1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar  Belakang Masalah
Setiap  anak  berhak  mendapat  pendidikan,  hal  ini  telah  tercantum  dalam deklarasi  universal  1948  yang  menegaskan  bahwa  setiap  orang  mempunyai  hak
atas pendidikan.  Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa  PBB juga mencanangkan Deklarasi  Jomtien  pada  tahun  1989  tentang  hak  anak  memperoleh  pendidikan
tanpa  diskriminasi  dalam  bentuk  apapun.  Deklarasi  tersebut  dilanjutkan  dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education
yang  memberikan  kewajiban  bagi  sekolah  untuk  mengakomodasi  semua  anak termasuk  anak-anak  yang  memiliki  kelainan  fisik,  intelektual,  sosial,  emosional,
linguistik maupun kelainan lainnya Stubbs, 2002. Kesetaraan  pendidikan  tersebut  juga  berfokus  pada  anak  berkebutuhan
khusus  Meyer,  Jill  ddk,  2005.  Anak  berkebutuhan  khusus  adalah  anak  yang dalam
proses pertumbuhan
atau perkembangannya
mengalami kelainanpenyimpangan  fisik,  mental-intelektual,  sosial,  emosional,  sehingga
memerlukan  pelayanan  pendidikan  khusus  Direktorat  Pendidikan  Luar  Biasa dalam Mangunsong, 2010.
Penyimpangan  yang  dimaksud  dalam  definisi  tersebut  yaitu  tunanetra, tunarungu,  tunagrahita,  tunadaksa,  lamban  belajar,  berbakat,  tunalaras,  gangguan
komunikasi,  ADHD,  dan  autisme  Mangunsong,  2009.  Terdapat  beberapa pendidikan  anak  berkebutuhan  khusus  yaitu,  segresi,  integrasi  mainstreaming
Universitas Sumatera Utara
serta  inklusi.  Segresi  adalah  salah  satu  bentuk  sekolah  untuk  anak-anak berkebutuhan khusus yang terpisah dari sistern pendidikan urnum.  Integrasi atau
yang  sering  disebut  dengan  mainstreaming  adalah  suatu  sistem  pendidikan  yang memberikan  kesempatan  peserta  didik  berkebutuhan  khusus  untuk  mengikuti
pendidikan di sekolah umum bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya Di dalam  sistem  ini,  anak-anak  berkebutuhan  khusus  tidak  diberikan  perlakuan
khusus,  melainkan  harus  mengikuti  sistem  yang  berlaku  di  sekolah  tersebut. Sedangkan inklusi merupakan pendidikan yang menempatkan anak berkebutuhan
khusus  di  sekolah  umum  dengan  belajar  bersama  dengan  anak  normal  dan memberikan  perlakuan  yang  sesuai  bagi  anak  berkebutuhan  khusus  Stubbs,
2002. Sekolah  inklusi  adalah  sekolah  yang  mengijinkan  peserta  didik  yang
memiliki  kebutuhan  khusus  untuk  dapat  belajar  di  kelas  pendidikan  umum Choate, 2000. Pendidikan  inklusi  dianggap sebagai  deskripsi  yang lebih positif
dalam  usaha  menyatukan  anak-anak  yang  memiliki  hambatan  dengan  cara-cara yang  realistis  dan  komprehensif  dalam  kehidupan  pendidikan  yang  menyeluruh,
prinsip pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mengembangkan  potensinya  melalui  layanan  pendidikan  yang  tepat  Smith,
2006. Sementara itu Staub dan Peck Direktori PLB, 2004 mengemukakan bahwa
pendidikan  inklusi  adalah  penempatan  anak  berkelainan  tingkat  ringan,  sedang, dan  berat  secara  penuh  di  kelas  regular.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  sekolah
regular  dapat  menerima  semua  anak  tanpa  membedakan  latar  belakang
Universitas Sumatera Utara
kondisinya. Tujuan dari pendidikan inklusi adalah untuk mengajarkan pada siswa agar mampu mengapresiasikan dan menghargai orang lain, bisa menyadari bahwa
mereka merupakan bagian dari masyarakat luas, bisa menghargai perbedaan cara pandang,  dan  bisa  menerima  tugas  dalam  masyarakat  dan  lingkungan  sosialnya
Meyer,  Jill  dkk,  2005.  Dalam  kaitannya  dengan  praktik  pendidikan,  Stubbs 2002  menjelaskan  bahwa  pendidikan  Inklusi  dipandang  telah  berhasil
meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan kebutuhan khusus. Peningkatan mutu sekolah  merupakan  persiapan  yang  sangat  baik  untuk  pendidikan  inklusi,  tetapi
sering  kali  tidak  cukup  baik  untuk  benar-benar  menginklusikan  kelompok  anak yang  paling  termarjinalisasi  serta  timbulnya  pendapat  bahwa  anak  berkebutuhan
khusus  tidak  akan  mampu  menjalankan  pendidikan  yang  sama  dengan  anak normal.
