PENILAIAN SALURAN NAFAS DESAIN PENELITIAN RENCANA ANALISIS DATA

13

2.2. PENILAIAN SALURAN NAFAS

Penilaian saluran nafas merupakan langkah awal agar sukses dalam melakukan manajemen saluran nafas. Beberapa manuver dapat dilakukan untuk menilai kesulitan saat melakukan tindakan intubasi endotrakhea. Untuk menghindari mortalitas dan morbiditas, seorang ahli anastesi haruslah dapat melakukan ventilasi dengan atau tanpa intubasi 1 . Penilaian tersebut antara lain: 1 • Pembukaan mulut : Pada dewasa diharapkan jarak antara gigi seri atas dan bawah 3 cm atau lebih • Tes menggigit bibir atas : gigi bagian bawah diletakkan didepan gigi atas, hal ini untuk menilai pergerakan dari sendi temporomandibula • Klasifikasi Mallampati : merupakan tes yang sering dilakukan untuk memeriksa ukuran lidah didalam rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap struktur faring, maka kemungkinan kesulitan intubasi akan semakin besar gambar 2.5. • Jarak Thyromental : jarak antara mental dan superior thyroid notch diharapkan lebih dari 3 jari • Lingkar leher : lingkar leher lebih dari 27 inchi diduga akan kesulitan dalam visualisasi glotis. Klasifikasi Mallampati: 1 • Kelas I : palatum molle soft palate, tenggorokan, uvula, dan pilar tonsil dapat terlihat • Kelas II : palatum molle, tenggorokan dan uvula dapat terlihat • Kelas III : palatum molle dan dasar dari uvula dapat terlihat • Kelas IV : palatum molle tidak dapat terlihat Universitas Sumatera Utara 14 Gambar 2.5 : A : Klasifikasi Mallampati B: Penilaian visualisasi laring 1

2.3. INTUBASI ENDOTRAKHEA

Intubasi endotrakhea dibutuhkan untuk menjamin patensi dari saluran nafas pada pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi, ataupun pada pasien yang sulit menjaga saluran nafasnya dengan menggunakan sungkup, ataupun juga bagi pasien yang memerlukan kontrol ventilasi dalam waktu yang lama. Intubasi juga diperlukan pada tindakan pembedahan khusus seperti pada pembedahan kepalaleher, pembedahan intratoraks, dan pada pembedahan intra abdomen. 33

2.3.1. Laringoskop

Intubasi endotrakhea biasanya dilakukan dengan menggunakan laringoskop rigid gambar 2.6. Penggunaan laringoskop rigid disukai karena kemudahannya, tingkat kesuksesan yang tinggi, dan dapat memberikan visualisasi yang baik 34 . Selain itu laringoskop dapat juga dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan pada laring 1,33 . Gagang handle dari laringoskop rigid biasanya berisi baterai Universitas Sumatera Utara 15 untuk menghidupkan bola lampu bulb yang terdapat pada ujung bilah blade, ataupun pada ujung dari gagang tersebut 1,34 . Bilah yang sering digunakan pada laringskop adalah bilah Macintosh dan bilah Miller gambar 2.7 1,33 . Gambar 2.6 : Laringoskop rigid 1 Gambar 2.7 : Beberapa jenis bilah laringoskop 1 Bilah Macintosh adalah bilah yang lengkung yang ujungnya diletakkan pada vallecula ruang antara dasar lidah dan epiglotisgambar 2.8. Bilah Macintosh memberikan visualisasi yang cukup baik terhadap orofaring dan hipofaring, dan Universitas Sumatera Utara 16 juga dapat memberikan ruang yang cukup untuk masuknya pipa endotrakhea dengan kemungkinan yang kecil terjadinya trauma pada epiglotis. Ukuran bilah ini dibuat dari mulai bilah no.1 sampai no.4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 3. 31,33 Bilah Miller adalah bilah yang lurus yang ujungnya diletakkan dibawah epiglotis gambar 2.8. Dengan bilah ini, epiglotis dapat diangkat untuk bisa melihat vocal cords. Bilah Miller memberikan paparan yang baik terhadap glotis, namun memberikan ruang yang lebih kecil untuk bisa melewati orofaring dan hipofaring. Ukuran bilah ini dibuat dari bilah no. 1 sampai no. 4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 2 ataupun no. 3. 31,33 Gambar 2.8 : Pasien dalam posisi sniffing. A. Bilah lurus diletakkan dibawah epiglotis, B. Bilah lengkung diletakkan pada vallecula 34 Universitas Sumatera Utara 17 Selain itu, masih banyak bentuk modifikasi tertentu dari laringoskop misalnya Bullard, Upsher, Wu dan juga bilah laringoskop misalnya McCoy, Siker yang bisa digunakan untuk melakukan intubasi endotrakhea pada kondisi yang sulit ataupun pada kondisi yang lain dari biasanya 33 . Karena tidak ada bilah yang cocok untuk segala situasi, maka setiap ahli anastesi haruslah terbiasa dengan berbagai macam bentuk bilah 1 .

2.3.2. Pipa Endotrakhea

Pipa endotrakhea Endotracheal TubeETT biasanya terbuat dari polyvinyl chloride PVC. Panjang dari ETT diberi tanda dalam satuan centimeters. Sedangkan ukuran diameter dalam ID dari ETT dalam satuan millimeters atau bisa juga dengan skala French diameter luar ETT dalam satuan millimeters dikali tiga. 1 Tahanan terhadap aliran udara, utamanya bergantung pada diameter dari ETT, namun dapat juga dipengaruhi oleh panjang dari ETT dan kelengkungannya. Pilihan diameter yang dipakai adalah dengan memperhitungkan antara penggunaan ukuran ETT yang besar agar aliran udara lebih maksimal, atau menggunakan ETT dengan ukuran yang lebih kecil agar mengurangi resiko trauma pada saluran nafas. Pada kebanyakan kasus, ETT yang digunakan pada wanita adalah ETT dengan diameter internal 7.0 mm atau 7.5 mm, dan pada pria digunakan ETT dengan diameter internal 8.0 mm. Panduan dalam pemakaian ukuran ETT akan dijabarkan pada tabel 2.2. 1,34 Tabel 2.2 : Panduan ukuran ETT 1 Usia Diameter Internal mm Panjang cm Bayi cukup bulan 3.5 12 Anak-anak 4+usia4 14+usia2 Dewasa Wanita 7.0-7.5 24 Laki-laki 7.5-9.0 24 Universitas Sumatera Utara 18 ETT pada dewasa biasanya memiliki valve pada sistem inflasi cuff, balon pilot, selang inflasi dan cuff gambar 2.9. Valve berfungsi untuk mencegah keluarnya udara inflasi pada cuff. Balon pilot berguna untuk memperkirakan tekanan yang ada pada cuff. Selang inflasi menghubungkan valve dengan cuff. Dengan dikembangkannya cuff, maka terjadilah tracheal seal. Dan dengan adanya tracheal seal tersebut, akan mencegah terjadinya aspirasi dan akan memudahkan untuk memberikan ventilasi tekanan positif. 1 Gambar 2.9 : Pipa endotrakhea Endotracheal tubeETT 1 Terdapat dua macam cuff pada ETT: high pressure low volume, dan low pressure high volume. ETT cuff yang high pressure sering menyebabkan iskemik pada mukosa trakhea dan kurang sesuai bila digunakan untuk intubasi jangka lama. ETT cuff yang low pressure sering menyebabkan aspirasi, ekstubasi spontan, dan sore throat oleh karena daerah mukosa yang kontak dengan cuff lebih luas. Namun, karena insidensi yang rendah terjadinya iskemik pada mukosa trakhea maka ETT cuff yang low pressure lebih sering digunakan. 1

