Niombah, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan, posisinya dalam keluarga sesuai dengan arti katanya, dipangkudigendong. Niombah dalam konteks
bermasyarakat turut berpartisipasi sebagai pelayan-pelayan, khususnya bagi mereka yang masih muda-mudi, yakni belum berumah tangga. Niombah bertanggung jawab
penuh akan kondisi kehidupan orang tua mereka, lebih nampak memang ketika orang tua mereka sudah lanjut usia Saur Matua. Keluarga selalu berperan dalam
sosialisasi terhadap anak-anak mereka, sehingga penting hubungan kekerabatan dibina sejak kecil terutama antara Niombah dengan Diha-Diha, yaitu semua famili
dan sanak saudara. Jadi dalam masyarakat Mariah Dolog, kebanyakan dalam bertetangga adalah keluarga sendiri dan tentunya memiliki keterkaitan dalam hal
kekerabatan di antara semua warga kampung.
3.2 Kondisi Sosial Ekonomi
Aktivitas kehidupan sosial ekonomi pada masyarakat Mariah Dolog dapat ditinjau perkembangannya dari waktu ke waktu, namun bukan berarti dengan tolak
ukur maupun barometer kehidupan masa kini. Kondisi sosial ekonomi dimulai dari keadaan yang primitif hingga mengalami perubahan berkat rangsangan dan
kreatifitas-kreatifitas baru pada masyarakat itu sendiri. Sejak permulaan perkembangan Mariah Dolog hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi
kampung ini terlihat adanya indikasi perubahan. Mulai dari pola pemenuhan kebutuhan hidup hingga keteraturan dalam kelangsungan kehidupan sosial.
Kehidupan masyarakat seadanya sebelum mendapatkan sentuhan pengaruh luar, mereka terpusat pada aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup saja ditandai dengan
peralatan yang mereka gunakan dalam urusan dapur rumah tangga. Keunikan yang berlangsung sekaligus menjadi kegiatan sehari-hari masyarakat salah satunya adalah
menyediakan air bersih untuk kebutuhan memasak dan minuman. Masyarakat menggunakan batang bambu yang dipotong dengan panjang sekitar satu meter lebih,
atau dua atau tiga buku dengan diberi lubang kecil tempat keluar masuk air. Nama alat ini yaitu Baluhat, digunakan sebagai tempat menampung dan menyimpan air
bersih. Baluhat sendiri biasa dibawa oleh orang yang sudah dewasa mengingat ukurannya lebih besar. Sementara penampungan air yang lebih kecil ukurannya
disebut Hassung atau Barigit, juga terbuat dari bambu dengan panjang sekitar setengah meter, biasanya satu buku dibawa oleh anak-anak.
Baluhat untuk perempuan dijunjung di atas kepala dengan alas sarung maupun kain untuk membawanya ke rumah. Bagi laki-laki, Baluhat biasanya dipikul
di pundak sementara Hassung cukup ditenteng saja. Air bersih yang didapatkan berasal dari mata air Bah Tubu, sekitar 800 meter dari kampung Mariah Dolog.
Kemudian air yang didapatkan dibawa ke rumah, diletakkan di dapur dekat tungku memasak dengan posisi miring menghadap ke atas supaya tidak tumpah, lubang air
ditutup dengan daun pisang. Pekerjaan ini sering dilakukan pada pagi hari sebelum
memasak dan bepergian ke ladang. Untuk minuman yang dibawa ke ladang adalah Hassung.