Dunn dalam Smith, 2006 menambahkan bahwa memberikan label kepada anak-anak  dengan  menempatkan  di  kelas-kelas  khusus  akan  mempengaruhi
pembentukan  konsep  diri  serta  berpengaruh  terhadap  perasaan  rendah  diri  dan penerimaan  diri.  Untuk  mengantisipasi  hal  tersebut  ditekankan  agar  tidak  ada
seorang  anakpun  dengan  keterbelakangan  mental  atau  berkebutuhan  khusus lainnya
“ditolak”  dari  kelas  reguler  dengan  menempatkan  di  kelas  khusus. Kebijakan  dalam  Council  for  Expectional  Children  Policies  Commision,  1973
dalam  Smith,  2006  menjelaskan  bahwa  semua  siswa  yang  memiliki  hambatan sebaiknya  menghabiskan  waku  di  kelas  regular  dalam  waktu  yang  seefektif
mungkin. Undang -undang di Amerika mengenai pendidikan individu penyandang cacat Individual with Disabilities Education Act-IDEA menegaskan pada negara
Universitas Sumatera Utara
bagian  bahwa  anak-anak  memiliki  hambatan  dan  anak-anak  tanpa  hambatan mendapatkan pendidikan yang  sama.
Pendidikan  inklusi  merupakan  pendidikan  berasaskan  multikultural Bennett, 2003; Meyer, Jill dkk, 2005 dan menghargai perbedaan Smith, 2006.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk mengembangkan kesetaraan pendidikan Sunardi,  1995.  Pendidikan  multikultural  bukan  hanya  terletak  pada  ras,  kelas
sosial, gender,
orientasi seksual,
tetapi juga
kebutuhan kekhususan
exceptionality.  Tujuan  dari  pendidikan  multikultural  adalah  pemerataan kesempatan bagi semua murid, hal ini termasuk pada mempersempit kesenjangan
dalam  prestasi  akademik  antara  murid  kelompok  utama  dengan  murid  kelompok minoritas.
Bennett  2003  menjelaskan  bahwa  masyarakat  yang  mempunyai  multi etnik  yang  ingin  mengusahakan  kualitas  dan  kesetaraan  pendidikan  memerlukan
pendidikan  multikultural.  Bangsa  Indonesia  merupakan  bangsa  yang  pluralistik, bahkan mungkin paling pluralistis di dunia. Bangsa Indonesia terdiri dari ratusan
etnis,  agama,  budaya,  dan  adat-istiadat  Koentjaningrat,  1970.  Sehingga  Bangsa Indonesia memerlukan pendidikan multikultural.
Indonesia  telah  mengusung  adanya  pendidikan  inklusi  yang  bertujuan memberikan  pendidikan  yang  baik  untuk  anak  berkebutuhan  khusus,  hal  ini
tercantum  dalam  Undang-undang  Nomor  20  Tahun  2003  tentang  sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat 1, 2 dan 4 yang menegaskan bahwa:
1  Setiap  warga  negara  mempunyai  hak  yang  sama  untuk  memperoleh pendidikan  yang  bermutu,  2  Warga  negara  yang  memiliki  kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, danatau sosial berhak memperoleh
Universitas Sumatera Utara
pendidikan khusus, 4  Warga negara  yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Penekanan  pendidikan  inklusi  di  Indonesia  juga  dijelaskan  dalam  surat edaran  Dirjen  Dikdasmen  Depdiknas  No.  380C.C6MN2003  20  Januari  2003.
