sulit untuk dibuktikan, kehadiran whistle blower dan justice collaborator merupakan Agen of Change dalam upaya pembrantasan tindak pidana korupsi
di Indoensia.
2. Whistleblower dan Justice Collaborator adalah Social of control.
Rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat bahkan
sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia.
129
Tindak Pidana korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-hak social ekonomi masyarakat luas. Ada enam kepentingan
masyarakat social interest yang dilindungi oleh hukum, yaitu meliputi :
130
a. Kepentingan masyarakat bagi keselamatan umum, seperti keamanan,
kesehatan, dan kesejahteraan, jaminan bagi transaksi-transaksi dan pendapatan. b.
Bagi lembaga-lembaga sosial, meliputi perlindungan dalam perkawinan, politik, seperti kebebasan berbicara dan ekonomi.
c. Kepentingan masyarakat terhadap kerusakan moral, seperti korupsi, perjudian,
pengumpatan terhadap Tuhan, tidak sahnya transaksi-transaksi yang bertentangan dengan moral yang baik atau peraturan yang membatasi tindakan-
tindakan anggota trust.,
129
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek nasional dan Aspek Internasional Bandung: Mandar Maju, 2004, hal 48. Dikutif dari Syaiful Ahmd Dinar, KPK dan Korupsi dalam Studi
Kasus Cintya Press-Jakarta, 2012. Hal.9
130
Syaiful Ahmd Dinar, KPK dan Korupsi dalam Studi Kasus Cintya Press-Jakarta, 2012. Hal.6.
Universitas Sumatera Utara
d. Kepentingan masyarakat dalam pemiliharaan sumber sosial, seperti menolak
perlindungan hukum bagi penyalahgunaan hak abuse of right e.
Kepentingan masyarakat dalam kemajuan umum, seperti perlindungan hak milik, perdagagangan bebas dan monopoli, kemerdekaan industry dan
penemuan baru. f.
Kepentingan masyarakat dalam kehidupan manusia secara individual, seperti perlindungan terhadap kehidupan yang layak, kemerdekaan berbicara, dan
memilih jabatan. Korupsi semakin meluas bahkan muncul bentuk-bentuk korupsi yang tidak
dilakukan secara individual. Korupsi di DPRD-DPRD dan di Pemerintahan Daerah memancing seloroh untuk menamakannya sebagai korupsi berjamaah.
131
Kesulitan dan kerumitan pemberantasan korupsi melalui hukum dimulai saat muncul semangat
tinggi untuk memberantasnya, dan saat itu pula kaki dan tangan kita terikat oleh peraturan dan prosedur hukum, oleh system dan doktrin serta kultur tertentu. Jika kita
memberi kesempatan kepada system hukum yang ada atau normal untuk memberantas korupsi, tetapi gagal, mengapa kita tidak menempuh cara yang berbeda, yang tidak
normal.
132
Cara beda itu sama sekali tidak identik dengan mengabaikan hukum, tetapi menggunakan hukum secara berbeda. Umumnya kita masih terpaku cara penegakan
konvensional, termasuk kultur. Penegakan hukum yang dituliskan dalam peraturan dan
131
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Progresif, PT Kompas Media Nusantara, 2010, hal 132.
132
Ibid.,hal 133.
Universitas Sumatera Utara
system itu diterima secara tidak kritis, kreatif dan inovatif. Itulah kultur penegakan hukum sekarang.
133
Untuk mengatasi ketidakseimbangan dan ketidakadilan itu, kita bisa melakukan langkah tegas affirmative action. Langkah tegas itu adalah dengan menciptakan suatu
kultur penegakan hukum yang beda yaitu kultur kolektif. Jika korupsi sudah mulai dilakukan secara kolektif, harus dihadapi pula secara kolektif.