Selain Baluhat dan Hassung, ada lagi benda yang bentuknya sama, namun berbeda namanya yaitu Sige. Benda ini terbuat dari bambu yang panjangnya satu
buku bambu, sekitar setengah meter, digunakan sebagai tempat penampungan air nira di pohonnya. Sesampai di kampung, air nira boleh diminum langsung maupun
dicampur dengan kulit kayu raru sehingga menjadi minuman yang dikenal sebagai tuak. Dari Sige air nira dapat dituang ke potongan-potongan bambu yang biasa
digunakan sebagai cangkir untuk minum. Sama halnya ketika melangsungkan suatu pesta maupun upacara pernikahan, cangkir yang selalu digunakan adalah bambu yang
dipotong-potong dalam ukuran pas untuk meminum, biasanya satu jengkal tangan. Namun keunikannya adalah cangkir bambu tersebut hanya digunakan satu kali
pemakaian. Baluhat sebagai tempat penyimpanan air bersih ternyata memiliki khasiat.
Tidak jarang bagi rumah-rumah penduduk menyimpan hingga puluhan Baluhat di rumah mereka, kemungkinan besar mengantisipasi apabila terjadi musim kemarau.
Maka bisa saja ada Baluhat yang tidak sempat dipakai airnya hingga waktu berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun. Berdasarkan penuturan orang-orang tua yang telah
banyak merasakannya, air dalam Baluhat yang telah lama disimpan tersebut sangat manis. Banyak anggapan bahwa air yang demikian lama disimpan sebagai air suci
dan berfungsi menanggalkan penyakit dari tubuh.
Penghitungan beras dan jagung juga dilakukan dengan menggunakan bambu. Untuk jumlah yang besar yaitu dengan Buluh Bolon yang berdiameter besar,
sementara untuk menakar dalam ukuran kecil adalah Buluh Bolon yang berukuran kecil. Buluh bolon yaitu jenis bambu yang paling besar bisa diameternya dapat
mencapai tiga puluh senti meter dengan kulit yang tebal dan jarak antara buku hingga satu meter apabila sudah cukup tua dan matang. Jenis bambu ini sering juga
dinakan sebagai jembatan penyeberangan di atas jurang maupun sungai. Bambu- bambu tersebut disusun dan diikat, kemudian ditimbun dengan tanah sehingga jalan
yang terlihat sangat nyaman dan mulus. Pada saat-saat menjelang tahun baru, para pemuda biasa menggunakan bambu sebagai mariam untuk memeriahkan suasana
perayaan. Tumbuhan bambu tidak hanya terdapat dihutan maupun jurang saja yang
tumbuh secara liar, namun juga banyak sengaja ditanam oleh penduduk dengan berbagai keperluan mulai dari perlindungan kampung, keperluan perkakas dapur,
peralatan pertanian dan sebagainya. Adapun jenis-jenis bambu yang dikenal pada masyarakat Mariah Dolog, di antaranya :
1 Buluh Bolon, yaitu jenis bambu yang paling besar, biasa tumbuh di tepi jurang
dengan diameter bisa mencapai 30 sentimeter apabila sudah tua dan matang. Bambu ini paling banyak digunakan sebagai perkakas dan peralatan, mulai
dari rumah, gubuk-gubuk di ladang, jembatan penyeberangan, baluhat, tumba, meriam, gojos, dan sebagainya.
2 Buluh Parapat, yaitu jenis bambu yang jarang buku-buku atau ruas-ruasnya
sangat rapat. Bagi masyarakat bambu ini digunakan sebagai tepas untuk dinding rumah. Bambu dibelah-belah dengan tipis kemudian diayom menjadi
tepas, dalam bahasa Simalungun disebut gedek. 3
Buluh Kuning, yaitu jenis bambu yang batangnya berwarna kuning. Bambu ini jarang digunakan dan sering dianggap sebagai bambu keramat khususnya bagi
mereka yang mempelajari ilmu-ilmu kesaktian, barulah bambu ini sering digunakan. Terkadang bisa juga bambu ini digunakan sebagai obat yang
terkena begu-begu, yaitu guna-guna dari orang lain. 4
Buluh Rogon, yaitu jenis bambu yang memiliki banyak bulu-bulu atau miang. Apabila terkena bulunya akan terasa sangat gatal. Jenis bambu ini jarang
digunakan sebagai peralatan, namun pada masa sekarang sering dimanfaatkan tunasnya menjadi sayuran yang dikenal sebagai rebung atau tubis, yaitu
dengan cara memotong-motong tipis tunas bambu tersebut. 5
Buluh Tali, yaitu jenis bambu yang ukurannya sangat kecil dan halus. Dikatakan tali bukan berarti difungsikan sebagai alat ikat, namun semata-mata
karena ukurannya yang kecil. 6
Buluh Sulim, yaitu jenis bambu yang ukurannya tidak begitu besar, lebih tipis dan jarak antara buku-bukunya cukup panjang. Bambu ini banyak diolah
menjadi alat tiup seruling dan serunai kecil.