Perihal pendidikan inklusi yaitu menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap KabupatenKota  sekurang-kurangnya  4  empat  sekolah  yang  terdiri  dari  SD,
SMP, SMA, dan SMK. Pendidikan inklusi juga sudah ada diterapkan di Indonesia dalam  Rencana  Strategis  Depdiknas  tahun  2005-2009  dimana  pemerintah
menyediakan sekolah inklusi untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan melakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan
program pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi  di  Indonesia sudah berkembang dengan baik  khususnya
di  daerah  Jawa,  dari  data  statistik  tahun  2005  menunjukkan  pendidikan  inklusi jenjang Sekolah Dasar di DKI Jakarta sekitar berjumlah 23 sekolah, Jawa Tengah
berjumlah 113 sekolah, Jawa Barat berjumlah 111 sekolah, Jawa Timur berjumlah 59  sekolah,  Banten  berjumlah  53  Sekolah,  Yogyakarta  berjumlah  32  sekolah
Badan Pusat Statistik 2005. Medan  merupakan  salah  satu  kota  di  Indonesia  yang  merupakan  kota
multikultural  yang  terdiri  dari  banyak  suku,  agama,  serta  etnis.  Medan berkembang  dengan  baik,  dengan  kebudayaan  yang  pluralis  membuat  Kota
Medan  berjalan  dengan  damai  Pemko  Medan  2007,  tidak  heran  pengukuhan FKUB  Forum  Kerukunan  Umat  Beragama  di  kukuhkan  di  Kota  Medan  pada
tahun  2007  Waspada  2007.  Mangunsong  2010  menyatakan  bahwa diperkirakan  sepuluh  persen  dari  populasi  anak  di  dunia  ini  adalah  anak
Universitas Sumatera Utara
berkebutuhan khusus. Jumlah anak berkebutuhan khusus di Kota Medan pun terus meningkat,  meski  tidak  dapat  dipastikan.  Dinas  Pendidikan  Luar  Biasa  Kota
Medan  mencatat  terdapat  324.000  orang  ABK  di  Indonesia.  Prevalensinya  yang tinggi  serta  kesadaran  masyarakat  yang  semakin  meningkat  mengenai  isu  ini
membuat ABK semakin mendapatkan perhatian. Maka  dari  itu,  Kota  Medan  memerlukan  pendidikan  multikultural  salah
satunya  pendidikan  inklusi.  Seperti  yang  dijelaskan  Bennet  2003  menjelaskan bahwa  masyarakat  yang  mempunyai  multi  etnik  yang  ingin  mengusahakan
kualitas  dan  kesetaraan  pendidikan  memerlukan  pendidikan  multikultural  yaitu pendidikan inklusi.
Tetapi pada kenyataannya pendidikan inklusi di Kota Medan belum berjalan dengan  baik.  Hal  ini  terbukti  dari  catatan  BPS  bahwa  dari  14  sekolah  inklusi  di
Kota  Medan,  hanya  beberapa  saja  yang  berjalan  optimal  Badan  Pusat  Statistik, 2005.  Suparno  2010  menyatakan  bahwa  pendidikan  inklusi  tidak  berjalan
optimal  salah  satunya  karena  masyarakat  masih  berpikir  bahwa  anak-anak berkebutuhan khusus ABK belajar atau hanya bersekolah di sekolah luar biasa,
kebanyakan masyarakat  belum mengetahui bahwa ada alternatif  lain untuk anak berkebutuhan khusus untuk belajar misalnya di sekolah  umum.
Hal  tersebut  juga  dibuktikan  dari  wawancara  kepada  salah  satu  guru  SD inklusi  mengungkapkan  bahwa sekolah  inklusi  di  Sumatera Utara ini sebenarnya
harus  dikembangkan  agar  anak  berkebutuhan  khusus  memiliki  pendidikan  yang baik,  namun  banyak  kendala  yang  menyebabkan  inklusi  tidak  berjalan  dengan
baik, seperti kurangnya pemahaman masyarakat mengenai anak ABK, pendidikan
Universitas Sumatera Utara
bagi  ABK,  pemahaman  mengenai  sekolah  inklusi,  serta  mungkin  kurangnya
kepedulian pemerintah terhadap pendidikan sekolah inklusi.
“sebanarnya  dek,  kalau  kita  lihat  lagi  sekolah  inklusi  sangat  bagus  untuk dikembangkan,  apa  lagi  kita  lihat  anak  ABK  ini  harus  punya  pendidikan
yang baik. Tapi ya.....kita liat aja lah sekarang ini sulit nyari sekolah inklusi
apa lagi di medan ini,” “mungkin  itu  karena  masyarakatnya  gak  paham  apa  sebenarnya  ABK  itu,
gimana  seharusnya  memperlakukan  anak  ABK  itu,  sekolah  inklusi  itu  apa gunanya,  dampaknya  bagaimana.  Gak  faham  mereka.  Pemerintahpun  gak
perduli akan hal itu, buktinya gak da pergerakan apapun kan?” komunikasi personal kepada ibu X, 20 Desember 2011
Masyarakat  Kota  Medan  merupakan  salah  satu  kota  multikultural  di Indonesia  yang  memiliki  kebudayaan  pluralis  tidak  sinkron  dengan  komentar
mereka terhadap pendidikan inklusi. Hasil pra penelitian yang dilakukan terhadap 100  orang  masyarakat  Kota  Medan  pada  tanggal  28-29  Januari  2011  bahwa
sebagian  masyarakat  belum  mengetahui  sepenuhnya  mengenai  sekolah  inklusi tersebut dan menganggap anak berkebutuhan khusus tidak akan bisa bersekolah di
sekolah  yang  sama  dengan  anak  normal  dan  hanya  bisa  bersekolah  di  sekolah khusus  saja,  ada  beberapa  masyarakat  yang  mengetahui  makna  dari  pendidikan
inklusi,  tetapi  mereka  menganggap  pendidikan  inklusi  tidak  dapat  menyatukan anak  berkebutuhan  khusus  dengan  anak  normal.  Bahkan  masyarakat  yang
memiliki pendidikan  yang tinggi  malah berpendapat  bahwa  sekolah inklusi  tidak dapat  memberikan  manfaat  apapun  baik  untuk  anak  normal,  ABK  ataupun
sekolah, walaupun mereka mengetahui makna dari pendidikan inklusi tersebut. Hasil  pra  penelitian  juga  menunjukkan  bahwa  masyarakat  tidak  ingin
berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan inklusi. Sedangkan Stubbs 2002
Universitas Sumatera Utara
dan  Ainscow  2005  menyatakan  bahwa  praktik  dan  partisipasi  masyarakat merupakan  faktor  penting  dalam  keberhasilan  perkembangan  sekolah  inklusi.
