maka tidak menutup kemungkinan bahwa tempat yang paling dituju oleh masyarakat ketika itu adalah Mariah Dolog, sesuai dengan kebutuhan akan kenyamanan untuk
berlindung.
18
1 Bagot ni Huta
Nama-nama perkampungan yang ada di sekitar daerah Mariah Dolog :
2 Dolog Huluan
3 Nagara Langit
4 Tanjung Marolan
5 Silau Marihat
6 Bah Bolon
7 Parjalangan
8 Pamurpuran
9 Dolog Saribu
2.3 Komposisi Penduduk
Masyarakat Mariah Dolog yang seluruhnya adalah bersuku Simalungun, masing-masing memiliki marga seperti yang terdapat pada masyarakat Simalungun.
Di daerah Simalungun orang biasanya menyebutkkan empat marga, yaitu Purba, Saragih, Damanik, dan Sinaga. Sebabnya ialah, yang empat marga inilah marga dari
18
Wawancara dengan Bapak Taliman Purba Sidagambir, Mariah Dolog 12 Maret 2011.
raja-raja yang berkuasa di daerah Simalungun dahulu.
19
Masyarakat Mariah Dolog yang bermarga Purba terdiri dari cabangnya, yaitu Purba Sidagambir, Purba Pakpak, dan Purba Sidadolog. Marga Saragih terdiri dari
cabangnya, yaitu Saragih Sumbayak dan Saragih Sigaringging. Sedangkan masyarakat bermarga Sinaga, cabangnya yaitu Sinaga Sipayung. Masing-masing sub
marga tersebut yang menjadi komposisi marga di Mariah Dolog datang dari daerah yang berbeda sesuai dengan asal kerajaan marga-marga Simalungun. Marga Purba di
Silimakuta; di Dolok Silau, Panei dan di Kerajaan Purba. Saragih di Raya, Damanik di Siantar dan Sinaga di Tanah Jawa.
Jadi, marga yang terdapat pada masyarakat Mariah Dolog adalah Purba, Saragih dan Sinaga, tidak ada
masyarakat yang bermarga Damanik.
20
19
Batara Sangti, Sejarah Batak, Batak Balige: Karl Sianipar Company, 1977, hal. 151.
20
Ibid, hal. 151.
Marga yang lebih dahulu sampai ke Mariah Dolog adalah Purba Sidagambir, dalam gelombang berikutnya disusul marga Saragih Sumbayak, migrasi dari Bagot
Sahala, kemudian marga Sinaga dan yang lainnya. Bahkan jauh setelah berdirinya kampung tersebut ada juga penduduk yang bermarga Batak Toba, seperti Sinurat,
Panjaitan dan Turnip. Hal ini terjadi karena pemuda maupun pemudi dari kampung ini menikah di perantauan kemudian membawa pulang pasangannya ke Mariah Dolog
untuk hidup di sana.
Penduduk Mariah Dolog dipimpin oleh seorang tuan yang dianggap sebagai sipukkah huta, dengan gelar Tuan Mariah Dolog Purba Sidagambir. Beliau
mengklaim sebagai orang pertama yang mengenal Mariah Dolog dan bermukim di sana, memulai dengan beternak di Mariah Dolog. Secara adatnya maka tanah daerah
Mariah Dolog adalah milik Tuan Mariah Dolog. Tuan Mariah Dolog diakui oleh penduduk kampung dengan kriteria awal bahwa beliaulah pembuka kampung dan
sekaligus pemilik tanah wilayah tersebut. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang hendak bermukim dan melakukan pola kehidupan bertani di Mariah Dolog, wajib
meminta izin dan persetujuan dari keluarga Tuan Mariah Dolog. Karena posisinya itu, mereka memiliki peluang untuk membuat orang lain merasa berhutang budi,
karena mereka memberikan pekerjaan, izin, kontrak, dukungan jika perlu, perlindungan dalam bentuk kecil-kecilan sampai perlindungan terhadap gangguan
dalam rangka memperoleh keuntungan melalui kegiatan legal dan ilegal.
21
Meskipun pemakaian tanah harus berdasarkan persetujuan dari Tuan Mariah Dolog, namun tidak diberlakukan sistem sewa tanah bagi tiap penduduk yang
bermukim di sana. Kepemilikan tanah pun luasnya ditandai dengan banyaknya tumbuh-tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah. Demikian juga untuk
menggunakan lahan pertanian di daerah tersebut, setiap lahan yang telah ditanami maka menjadi milik yang mengerjakan dengan catatan bahwa tanaman di ladang
tersebut tetap dilestarikan. Artinya, apabila suatu waktu lahan tidak dikerjakan dan
21
Tania Murray Li, op.cit, hal. xxv.
dibiarkan menjadi terlantar, maka orang lain pun memiliki hak untuk mengerjakan lahan tersebut.
