oleh kerusakan dinding arteri arteriosklerosis atau karena kelainan kongenital atau trauma Misbach, dkk, 2011.
2. KOMPLIKASI STROKE
2.1. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS
Beberapa penderita stroke dan penyakit otak lainnya dapat mengalami perdarahan gastrointestinal, dan bisa mengancam
nyawa jika berat. Hal ini biasanya dikenal dengan Cushing’s ulcers, stress ulcer, hemorrhagic gastritis, stress erosions, stress gastritis,
erosive gastritis dan stress-related mucosal disease Caplan, 2009; Ali dkk, 2009. Davenport dkk melaporkan 18 dari 607 penderita
stroke 3 di rumah sakit Edinburgh mengalami perdarahan gastrointestinal dan setengahnya mengalami perdarahan yang
berat. Kebanyakan pasien tersebut mengalami hematemesis atau melena, tapi seorang pasien menderita nyeri abdomen dan syok
Davenport, dkk, 1996; Caplan, 2009. Pasien dengan usia tua, stroke yang berat dan penurunan kesadaran lebih cendrung
mengalami perdarahan gastrointestinal. Pemberian kortikosteroid pada edema otak juga meningkatkan risiko stress ulcer.
Penggunaan antagonis reseptor histamin 2 sebagai profilaksis direkomendasikan untuk penderita stroke yang luas dengan
penurunan kesadaran Caplan, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Mukosa lambung terdiri dari banyak kelenjar. Pada bagian kardia dan pilorus, kelenjarnya menghasilkan mukus. Di bagian
tengah, termasuk fundus, kelenjar – kelenjar juga terdiri dari sel parietal oksintik yang mensekresikan HCl dan faktor interinsik dan
sel chief zimogen, peptik yang mensekresikan pepsinogen Barret, dkk, 2010.
Gambar 1: Anatomi Lambung dan Struktur Kelenjar di Lambung. Dikutip dari: Barrett,KE.; Barman,SM.; Boitano,S.; Brooks,H. 2010. Ganong’s
Review of Medical Physiology, 23
rd
Edition. McGraw-Hill. USA.
Sel parietal terdiri dari reseptor gastrin, histamin dan asetilkolin. Saat asetilkolin atau gastrin berikatan dengan reseptor
di sel parietal, menyebabkan peningkatan kalsium sitosolik, yang kemudian menstimulasi sekresi asam dari H+K+ ATPase pompa
proton di permukaan kanalikular. Di dekat sel parietal ada sel enterochromaffin-like ECL. Sel ini mempunyai reseptor untuk
Universitas Sumatera Utara
gastrin dan asetilkolin dan merupakan sumber pelepasan histamin. Histamin berikatan dengan reseptornnya di sel parietal,
mengaktifasi adenil siklase, yang kemudian meningkatkan cyclic adenosine
monophosphate cAMP.
Cyclic adenosine
monophosphate mengaktifkan kinase protein yang menstimulasi sekresi asam melalui H+K+ ATPase Katzung, 2005.
Patogenesis dari perdarahan saluran cerna bagian atas pada penderita stroke masih belum jelas. Secara intuisi, hal ini
dihubungkan dengan “stress”. Erosi atau gastritis hemoragik merupakan penemuan endoskopi yang sering pada penderita
stroke dengan perdarahan gastrointestinal. Namun demikian penyebabnya tidaklah hanya “stress” saja, sejak penjelasan lain
tentang perdarahan tersebut muncul hampir pada semua kasus. Dikemukan juga adanya hubungan yang kuat dengan penggunaan
obat anti inflamasi non steroid yang lama dan aspirin. Keberadaan bakteri H. pylori. Dan faktor – faktor lain yang mempengaruhi
seperti penggunaan ventilasi mekanik dan koagulopati. Pada model eksperimental menunjukkan stress mengaktifasi hipotalamus,
mengakibatkan stimulasi kolinergik ke lambung. Substansi seperti asetilkolin, histamin dan hormon thyrotropin-releasing juga
meningkatkan kerentanan dari mukosa lambung Wijdicks, dkk, 1994.
