kebutuhan primer yang mencakup akan sandang, pangan, dan papan maka akan mencarinya ke hutan yang ada di sekitar pemukiman. Kegiatan mencari binatang
buruan dengan membawa anjing dan perangkap, menebangi pohon dengan kampak guna mendirikan gubuk untuk bermukim menjadi ciri khas yang diwariskan secara
turun-temurun sehingga kemudian daerah Mariah Dolog nampak semakin terang dengan berkurangnya pepohonan. Maka kondisi tersebut kemudian memungkinkan
untuk memulai bercocok tanam di daerah ini.
2.2. Latar Belakang Historis Mariah Dolog
Pemukiman Mariah Dolog jelasnya merupakan tempat migrasi dari daerah lain, perkampungan yang dekat dan berada di sekitar wilayah kerajaan Raya. Tidak
jelas sejak kapan mulai terbentuknya pemukiman di sana, namun dapat ditinjau hubungannya dengan streotype masyarakat Simalungun secara umum yang
menggambarkan sifatnya ingin menyendiri dan bermukim di tempat yang terlindung dan nyaman baginya. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan beberapa peristiwa
pergolakan yang terjadi di wilayah Kerajaan Raya secara umum baik sebelum kedatangan kolonial Belanda maupun sesudahnya.
Peperangan yang berlangsung dalam tujuan menaklukkan daerah-daerah untuk dijadikan wilayah kekuasaan oleh raja-raja dan kesultanan sering terjadi. Suku
Simalungun akan merasa nyaman untuk tinggal di daerah yang terlindung hingga ke
pelosok-pelosok karena didorong rasa ketakutan apabila tertangkap akan dijadikan sebagai budak. Perbudakan sering terjadi akibat peperangan, karena tertangkap oleh
musuh dan bagi yang menang sering menjualkannya menjadi budak belian. Sering juga terjadi bagi penduduk yang tidak dapat membayar hutangnya kepada raja,
ditangkap dari ladangnya dan dijadikan budak belian.
14
Selain mengupayakan ketenangan jiwa bersama anggota keluarga, tradisi marjuma modom kemudian bermanfaat untuk lebih berkonsentrasi melakukan
pekerjaan-pekerjaan di ladang sehingga mendapatkan hasil yang maksimal untuk kesejahteraan keluarga. Dengan demikian tidak mengherankan jika mengamati setiap
gubuk-gubuk yang ada di perladangan di Simalungun akan sering ditemukan Secara berangsur maupun bergantian warga akan pergi meninggalkan
perkampungannya yang tidak nyaman akibat peperangan dan gangguan dari luar. Warga dapat merasa nyaman ketika tinggal di ladang yang jaraknya cukup jauh dari
perkampungan, maka akan tinggal menghabiskan waktu hingga mendapatkan kabar bahwa perkampungan telah nyaman. Tradisi untuk tinggal dan menghabiskan
beberapa waktu lamanya di ladang tersebut sering disebut dengan istilah masyarakat Simalungun yang mengatakan “marjuma modom”, di mana orang-orang, biasanya
suatu keluarga membawa bekal perlengkapan dapur dan tidur ke ladang kemudian bermukim di gubuk yang dibangun dekat ladangnya.
14
T.B.A. Purba Tambah, op.cit, hal. 23.
perlengkapan untuk memasak dengan tersedianya tungku perapian, kayu bakar, periuk, penampungan air, dan sebagainya.
Dengan tradisi marjuma modom secara bersama-sama maka besar kemungkinan terbentuk suatu pemukiman baru di daerah perladangan. Beberapa
warga yang perladangan mereka saling berdekatan tentunya selalu melakukan interaksi dan akan bekerja secara bersama-sama dalam pengerjaan ladang mereka.
Membangun pemukiman dilakukan dengan mendekatkan gubuk-gubuk mereka sehingga terkonsentrasi dalam suatu perkumpulan yang kemudian menjadi cikal
bakal terbentuknya kampung. Kegiatan menggembalakan ternak jauh dari desa juga memotivasi untuk
membuka suatu pemukiman baru. Menggembalakan ternak seperti kerbau dan kuda jauh dari desa dan berada di perbukitan yang terdapat hamparan rumput yang luas. Di
sana petani yang menggembalakan ternak akan sangat merasakan kedamaian jiwa karena terhindar dari keramaian dan gangguan-gangguan penyerang dari luar.