Demikian pemanfaatan bambu dalam berbagai keperluan hidup pada penduduk Mariah Dolog, sehingga memang bambu memiliki nilai yang berarti bagi
penduduk. Selain di sekeliling kampung, bambu juga banyak tumbuh di hutan, jurang-jurang dan di tepi ladang, sehingga tidak sulit bagi penduduk untuk
mendapatkannya. Selain itu mereka juga pandai untuk mengolah bambu menjadi peralatan yang bermanfaat. Bahkan kendaraan yang pertama di daerah ini terbuat dari
bambu disebut dengan nama “gojos”, yaitu sejenis kereta yang ditarik oleh kerbau. Gojos tidak memiliki roda, hanya ada dua kakinya yang terbuat dari batang bambu
dengan posisi miring ke belakang. Sehingga jalan yang dilewati oleh gojos akan bersih dan tampak bergaris di tanah karena bekas bambu yang diseret oleh kerbau
tersebut. Kendaraan ini hanya bisa ditumpangi oleh satu orang saja dan umumnya
digunakan untuk mengangkut barang hasil-hasil panen dan kayu-kayu bakar dari ladang. Berkat gojos tersebut semakin mempermudah pengangkutan hasil-hasil
pertanian dari ladang ke kampung. Perkembangan dalam pengangkutan seperti ini melatarbelakangi etos kerja dalam bidang pertanian. Secara umum pada masa
sebelum kemerdekaan, di Simalungun telah musim penggunaan kendaraan kereta yang ditarik kerbau dan kuda. Demikian halnya bagi masyarakat Mariah Dolog,
kereta kerbau semakin memiliki peranan yang penting khususnya sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil-hasil ladang.
Kereta kerbau dengan modivikasi menggunakan gerobak kayu dan dua roda atau galapang terbuat dari kayu mulai ada sejak tahun 1970-an. Pertama sekali
dimiliki oleh keluarga Tuan Mariah Dolog, yang berfungsi sebagai sarana transportasi untuk dapat berkunjung ke daerah lain. Untuk bisa membuat sarana
transportasi demikian terlebih dahulu kerbau dilatih untuk menarik kereta. Kerbau sudah boleh belajar menarik kereta ketika usianya sudah tepat untuk ditusuk
hidungnya sebagai tempat untuk mengikatkan tali. Latihan awal dilakukan dengan menarik gojos, maka setelah kerbaunya sudah paham dan dewasa besarnya barulah
boleh menarik kereta yang memiliki roda. Tidak jarang memang beban kereta beserta muatannya yang harus ditarik kerbau beratnya bisa mencapai setengah ton.