2.3.3. Tindakan Laringoskopi dan Intubasi

Untuk melakukan tindakan laringoskopi dan intubasi dibutuhkan beberapa persiapan. Persiapan tersebut berupa pemeriksaan dari peralatan yang akan dipakai, posisi pasien yang baik, dan pemeriksaan dari ETT yang akan dipakai. Universitas Sumatera Utara 19 ETT haruslah diperiksa untuk mengetahui apakah ada kebocoran pada cuff ataupun pada valve. Konektor pada ETT harus terpasang dengan baik dan kuat, sehingga tidak terlepas pada saat dipakai nanti. Jika menggunakan stylet, maka setelah stylet dimasukkan kedalam ETT, kemudian dibentuk menyerupai tongkat hoki gambar 2.10. Tujuan dari membentuk ETT menyerupai tongkat hoki adalah untuk melakukan intubasi pada pasien dengan posisi laring yang anterior. Bilah laringoskop yang dipakai haruslah sudah terpasang, dan bola lampu laringoskop harus menyala dengan baik. ETT dengan ukuran yang lebih kecil harus disediakan sebagai cadangan. Alat penghisap suction juga harus dipersiapkan untuk membersihkan jalan nafas dari cairan ataupun darah. 1 Gambar 2.10 : ETT terpasang stylet dibentuk seperti tongkat hoki 1 Kesuksesan tindakan intubasi juga bergantung pada posisi pasien yang baik. Kepala pasien haruslah sejajar atau lebih tinggi dari pinggang ahli anastesi, agar mencegah terjadinya nyeri pinggang pada ahli anastesi. Kepala pasien menggunakan bantal alas yang lunak yang tingginya sekitar 10 cm, kemudian pasien diatur dalam posisi sniffing gambar 2.11. Sebelum tindakan induksi dan intubasi, terlebih dahulu dilakukan preoksigenasi dengan oksigen 100. Perlindungan terhadap mata pasien juga harus dilakukan dengan memakaikan salep mata dan menutup mata dengan plester. 1 Universitas Sumatera Utara 20 Intubasi orotrakhea dilakukan dengan cara laringoskop dipegang ditangan kiri, mulut pasien dibuka dengan cara mendorong gigi premolar pada mandibula pasien dengan ibu jari kanan. Bilah laringoskop dimasukkan ke dalam sisi kanan mulut pasien, dengan berhati-hati agar tidak terkena gigi pasien 34 . Lidah pasien disisihkan ke sisi kiri dengan menggunakan sayap flange pada bilah, sehingga dapat memberikan lapangan pandang yang baik untuk memasukkan dan menempatkan ETT. Saat mencapai dasar lidah, dan terlihat epiglotis, maka ujung dari bilah lengkung diletakkan pada vallecula dan ujung dari bilah lurus menekan epiglotis ke dasar lidah sehingga epiglotis akan tertutupi oleh bilah lurus 1,31 . Kemudian tangan kiri mengangkat gagang laringoskop dengan arah menjauhi pasien untuk menampakkan vocal cords 1 gambar 2.11. ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil dan kemudian dimasukkkan ke dalam vocal cords 33 . Cuff ETT diletakkan kira-kira 2 cm setelah melewati vocal cords 31 . Kemudian laringoskop ditarik dan dikeluarkan dari mulut secara perlahan-lahan agar tidak merusak gigi. Cuff dikembangkan secukupnya sehingga tidak terjadi kebocoran udara saat dilakukan ventilasi positif. 1 Gambar 2.11 : Posisi sniffing dan laringoskopi dengan bilah lengkung 1 Universitas Sumatera Utara 21 Setelah tindakan intubasi, untuk memastikan intubasi trakhea berhasil, maka dilakukan inspeksi dan auskultasi pada thoraks dan epigastrium 1 , serta dilakukan pemasangan capnograph 1,33 . Adanya CO 2 pada capnograph merupakan konfirmasi berhasilnya intubasi trakhea 1,33 . Jika suara pernafasan hanya terdengar pada satu sisi thoraks saja, maka kemungkinan ETT telah masuk ke bronkus dan harus ditarik sampai udara terdengar di kedua sisi thoraks 33 . Kemudian ETT difiksasi untuk menjaga agar tidak bergeser 1 . Intubasi nasotrakhea mirip dengan tindakan intubasi oral, hanya saja sebelum dilakukan laringoskopi, ETT terlebih dahulu dimasukkan melalui hidung menuju nasofaring dan kemudian mencapai orofaring. Lubang hidung yang dipilih adalah yang paling leluasa dipakai bernafas oleh pasien. Sebelum ETT dimasukkan ke dalam hidung, terlebih dahulu hidung ditetesi dengan Phenylephrine 0.25 atau 0.5 sebagai vasokonstriktor dan juga menciutkan membran mukosa. ETT diolesi dengan jeli terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam hidung. ETT dimasukkan perlahan-lahan hingga terlihat di orofaring. Kemudian dilakukan laringoskopi untuk melihat vocal cords, dan ETT diarahkan masuk ke dalam vocal cords. Jika terjadi kesulitan mengarahkan ETT untuk masuk ke dalam vocal cords, maka bisa digunakan Magill forceps sebagai alat bantu untuk mengarahkan ETT tersebut. Hati-hati saat menggunakan Magill forceps agar tidak merusak cuff ETT. 1

2.3.4. Komplikasi akibat Laringoskopi dan Intubasi

Komplikasi dari tindakan laringoskopi dan intubasi berupa hipoksia, hiperkarbi, trauma pada gigi dan saluran nafas, munculnya respon fisiologis akibat dari instrumentasi pada saluran nafas, ataupun malfungsi dari ETT. Komplikasi- komplikasi tersebut dapat terjadi saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi, saat ETT sudah terpasang, ataupun setelah tindakan ekstubasi komplikasi segera ataupun lambattabel 2.3. 1,21 Universitas Sumatera Utara 22 Tabel 2.3 : Komplikasi dari tindakan intubasi 21 Komplikasi intubasi trakea Saat dilakukan laringoskopi dan intubasi Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut Hipertensi sistemik dan takikardi Disritmia jantung Iskemik miokard Aspirasi cairan lambung Saat ETT terpasang Obtruksi ETT Intubasi bronkus Intubasi esophagus ETT bocor Barotrauma paru Distensi gaster Terlepas dari mesin anastesi Iskemik mukosa trakhea Ekstubasi tanpa sengaja Komplikasi segera dan komplikasi lambat setelah ekstubasi Spasme Laring Aspirasi cairan lambung Faringitis sore throath Laringitis Edema laring atau edema subglotis Ulkus pada laring Stenosis trakhea Kelumpuhan vocal cord Dislokasi tulang rawan arytenoid

2.3.5. Respon fisiologis akibat instrumentasi saluran nafas

Telah diketahui bahwa laringoskopi dan intubasi endotrakhea akan menyebabkan munculnya respon simpatis yang akan melepaskan katekolamin, dan akhirnya akan menimbulkan perubahan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi 2,3,35 . Peningkatan hemodinamik tersebut dapat dikurangi dengan pemberian intravena lidokain, opioid, β-blocker, ataupun dengan mendalamkan anastesi inhalasi sebelum melakukan tindakan laringoskopi. Obat-obat hipotensif seperti sodium nitroprusside , nitrogliserin, esmolol dan nikardipin juga efektif untuk mengurangi respon hipertensi akibat laringoskopi dan intubasi. 1 Universitas Sumatera Utara 23 Spasme laring merupakan spasme involunter otot-otot laring akibat perangsangan sensoris dari nervus laringeal superior. Laringospasme dapat muncul oleh karena adanya cairan pada faring, ataupun karena ETT melewati laring saat ekstubasi. Spasme laring biasanya bisa dicegah dengan cara melakukan ekstubasi dalam, ataupun ekstubasi sadar penuh. Penanganan pada spasme laring adalah dengan memberikan ventilasi tekanan posistif dengan menggunakan oksigen 100, atau dengan memberikan lidokain 1-1.5mgkgBB. Jika spasme laring masih menetap dan terjadi hipoksia, diberikan suksinilkolin dosis kecil 0.25-0.5 mgkgBB dan dapat ditambahkan propofol dosis kecil untuk relaksasi dari otot-otot laring sehingga dapat melakukan kontrol ventilasi. 1 Spasme bronkus juga merupakan reflek akibat intubasi yang sering terjadi pada pasien penderita asma. Terjadinya spasme bronkus juga dapat menjadi petunjuk terjadinya intubasi bronkus. 1

