17 termasuk cakap hukum maka dikatakan terdakwa memenuhi unsur kesalahan sehingga
terdakwa dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi sebelum penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang
meringankan dan memberatkan dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana. Kondisi sebagaimana disebutkan di atas tak lepas dari norma hukum positif, teori hukum
pidana dan pemidanaan serta doktrin yang menjadi sumber dari hukum pidana. Mendasarkan pada hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan atau
paradigma baru dalam hukum pidana. Orientasinya tidak hanya pada pelaku saja, akan tetapi juga korban secara seimbang. Dalam kepustakaan viktimologi pandangan
tersebut oleh Schafer disebut Criminal-victim relationship.
7
Dengan mengacu pada teori tersebut di atas, maka perhatian atas masalah hukum pidana cenderung akan berubah menjadi perbuatan, kesalahan orang, korban
dan pidana. Melalui paradigma demikian, tampaknya hukum pidana menjadi lebih tepat dan memenuhi rasa keadilan. Konsep pemikiran inilah yang dikaji dan
dikembangkan dalam penelitian tentang kedudukan korban yang muaranya adalah direkomendasikannya suatu model kedudukan korban secara adil dalam Sistem
Peradilan Pidana yang memenuhi rasa keadilan sebagai hakikat dibentuknya suatu norma.
1. Pengertian Tindak Pidana
Sebelum membicarakan masalah jenis – jenis pidana yang dikenal orang di dalam hukum pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang
apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.
7
Wisnusubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999,hal. 3
Universitas Sumatera Utara
18 Djoko menyatakan bahwa pemberian pidana dalam arti umum itu
merupakan bidang dari pembentuk Undang – undang karena azas legalitas, yang berasal dari zaman Aufklarung yang berbunyai : nullum crimen, nulla poena, sine
preavialege poenalli.
8
Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan Undang – undang terlebih dahulu.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang membedakan antara hukuman dengan pidana. “ Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang
berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang
menderitakan.
9
Menurut Van HAMEL, arti pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah: “Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar,
yakni semata – mata karena seorang tersebut telah melanggar hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
10
Menurut Profesor SIMON, pidana atau straf itu adalah: suatu penderitaan yang oleh Undang – undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap
suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.
ALGRA-JANSSEN telah merumuskan pidana atau straf sebagai : “Alat yang dipergunakan oleh penguasa hakim untuk memperingatkan mereka yang
telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari
8
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 22
9
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985, hlm. 1
10
P. A. F Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Amico, Bandung, 1984, hlm. 93
Universitas Sumatera Utara
19 penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang
seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana”.
11
Roeslan Saleh yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa pidana adalah: “reaksi atas delik dan berwujud nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.”
12
Dari tiga buah rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka.
Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia
jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan
perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis belanda itu, secara harafiah telah
menerjemahkan perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah
tujuan dari pemidanaan.
13
Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa:
“ Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya berechten.
Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini
11
Romli Atmasasmita. Strategi Pembinaan Hukum, Alumni FH-UI. Jakarta. 1992,. Hlm 69
12
Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasa – dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1996, hlm. 57
13
Ibid
Universitas Sumatera Utara
20 berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya,
yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman
dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeeling”.
14
Ted Honderich yang dikutip oleh M. Sholehuddin berpendapat tentang pemidanaan harus memuat 3 tiga unsur berikut:
a. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan deprivation atau
kesengsaraan distress yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan.
b. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara
hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan hasil keputusan pelaku – pelaku personal suatu
lembaga yang berkuasa. c.
Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subyek yang terbukti sengaja melanggar hukum atau peraturan.
15
Ada satu asas yang berlaku di dalam hukum pidana yaitu yang disebut asas legalitas. Hal ini berakibat tidak dapat dijatuhkan pidana suatu perbuatan yang
tidak termasuk ke dalam rumusan delik. Untuk mencatumkan suatu perbuatan ke dalam rumusan delik, ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu sifat melawan
hukum dan dapat dicela. Dengan demikian perbuatan pidana menurut D. Schaffmeister dapat diartikan “Perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang
lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela”.