134
Whistleblower dan Justice collaborator merupakan suatu cara yang berbeda
untuk menghadapi kejahatan korupsi yang meluas tersebut. Keberadaan whistleblower dan justice collaborator merupakan senjata ampuh untuk membasmi para koruptor,
karena semua orang disekitar koruptor dapat menjadi whistleblower dan justice collaborator
. Dengan demikian semua masyarakat dapat menjadi social control bagi penyelenggaran pemerintahan yang bersih dan berwibawa, disamping itu para penegak
hukum sangat terbantu dalam mengungkap kejahatan yang terjadi.
E. Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator Indonesia ke
Depan. 3. Belum Ada Peraturan Yang Mengatur Secara Tegas tentang
Whistleblower dan
Justice Collaborator.
Konsepi dan analisis yang ketat dan mendalam perlu digaris bawahi karena persoalan whistleblower dan justice collaborator memiliki implikasi yang rumit dan
tidak sesederhana dalam merumuskan regulasi dan impelmentasinya, bahkan
133
Ibid.,
134
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
memerlukan persamaan policy pelaksanaanya.
135
Perlu dilakukan koordinasi antar lembaga untuk menentukan seperti apa kriteria whistleblower dan justice collaborator.
Sangat diperlukan komitmen dan integritas yang tinggi antar lembaga penegak hukum dalam pelaksanaan program whistleblower dan justice collaborator untuk
mengihindari ego sektoral masing-masing lembaga hukum.
136
Undang-Undang No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak menyebutkan secara tegas adanya perlindungan hukum terhadap whistleblower
atau saksi pengungkap fakta.
137
Bertolak pada kelemahan ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU No.13 tahun 2006 tersebut terdapat beberapa pendekatan atau interpretasi yang sekaligus memunculkan
problematika berkenaan dengan whistleblower, yaitu: Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban tersebut memang ada kemiripan antara istilah whistleblower
dan saksi pelapor, bahkan ayat 2 menyebutkan bahwa saksi yang merupakan bagian dari pelaku tidak mendapat perlindungan. Padahal umumnya
whistleblower biasanya merupakan bagian dari pelaku meskipun ada juga
whistleblower yang bukan bagian dari pelaku.
138
1. Berdasarkan interpratasi historis yaitu penafsiran makna UU menurut proses
terjadinya dengan jalan meniliti sejarah pembentukan perundang-undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum J.A.Pontier2008.
Prointer menyebutkan bahwa interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna
135
Firman wijaya, Op. Cit., hal 4
136
Ibid.,
137
Ibid., hal 14.
138
Ibid., hal23
Universitas Sumatera Utara
dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis- penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau. Menurut
sejarahnya, whistleblower berkaitan erat dengan organisasi kejahatan ala mafia seperti organisasi kejahatan di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga
disebut Cisilia mafia atau Costa Nostra. Kejahatan yang dilakukan oleh para mafia biasanya bergerak dibidang perdagangan heroin dan berkembang diberbagai
belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai negara, seperti Mafia di Rusia, Cartel di Kolumbia, Triad di Cina dan Yakuza di Jepang.
Organisasi kejahatan tersebut sangat kuat jaringannya, sehingga anggota- anggotanya bisa menguasai berbagai sektor kekuasaan meliputi eksekutif, legislatif
dan yudikatif, termasuk aparat penegak hukum. Seringkali terbongkarnya kejahatan organisasi tersebut dikarenakan ada anggota organisasi yang berkhinat
dan melaporkan kejahatan organisasinya ke aparat penegak hukum. Tindakan anggota yang mengungkapkan fakta disebut whistleblower, sebagai
kompensasinya dirinya dibebaskan dari tututan pidana. Dengan demikian ketentuan pasal 10 ayat 2 a quo bertentangan dengan semangat whistleblower.
2. Interprestasi doktriner yaitu memperkuat argumentasi dengan merujuk pada suatu
doktrin tertentu Jan Rammelink,2003 yang dalam hal ini doktrin mengenai whistleblower
. Ada tiga hal terkait mengapa whistleblower perlu mendapat perhatian yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Harus sesegera mungkin whistleblower diberi perlindungan agar ia tidak
dibunuh oleh komplotannya. b.