Pada tahun 1975 oleh masyarakat dibuka jalan dari Mariah Dolog ke Dolog Huluan untuk bisa dilalui kereta kerbau. Jalur yang dibuka mengalami perubahan,
yaitu tidak lagi mengikuti jalur setapak yang dilalui penduduk mengikuti lembah- lembah jurang. Jalur baru lebih singkat jaraknya dan dihubungkan dengan jembatan
terbuat dari bambu, walaupun memang tidak dapat dihindarkan dengan medan turunan terjal dan dakian. Sementara jembatan permanen dengan semen beton
dibangun pada tahun 1982. Namun demikian, jalan tersebut tidak pernah dilalui kendaraan mobil mengingat bentuk jalan yang terlalu sulit untuk dilalui karena sangat
terjal, apalagi pada musim curah hujan tinggi maka jalan tersebut sangat licin. Penggunaan kereta kerbau sebagai sarana transportasi memberikan dampak
kelancaran komunikasi ke luar daerah. Utusan dari Mariah Dolog sendiri pernah
melakukan perjalanan hingga ke Pematang Siantar dengan kendaraan kereta kerbau tersebut. Perjalanan ditempuh selama tiga sampai empat hari lamanya. Memang tidak
banyak di antara penduduk yang sanggup melakukan perjalanan semacam ini. Biasanya perjalanan demikian dengan tujuan melakukan perdagangan, di mana
terlebih dahulu komoditi hasil pertanian dikumpulkan di kampung Mariah Dolog untuk kemudian dijual ke Pematang Siantar. Bagi mereka yang sanggup untuk
melakukan perjalanan menuju Pematang Siantar akan banyak titipan dari tetangga untuk membelikan berbagai keperluan, seperti pakaian, kebutuhan dapur dan
sebagainya. Mata uang pertama yang sampai ke Mariah Dolog digunakan sebagai alat
tukar yaitu sen, mata uang kolonial Belanda dalam bentuk logam. Bentuknya bulat bertuliskan Nederlandsch Indie berangka tahun 1945. Masyarakat Mariah Dolog
menyebut uang tersebut Duit Menggol atau Benggol
25
25
Menggol atau Benggol nilainya dua setengah sen. Uang ini berlaku sebelum pecah Perang Dunia Kedua.
, pertama sekali sebagai imbalan yang diterima penduduk setelah menjual padinya ke Dolog Huluan. Dalam
kegiatan berdagang berikutnya maka uang tersebut menjadi sering digunakan bukan hanya untuk menerima imbalan setelah melakukan penjualan, namun juga dapat
digunakan membeli barang dan berbagai keperluan lainnya. Sekitar tahun 1950-an barulah mata uang rupiah sampai ke daerah ini.
Hasil-hasil ladang hingga tahun 1960-an sebelum mengenal komoditi pertanian yang sifatnya ekonomis umumnya adalah komoditi-komoditi untuk
kebutuhan hidup sehari-hari. Padi misalnya, bagi masyarakat di luar daerah merupakan komoditi yang bernilai ekonomis dan bisa dipasarkan. Berbeda dengan
tradisi masyarakat Mariah Dolog, padi yang telah dipanen akan tertimbun biasanya pada lumbung-lumbung maupun dalam rumah. Paska kegiatan panen padi warga
biasanya menghabiskan kegiatan di luar pekerjaan ladang seperti beristirahat di kampung dengan kegiatan-kegiatan seni, dalam kesempatan yang sama juga sering
melakukan pesta-pesta adat pernikahan. Selain itu, melakukan kegiatan berburu ke hutan untuk mendapatkan daging sebagai lauk makanan. Setelah persediaan padi
sudah mulai menipis barulah ada lagi usaha untuk melakukan penanaman di ladang. Hal ini menunjukkan masih minimnya mobilitas yang memacu etos kerja masyarakat.
Mengenai kebutuhan sandang masyarakat Mariah Dolog, mereka telah mengenal sistem menenun ulos yang mana peralatannya sangat sederhana terbuat dari
kayu dan bambu. Teknologi menenun ini pun bukan semata buah pemikiran dari masyarakat Mariah Dolog, namun setelah dari mereka ada yang melakukan
perjalanan ke wilayah kerajaan Purba, maka dari sana didapatkan kepandaian menenun kapas yang kemudian menjadi ulos dan pakaian. Sementara benang diolah
dari buah kapas yang ada tumbuh di hutan dan ladang. Dari kapas yang diolah menjadi kain berwarna putih dan untuk diberi warna kemudian harus diaduk ke dalam
wadah yang diisikan getah pohon kayu tertentu sesuai dengan selera warna yang diinginkan.