Hernandez  2001  menambahkan  bahwa  orangtua  yang  merupakan  bagian  dari masyarakat  sangat berperan penting dalam perkembangan pendidikan inklusi.
Komentar  masyarakat  yang  berbeda  terhadap  pendidikan  inklusi  tersebut merupakan persepsi mereka terhadap pendidikan inklusi. Persepsi merupakan cara
individu  atau  kelompok  dalam  memandang  suatu  stimulus  dari  lingkungan  dan diorganisir  serta  diinterpretasi  oleh  individu  yang  akan  mendasari  perilaku
seseorang  Robbins,  2002.  Menurut  Tagiuri  dalam  Walgito,  2003  persepsi merupakan  suatu  proses  seseorang  untuk  mengetahui,  menginterpretasi,  dan
mengevaluasi  orang  lain  yang  dipersepsi  tentang  sifat-sifatnya,  kualitasnya,  dan keadaan  lain  yang  ada  dalam  target  yang  dipersepsikan.  Target  atau  stimulus
persepsi  dalam  penelitian  ini  adalah  pendidikan  inklusi.  Pendidikan  inklusi menjadi  target  atau  stimulus  yang  kemudian  akan  dipersepsikan  oleh  individu
yang  memiliki  arti  bagi  individu  itu  sendiri.  Persepsi  memiliki  beberapa  aspek yaitu kognitif bagaimana individu mengenali, memahami informasi atau stimulus
yang diperoleh dari lingkungan  dan  aspek afektif bagaimana individu  merasakan serta mengekspresikan stuimulus tersebut McDowwell  Newel,1996.
Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda dalam menanggapi stimulus yang  datang  pada  dirinya.  Adanya  perbedaan  ini  lebih  disebabkan  oleh  faktor-
faktor  yang  mempengaruhi  persepsi.  Thoha  2007  menjelaskan  bahwa  persepsi akan dipengaruhi oleh psikologi individu yang mempersepsikan, keluarga, tempat
tinggal,  kebudayaan,  agama,  pendidikan,  pengetahuan  dan  akses  informasi  yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh.  Rahmat  2005  juga  menambahkan  bahwa  seseorang  yang  memiliki pendidikan yang baik cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap sesuatu
informasi.  Hal  ini  tidak  sejalan  dengan  hasil  pra  penelitian  pada  subjek  yang memiliki  pendidikan  baik  malah  menganggap  pendidikan  inklusi  tidak  dapat
dijalankan  dan  tidak  bermanfaat.  Maka  dari  itu  peneltian  ini  akan  melakukan penelitian  tambahan  dengan  melihat  aspek  demografi  dari  subjek  seperti
pendidikan,  pekerjaan,  jenis  kelamin,  usia,  penghasilan,  suku,  agama,  status pernikahan, dan jumlah anak.
Robbins  2002  menambahkan  bahwa  terdapat  dua  kategori  persepsi  yaitu, persepsi positif dan negatif. Individu yang memiliki persepsi yang positif terhadap
pendidikan  inklusi  akan  memiliki  pandangan  dan  pendapat  yang  lebih  baik terhadap  pendidikan  inklusi.  Sedangkan  individu  yang  memiliki  persepsi  yang
negatif  akan  memiliki  pendapat  dan  pandangan  yang  buruk  terhadap  pendidikan inklusi.
Berdasarkan  hasil  pra  penelitian  dari  100  orang  masyarakat  Kota  Medan yang  menunjukkan  adanya  perbedaan  pendapat  dan  pandangan  terhadap
pendidikan  inklusi,  membuat  peneliti  ingin  melihat  lebih  jauh  bagaimana gambaran  persepsi  masyarakat  Kota  Medan  terhadap  pendidikan  inklusi  di  Kota
Medan dengan meggunakan alat ukur yang sesuai dengan teori  yang dibangun di bab 2 dua serta menggunakan metode penelitian yang sesuai.
B. Rumusan Masalah