Informasi dari whistleblower dapat dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengungkap sindikat kejahatan tersebut.
c. Jika whistleblower memberikan informasi yang bisa digunakan untuk
membongkar sindikat kejahatan sampai keakar-akarnya, maka hal ini dapat digunakan sebagai alasan penghapusan tuntutan pidana.
Ketentuan Pasal 10 ayat 2 UU a quo tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap whistleblower karena yang bersangkutan tetap akan dijatuhi pidana bilamana
ia terlibat dalam kejahatan yang bersangkutan. Di satu sisi pasal tersebut memberikan perlindungan namun disisi lain whistleblower yang merupakan bagian dari pelaku
tidak mendapat jaminan untuk dibebaskan dari tuntutan pidana. Dengan demikian pasal 10 UU PSK tidak memberikan kepastian hukum kepada whistleblower.
3. Berdasarkan interpretasi gramatikal yaitu makna ketentuan UU ditafsirkan dengan
cara menguraikan menurut bahasa umum sehari-hari Sudikno Merto Kusumo,2001 ketentuan Pasal 10 ayat2 UU PSK bersifat ambigu tidak
memenuhi prinsip lex certa dalam hukum pidana dan cenderung contra legem dengan ketentuan Pasal 10 ayat1. Bunyi Pasal 10 ayat 2 seperti di bawah ini:
“Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan Hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.”
Universitas Sumatera Utara
Isi Pasal 10 Ayat 2 UU No.13 Tahun 2006, terdapat kata-kata”saksi yang juga tersangka” merupakan rumusan yang kurang bisa dipahami secara konsisten terhadap
saksi yang juga berstatus sebagai saksi pelapor kemudian tiba-tiba berubah menjadi tersangka. Hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Kemudian apabila kita melihat diberbagai Negara tentang Whistleblower dipastikan berada dalam suatu jaringan mafia, yang jelas mengetahui adanya
permukafatan jahat, sehingga tidak jarang kemudian adanya sindikat kejahatan itu dapat dibongkar, dikarenakan adanya suatu pembangkangan yang dilakukan oleh si
peniup peluit Whistleblower untuk membongkar atau mengungkap apa yang dilakukan oleh kelompok mafia. Sebagai imbalan sang peniup peluit Whistleblower
tadi dibebaskan dari tuntutan pidana.
139
Menurut pakar hukum pidana UGM, Eddy O.S. Hiariej, bahwa Pasal 10 Ayat 2 UU No.13 Tahun 2006 adalah bertentangan dengan semangat Whistleblower,
karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang Whistleblower,
dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.
140
Pasal 10 Ayat 2 UU No. 13 Tahun 2006 membuat pemahaman terhadap saksi yang juga tersangka semakin tidak jelas, karena disana dijelaskan seorang saksi yang
juga tersangka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan hukum baik pidana maupun perdata. Hal ini, berarti bisa saja pada waktu bersamaan seorang saksi menjadi
tersangka. Meskipun menurut Pasal 10 Ayat 2 ini, memungkinkan akan memberikan
139
Anwar Usman dan Mujahidin, loc cit.,
140
Eddy O.S. Hiariej, Tetap Dijatuhi Pidana Bilamana Terlibat dalam Kejahatan, Newsletter Komisi Hukum Nasional KHN, Vol.10, No.6 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
keringanan hukuman bagi Whistleblower, namun kemungkinan tersebut tetap tidak dapat membuat seorang yang menjadi Whistleblower akan bernafas lega atau bahkan
sama sekali membuat seseorang tertarik untuk menjadi Whistleblower.
141
Seorang yang telah menjadi Whistleblower, apabila mengacu Pasal 10 Ayat 2 UU No. 13 Tahun 2006, harapan untuk lepas dari tuntutan hukum sangat sulit, karena
pasal ini telah menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah.