Menjaga ternak biasa dilakukan dengan kesibukan sambil bermain musik tradisional dan mengusahakan makanan sehari-hari untuk mengatasi rasa lapar seperti membakar
umbi-umbian maupun burung-burung hasil buruan yang didapatkan dengan cara diperangkap.
Manusia yang terganggu kenyamanannya di lingkungan kampung akibat serangan dari luar mencoba mencari kenyamanan hidup bersama rekanan senasib.
Mereka membentuk suatu tempat tinggal di mana tempat yang dirasakan lebih nyaman, yaitu tempat untuk menggembalakan ternak di perbukitan menjadi tujuan
alternatif untuk bermukim. Tempat tinggal seadanya seperti gubuk-gubuk dibangun. Demikian halnya dengan warga kerajaan Raya melakukan migrasi ke daerah Bagot
Sahala, kemudian warga pindah lagi dengan pola terpencar akibat kondisi yang kurang nyaman, sebagian ke Nagara Langit, Tanjung Marolan, dan sebagian lagi ke
Dolog Huluan. Pemukiman Nagara Langit terlatak tidak begitu jauh dari Tanjung Marolan,
hanya berjarak sekitar 80 meter. Nagara Langit tidak banyak penghuninya dan tidak bertahan begitu lama karena kemudian penduduknya merapatkan rumah-rumah
mereka ke Tanjung Marolan. Hal ini disebabkan letak pemukiman yang kurang strategis pada masa itu, karena sangat mudah untuk dijangkau orang yang datang dari
luar. Selain itu, Tanjung Marolan yang berada di tepi sungai Bah Binomon, sehingga sangat mendukung keberlangsungan hidup penduduknya yang lebih sejahtera.
Demikianlah pemukiman Nagara Langit tidak ada lagi, namun daerah tersebut menjadi tempat untuk pertapa karena di sana ada peninggalan berupa patung yang
terbuat dari batu yang sejak dahulu disembah oleh masyarakatnya. Patung tersebut berbentuk manusia laki-laki dan perempuan dengan posisi duduk, tinggi sekitar 1,5
meter. Patung tersebut terletak di bagian tanah yang posisinya agak lebih tinggi dari sekitarnya dan ditumbuhi semak-semak. Maka tempat ini dikenal sebagai tempat
keramat oleh masyarakat, dan memang tidak sembarangan orang untuk bisa memasuki daerah tersebut.
Tanjung Marolan berada di antara Dolog Huluan dan Mariah Dolog. Apabila dari Dolog Huluan menuju Mariah Dolog, setelah melewati jurang dan mendaki,
maka pemandangan sebelah kiri akan nampak tanah dengan bentuk dataran yang ditumbuhi oleh lalang-ilalang, yang berarti daerah itu bukan merupakan hutan
belantara. Daerah itulah yang sempat menjadi pemukiman penduduk kampung Tanjung Marolan. Di daerah Tanjung Marolan pernah terjadi bencana alam tanah
longsor, sehingga kemudian penduduknya meninggalkan pemukiman tersebut. Posisi Tanjung Marolan berada di tepi sungai Bah Binomon dan di tepi sungai yang curam
terdapat sebuah gua, yang berbentuk lubang memanjang hingga ke tengah-tengah kampung. Tanah tempat penduduk mendirikan rumah longsor dan tepat terjadi di
tengah-tengah kampung sehingga banyak rumah-rumah penduduk yang rusak akibat bencana longsor.
Ancaman bencana tanah longsor yang merupakan tantangan alam mendorong penduduk Tanjung Marolan melakukan kesepakatan bersama untuk mengungsi dan
mencari tempat yang lebih nyaman. Sehingga Mariah Dolog yang sebelumnya adalah tempat menggembalakan ternak menjadi tujuan untuk melakukan pengungsian karena
memang tidak jarang di daerah tersebut petani yang menggembalakan kerbau tinggal dan mengasingkan diri.
Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan dari Tanjung Marolan ke Mariah Dolog. Rumah-rumah dibongkar dan dipindahkan ke Mariah Dolog untuk
selanjutnya dibangun kembali. Begitu juga dengan semua harta benda yang masih bisa diselamatkan turut dipindahkan ke Mariah Dolog. Kemudian Tanjung Marolan
terabaikan dan menjadi belantara lagi. Jadi, bencana alam tersebut meninggalkan efek traumatis tersendiri bagi penduduk. Mariah Dolog adalah pilihan daerah yang lebih
tepat atas tuntutan penduduk akan kenyamanan terutama dari serangan musuh yang datangnya dari luar.
Bencana tanah longsor di Tanjung Marolan di perkirakan waktunya berlangsung pasca hadirnya kolonial Belanda ke wilayah Simalungun. Pada tahun
18851886, bangsa Barat mengunjungi pertama daerah Simalungun.
15
Secara kepemilikan, tanah Mariah Dolog merupakan daerah yang diklaim milik Tuan Mariah Dolog, Purba Sidagambir. Dalam istilah Simalungun ia dikatakan
Kehadiran Belanda tidak serta-merta memberikan kenyamanan bagi masyarakat Simalungun,
banyak terjadi kontak pertempuran dengan orang-orang Belanda yang ingin menaklukkan daerah-daerah untuk dijadikan wilayah jajahan. Kondisi tersebut
semakin memaksa penduduk untuk mengungsi segera mungkin dan mengupayakan tempat yang nyaman dari jangkauan musuh terutama Belanda. Penduduk menimbang
tempat yang dianggap tidak mungkin dimasuki Belanda, karena Belanda menggunakan kendaraan-kendaraan tempur untuk memasuki suatu wilayah.
15
Ibid, hal. 23-24.
sebagai “Si Pukkah Huta”, yaitu orang yang pertama sekali menduduki dan membuka kampung tersebut. Setelah mendirikan rumah dan dapat bermukim bersama anggota
keluarganya, maka menyusul kemudian saudara-saudaranya semarga serta warga kampung lainnya yang berasal dari Tanjung Marolan. Demikian pemukiman baru
terbentuk dan nama kampung itu Mariah Dolog. Dalam perkembangan awal Mariah Dolog, penduduknya tidak terlepas dari
budaya sebelumnya dari mana mereka datang. Budaya yang pernah berlangsung di daerah Bagot Sahala juga Tanjung Marolan masih tetap dipegang teguh. Tradisi-
tradisi kehidupan bermasyarakat di kampung mulai dalam bentuk solidaritas hingga kebiasaan-kebiasaan dalam menjalankan upacara-upacara adat. Tradisi upacara adat
dalam masyarakat dilaksanakan ketika memasuki rumah yang baru didirikan, melangsungkan pernikahan, memulai penanaman untuk pertanian, menikmati hasil
panen, melakukan kunjungan dalam bentuk silaturahmi terhadap keluarga, dengan istilah manopot tondong, mertua, maupun boru, dan sebagainya.
Layaknya kehidupan suatu kampung, penduduk Mariah Dolog hidup dengan solidaritas yang tinggi. Kesepakatan bersama untuk menjaga kenyamanan kampung
dikerjakan dengan membentuk wajah kampung sedemikian terlindung sehingga tersembunyi dari ancaman luar. Penduduk membuat bendar mengelilingi kampung
dengan tujuan aman dari binatang-binatang buas dan ternak liar yang ada di luar kampung. Hal ini terjadi karena pernah terjadi serangan-serangan dari binatang-
binatang yang memasuki kampung, lebih sering terjadi ketika musim hujan, di mana
binatang-binatang seperti kerbau liar, kuda, maupun unggas mencari tempat untuk berlindung dari cuaca buruk. Kemudian di sekitar bendar ditanami pohon-pohon
beringin dan pohon-pohon bambu sehingga membuat pemandangan yang tersembunyi dari luar kampung.