16
14
Ibid
15
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 71
16
D. Schaffmeister, etc ed J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P K, Liberty Yogyakarta, 1995, hlm. 27
Universitas Sumatera Utara
21 Perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan seseorang
dijatuhi pidana. Pidana disini merupakan penghukuman atas tindakannya. Van Hammel yang dikutip Lamintang menyebutkan bahwa:
“Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama
negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang telah ditegakkan oleh negara”.
17
Adanya pidana bagi pelaku kejahatan pada umumnya diharapkan menimbulkan efek penjeraan bagi si pelaku.
Ada 3 tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana dan pemidanaan”, masing-masing
merupakan “sub-sistem” dan sekaligus “pilar-pilar” dari keseluruhan bangunan sistem pemidanaan. Berikut diuraikan secara singkat mengenai ketiga sub-sistem
tersebut dalam Konsep KUHP Nasional 2004.
18
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh Undang-
undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehingga
tidak terjadi eigenricthing seperti yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eignricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan
demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat
terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat
pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan
17
P. A. F Lamintang, Op. Cit, hlm. 91
18
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985. hlm 84
Universitas Sumatera Utara
22 pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana
sebagai sarana pencegahan kejahatan. Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh
mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.
19
Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu Pasal. Salah satu unsur dalam suatu Pasal adalah sifat
melawan hukum wederrechtelijke baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu Pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum
yang implisit dan eksplisit dalam suatu Pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak
dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dalam dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan.
1 Dasar Patut Dipidananya Perbuatan
a Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah
sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu per- buatan sebagai tindak pidana atau bukan. Seperti halnya dengan KUHP
WvS, Konsep tetap bertolak dari asas legalitas formal ber-sumber pada Undang-Undang. Namun Konsep juga memberi tempat kepada
“hukum yang hiduphukum tidak tertulis” sebagai sumber hukum asas legalitas materiel.
b Dalam Konsep sebelumnya sd konsep KUHP Nasional 2002 belum
ada penegasan mengenai pedomankriteriarambu-rambu untuk
19
Sudarto, R. Ali, Kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, PT Alumni, Bandung, 2000, hlm 62
Universitas Sumatera Utara
23 menentukan sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum sumber legalitas. Namun dalam perkembangan Konsep terakhir Konsep KUHP Nasional 2004 yang
sudah diserahkan kepada Menkumham pada tgl. 4 Januari 2005, sudah dirumuskan pedomankriteriarambu-rambunya, yaitu “sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Jadi,
pedomankriterianya bertolak dari nilai-nilai na-sional maupun internasional. Sesuai dengan nilai-nilai nasional Pancasila, artinya
sesuai dengan nilaiparadigma moral religius, nilai paradigma kemanusiaan humanis, nilaiparadigma kebangsaan, nilaiparadigma
demokrasi kerakyatanhikmah kebijaksanaan, dan nilaiparadigma keadilan sosial. Patut dicatat, bahwa rambu-rambu yang berbunyi
“sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”, mengacubersumber dari istilah “the
general principles of law recognized by the community of nations” yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 ICCPR International Covenant on
Civil and Political Rights. c
Sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formal dan materiel itu, Konsep juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum formal
dan materiel dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana.
20
Penegasan ini diformulasikan dalam Pasal 11 Konsep 2004 yang lengkapnya berbunyi :
20
Masruchin Ruba, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP Malang, 1996. hlm 89
Universitas Sumatera Utara
24 1
“Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 2
Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan,
harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
3 Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum,
kecuali ada alasan pembenar. 4
Adanya formulasi ketentuan umum tentang pengertian tindak pidana dan penegasan unsur sifat melawan hukum materiel di atas,
patut di-catat sebagai suatu perkembangan baru karena ketentuan umum se-perti itu tidak ada dalam KUHP.