142
Untuk bisa lepas dari tuntutan hukum adalah menjadi harapan bagi Whistleblower
yang sekaligus juga sebagai pelaku tindak pidana, karena untuk dapat bebas dari tuntutan hukum, hampir tidak mungkin. Selain ketentuan Pasal 10 Ayat 2
UU No. 13 Tahun 2006, Pasal 191 Ayat 1 KUHAP menentukan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemerikasaan di sidang pengadilan,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sementara Whistleblower yang
juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat telah melakukan kesalahan dan karenanya sangat mudah untuk membuktikannya secara sah dan meyakinkan di
Pengadilan. Yang memungkinkan baginya adalah lepas dari tuntutan hukum sebagimana terdapat dalam Pasal 191 Ayat 2 KUHAP yang menyebutkan bahwa jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum. Hanya saja untuk lepas dari tuntutan hukum juga sulit, karena
141
Anwar Usman dan Mujahidin, loc cit
142
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah
melakukan kesalahan, tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana.
143
Menurut M. Jasin, seorang Whistleblower harus mendapat perlindungan. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 33 United nations Convention Againts Corruption
UNCAC. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006. KPK sendiri berdasar Pasal 15 butir a UU No. 30 Tahun 2002 berkewajiban untuk
memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor.
144
Meskipun saat ini telah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK yang menjalankan tugas memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Namun
lingkup LPSK sayangnya belum menjangkau Whistleblower, UU No.13 tahun 2006 tidak mencantumkan bahwa Whistleblower adalah pihak yang diberikan perlindungan.
Hanya saksi dan korban yang diatur dalam UU ini. Untuk itu rumusan Pasal 33 UNCAC seharusnya dimasukkan dalam UU No.13 Tahun 2006.
145
Saldi Isra, berpendapat sebagai berikut: semua norma dalam UU PSK seharunya dimasukkan untuk memberikan perlindungan terhadap Whistleblower, namun justru
mengancam kepada Whistleblower. Hal ini dapat diperhatikan dalam Pasal 10 Ayat 2 UU No.13 Tahun 2006, “Seorang saksi yang juga terdakwa dalam kasus sama tidak
dapat dibebaskan dari tuntutan pidana jika ternyata terbukti secara sah dan
143
Ibid.,
144
M. Jasin Wakil Ketua KPK, dalam Newsletter Komisi Hukum Nasional No.6 Juli 2006.
145
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
meyakinkan. Tetapi kesaksiannya bisa dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan”.
146
Menurut Ahmad Yani. Di Indonesia belum ada pengaturan secara jelas mengenai Whistleblower. Dalam UU No. 13 Tahun 2006. hanya mengatur tentang
perlindungan terhadap saksi dan korban, bukan terhadap pelapor.
147
Lebih lanjut menurut Yani, Whistleblower itu tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata
atas perkara-perkara yang dikemukakan kepada penegak hukum. Kasus-kasus besar seperti mafia perpajakan itu biasanya dibongkar oleh orang dalam sendiri, oleh karena
itu perlu ada pengaturan perlindungan terhadap Whistleblower.
148
Berbeda apa yang disampaikan oleh Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai bahwa Pasal 10 ayat 1 dan 2 sesungguhnya sudah tepat namun perlu direvisi agar
lebih tegas menjelaskan kedudukan whistleblower dan justice collaborator. Dalam revisi tersebut harus mengatur tentang bagaimana perlindungan, reward, dan treatment
yang diberikan kepada whistleblower dan justice collaborator. Menurut Abdul Haris whistleblower
tidak terlibat dalam kasus, jika dia terlibat dalam kasus yang sama memang tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana karena kesalahannya tetap harus
dipertanggungjawabkan, sehingga saksi pelapor yang merupakan bagian dari pelaku disebut justice collaborator. Saksi Pelapor yang merupakan bagaian dari pelaku
dalam Pasal 10 ayat 2 tersebut bahwa kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan
146
Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Usaha Universitas Andalas Padang, dalam Newsletter Komisi Hukum Nasional No.6 Juli 2006.
147
Ahmad Yani, Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi PPP.