Universitas Sumatera Utara
Pemasangan naso gastric tube NGT merupakan langkah diagnostik awal yang penting. Perasat ini minimal untuk
mengetahui benar tidaknya terdapat perdarahan saluran cerna, aktifnya proses perdarahan atau sudah berhentinya perdarahan,
perkiraan volume darah yang hilang. Di samping itu juga untuk mengeluarkan asam lambung dan memungkinkan bilas lambung
serta pemberian obat. Adanya aspirat darah segar menunjukkan sedang terjadinya perdarahan aktif. Tapi aspirat jernih tidak
menyingkirkan, terutama bila sumber perdarahan di duodenum, bahwa perdarahan itu sudah berhenti. Dalam hal ini penilaian klinis
utuh harus menjadi dasar pertimbangan. Penilaian aspirat NGT ini juga dapat dipakai sebagai parameter untuk memulai pemberian
nutrisi enteral cair bertahap pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas. Dimana bila cairan sudah jernih atau hanya
mengandung cairan hematin minimal, makanan cair dapat dimulai bertahap. Pemanfaatan NGT untuk proses bilas lambung harus
dipertimbangkan dengan
baik. Sangat
dianjurkan proses
pembilasan dilakukan secara pasif. Bila harus melakukan aspirasi aktif pada perdarahan masif, harus dipertimbangkan jangan sampai
proses tersebut menyebabkan trauma pada mukosa lambung Djojoningrat, 2011.
Tatalaksana penderita stroke yang mengalami stress ulcer perdarahan saluran cerna bagian atas: Guideline Stroke, 2011
Universitas Sumatera Utara
- Pasien dipuasakan
- Dilakukan penatalaksanaan airway, breathing dan circulation yang
adekuat. -
Pada perdarahan yang banyak lebih dari 30 dari volume sirkulasi, penggantian dengan transfusi darah perlu dilakukan.
Untuk mengganti kehilangan volume sirkulasi, cairan pengganti berupa koloid atau kristaloid dapat diberikan sebelum transfusi.
- Lakukan irigasi melalui pipa nasogastrik dengan air es tiap 6 jam
sampai darah berhenti. -
Pemberian penghambat pompa proton seperti omeprazol atau pantoprazol secara intravena dengan dosis 80 mg bolus,
kemudian diikuti pemberian infus 8 mg jam selama 72 jam berikutnya.
- Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel.
- Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit paska hematemesis
sangat membantu percepatan proses penyembuhan stress ulcer. Pemberian nutrisi harus dengan kadar serat yang tinggi dan
dihindarkan dari makanan yang merangsang atau mengiritasi lambung.
2.2. PNEUMONIA
Pneumonia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering pada penderita stroke dan sebagai penyebab demam
Universitas Sumatera Utara
yang paling sering dalam 48 jam setelah serangan stroke. Pneumonia akan meningkatkan risiko kematian 3 kali lipat pada
penderita stroke Kumar, dkk, 2010. Penelitian Vermeij, dkk, 2009 menunjukkan bahwa infeksi sebagai komplikasi stroke yang
terbanyak adalah pneumonia, dimana 7,5 separuh dari total infeksi pada penderita stroke 15 adalah penderita pneumonia.
Dan ditemukan juga outcome yang jelek saat keluar rumah sakit 9,5 kali, outcome jelek dalam 1 tahun 12 kali dan angka mortalitas
3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dari penderita stroke yang tidak pneumonia Vermeij, dkk, 2009.
Pneumonia tersebut paling banyak disebabkan sebagai akibat aspirasi yaitu terinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di
faring ataupun gingiva Kumar, dkk, 2010. Pneumonia yang terjadi juga dapat merupakan hospital-aquired nasocomial pneumonia
yaitu inflamasi dari parenkim paru yang disebabkan agen infeksius dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit, dimana keadaan
tersebut didapat lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit Rotstein, dkk, 2008.
Bakteri penyebab tersering dari pneumonia aspirasi pada orang dewasa meliputi: Marrie, dkk, 2005
- Enterobacteriaceae
- S. Aureus
- S. Pneumoniae
Universitas Sumatera Utara
- H. influenzae.
Sedangkan bakteri penyebab tersering pada hospital- aquired nasocomial pneumonia di Amerika: Marrie, dkk, 2005
- P. aeruginosa 21
- Acinetobacter spp. 6
- Patogen enterik seperti Enterobacter spp. 9
- K. pneumoniae 8
- S. aureus mencapai 2 sampai 64
Aspirasi sebagai penyebab pneumonia pada penderita stroke tidak dapat dibantah, namun demikian, aspirasi saja tidak
cukup untuk menjelaskan tingginya insiden pneumonia pada stroke akut, sekitar 50 dari orang sehat juga teraspirasi sekret faringeal
tiap malam seperti yang terjadi pada penderita stroke, tapi tidak menderita pneumonia. Bukti klinis dan eksperimen menunjukkan
bahwa pada cedera iskemik akut susunan saraf pusat berkaitan dengan imunodefisiensi sementara dan gangguan antibakteri
pertahanan tubuh, ini merupakan faktor penting bagi peningkatan kerentanan terhadap infeksi setelah cedera susunan saraf pusat.