2.3.6. Upaya mengurangi peningkatan hemodinamik

Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea merupakan stimulasi noksius yang sangat kuat, yang akan menyebabkan symphatetic discharge dan akan menyebabkan hipertensi dan takikardi disebut dengan respon pressor. 36 Laringoskopi dan intubasi trakhea menstimulasi reseptor aferen nosisepsi viseral dan somatik dari epiglotis, hipofaring, daerah peri trakhea dan vocal cords, sehingga terjadi augmentasi aktivitas simpatis cervical dan mengakibatkan peningkatan amine simpatis adrenalin dan noreadrenalin. 3,7 Respon pressor merupakan bagian dari respon stress, berasal dari peningkatan aktifitas simpatis dan simpatoadrenal yang akan meningkatkan konsentrasi katekolamin plasma. 24 Respon pressor akibat laringoskopi dan intubasi merupakan refleks simpatis yang diprovokasi oleh stimulasi pada oro- laringofaring. 15 Faring bagian bawah hipofaring, epiglotis dan laring mengandung sejumlah reseptor sensorik yang bertanggung jawab terhadap rangsangan kimia, panas dan mekanik. Reseptor mekanik banyak terdapat pada dinding faring bagian bawah, epiglotis dan vocal cords. Perangsangan reseptor mekanik ini akan memicu munculnya refleks seperti batuk, cegukan, dan juga Universitas Sumatera Utara 24 refleks perangsangan simpatis. 4 Munculnya respon simpatoadrenal terhadap intubasi endotrakhea adalah adanya rangsangan area supraglotik akibat iritasi pada jaringan yang terkena laringoskop. Rangsangan di area infraglotik berupa sentuhan pipa endotrakhea melintasi pita suara dan pengembangan balon memberikan kontribusi lebih rendah. 2 Peningkatan rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi bisa mencapai 40-50 5 , dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66 bila tidak ada usaha tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik. 6 Respon ini biasanya bersifat sementara, dan terjadi pada 30 detik setelah tindakan laringoskopi dan intubasi, dan bertahan lebih kurang selama 10 menit 8 . Respon ini tidaklah berbahaya bagi pasien yang sehat 7,8,21 . Tetapi hal tersebut bisa berbahaya bila terjadi pada pasien-pasien dengan faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskuler, miokard infark dan tirotoksikosis 2,8,21 . Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah tindakan intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular 9 . Rate pressure product RPP, merupakan hasil perkalian antara tekanan darah sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya secara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000. RPP yang meningkat hingga diatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan angina. 2 Pada pasien- pasien dengan penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah 12000. 14 Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri dan akan mengurangi penghantaran oksigen oxygen delivery pada miokard. 16 Peningkatan tekanan darah tanpa peningkatan denyut jantung masih lebih baik untuk oksigenasi miokard bila dibandingkan peningkatan tekanan darah yang terjadi bersamaan dengan peningkatan denyut jantung. 2,15 Beberapa komplikasi yang dijumpai akibat tindakan intubasi seperti hipertensi sebanyak 19, takikardi 29, disritmia 6.5 dan henti jantung 0.5-1.9 sebagai Universitas Sumatera Utara 25 komplikasi akibat tindakan intubasi 9 . Miokard infark merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas paska operasi pada pasien-pasien normotensi. Miokard infark tersebut terjadi karena iskemi yang disebabkan oleh hipertensi dan takikardi akibat tindakan laringoskopi dan intubasi 10,11 tabel 2.4. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, walaupun pencegahan terhadap respon hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak 10 saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi 12 . Tabel 2.4 : Morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi 9 Potensi morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi Miokard strain, iskemi, infark Gagal ventrikel kiri akut, gagal ventrikel kanan akut Gagal jantung kongestif Disritmia, iskemi Kolaps kardiovaskular paska hipertensi Peningkatan alirantekanan darah serebral Perdarahan cerebral Diseksi aorta Ruptur aneurisma pada toraks, abdomen, serebral, mata Akselerasi perdarahan Perubahan pada dinamika aliran katup Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga 25 pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan intubasi trakhea 13 . Oleh kerena itu pencegahan terhadap perubahan hemodinamik akibat dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan 2,7 . Tindakan laringoskopi yang berlama-lama haruslah dihindari pada pasien-pasien tersebut. Tindakan intubasi haruslah dilakukan dengan anastesi yang dalam. 13 Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan intubasi dengan waktu sesingkat mungkin 13, , dengan menggunakan bilah laringoskop jenis tertentu McCoy lebih baik dari Macintosh 37,38 , ataupun dengan obat-obatan tertentu. Adapun dengan pemberian obat-obatan antara lain dengan pemberian hipnotik 17 , mendalamkan anastesi inhalasi 1,5,13,17 , opioid 2,3,7,13 , β-adrenergic blocker 2,3,7,8 , Universitas Sumatera Utara 26 anastesi lokal intra vena 2,3,8,17 , calcium channel blocker 2,3,7 , vasodilator hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside 5,7,17,18 , dan magnesium sulfat 7,29,35 . Opioid misalnya fentanyl merupakan obat yang sering diberikan sebelum tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk mengurangi respon peningkatan tekanan darah dan denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi untuk analgesia preemptif. 19 2.3.6.1. Fentanyl 2.3.6.1.1. Struktur kimia Fentanyl merupakan turunan dari agonis opioid fenilpiperidin sintetik yang strukturnya mirip mepiridin gambar 2.12. Sebagai analgetik fentanil 75 – 125x lebih poten daripada morfin. 39 Gambar 2.12 : Struktur kimia fentanyl 39

2.3.6.1.2. Farmakokinetik

Opioid sintetik ini bersifat larut dalam lemak, mulai kerjanya cepat, durasi kerjanya singkat, dan efek puncak obat terjadi dalam waktu 3 – 5 menit 40 . Setelah pemberian secara intra vena, fentanyl akan cepat berdistribusi ke otak, paru-paru, jantung dan organ lain yang memiliki perfusi jaringan yang besar 39,40 . Dalam waktu singkat, fentanyl akan berdistribusi ke seluruh tubuh, sehingga kadarnya di dalam plasma akan sangat menurun 40 . Lebih dari 80 dari dosis yang diinjeksikan akan meninggalkan plasma dalam waktu kurang dari 5 menit 39 . Universitas Sumatera Utara 27 Terminasi efek dari fentanyl terjadi bila fentanyl mengalami redistribusi dari susunan saraf pusat 40 . Konsentrasi plasma menurun lebih lambat pada saat fase eliminasi. Biotransformasi fentanyl menjadi metabolit yang tidak aktif terjadi didalam hati, yang biasanya dalam bentuk norfentanyl dan beberapa produk hidroksilasi. Hanya sekitar 6-8 yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin. Nilai clearance fentanyl pada hati sangat tinggi, sehingga lebih dari 60 fentanyl dibersihkan pada first pass. Oleh karena volume distribusinya yang besar, maka kebanyakan obat ini akan berada pada ekstra vaskuler dan tidak mengalami biotransformasi. Waktu paruh fentanyl mendekati 8 jam lamanya 40 . Waktu paruh yang lama tersebut mencerminkan dari volume distribusinya yang besar. Volume distribusi yang besar tersebut oleh karena sifatnya yang sangat mudah larut dalam lemak, sehingga lebih cepat masuk ke dalam jaringan. 39 Pada pasien lansia, pemanjangan dari waktu paruh fentanyl dikarenakan oleh menurunnya clearance di hati. Hal ini mencerminkan menurunnya aliran darah hati, menurunnya aktifitas enzim mikrosom, ataupun menurunnya produksi albumin 79-87 fentanyl berikatan dengan protein. Oleh karena itu pemberian fentanyl yang diberikan akan efektif dalam waktu yang lebih lama pada pasien lansia dibandingkan pada pasien yang lebih muda. 39

2.3.6.1.3. Metabolisme

Fentanil kebanyakan di metabolisme oleh N-demethylation yang menghasilkan norfentanyl, hidroxyproprionyl-fentanyl dan hidroxyproprionyl-norfentanyl. Norfentanil secara struktur sama dengan normeperidine dan merupakan metabolit utama fentanyl pada manusia. Fentanyl diekskresikan oleh ginjal dan dijumpai pada urin dalam waktu 72 jam setelah pemberian dosis tunggal fentanyl intravena. Sekitar 10 fentanyl yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin. 39 Universitas Sumatera Utara 28

2.3.6.1.4. Efek samping

Fentanyl dapat menyebabkan depresi pernafasan yang dapat menjadi masalah paska operasi. Efek depresi pernafasan akibat pemberian fentanyl lebih bertahan lama daripada efek analgesiknya 41 . Kombinasi fentanyl dan benzodiazepin bersifat sinergis dalam hal hipnosis dan depresi pernafasan 39 . Bahkan dengan dosis kecil fentanyl 50 µg yang dikombinasikan dengan sedatif dapat menimbulkan depresi pernafasan 41 . Bradikardi dapat terjadi pada pemberian fentanyl, dan terkadang akibat dari bradikardi ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan curah jantung 39 . Rigiditas otot sering terjadi pada pemberian fentanyl. Awalnya rigiditas otot ini disangkakan hanya terbatas pada otot-otot abdomen dan otot-otot toraks. Namun belakangan diketahui bahwa otot-otot pada leher dan otot-otot pada ekstremitas bisa juga ikut terlibat. Dengan pemberian fentanyl dosis 1-2 µgkgBB, rigiditas otot dapat terjadi. Kejadian rigiditas ini biasanya muncul pada saat dilakukan induksi anastesi. Rigiditas ini sepertinya lebih sering terjadi pada pasien lansia dan juga pada saat pemberian fentanyl opioid bersamaan dengan nitrous oxide. 40