Pada tahun 1959 sepasukan anggota PRRI pernah memasuki kampung Mariah Dolog. Peristiwa tersebut meninggalkan kesan traumatis bagi penduduk.
16
Pasukan PRRI tidak merekrut siapa pun dari penduduk untuk dijadikan anggota mereka, tetapi memang meminta ijin terhadap Tuan Mariah Dolog untuk
boleh tinggal di kampung dalam beberapa waktu. Pasukan PRRI tidak menginap di rumah-rumah penduduk, tetapi mereka membuat tenda-tenda perkemahan. Menjadi
suatu tontonan bagi penduduk Mariah Dolog ketika dapat melihat persenjataan pasukan PRRI. Satu di antara pasukan PRRI bermarga Situmorang tewas tertembak
ketika ia meminta anak Tuan Mariah Dolog untuk pergi memantau keadaan di kampung Dolog Huluan. Menyadari bahwa kondisi pasukannya sedang dikepung
oleh Tentara Rakyat Indonesia maka segera mereka hijrah dari Mariah Dolog. Kondisi yang mencekam membuat penduduk merasakan trauma. Ditambah lagi
Pasukan PRRI yang memberontak terhadap negara Republik Indonesia melakukan perlawanan
dengan bersenjata dan bergerilya. Di wilayah Simalungun mereka bergerak dari daerah Tigarunggu. Mariah Dolog hanya dijadikan tempat persinggahan dan
persembunyian sebelum dapat melanjutkan perjalanan untuk bertempur menuju Raya.
16
Wawancara dengan Bapak Taliman Purba Sidagambir, Mariah Dolog, 12 Maret 2011.
dengan himbauan agar penduduk tidak keluar rumah selama PRRI ada di sana karena dikhawatirkan akan melaporkan kehadiran pasukan PRRI kepada daerah lain tentang
keberadaan PRRI di sana. Anggota-anggota PRRI, beberapa di antara mereka berseragam militer dan
bersenjata lengkap, sanapan, senapan mesin, granat, mortir, pelontar granat dan bajoka. Terkadang dengan kebengisan mereka memeras penduduk kampung dengan
cara memintai perbekalan makanan. Semula sesampai di kampung, pasukan ini sangat sopan dan mencoba beradaptasi, tetapi setelah lebih mengenal penghuni
kampung, mereka menjadi bengis. Ternak-ternak babi dirampas begitu saja untuk dipotong dan dibakar. Pasukan PRRI juga mencoba mengumpulkan bekal-bekal
lainnya untuk dapat bertahan hidup, apakah obat-obatan tradisional, juga baju-baju dan beras serta jagung.
Dari berbagai wawancara terhadap beberapa informan konon mengatakan bahwa Mariah Dologlah, tempat yang terlebih dahulu dihuni oleh penduduk yang
berasal dari Bagot Sahala dan Tanjung Marolan kemudian sebagian membuka perkampungan di daerah sekitarnya seperti Dolog Huluan, Silau Marihat dan yang
lainnya.
17
17
Wawancara dengan Bapak Jaun Saragih Sumbayak dan Juliaman Saragih Sumbayak , Dolog Huluan, 10 Maret 2011.
Pendapat ini sedikit berbeda ketika sumber lain mengatakan desa Dolog Huluan yang kemajuannya lebih pesat adalah daerah pertama yang ada sebelum
Mariah Dolog. Meskipun untuk bisa menuju Mariah Dolog harus melewati desa Dolog Huluan terlebih dahulu, tetapi dikaitkan dengan konteks kondisi jamannya
maka tidak menutup kemungkinan bahwa tempat yang paling dituju oleh masyarakat ketika itu adalah Mariah Dolog, sesuai dengan kebutuhan akan kenyamanan untuk
berlindung.
18
1 Bagot ni Huta
Nama-nama perkampungan yang ada di sekitar daerah Mariah Dolog :
2 Dolog Huluan
3 Nagara Langit
4 Tanjung Marolan
5 Silau Marihat
6 Bah Bolon
7 Parjalangan
8 Pamurpuran
9 Dolog Saribu
2.3 Komposisi Penduduk