148
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
untuk meringankan hukuman bahkan dapat saja diberikan hukuman percobaan. Revisi UU No.13 Tahun 2006 ini harus menjelaskan bagaimaimana seorang whistleblower
diberikan perlindungan, reward dan treatmen. Perlu juga dicermati penentuan whistleblower
dan justice collaborator tersebut oleh lembaga penegak hukum tidak dijadikan alat baru untuk membebaskan pelaku kejahatan atau malah pelapor
merupakan pelaku utama. Sehingga penentuan whistleblower tergantung dari proses penyidikan misalnya kasus tersebut ditangani oleh KPK maka yang menentukan
adalah Ketua KPK begitu juga jika ditangani oleh Kejaksaan atau Polri maka yang menentukan adalah pimpinan lembaga tersebut.
149
Lebih lanjut Abdul Haris menjelaskan bahwa telah dibuat aturan bersama antar lembaga yaitu LPSK, Polri, Jaksa Agung, PPATK, Mahkamah Agung, KPK dan
lembaga terkait lainnya mengatur tata cara dan aturan penanganan tentang whistleblower
dan justice collaborator. Tata cara dan aturan bersama tersebut telah dimasukan dalam ususlan revisi UU No.13 tahun 2006 yang saat ini telah masuk pada
prolegnas, dan akan dibahas pada tahun 2013 ini. Sebanyak tujuh lembaga negara yang membidangi hukum sepakat melindungi
peniup peluit whistle blower dan pelapor-pelaku justice collaborator di Jakarta. Ketujuh lembaga tersebut yaitu Kejaksaan Agung, Kepolisian RI Polri, Kementerian
Hukum dan HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Lembaga Perlindungan
149
Wawancara dengan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai tanggal 16 Januari 2013 , Gedung Perintis Kemerdekaan jalan Proklamasi No.6. Jakarta
Universitas Sumatera Utara
Saksi dan Korban LPSK, Mahkamah Agung MA, dan Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisis Keuangan PPATK.
150
Hasil dari pertemuan tersebut akhirnya menerbitkan Inpres No 92011 yang dinilai bakal memberikan perlindungan kepada whistleblower dan justice collaborator.
Inpres No.9 tahun 2011 tersebut mencakup enam strategi dan terdiri atas 102 rencana aksi. Enam startegi yang dimaksud antara lain pencegahan, penindakan, harmonisasi
peraturan dan perundang-undangan, penyelamatan asset hasil korupsi, kerjasama internasional, dan mekanisme pelaporan.
151
Oleh karena itu,diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih spesifik dan khusus terkait
whistleblower dan justice collaborator karena hal tersebut belum diatur secara tegas
dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
152
Kultur kolektif secara progresif akan membebaskan kita dari praksis liberal dan berani menempuh cara lain demi menolong bangsa ini dari kehancuran karena praktik
korupsi yang sudah meluas. Di sadari, melakukan perubahan besar seperti ini, yaitu perubahan kultur, adalah pekerjaan yang amat berat. Dalam kultur kolektif ini sekalian
unsur penegakan hukum didorong untuk bersatu dengan tujuan tunggal memberantas korupsi.
153
150
Tribunnews.Com, Jakarta 19 Juli 2011. Selanjutnya akan diimplementasikan dalam Instruksi Presiden dan Surat Keputusan Bersama. Inpres tersebut akan disusun oleh Kejaksaan Agung.
151
Tribunnews.Com Jakarta, 13 Mei 2011 tentang Inpres No.9 tahun 2011 Lindungi Whistle Blower.
152
Ahmad Fikry mubarok, Loc. Cit
153
Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hal 135. Kita berharap bisa melihat, jaksa tidak lagi berhadapan dengan hakim, advokat tidak lagi bertempur melawan jaksa, polisi dan seterusnya. Musush besar dan
jahat yang dihadapi oleh penegak hukum adalah korupsi, bukan melakukan perang saudara antar sesama penegak hukum. Hanyan para koruptor yang akan bertepuk tangan jika sekalian unsure penegakan
hukum tidak kunjung bersatu. Para koruptor sungguh senang dengan dengan situasi liberal selama ini
Universitas Sumatera Utara
4. Konsep Membentuk UU Perlindungan Whistleblower dan Justice collaborator.