2.3.6.1.5. Penggunaan Klinis

Pada penggunaan secara klinis, fentanyl digunakan dengan rentang dosis yang lebar. Contohnya fentanyl dosis kecil low dose, 1-2 µgkgBB intra vena, diberikan sebagai analgetik. Dosis 2-20 µgkgBB, dapat diberikan sebagai adjuvant anastesi inhalasi untuk mengurangi respon sirkulasi pada saat laringoskopi dan intubasi trakhea ataupun pada saat stimulasi pembedahan. Pemberian fentanyl sebelum munculnya rangsang nyeri akibat pembedahan, dapat mengurangi dosis fentanyl yang dibutuhkan sebagai analgetik paska operasi. 39 Opioid dengan dosis yang besar terbukti efektif dalam mencegah respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi 24 , namun penggunaannya dibatasi oleh karena efek sampingnya yang besar 42 . Fentanyl dosis besar terbukti efektif dalam mencegah respon simpatis akibat laringoskopi dan intubasi, namun dengan dosis yang besar sering terjadi efek samping seperti bradikardi, hipotensi, mual, muntah, depresi nafas dan rigiditas 18,42 . Berbagai obat telah dicoba sebagai Universitas Sumatera Utara 29 tambahan adjunct bagi opioid agar dosis opioid yang digunakan dapat berkurang, namun hal itu juga tidak sepenuhnya bebas dari efek samping 24 . Dalam penggunannya, fentanyl sering digabungkan dengan sedatif untuk mengurangi respon hemodinamik akibat intubasi 3 . Penggunaan fentanyl dosis 5 µgkgBB efektif dalam mengurangi respon simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping. Penggunaan dengan dosis yang lebih kecil 2.5 – 3 µgkgBB dapat menurunkan efek samping dengan kemampuan mengurangi setengah dari respon simpatis. 20 Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, tindakan induksi dan intubasi trakhea merupakan saat resiko terbesar terjadinya iskemi miokard. Pemberian fentanyl dosis tinggi sering digunakan pada pasien-pasien tersebut dan efektif dalam mencegah peningkatan hemodinamik dan perubahan EKG saat dilakukan intubasi. Namun pemakaian fentanyl dosis tinggi dapat menyebabkan waktu untuk pulih sadar menjadi lebih lama dan sering dibutuhkan penggunaan dukungan pernafasan paska pembedahan. Karena itu penggunaan fentanyl dosis tinggi tidaklah dianjurkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang menjalani pembedahan yang singkat, ataupun yang membutuhkan penilaian status neurologis paska pembedahan. 12 Kauto dkk mengatakan fentanil 2 µgkgBB secara signifikan mengurangi peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µgkgBB secara sempurna mencegah peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4 µgkgBB lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanyl 1 µgkgBB dan 2 µgkgBB. 23 Malde A dan Sarode V, melakukan penelitian terhadap 90 pasien ASA 1, usia 18-65 tahun yang akan dilakukan pembedahan elektif dengan menggunakan anastesi umum intubasi trakhea. Mereka membandingkan pemberian fentanyl 2 µgkgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi dan dibandingkan dengan pemberian lidokain 1.5 mgkg yang diberikan 5 menit sebelum tindakan Universitas Sumatera Utara 30 intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µgkgBB terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. 6 Hassani V dkk, melakukan penelitian terhadap 37 pasien dengan penderita hipertensi, ASA 2, umur 20-65 tahun yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang diberikan fentanyl 2 µgkg BB dengan fentanyl 2 µgkg BB + lidokain 1.5 mgkg BB yang diberikan 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa fentanyl atau fentanyl + lidokain efektif dalam mengurangi respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. 3 Namun terdapat juga beberapa penelitian negatif tentang penggunaan fentanyl. Helfman dkk mengatakan dengan pemberian fentanyl 200 µg tidak dapat mengurangi peningkatan hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi. 6 Haidry MA dan Khan FA dari penelitiannya mendapati bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µgkgBB pada pasien dewasa ASA 1 dan 2, yang diberikan 3 menit sebelum intubasi, masih terjadi peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 22.9 dan peningkatan tekanan darah diastolik sebesar 27 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi dengan laringoskop Macintosh. 38 Shah RB dkk, dari penelitiannya terhadap pasien usia 20-50 tahun ASA 1 dan 2 yang diberikan fentanyl 2 µgkgBB 3 menit sebelum induksi anastesi masih terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 21.1 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi. 43 Bajwa SJS dkk, melakukan penelitian pada 100 pasien asa 1 dan 2, umur 25- 50 tahun yang menjalani operasi elektif. Dari penelitian mereka mendapati dengan pemberian fentanyl 2 µgkgBB yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung sebesar 15-25 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi. 24 Shin HY dkk melakukan penelitian terhadap 150 pasien ASA 1 dan 2, usia 20- 65 tahun yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif dengan anastesi Universitas Sumatera Utara 31 umum intubasi trakhea. Pasien tersebut dibagi dalam 5 kelompok yang masing- masing kelompok diberikan lidokain 2 mgkgBB 3 menit sebelum intubasi, fentanyl 2 µgkgBB 4 menit sebelum intubasi, nicardipin 30 µgkgBB 2 menit sebelum intubasi, esmolol 1 mgkgBB 90 detik sebelum intubasi, dan kelompok kontrol mendapatkan normal salin sebelum intubasi. Dari penelitiannya mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µgkgBB 3 menit sebelum intubasi terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 29.2, peningkatan tekanan arteri rerata 19.95 dan peningkatan RPP sebesar 47.47 nilainya mencapai 14600 akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. 25

2.3.6.2. Lidokain

Lidokain telah digunakan sebagai obat anastesi dan analgesi selama lebih dari setengah abad. Lidokain pertama kali dibuat oleh Logfren pada tahun 1943 dan telah digunakan bertahun-tahun sebagai obat anatesi lokal. Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amida. Selain sebagai obat anastesi lokal, lidokain juga dipakai oleh ahli anastesi untuk penanganan aritmia yang terjadi saat tindakan pembedahan. Sejak tahun 1963 lidokain digunakan untuk penanganan aritmia pada saat dan sesudah tindakan pembedahan jantung. Sejak saat itu lidokain telah digunakan secara luas secara intravena sebagai penanganan aritmia jantung akibat infark miokard akut. 44,45,46

2.3.6.2.1. Struktur kimia

Struktur kimia lidokain terdiri dari gugus aromatik 2,6-xylidine yang berpasangan dengan diethylglycine melalui ikatan amida. Lidokain merupakan basa lemah dengan pKa 7.85. 45

2.3.6.2.2. Mekanisme kerja

Lidokain merupakan anastesi lokal golongan amida yang bekerja menghambat voltage gated sodium channels pada membran sel neuron paska sinaptik yang akan mencegah terjadinya depolarisasi dan menghambat munculnya impuls pada saraf. Pada konsentrasi yang rendah, lidokain hanya mempengaruhi neuron Universitas Sumatera Utara 32 sensorik, sedangkan pada konsentrasi yang besar lidokain akan memberi efek yang lebih luas. Lidokain juga memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulasi. Bila dibandingkan dengan obat lain pada kelasnya, lidokain memiliki mula kerja yang cepat dan masa kerja yang tergolong menengah intermediate. 46 Gambar 2.13 : Struktur kimia lidokain 44

2.3.6.2.3. Farmakokinetik dan farmakodinamik

Lidokain didistribusikan keseluruh tubuh setelah pemberian secara intravena, dengan volume distribusi pada dewasa 0.7-2.7 lkg. 46 Pemberian lidokain secara intravena akan mencapai kadar terapi dalam 1-2 menit. 45 Lidokain dapat menembus plasenta dan juga sawar darah otak. Pada kadar terapi, 60-80 lidokain berikatan dengan protein, utamanya berikatan dengan alpha-1-acid glycoprotein . Dosis lidokain yang menimbulkan efek analgesia belumlah diketahui secara pasti, namun dari beberapa penelitian menunjukkan kadar pada plasma yang lebih rendah untuk penanganan aritmia 1.5-5 µgml dan jauh dibawah kadar toksik 6 µgml. 46 Lidokain intravena dengan dosis 1-2 mgkgBB, menghasilkan kadar lidokain plasma sebesar 3 µgml, dan dapat menekan refleks batuk. Namun durasi Lidokain intravena adalah pendek 5-20 menit. 47 Lidokain utamanya dimetabolisme di hati, dengan proses degradasi utamanya adalah konversi menjadi monoethylglycinexylidide MEGX oleh oksidatif N-deethylation, dan akan dimetabolisme lebih jauh glycinexylidide GX. Kedua senyawa tersebut merupakan senyawa yang aktif, namun potensinya tidak sama dengan lidokain. Setelah pemberian lidokain secara intravena, konsentrasi MEGX dan GX dalam plasma sekitar 10-40 dan 5-10 dari konsentrasi Universitas Sumatera Utara 33 lidokain yang diberikan. Baik lidokain dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal. 46 Sekitar 10 dari dosis lidokain yang diberikan akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah, bergantung pada pH urin. 45,46 Clearance dari lidokain adalah 0.95 lmenit. 44 Nilai rata-rata waktu paruh lidokain adalah 1.5-2 jam, namun dapat memanjang pada pasien-pasien yang mendapat infus lidokain lebih dari 24 jam. 46 Penyakit hati ataupun penurunan aliran darah hati dapat menurunkan laju metabolisme dari lidokain, waktu paruh lidokain bisa mencapai lebih dari dua kali lipat dari orang dewasa yang sehat. 44,46 Disfungsi ginjal dapat menyebabkan terjadinya akumulasi dari MEGX dan GX. Lidokain tidak dapat dihilangkan melalui dialisa. 46