Masyarakat yang menggunakan pakaian adalah orang-orang dewasa yang usianya sudah boleh dianggap hendak menikah. Sementara anak-anak tidak ada yang
memakai baju, kecuali setelah mereka mulai beranjak remaja ditandai dengan bagian kelamin yang sudah besar dan ada rasa malu barulah mulai dikenakan pakaian.
Pakaian sangat jarang diganti karena terbatas jumlahnya yang dimiliki. Dengan kondisi demikian, maka seringkali terjadi penyakit pada tubuh seperti gatal-gatal
karena pakaian sangat jarang diganti dan dicuci. Banyak jenis kutu yang bersarang pada pakaian, demikian juga jamur-jamur yang tumbuh pada bagian sudut pakaian ,
namun menyatu dengan tubuh orang yang memakainya. Untuk membersihkan pakaian biasanya dilakukan dengan cara merebus pada air hingga mendidih kemudian
dijemur. Ada juga yang mengaduk kembali dengan getah kayu sehingga tampak lebih baru. Cara lain yaitu dengan membilas pakaian ketika mandi ke sungai, kemudian
meletakkan pakaian di atas batu dan menunggu sampai kering sehingga dapat dipakai kembali. Bagi masyarakat Mariah Dolog hal seperti itu biasa disebutkan “cuci
korah”. Kegiatan menenun ulos di Mariah Dolog tidak begitu memberikan dampak
dalam memenuhi kebutuhan sandang. Kain ulos sendiri merupakan pakaian yang berharga, sehingga bukan berarti menjadi pakaian sehari-hari, kecuali digunakan pada
upacara adat saja. Maka penduduk dapat memperoleh pakaian dari onan
26
Alasan tersebut karena anggapan bahwa meskipun kerbau tadi diakui adalah miliknya, namun akan sulit untuk dapat membayar kerugian petani jahe. Sangat tidak
sebanding jumlah kerbau yang harus diberikan sebagai ganti rugi terhadap tanaman , sebab
pada 1950-an peduduk Mariah Dolog telah melakukan perdagangan hingga ke Onan Sibuntuon dengan perjalanan setengah hari ditempuh dengan berjalan kaki. Komoditi
yang dibawa pedagang dari Mariah Dolog berupa daun sirih baik yang ditanam sendiri maupun yang didapatkan dari tepi ladang dan jurang. Hasil penjualan daun
sirih dapat digunakan membeli pakaian dan berbagai keperluan lain seperti makanan maupun kapur untuk makan sirih.
Mengenai ternak yang dimiliki oleh masyarakat, kerbau misalnya menjadi lebih memiliki harga setelah dapat diperjualbelikan terhadap orang luar yang berasal
dari daerah lain. Keunikan yang berlaku pada masa itu, apabila seekor kerbau dewasa ditukarkan dengan sebuah pesawat radio. Hal ini menandakan perbandingan harga
yang kurang sesuai sekaligus menunjukkan kondisi masyarakat yang masih minim akan pemikiran ekonomis. Sama halnya dengan suatu kasus, kerbau penduduk
merusak tanaman jahe petani dari kampung lain, maka kerbau-kerbau tadi tidak begitu ada harganya karena penduduk tidak akan mengakui bahwa kerbau itu
miliknya.
26
Dalam bahasa Simalungun, Onan artinya Pasar.
jahe. Maka kerbau-kerbau biasanya langsung disembelih oleh petani luar, dan selebihnya digiring ke perkampungan petani jahe tersebut.
3.3 Pelaksanaan Tradisi Upacara Adat dan Kepercayaan Masyarakat