumonia, perdarahan gastrointestinal, tromboemboli vena, demam, nyeri, disfagia
dan depresi umumnya sering terjadi pada penderita stroke dan biasanya membutuhkan intervensi untuk pencegahan dan pengobatannya Kumar,
dkk, 2010. Pada suatu studi prospektif oleh Davenport, dkk tahun 1996, didapati
ferkuensi perdarahan gastrointestinal pada penderita stroke baik iskemik maupun hemoragik sebesar 3 dari 613 pasien, dimana separuhnya
berupa perdarahan yang berat Davenport, dkk, 1996. Pada penelitian akhir – akhir ini yang melibatkan 6.853 pasien stroke iskemik, 1,5
menderita perdarahan
gastrointestinal selama
masa perawatan
O’Donnel, dkk, 2008. Keparahan stroke, riwayat ulkus peptikum, sepsis, gagal ginjal, fungsi hati yang abnormal merupakan prediktor independen
terjadinya perdarahan gastrointestinal pada penderita stroke Kumar, dkk, 2010; Cook, dkk, 1994. Mortalitas penderita perdarahan gastrointestinal
Universitas Sumatera Utara
secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang tidak mengalami pendarahan gastrointestinal Alhazzani, dkk, 2012.
Infeksi saluran kemih dan terutama pneumonia merupakan komplikasi yang serius pada penderita stroke. Komplikasi ini dilaporkan
terjadi 5 – 65 pada penderita stroke akut Vermeij, dkk, 2009. Dimana
didapati frekuensi stroke-associated pneumonia antara 5 – 22 Harms dkk, 2010. Penelitian Vermeij, dkk, 2009 mendapati 15 infeksi terjadi
pada penderita stroke dalam 7 hari masa rawatan stroke-associated infection, dimana 7,5 menderita pneumonia dan 4,4 infeksi saluran
kemih Vermeij, dkk, 2009. Penelitian Koennecke HC, dkk, 2011, dalam
waktu 3 tahun, mendapati dari 16.518 penderita stroke iskemik dan hemoragik, 12,2 mengalami komplikasi berupa pneumonia Koennecke,
dkk, 2011. Pneumonia erat kaitannya dengan risiko mortalitas yang tinggi
pada stroke fase akut, sehingga identifikasi yang segera pada pasien dengan risiko tinggi mendapatkan pneumonia dapat menentukan
panderita stroke yang memerlukan pengawasan ketat dan pengobatan profilaksis Hoffman, dkk, 2012.
Suatu randomized controlled trial terdiri dari 244 pasien, yang membandingkan antasida, ranitidin dan sukralfat pada pasien yang
memakai ventilasi mekanik, mendapati perdarahan gaster makroskopis sebesar: antasida 4, ranitidin 5 dan sukralfat 10 p 0,2. Early-
onset pneumonia dan mortalitas antara ketiga kelompok tersebut tidak berbeda signifikan. Namun pada pengamatan lebih dari 4 hari, late-onset
Universitas Sumatera Utara
pneumonia didapati: antasida 16, ranitidin 21 dan sukralfat 5 p=0,022 Prod’hom, dkk, 1994. Pada studi lain, double-blind clinical trial,
yang membandingkan efek sukrafalfat dengan antasida pada gastric pathogens, menyimpulkan sukralfat dan antasida keduanya memberikan
profilaksis terhadap stress ulcer yang aman dan efektif pada pasien setelah operasi di unit perawatan intensif, namun didapati lebih banyak
patogen baru yang muncul di gaster pada pemberian antasida dibandingkan sukralfat p=0,04. Dan tidak dijumpai perbedaan morbiditas
atau mortalitas yang bermakna antara kedua kelompok tersebut Ephgrave dkk, 1998.
Ranitidin secara luas digunakan sebagai profilaksis stress ulcer pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Studi metaanalisis yang
dilakukan oleh Cook, dkk tahun 1996 menunjukkan antagonis reseptor histamin 2 AH
2
seperti simetidin dan ranitidin, lebih efektif dibandingkan plasebo untuk pencegahan stress ulcer tersebut. Namun penelitiannya
tidak dapat menjelaskan peningkatan risiko pneumonia nasokomial yang berkaitan dengan penggunaan AH
2
Cook, dkk, 1996; Messori, dkk, 2000. Studi metanalisis oleh Messori dkk tahun 2000 mendapati beberapa
penelitian yaitu Ruiz-Santana dkk, 1991; Apte dkk, 1992; Metz dkk, 1993; Burgess dkk, 1995 dan Hanisch dkk, 1998 dengan hasil bahwa
perdarahan gastrointestinal lebih rendah pada kelompok ranitidin dibandingkan plasebo 5 berbanding 7 tetapi tidak bermakna secara
statistik. Didapati juga penelitian dari Apte dkk, 1992; Metz dkk, 1993 dan
Universitas Sumatera Utara
Hanisch dkk, 1998, yang membandingkan ranitidin dengan plasebo terhadap terjadinya pneumonia nasokomial, dengan hasil bahwa
pneumonia nasokomial lebih rendah pada kelompok ranitidin daripada plasebo 22 berbanding 23 tetapi juga tidak bermakna secara
statistik. Namun pada metanalisisnya terhadap terjadinya pneumonia nasokomial antara kelompok ranitidin dengan sukralfat maka didapati
secara bermakna peningkatan risiko pneumonia lebih tinggi pada kelompok ranitidin dengan sukralfat 22 berbanding 18 Messori, dkk,
2000. Proton pump inhibitor PPI juga secara luas digunakan untuk
profilaksis stress ulcer. Suatu metanalisis dari randomized control trial yang membandingkan PPI dengan AH
2
untuk pencegahan stress ulcer dan
kejadian pneumonia
nasokomial, mendapati
perdarahan gastrointestinal pada kelompok PPI secara signifikan lebih rendah
dibandingkan kelompok AH2 namun kejadian pneumonia antara kedua kelompok sama Pongprasobchai, dkk, 2009. Metaanalisis lain oleh
Alhazzani dkk, 2013 mendapati pada pasien criticall ill, PPI lebih efektif dibandingkan AH
2
dalam pencegahan perdarahan saluran cerna bagian atas, namun tidak dijumpai perbedaan di antara kedua kelompok terhadap
kejadian pneumonia nasokomial, mortalitas dan lama perawatan di unit perawatan intensif Alhazzani dkk, 2013.
Guideline stroke tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia menyatakan untuk
Universitas Sumatera Utara
mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke, sitoprotektif atau penghambat reseptor histamin 2 perlu diberikan. Tidak ada perbedaan
hasil antara pemberian penghambat reseptor histamin 2, agen sitoprotektif ataupun inhibitor pompa proton. Antasida tidak perlu diberikan pada
profilaksis stress ulcer Kelompok Studi Stroke PERDOSSI, 2011.
2. Perumusan Masalah