2.3.6.2.4. Toksisitas lidokain

Tanda awal toksisitas lidokain adalah eksitasi susunan saraf pusat, gugup, kepala terasa ringan atau pusing, cemas, tinnitus, pandangan kabur atau pandangan ganda, rasa panas ataupun rasa dingin, ataupun mati rasa, twitching, tremor, muntah. Waktu terjadinya eksitasi susunan saraf pusat bisa singkat pada beberapa pasien, namun ada juga yang tidak mengalami fase tersebut dan langsung terjadi gejala-gejala depresi susunan saraf pusat. Pasien juga dapat mengalami takipnea, takikardi, demam, dan metabolic asidosis. Gejala-gejala dapat berlanjut pada konsentrasi yang lebih tinggi 5 µgml, berupa kejang tonik-klonik, tekanan darah dan denyut jantung yang labil, depresi nafas, dan sistem kardiovaskular menjadi kolaps. 46 Pasien-pasien yang mengalami gejala-gejala awal toksisitas haruslah dikurangi pemakaian dari infus lidokain. Bila tidak juga ada perbaikan dari gejala yang terjadi, maka infus lidokain haruslah dihentikan. Pasien dengan gejala yang berat, maka pemakaian lidokain haruslah segera dihentikan dan diberikan terapi suportif. 46 Penanganan terhadap gejala-gejala toksisitas pada susunan saraf pusat dapat diberikan sedatif. Kejang dapat diberikan penanganan dengan barbiturat ataupun diazepam. 45 Pemberian emulsi lipid intra vena merupakan cara yang efektif dalam mengurangi konsentrasi lidokain. The American Society of Regional Anesthesia Universitas Sumatera Utara 34 and Pain Medicine ASRA menganjurkan pemberian emulsi lipid pada pasien- pasien yang mengalami toksisitas anastesi lokal yang diikuti dengan penanganan jalan nafas, pemberian benzodiazepin untuk penanganan kejang, dan mengendalikan aritmia jantung. Panduan dari ASRA menganjurkan bolus emulsi lipid 20 sebanyak 1.5 mlkgBB yang diikuti pemberian secara infus 0.25 mlkgBBmenit dengan penyesuaian yang bergantung pada respon pasien. 46

2.3.6.2.5. Penggunaan Klinis

Lidokain telah digunakan sebagai anastesi lokal dan sebagai analgetik selama lebih dari setengah abad. Lidokain telah dipakai dengan berbagai metode pemberian seperti intravena, intramuskular dan topikal. 46 Lidokain telah lama digunakan untuk mengurangi respon kardiovaskular akibat intubasi. Lidokain bekerja dengan menghambat sodium channels pada membran sel saraf, mengurangi sensitifitas otot jantung tehadap impuls listrik, dapat mendepresi jantung dan memiliki kemampuan melakukan vasodilatasi. Lidokain juga menekan refleks saluran nafas. 27 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efek dari lidokain untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Lidokain telah dicoba dengan berbagai bentuk antara lain gel, semprotan dan inhalasi sebelum tindakan induksi anastesi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lidokain memang memberikan efek dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik. 6 Penelitian yang dilakukan Mohseni G dkk menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mgkgBB yang diberikan 90 detik sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi lebih efektif mengurangi peningkatan hemodinamik dibandingkan dengan pemberian nifedipin sublingual. 28 Sukron dkk menyatakan pemberian lidokain 1.5 mgkgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dapat mengurangi gejolak kardiovaskular. 2 Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Gupta R dkk, menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mgkgBB yang diberikan 1 menit sebelum tindakan intubasi efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan darah sistolik TDS, tekanan darah diastolik TDD dan tekanan arteri rerata TAR dibandingkan dengan basal. 27 Lev dan Universitas Sumatera Utara 35 Rosen menulis bahwa dosis profilaksis dengan lidokain 1.5 mgkgBB intravena 3 menit sebelum intubasi memberikan hasil yang optimal. Tidak ada penelitian yang menunjukkan akibat yang berbahaya pada pemberian profilaksis lidokain sebelum intubasi. 6 Gupta R dkk melakukan penelitian pada 120 pasien asa 1 dan 2, usia 18-65 tahun yang dilakukan tindakan pembedahan elektif. Mereka membandingkan efek diltiazem 0.2 mgkgBB kelompok D, lidokain 1.5 mgkgBB kelompok L, diltiazem 0.2 mgkgBB + lidokain 1.5 mgkgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Obat-obat tersebut diberikan satu menit sebelum tindakan laringoskopi. Setiap pasien diberikan premedikasi midazolam 1 mg 5 menit sebelum induksi dan fentanyl 2 µgkgBB 2 menit sebelum induksi. Dari hasil penelitian mereka menyatakan bahwa baik pemberian lidokain ataupun diltiazem efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi, sedangkan penggabungan diltiazem dan lidokain terlihat lebih efektif dari pemberian diltiazem tunggal ataupun lidokain tunggal. 27 Namun beberapa penelitian mempertanyakan efek dari lidokain tersebut. Sing dkk, Van den Berg dkk, dan Kindler dkk melakukan penelitian terhadap pemberian lidokain 1.5 mgkgBB intravena ternyata tidak efektif mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Kemudian pada dua penelitian yang berbeda, menunjukkan bahwa pemberian lidokain 1.5 mgkgBB dan 2 mgkgBB tidak efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik saat rapid sequence induction. 6 Valeshabad AK dkk melakukan penelitian terhadap 62 pasien asa 1 dan 2, usia 20-60 tahun yang menjalani tindakan pembedahan ginekologi elektif. Mereka membandingkan pemberian propacetamol sebanyak 2 g yang dicampurkan ke dalam 100 ml normal salin diberikan 1 jam sebelum induksi dengan lidokain 1.5 mgkgBB diberikan 2 menit sebelum induksi dalam hal mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Sebelum induksi seluruh pasien diberikan premedikasi midazolam 0.02 mgkgBB dan fentanyl 2 µgkgBB. Dari penelitian mereka menyatakan bahwa propacetamol efektif dalam Universitas Sumatera Utara 36 mengurangi efek peningkatan denyut jantung bila dibandingkan dengan lidokain. Propacetamol dan lidokain tidak efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan arteri rerata akibat laringoskopi dan intubasi. 48

2.3.6.3. Magnesium Sulfat

Magnesium Sulfat merupakan obat yang sering digunakan pada penanganan eklampsi dan profilaksis eklampsi pada pasien-pasien dengan preeklampsi berat. Magnesium sulfat pertama kali digunakan untuk mencegah kejang pada eklampsi pada tahun 1906 yang disuntikkan secara intratekal. Penyuntikan magnesium sulfat secara intramuskular untuk mencegah kejang rekuren pada pasien eklampsi dilakukan pada tahun 1926, dan penyuntikan secara intravena dilakukan pada tahun 1933. 49

2.3.6.3.1 Fisiologi Magnesium

Magnesium Mg merupakan kation yang terpenting keempat didalam tubuh setelah fosfor, kalsium dan kalium, dan merupakan kation kedua terpenting di dalam sel setelah kalium 50,51,52 . Magnesium di dalam tubuh terdistribusi pada tulang 53, pada sel otot 27 dan pada jaringan lunak 19 51 . Dari total magnesium tubuh, hanya sekitar 1 magnesium yang terdapat pada cairan ekstra seluler 50,51,53,54 , dan sekitar 0.3 darinya dijumpai didalam plasma 51,53 . Konsentrasi total magnesium plasma normal berkisar 1.5-2.1 mEqL 1.8-2.5 mgdl atau 0.75-1.05 mmolL 54 , dimana 33 berikatan dengan protein utamanya albumin, 7 membentuk senyawa kompleks dengan anion biasanya sitrat dan fosfat, dan 60 dalam bentuk terionisasi 51,53 . Bentuk yang aktif adalah yang terionisasi 54 . Magnesium mempunyai pengaruh yang besar terhadap transport ion pada membran sel jantung, ikut berperan dalam mengaktifkan sekitar 300 reaksi enzimatis, termasuk enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme energi dan sintesa asam nukleat 50,51,54 . Disamping itu magnesium juga berperan dalam ikatan hormon dan reseptor, pengaturan calcium channels, kontraksi otot, aktifitas Universitas Sumatera Utara 37 neuronal, pengendalian tonus vasomotor, eksitabilitas jantung, dan pelepasan neurotransmiter 30,35,51 . Adenosin trifosfat ATP dapat bekerja bila berikatan dengan magnesium. Magnesium merupakan regulator esensial bagi kalsium untuk masuk ke dalam sel dan bekerja di dalam sel 50 . Magnesium adalah antagonis fisiologis dari kalsium 35,50,51,54 . Pelepasan asetilkolin pada presinaptik bergantung pada kerja dari magnesium. Magnesium dapat memberi efek analgesik melalui kerjanya sebagai antagonis NMDA reseptor. Magnesium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik dan koroner serta dapat mengurangi reperfusion injury. 50 Konsentrasi normal magnesium pada plasma diperoleh dan dijaga melalui penyerapan dari usus halus dan ekskresi dari ginjal. Kelainan dari konsentrasi magnesium plasma dan seluler biasanya bersamaan dengan kelainan elektrolit lainnya 50 . Hipomagnesemia bisa terjadi bersamaan dengan hipokalemia 50,51,52 , hipofosfatemia 51 , hiponatremia dan hipokalsemia 51,52 .