Spesifikasi pekerjaan setelah memulai untuk sistem pengolahan tanah kemudian menggambarkan bahwa rata-rata penduduk Mariah Dolog hidup dengan
bermata pencaharian sebagai petani. Meskipun memang kehidupan mereka tidak begitu bergantung dengan hasil-hasil pertanian karena masih memungkinkannya
menggantungkan hidup pada kekayaan alam seperti hutan secara leluasa, misalnya dengan kegiatan-kegiatan berburu yang dikenal masyarakat dengan istilah
“mansiding” dan sebagainya. Tidak begitu kontras bagi penduduk untuk dapat mengklasifikasikan profesi
mereka secara detail karena setiap penduduk memiliki potensi dan kebiasaan yang sama dalam setiap aktivitasnya sehari-hari. Tidak seperti layaknya di desa yang
sedikit memiliki kemajuan misalnya ada pedagang, petani, peternak, tukang pembangun rumah, seniman, dan sebagainya. Bagi masyarakat Mariah Dolog semua
kegiatan yang terdapat dalam konteks kehidupan sosialnya dikerjakan secara bersama. Demikian halnya dalam kegiatan mmenggembalakan kerbau, karena
ternyata juga kaum perempuan pun sering melakukan kegiatan ini. Setidaknya memang hanya ada sedikit kebiasaan yang menjadi tradisi bahwa
baik pemuda maupun pemudi biasanya menghabiskan banyak waktu mereka di lumbung untuk menumbuk padi dan jagung dalam lesung. Kegiatan ini sendiri sering
juga dikerjakan oleh orang tua, juga anak-anak mereka. Untuk pekerjaan yang sifatnya lebih keras dan memerlukan imajinasi yang kreatif seperti membangun
rumah, maka kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan dimulai dengan menebang kayu di hutan dan membawa balok-balok kayu hingga ke kampung
kemudian membangunnya menjadi rumah tempat tinggal. Dalam tradisi kepercayaan sifatnya masih animisme, yaitu percaya terhadap
roh-roh leluhur. Kepercayaan ini sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat masyarakat karena setiap pelaksanaan adat maka haruslah melakukan pemujaan yang
biasanya dipimpin oleh para pemegang tata laksana adat. Setiap pemegang tata laksana adat biasanya adalah orang tua yang sudah lanjut usia dikenal dengan istilah
“saur matua”, di mana mereka telah memiliki cucu, maka lebih tinggi posisinya dalam masyarakat. Mereka sudah banyak pengalaman dan memiliki pengetahuan
yang lebih serta berpengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Dalam istilah dewasa ini mereka dikenal sebagai dukun.
Kedudukan dukun sangat kuat terutama dalam adat karena merekalah pemegang tata laksana adat, di mana mereka memiliki pengetahuan khusus. Pada
masyarakat tradisional, pengetahuan tersebut merupakan potensi diri yang dimiliki seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan kekuatan gaib, dalam hal ini yang
dimaksud yaitu roh-roh leluhur serta jin-jin, yang erat hubungannya dengan kepercayaan mereka. Hal itu merupakan bagian dari kesaktian seseorang ketika
memiliki kemampuan untuk mengetahui kehendak nenek moyang mereka serta
melaksanakannya. Perkataan-perkataan dukun akan selalu diindahkan sebagai pedoman dalam masyarakat. Maka banyak fenomena dan gejala baik dalam
masyarakat maupun tantangan alam yang membutuhkan solusi, ditanyakan kepada mereka.
Bagaimana penting dan tingginya kedudukan dukun dalam masyarakat tradisional diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam sistem kemasyarakatan Batak.
Dalam sistem pelapisan sosial yang berdasarkan kepada pangkat dan jabatan tampak dalam kehidupan sosial sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adalah lapisan
bangsawan, keturunan raja-raja dan kepala-kepala wilayah dulu, yang disebut lapisan biak raja. Lapisan di bawahnya adalah orang-orang yang mempunyai jabatan-jabatan
yang dianggap lebih terhormat dari yang lainnya, sehingga orangnya juga dipandang menduduki lapisan elite dalam masyarakat. Mereka ialah dukun, tukang yang
mempunyai keahlian pandai besi, pandai emas, tukang kayu, dan sebagainya, pemukul alat bunyi-bunyian dan penyanyi. Orang-orang yang melakukan pekerjaan
tersebut, dulu sering disebut orang-orang yang memiliki kekuatan sakti.
22
22
Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2004, hal. 110.
2.4 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Mariah Dolog