Pada model eksperimental stroke, iskemik serebral menginduksi penekanan yang cepat pada respon imunitas seluler di organ
limfatik paru – paru maupun di darah. Perubahan pada sistem imunitas ini mendahului pekembangan infeksi bakteri di paru – paru
Harms, dkk, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2: Konsep Terjadinya Infeksi Pada Stroke. Dikutip dari: Harm H dan Halle E. European Neurological Review, 2010;51:39–43.
Suatu hipotesis tentang terjadinya pneumonia pada pemberian obat pencegah stress ulcer menjelaskan bahwa obat
pencegah stress
ulcer seperti
antasida, sukralfat,
dll mempengaruihi pH dalam lambung, dan perubahan pH itu akan
mempengaruhi keberadaan mikroorganisme baru di lambung. Selanjutnya terjadi kolonisasi mikroorganisme di lambung ke
sputum dan akhirnya terjadi pneumonia. Ephgrave dkk, 1998
Sequele Klinis Immobilisasi
Penurunan kesadaran Disfagia
Kateterisasi Imunodepresi
Limfopenia Disfungsi limfosit
Disfungsi monosit STROKE AKUT
INFEKSI POST-STROKE
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3: Hipotesis Yang Merangkum Terapi Profilaksis Stress Ulcer Dapat Mempengaruhi Kejadian Pneumonia. Dikutip dari: Ephgrave KS,
Kleiman-Wexler R, Pfaller M, Booth Bm, Reed D, Werkmeister L, et al. 1998. Effects of Sucralfate vs Antacids on Gastric Pathogens. Arch
Surg;133:251-257.
Diagnosis umumnya ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi oleh hasil kultur cairan pleura, punksi paru atau kultur
darah. Diagnosis dengan demikian dapat dibuat menurut kriteria diagnosis CDC Center for Disease Control, yaitu:
Rotstein, dkk, 2008
Pneumonia harus memenuhi satu dari kriteria berikut: 1. Ronki atau dullness pada perkusi toraks. Ditambah satu dari :
a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya. b. Isolasi kuman dari kultur darah.
c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat transtrakeal, biopsi atau hapusan bronkus.
2. Gambaran radiologik berupa infiltrat baru atau yang progresif, konsolidasi, kavitasi, atau efusi pleura. Dan satu dari:
a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya.
Universitas Sumatera Utara
b. Isolasi kuman dari kultur darah. c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat
transtrakeal, biopsi atau hapusan bronkus. d. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret saluran
nafas. e. Diagnostik titer antibodi tunggal IgM atau peningkatan 4 kali
titer IgG dari kuman. Diagnosis lain dapat dibuat dengan kriteria The Center for
Disease Control CDC-Atlanta yang telah diadaptasi oleh PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, yaitu: Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003 Pneumonia ditegakkan atas dasar:
1. Gambaran foto toraks terdapat infiltrat baru atau progresif. 2. Ditambah dua di antara kriteria berikut:
a. Batuk – batuk bertambah. b. Perubahan karakteristik dahak sekret purulen
c. Suhu tubuh ≥ 38
C diukur di aksila. d. Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda – tanda konsolidasi, suara
nafas bronkial dan ronki. e. Leukositosis
≥10.000 atau leukopenia 4500 Pencegahan dan deteksi pneumonia pada penderita stroke
akut dapat dilakukan sebagai berikut: Guideline Stroke, 2011
Universitas Sumatera Utara
- Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan, erat
hubungannya dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka tes refleks batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko
pneumonia. -
Pemberian pipa nasogastrik segera dalam 48 jam dianjurkan pada pasien gangguan menelan.
- Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan:
Elevasi kepala 30 – 45 Menghindari sedasi berlebihan
Mempertahankan tekanan cuff endotrakeal yang tepat pada pasien dengan intubasi dan trakeostomi.
Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan secara enteral.
Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama. Seleksi diit yang tepat pada pasien dengan disfagia.
Mengaspirasi sekret subglotis secara teratur Rehabilitasi fungsi menelan.
Penatalaksanaan pneumonia pada penderita stroke meliputi: Guideline Stroke, 2011
- Pemberian antibiotik sesuai indikasi kalau perlu tes resistensi
kuman, antara lain: Tanpa komorbiditas: macrolide azitromisin, klaritromisin atau
eritromisin atau doksisiklin.
Universitas Sumatera Utara
Disertai penyakit lain seperti diabetes melitus, alkoholisme, keganasan, penyakit jantung serta penyakit imunosupresi:
fluorokuinolon moksifloksasin,
gemifloksasin atau
levofloksasin atau beta-laktam dengan macrolide. Alternatif lainnya adalah ceftriakson dan doksisiklin sebagai pengganti
macrolide. -
Fisioterapi chest therapy dengan spirometri, inhalasi ritmik dan menepuk-nepuk dada.
3. ANTASIDA, RANITIDIN DAN OMEPRAZOL