2.3.6.3.1.1. Hipermagnesemia

Penyebab peningkatan kadar Mg 2+ dalam plasma seringkali iatrogenik oleh karena asupannya yang berlebihan antasida atau laksatif yang mengandung magnesium, nutrisi parenteral, terutama pada pasien dengan gangguan ginjal GFR 30 mlmenit. Ada juga penyebab lainnya antara lain insufisiensi adrenal, hipotiroid, rhabdomiolisis, dan pemberian lithium. Pemberian magnesium sulfat pada eklamsi dan preeklamsi juga dapat menyebabkan hipermagnesemia pada ibu dan juga fetus 55 . Hipermagnesemia merupakan antagonis terhadap pelepasan dan efek asetilkolin pada neuromuscular junction. Akibatnya dapat terjadi depresi pada fungsi otot rangka dan blokade neuromuskular. 54,55 Tanda dari hipermagnesemia biasanya muncul dalam manifestasi neurologis, neuromuskular dan kardiak seperti refleks yang menurun, sedasi, kelemahan otot, dan depresi pernafasan. Hipotensi dapat terjadi oleh karena vasodilatasi, bradikardi dan depresi miokard. Pada EKG dapat dijumpai P-R interval yang memanjang dan melebarnya kompleks QRS 55 . Pada kadar magnesium plasma diatas 4 mEqL maka refleks dari tendon akan menurun 30,54 . Universitas Sumatera Utara 38 Ketika kadar magnesium melebihi 10 mEqL, dapat terjadi henti nafas apnu, kelumpuhan, bahkan henti jantung tabel 2.5 54 . Tabel 2.5 : Manifestasi dari perubahan konsentrasi magnesium plasma 54 Konsentrasi Mg mgdl mEql mmoll Manifestasi 1.2 1.2-1.8 1.8-2.5 2.5-5.0 5.0-7.0 7.0-12 12 1 1.0-1.5 1.5-2.1 2.1-4.2 4.2-5.8 5.8-10 10 0.5 0.5-0.75 0.75-1.05 1.05-2.1 2.1-2.9 2.9-5 5 Tetani Kejang Aritmia Iritabilitas neuromuskular Hipokalsemia Hipokalemia Konsentrasi Mg normal Asimtomatis Lesu Mengantuk Flushing Mual dan Muntah Refleks tendon melemah Somnolen Refleks tendon hilang Hipotensi EKG berubah Complete Heart block Henti jantung Apnu Lumpuh Koma Pada hipermagnesemia ringan penanganannya dengan menghentikan sumber asupannya biasanya antasida 55 . Pada kasus hipermagnesemia yang relatif tinggi dengan adanya tanda klinis toksisitas dari magnesium dapat diberikan kalsium glukonas 10-15 mgkgBB intra vena. Juga diberikan loop diuretik dan pemberian cairan untuk meningkatkan pengeluaran magnesium melalui urin pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal 50,55 . Pada pasien dengan gangguan ginjal kemungkinan diperlukan juga tindakan dialisa. Pada toksisitas magnesium yang berat kemungkinan dibutuhkan dukungan dengan ventilator dan juga dukungan untuk sirkulasi hemodinamik. 55 Universitas Sumatera Utara 39

2.3.6.3.1.2. Hipomagnesemia

Hipomagnesemia selalu berhubungan dengan defisiensi dari komponen intra sel lainnya seperti kalium dan fosfor. Sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan kardiotoraks ataupun abdomen 55 . Dikatakan hipomagnesemia bila konsentrasi magnesium plasma kurang dari 0.7 mmolL 53 . Defisiensi magnesium terjadi oleh karena kurangnya asupan, berkurangnya penyerapan dari saluran cerna atau peningkatan ekskresi pada ginjal tabel 6 53,55 . Obat-obatan yang dapat menyebabkan pembuangan magnesium antara lain etanol, teofilin, diuretik, cisplatin, aminoglikosida, siklosporin, ampoterisin B, pentamidin dan granulocyte colony stimulating factor 55 . Tabel 2.6 : Penyebab hipomagnesemia 55 Asupan yang kurang Nutrisi Berkurangnya penyerapan saluran cerna Sindroma malabsorbsi Fistula pada usus halus atau kantung empedu Penghisapan suctioning isi lambung secara berulang-ulang Muntah-muntah atau diare berat Penguna laksatif kronis Meningkatnya pengeluaran ginjal Diuretik Ketoasidosis diabetik Hiperparatiroid Hiperaldosteron Hipofosfatemia Obat-obatan nefrotoksik Diuresis paska obstruksi Multi faktor Peminum alkohol Malnutrisi kalori protein Hipertiroid Pankreatitis Luka bakar Universitas Sumatera Utara 40 Kebanyakan pasien hipomagnesemia itu tanpa gejala apapun, namun terkadang dapat juga terjadi anoreksia, kelemahan otot, fasikulasi, paraestesia, kebingungan, ataksia, dan kejang. Hipomagnesemia sering terjadi bersamaan dengan hipokalsemia terganggunya sekresi hormon paratiroid dan hipokalemia karena pembuangan K + dari ginjal. Hipomagnesemia juga dapat meningkatkan insidensi atrial fibrilasi. 55 Hipomagnesemia yang tanpa gejala dapat diberikan penanganan secara oral ataupun intramuskular 55 , namun pemberian secara intramuskular sangatlah nyeri 52 . Manifestasi yang berat seperti bila adanya kejang harus diberikan magnesium sulfat intravena 1-2 g 8-16 mEq atau 4-8mmol yang diberikan perlahan selama 15-60 menit 52 1 g magnesium sulfat = 4 mmol = 8 mEq = 98 mg magnesium 51 .

2.3.6.3.2. Indikasi Pemakaian Magnesium Sulfat

Penanganan fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel, torsades de pointes, paroxysmal atrial tachycardia , miokard infark akut, asma, pencegahan dan penanganan kejang pada preeklampsi-eklampsi, pengendalian kejang pada epilepsi, penanganan defisiensi magnesium akut, dan pencegahan terhadap hypomagnesemia. 56

2.3.6.3.3. Farmakokinetik

Magnesium sulfat bila diberikan secara intravena maka mula kerjanya segera setelah penyuntikan, efek puncak tercapai dalam 15 menit dan masa kerja sekitar 30 menit. 56,57 Waktu paruh magnesium sulfat adalah 4 jam pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, bila terjadi penurunan laju filtrasi glomerular maka waktu paruhnya akan meningkat. 49 Dari telaah kritis terhadap berbagai penelitian terhadap kemampuan analgetik magnesium sulfat dengan menggunakan berbagai dosis termasuk dosis total hingga 16 gram tidak ada yang dilaporkan memiliki efek samping yang serius. Pemberian magnesium sulfat dengan dosis 50 mgkg dapat menaikkan konsentrasi serum plasma rata-rata 30-80, dan tidak ada dijumpai efek yang Universitas Sumatera Utara 41 berkenaan dengan hipermagnesemia, hanya ada gejala minor yang singkat yang dilaporkan oleh beberapa pasien, seperti rasa panas atau rasa terbakar pada lengan yang diberikan infus magnesium sulfat. 58 Rasa panas saat penyuntikan bergantung pada jumlahnya dalam satu satuan waktu. Efek ini dapat dikurangi dengan penyuntikan dalam waktu yang lebih lama. 57 Pada suatu penelitian yang menggunakan magnesium sulfat 60 mgkg sebelum tindakan intubasi, kemudian diukur kadar magnesium plasma setelah intubasi dan dijumpai peningkatan menjadi 2.95±0.56 mmoll basal 0.81±0.31 mmoll. 59 Pada pemberian magnesium sulfat 4 – 6 g, maka kadar plasma akan segera meningkat dan hanya akan bertahan sementara pada kadar 2.1-3.8 mmoll, dan akan menurun kadarnya menjadi 1.3-1.7 mmoll dalam 60 menit, dan dalam 90 menit sekitar 50 magnesium sulfat yang diberikan akan masuk ke dalam tulang dan sel-sel. 60 Ekskresi magnesium hampir seluruhnya melalui ginjal, dan setelah 4 jam sekitar 50 magnesium yang diberikan akan di ekskersikan melalui urin. Bersihan ginjal terhadap magnesium akan meningkat dengan meningkatnya kadar plasma. Dalam keadaan adanya oliguria ataupun gagal ginjal, dosis harus dikurangi ataupun dihentikan dan kadar plasma harus sering dipantau. 60

