antibiotik dan aspirin, dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebut di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik non alergik
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
2.3. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma
adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan Sundaru Sukamto, 2010.
2.3.1. Asma sebagai penyakit inflamasi
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor panas dengan vasodilatasi dan rubor
kemerahan karena vasodilatasi, tumor eksudasi plasma dan edema, dolor rasa sakit karena rangsangan sensoris, dan functio laesa fungsi yang terganggu.
Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu
Universitas Sumatera Utara
infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa
membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu
paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur
IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC Antigen Presenting Cells = sel penyakit antigen, untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th T penolong. Sel T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-
mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin PG, leukotrin LT, platelet activating factor PAF, bradikinin, tromboksin
TX dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel
radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas HSN. Jalur non-alergik selain merangsang sel
inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa
inflamasi dan HSN. 2.3.2. Hipereaktivitas saluran napas HSN
Yang membedakan asma dengan organ normal adalah sifat saluran napas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan debu,
Universitas Sumatera Utara
zat kimia histamin, metakolin dan fisis kegiatan jasmani. Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap
alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas
seseorang yaitu: 1. Inflamasi saluran napas.
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa
intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.
2. Kerusakan epitel Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi
ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai
bronkodilator. Kerusakan
sel-sel epitel
bronkus akan
mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.
3. Mekanisme neurologis Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis.
4. Gangguan intrinsik Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga
berperan pada HSN.
Universitas Sumatera Utara
5. Obstruksi saluran napas Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas diduga ikut berperan pada
HSN. 2.4 Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi derajat beratnya asma berdasarkan gejala klinis sebelum pengobatan menurut GINA Global Initiative for Asthma Dinajani, 2008
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Beratnya Asma Berdasarkan Gejala Klinis Menurut GINA
Intermiten a. Gejala-gejala kurang dari satu kali per minggu
b. Kekambuhan eksaserbasi sebentar c. Gejala-gejala di malam hari tidak lebih dari dua kali per bulan
d. VEP
1
Volume Ekspirasi Puncak atau APE Arus Puncak Ekspirasi ≥ 80 prediksi
e. Variabilitas VEP
1
dan APE 20 Persisten Ringan
a. Gejala-gejala lebih dari sekali per minggu tetapi kurang dari satu kali per hari b. Eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur
c. Gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per bulan d. VEP
1
atau APE ≥ 80 prediksi e. Variabilitas VEP
1
dan APE 20-30 Persisten Sedang
a. Gejala-gejala setiap hari b. Eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur
c. Gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per bulan d. VEP
1
atau APE ≥ 80 e. Variabilitas VEP
1
dan APE 30 Persisten Berat
a. Gejala-gejala setiap hari b. Eksaserbasi sering kali
c. Gejal-gejala asma di malam hari sering kali d. VEP
1
atau APE 60 prediksi e. Variabilitas VEP
1
dan APE 30
2.4.2 Klasifikasi asma bronkial berdasarkan penyebabnya