2.3.6.3.4. Penggunaan Klinis

Magnesium merupakan obat dengan aplikasi klinis yang luas, baik dalam bidang anastesi, perawatan intensif dan obstetri 30 . Dalam bidang anastesi, magnesium telah dilaporkan kegunaannya dalam mengurangi kebutuhan obat anastesi, meredam nosisepsi, menumpulkan respon kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi, dan berpotensiasi dengan pelumpuh otot 55 . Magnesium diduga berperan dalam hampir seluruh sistem fisiologis. Peranan magnesium tersebut melalui beberapa mekanisme kerja, yaitu kalsium antagonis pada calcium channels, regulasi perpindahan energi seperti produksi dan penggunaan ATP, mengendalikan glikolisis dan siklus Krebs pada fosforilasi oksidatif dan stabilisasi ataupun penutupan dari membran sel. Karena kerja dari magnesium tersebut, banyak dilakukan penelitian yang berhubungan dengan Universitas Sumatera Utara 42 sistem saraf pusat dan perifer, kardiovaskular, pernafasan, imunologi, endokrin, dan sistem reproduksi. 51 Kalsium dan magnesium memiliki efek yang saling bertolak belakang pada otot. Hipomagnesemia menstimulasi terjadinya kontraksi, sedangkan hipokalsemia menyebabkan relaksasi. Hipomagnesemia menyebabkan calcium channels terbuka, sedangkan konsentrasi magnesium yang tinggi akan menghambat hal tersebut. Magnesium berkerja secara kompetitif dalam menghalangi masuknya kalsium pada ujung presinap. Konsentrasi magnesium yang tinggi akan mengurangi pelepasan asetilkolin, sehingga akan menyebabkan perubahan transmisi neuromuskular. Magnesium mengurangi efek asetilkolin pada reseptor postsinap otot sehingga meningkatkan ambang eksitasi axonal. Hipomagnesmia akan menyebabkan hipereksitabilitas dari neuromuskular, sementara hipermagnesemia dapat menyebabkan kelemahan neuromuskular yang bisa terlihat dari berkurangnya atau bahkan menghilangnya refleks tendon. Berlebihnya konsentrasi magnesium pada serum dapat menyebabkan penghambatan pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik, medula adrenal dan serat-serat simpatis postganglionik adrenergik. 52 Peranan magnesium dalam menumpulkan respon intubasi juga telah berkembang 30 . Magnesium memiliki efek vasodilatasi melalui kerjanya pada pembuluh darah dengan cara menghalangi masuknya kalsium pada membran otot polos pembuluh darah, dan selain itu magnesium juga memiliki efek anti adrenergik yang menghambat pelepasan katekolamin, sehingga dapat mengurangi tonus pembulus darah perifer dan mengurangi peningkatan hemodinamik akibat intubasi 30,51,61 . Laringoskopi dan intubasi dapat menimbulkan gejolak hemodinamik yang disebabkan oleh respon aktifitas simpatis dan pelepasan katekolamin 2,52 . Magnesium dapat menjaga hemodinamik tetap stabil dengan menghambat pelepasan katekolamin dari medula adrenal dan ujung saraf perifer adrenergik, penghambatan pada reseptor katekolamin, vasodilatasi, dan juga antiaritmia 53 . Magnesium sulfat juga memiliki efek analgesik dengan cara menghalangi calcium channels, dan terdapat juga hipotesis yang menyatakan bahwa magnesium sulfat dapat meningkatkan kerja analgesia dari opioid. 58 Universitas Sumatera Utara 43 Kemampuan magnesium tersebut diperantarai oleh berbagai mekanisme, yang mekanisme utamanya oleh karena sifatnya sebagai antagonis kalsium, dan telah diketahui bahwa kalsium memiliki peranan utama dalam hal pelepasan katekolamin dari medula adrenal dan ujung saraf adrenergik. 30,51 Dari penelitian yang telah dilakukan dengan berbagai dosis magnesium sulfat untuk mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, terlihat bahwa magnesium sulfat lebih efektif daripada lidokain 30 . Pada suatu penelitian, 2 kelompok pasien diberikan thiopental dan suksinilkolin dengan atau tanpa magnesium sulfat 60 mgkgBB saat dilakukan induksi anastesi. Hasilnya adalah kelompok pasien yang diberikan magnesium sulfat menunjukkan peningkatan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah sistolik yang lebih rendah setelah tindakan intubasi. Demikian juga konsentrasi epinefrin dan norepinefrin dalam plasma lebih rendah pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat. 52 Shin YH dkk, melakukan penelitian pada 200 pasien ASA 1 dan 2, yang menjalani operasi elektif dengan anastesi umum, untuk menilai efek nyeri penyuntikan rocuronium dan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Pasien-pasien tersebut dibagi dalam 4 kelompok, kelompok 1 mendapatkan 5 ml normal salin, kelompok 2 mendapatkan magnesium sulfat 5 mgkgBB, kelompok 3 mendapatkan magnesium sulfat 10 mgkgBB, dan kelompok 4 mendapatkan magnesium sulfat 20 mgkgBB, yang diberikan sebelum penyuntikan rocuronium. Induksi anastesi dengan propofol 2 mgkgBB, refleks bulu mata menghilang, kemudian diberikan normal salin ataupun magnesium sulfat 5, 10, 20 mgkgBB sesuai kelompoknya yang disuntikkan perlahan selama 1 menit, sebelum penyuntikan rocuronium 0.6 mgkgBB. Saat penyuntikan rocuronium dinilai respon pasien terhadap adanya rasa nyeri ataupun rasa tidak nyaman. Setelah penyuntikan rocuronium, kemudian diberikan ventilasi dengan oksigen 100 dan sevofluran selama 90 detik, dan kemudian dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut didapati hasil bahwa pemberian magnesium 10 mgkgBB dan 20 mgkgBB sebelum penyuntikan dapat mengurangi nyeri akibat penyuntikan rocuronium dan Universitas Sumatera Utara 44 mengurangi peningkatan tekanan darah segera setelah tindakan laringoskopi dan intubasi, namun tidak dapat mencegah peningkatan denyut jantung akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Oleh karena itu mereka menyarankan penelitian lanjutan untuk mendapatkan dosis yang optimal dalam menghambat perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Pemberian magnesium sulfat secara intravena diduga dapat menyebabkan rasa perih, namun dalam penelitian ini penyuntikan magnesium sulfat secara perlahan selama 1 menit tidak menunjukkan adanya rasa perih saat penyuntikan. 62 Nooraei N dkk, melakukan penelitian terhadap 60 pasien ASA 1 dan 2, umur 20-40 tahun, yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang mendapatkan magnesium sulfat 60 mgkgBB berdasarkan Lean Body Mass dengan lidokain 1.5 mgkgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa pemberian magnesium sulfat lebih efektif dibandingkan dengan lidokain dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. 29 Panda NB dkk, melakukan penelitian terhadap 80 pasien dewasa yang menderita hipertensi terkontrol yang akan menjalani operasi elektif. Pasien-pasien tersebut dibagi dalam 4 kelompok penelitian. Sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dilakukan, kelompok I mendapatkan magnesium sulfat 30 mgkgBB, kelompok II mendapatkan magnesium sulfat 40 mgkgBB, kelompok III mendapatkan magnesium sulfat 50 mgkgBB, dan kelompok IV mendapatkan lidokain 1.5 mgkgBB. Keseluruhan kelompok dinilai dan dibandingkan perubahan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut didapati ketiga dosis magnesium sulfat yang diberikan sebelum induksi anastesi dapat mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Mereka mengamati bahwa pemberian magnesium sulfat 30 mgkgBB merupakan dosis yang optimal dalam mengurangi peningkatan tekanan darah saat tindakan intubasi pada pasien-pasien hipertensi. Dengan dosis tersebut didapati stabilitas jantung yang lebih baik bila dibandingkan dengan pemberian Universitas Sumatera Utara 45 lidokain 1.5 mgkg. Dosis dari magnesium sulfat yang lebih dari 30 mgkgBB dapat menyebabkan terjadinya hipotensi yang bermakna. 7 Universitas Sumatera Utara 46 KERANGKA TEORI Gambar 2.14 : Kerangka Teori LARINGOSKOPI DAN INTUBASI STIMULASI SIMPATIS DAN SIMPATO ADRENAL PELEPASAN KATEKOLAMIN STIMULI NOKSIUS SALURAN NAFAS RESPON HEMODINAMIK - Peningkatan Tekanan Darah Sistolik TDS - Peningkatan Tekanan Darah Diastolik TDD - Peningkatan Tekanan Arteri Rerata TAR - Peningkatan Denyut Jantung DJ - Peningkatan Rate Pressure Product RPP Universitas Sumatera Utara 47 KERANGKA KONSEP Gambar 2.15 : Kerangka konsep Fentanyl 2 µgkg + MgSO4 30 mgkg Fentanyl 2 µgkg + Lidokain 1.5 mgkg RESPON HEMODINAMIK - Tekanan darah sistolik TDS - Tekanan darah diastolik TDD - Tekanan arteri rerata TAR - Denyut jantung DJ - Rate Pressure Product RPP Anestesi Umum Laringoskopi dan intubasi Universitas Sumatera Utara 48

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak tersamar ganda. 3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.2.1. Tempat Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring.

3.2.2. Waktu

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2014 sampai dengan bulan September 2014. 3.3. POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1. Populasi Populasi penelitian adalah pasien yang menjalani tindakan pembedahan elektif dengan anestesi umum intubasi endotrakea di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.4.1. Kriteria Inklusi a. Bersedia ikut dalam penelitian b. Berusia 18-50 tahun c. Pasien dengan status fisik ASA 1 Universitas Sumatera Utara 49 d. Malampati 1 e. Berat badan ideal sesuai BMI 18,5-24,9

3.4.2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien hamil b. Riwayat hipersensitifitas terhadap fentanyl, lidokain atau magnesium sulfat

3.4.3. Kriteria drop out

a. Gagal intubasi pada usaha pertama b. Waktu tindakan laringoskopi dan intubasi lebih dari 30 detik c. Terjadi kegawatdaruratan jantung dan paru.

3.5. BESAR SAMPEL

Perhitungan besar sampel minimal dengan menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap rata-rata dua populasi dalam dua kelompok independent . : 1 = 2 = 2 + 1 − 2 n = besar sampel Z α = 1,96 deviat baku pada α 0,05 Z β = 0,842 deviat baku β 0,02 S = simpangan baku, diambil dari kepustakaan sebesar 8.75 35 α = derajat kemaknaan = 0,05 95 β = power penelitian = 0,2 80 X 1 -X 2 = Perbedaan klinis yang dianggap bermakna clinical judgment = 10 Dari perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh besar sampel: n 1 =n 2 =13 orang. Dengan mempertimbangkan kriteria putus uji 10 maka n 1 =n 2 =15, sehingga keseluruhan sampel 30 orang. 2 Universitas Sumatera Utara 50 3.6.ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA 3.6.1. Alat dan Bahan

3.6.1.1. Alat

a. Sphygmomanometer merek OMRON, Model HEM-7203 b. Alat monitor EKG dan saturasi oksigen GE Dash 4000 Monitor c. Spuit 5 ml dan spuit 10 ml Terumo d. Laringoskop set macinthos e. Pipa endotrakea sesuai ukuran f. Stopwatch Chronograph g. Alat tulis dan formulir penelitian

3.6.1.2. Bahan

a. Fentanyl 100 µgampul Janssen Cilag b. Magnesium sulfat 40 Otsu-MgSO4 40 ® , Otsuka Pharmaceuticals Indonesia c. Lidokain 2 Lidokain HCl 20 mgml, Bernofarm d. Obat-obat emergensi: efedrin 5 mgml yang telah disiapkan, sulfas atropin 0,5 mg yang telah disiapkan e. Midazolam Sedacum ® 0.1, Dexa Medica f. Propofol 1 Lipuro ® 1, B Braun Medical Indonesia g. Rocuronium Roculax ® , Kalbe Farma Tbk h. D5 100 ml Otsu-D5, Otsuka Pharmaceuticals Indonesia i. Cairan: Ringer laktat j. Calcium Gluconas Calcii Gluconas ® , Ethica Jakarta-Indonesia 3.6.2. Cara Kerja 3.6.2.1. Persiapan Pasien dan Obat a. Penelitian ini terlebih dahulu mendapat persetujuan dari komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – RSUP H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara 51 b. Peneliti kemudian melakukan informed concent kepada pasien pada saat kunjungan prabedah. c. Kepada pasien dijelaskan tentang rencana tindakan pembiusan umum dan prosedur penelitian yang menggunakan obat yang telah lazim digunakan. d. Randomisasi dilakukan dengan cara blok oleh relawan yang telah dilatih, masing-masing blok terdiri dari 6 subjek, dengan jumlah kemungkinan kombinasi sekuens sebanyak 5. Kemudian dijatuhkan pena di atas angka random. Angka yang ditunjuk oleh pena tadi merupakan nomor awal untuk menentukan sekuens yang sesuai. Kemudian pilih 4 pasangan angka di bawah dari angka pertama tadi sampai diperoleh jumlah sekuens yang sesuai dengan besarnya sampel. Kemudian sekuens yang diperoleh disusun secara berurutan sesuai dengan nomor amplop. e. Obat disiapkan oleh relawan peneliti dan pasien tidak mengetahui komposisi obat yang diberikan, dan relawan tersebut memberikan obat kepada peneliti pada hari pelaksanaan penelitian.

3.6.2.2. Pelaksanaan Penelitian

a. Penelitian ini dilakukan dibawah pengawasan konsultan anastesi yang bertugas pada hari tersebut. b. Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang terhadap identitas, diagnosa, rencana tindakan pembedahan, akses infus pastikan telah terpasang infus dengan kateter vena no. 18 G dan threeway, dan pastikan aliran lancar. c. Kemudian pasien dibawa ke kamar operasi dan diberikan preloading cairan Ringer Laktat 10 mlkgBB. d. Setelah preloading, dilakukan pengukuran tekanan darah, tekanan arteri rerata, denyut jantung, dan rate pressure product. basalT0. e. Kelompok A diberikan magnesium sulfat 30 mgkgBB yang dicampurkan ke dalam D5 100 ml, kelompok B diberikan D5 sebanyak 100 ml, dan dihabiskan dalam waktu 5 menit. Kemudian dilakukan pengukuran Universitas Sumatera Utara 52 tekanan darah TDS, TDD, tekanan arteri rerata TAR, denyut jantung DJ, dan rate pressure product RPP T1. f. Kemudian setelah 5 menit setiap kelompok dipremedikasi dengan midazolam dosis 0.05 mgkgBB intravena iv. g. Setelah 5 menit pemberian midazolam, kemudian setiap kelompok diberikan fentanyl 2 µgkgBB iv. h. Dua menit setelah injeksi fentanyl, kemudian kelompok B diberikan lidokain 1.5 mgkgBB iv dan kelompok A mendapatkan normal salin, dan setelahnya dilakukan pengukuran TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP.T2 i. Setelah 2 menit pemberian lidokainnormal salin, maka masing-masing kelompok diinduksi dengan propofol dosis 2 mgkgBB iv, lalu injeksi rocuronium 1 mgkgBB iv. Kemudian dilakukan pengukuran TDS, TDD, TAR, DJ, dan RPP.T3 j. Laringoskopi dilakukan setelah 1 menit pemberian obat pelumpuh otot dengan menggunakan bilah metal Macintosh nomor 3 atau 4. k. Intubasi dengan ETT ID 7 Fr untuk perempuan dan ID 7.5 Fr untuk laki- laki. l. Segera setelah intubasi, cuff ETT diisi dengan udara sampai tidak ada kebocoran pada saat pemberian ventilasi positif. m. Kedalaman ETT ditentukan dengan mendengar suara napas paru kanan sama dengan paru kiri menggunakan stetoskop, kemudian ETT difiksasi. n. Kemudian dilakukan pengukuran TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP pada menit pertama, ketiga, dan kelima setelah intubasi endotrakea. Lalu dicatat sebagai data T-4, T-5, dan T-6. Selama pencatatan manipulasi bedah tidak dilakukan dan gas inhalasi tidak diberikan. o. Setelah pengukuran menit kelima, gas inhalasi dapat diberikan dan manipulasi pembedahan dapat dilakukan p. Bila terjadi tanda-tanda klinis toksisitas berat dari magnesium maka diberikan kalsium glukonas 10-15 mgkg IV. Kemudian diberikan juga loop diuretik dan pemberian cairan untuk meningkatkan pengeluaran Universitas Sumatera Utara 53 magnesium melalui urin. Bila diperlukan, maka dilakukan juga penanganan jalan nafas dan dukungan bagi hemodinamik.

3.7. IDENTIFIKASI VARIABEL

3.7.1. Variabel Independent

a. Fentanyl 2 µgkgBB intravena + Magnesium sulfat 30 mgkgBB intravena b. Fentanyl 2 µgkgBB intravena + Lidokain 1.5 mgkgBB intravena

3.7.2. Variabel Dependent

a. Tekanan darah sistolik TDS b. Tekanan darah diastolik TDD c. Tekanan arteri rerata TAR d. Denyut jantung DJ e. Rate Pressure Product RPP

3.8. RENCANA ANALISIS DATA

Data yang terkumpul akan dianalisa dengan menggunakan software pengolahan data statistik. Pengujian kenormalan data numerik dilakukan dengan Shapiro-Wilk test. Jika data kedua kelompok berdistribusi normal digunakan T independent test. Jika ada data yang tidak berdistribusi normal, maka digunakan Mann-Whitney test. Untuk membandingkan nilai rata-rata pada kelompok yang sama digunakan Paired T Test. Batas kemaknaan yang ditetapkan : 5

3.9. DEFINISI OPERASIONAL

Dokumen yang terkait

Perbandingan Premedikasi Klonidin 3 μg/KgBB Intravena Dan Diltiazem 0.2 mg/KgBB Intravena Dalam Menumpulkan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Endotrakhea

3 76 93

Perbandingan Respon Hemodinamik Pada Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi Pada Premedikasi Fentanil 2µg/kgBB Intravena + Deksketoprofen 50 mg Intravena Dengan Fentanil 4µg/kgBB Intravena

1 44 90

Perbandingan Pengaruh Pemberian Fentanil 1 µg/kgBB Dengan Lidokain 2% 1 mg/kgBB Intravena Terhadap Respon Hemodinamik Pada Tindakan Ekstubasi

3 85 94

Efektivitas Magnesium Sulfat 30 mg per kgBB Intravena dibanding dengan fentanil 2 mcg per kgBB Intravena dalam menekan respons kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi dan intubasi.

0 0 4

PERBANDINGAN EFEK DEKSMEDETOMIDIN 0,75 µg kgBB DENGAN FENTANIL 2 µg kgBB INTRAVENA TERHADAP KEBUTUHAN DOSIS INDUKSI PROPOFOL DAN RESPON HEMODINAMIK SE TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI TRAKHEA | Amri | Healthy Tadulako 8732 28684 1 PB

0 0 14

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

1 0 11

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

1 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 40

BAB 1 PENDAHULUAN - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 6

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

0 0 13