2 Bentuk-bentuk Tindak Pidana “Forms of Criminal Offence”
a Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP WvS
tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk
“percobaan”, “permufakatan jahat”, “penyertaan”, “perbarengan” con- cursus, dan “pengulangan” recidive. Hanya saja di dalam KUHP,
“permufakatan jahat” dan “recidive” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus.
b Dalam Konsep, semua bentuk-bentuk tindak pidana atau tahapan
terjadinyadilakukannya tindak pidana itu, dimasukkan dalam Ketentu- an Umum Buku I. Bahkan dalam perkembangan terakhir Konsep
KUHP Nasional 2004 ditambah dengan ketentuan tentang “persiapan”
Universitas Sumatera Utara
25 preparation yang selama ini tidak diatur dalam KUHP dan juga
belum ada dalam Konsep-konsep sebelumnya. c
Aturan umum “permufakatan jahat” dan “persiapan” dalam Buku I Konsep, agak berbeda dengan “percobaan”.
21
Perbedaannya adalah: 1.
Penentuan dapat dipidananya “percobaan” dan lamanya pidana ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain oleh
UU; pidana pokoknya maksimum minimum dikurangi sepertiga. 2.
Penentuan dapat dipidananya “permufakatan jahat” dan “persi- apan” ditentukan secara khusustegas dalam UU dalam perumus-an
tindak pidana ybs.. Aturan umum hanya menentukan pengerti- anbatasan kapan dikatakan ada “permufakatan jahat” atau
“persiapan”, dan lamanya pidana pokok yaitu dikurangi dua pertiga.
22
Dalam Bab Pertanggung Jawaban Pidana Kesalahan, Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 1 “asas tiada pidana tanpa kesalahan” “Geen straf
zonder schuld”; “Keine Strafe ohne Schuld”; “No punishment without Guilt”; asas
“Mens rea” atau “asas Culpabilitas” yang di dalam KUHP tidak ada. Asas
culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh kare-nanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas.
Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan
monodualistik.
Konsep tidak memandang kedua asassyarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan dalam hal-hal
21
M. Sholehuddin, Op.Cit. hlm 70
22
Martiman Prodjohamodjojo, Op.Cit. hlm 86
Universitas Sumatera Utara
26
tertentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maafpengampunan oleh hakim” “rechterlijk pardon” atau “judicial
pardon”.
23
a. Masalah Pemidanaan
1 Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :
Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal
ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa : -
sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan “purposive system” dan pidana hanya merupakan alat sarana untuk
mencapai tujuan; -
“tujuan pidana” merupakan bagian integral sub-sistem dari ke-seluruhan sistem pemidanaan sistem hukum pidana di samping sub-sistem lainnya,
yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana kesalahan”, dan “pidana”;
- perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi
pengendalikontrolpengarah dan sekaligus mem-berikan dasarlandasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;
- dilihat secara fungsionaloperasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu
rangkaian proses melalui tahap “formulasi” kebijakan legislatif, tahap “aplikasi” kebijakan judisialjudikatif, dan tahap “eksekusi” kebijakan
administratifeksekutif; oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
23
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm75
Universitas Sumatera Utara
27 b.
Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-
tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sbb. : a.
ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat umum dan kepentingan individu;
b. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”;
c. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku “offender”
individualisasi pidana dan “victim” korban; d.
ide penggunaan “double track system” antara pidanapunish-ment dengan tindakantreatmentmeasures;
e. Ide mengefektifkan “non custodial measures alternatives to
imprisonment”. f.
Ide elastisitasfleksibilitas pemidanaan “elasticityflexibility of sentencing”;
g. Ide modifikasiperubahanpenyesuaian pidana “modification of
sanction”; the alterationannulmentrevocation of sanction”; “redetermining of punishment”;
h. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
i. Ide permaafan hakim “rechterlijk pardon””judicial pardon”;
j. Ide mendahulukanmengutamakan keadilan dari kepastian hukum;
24
Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan- ketentuan yang tidak ada dalam KUHP yang berlaku saat ini, yaitu antara lain:
24
Andi Hamzah, Op.Cit. hlm 81
Universitas Sumatera Utara
28 1.
adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” asas culpabilitas yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict
liability” dan “vicarious liability” Pasal 35; 2.
adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak “the age of criminal responsibility”; Pasal 46.
3. adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak Bab III Bagian
Keempat; 4.
adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak asas
diversi, Pasal 111; 5.
adanya pidana mati bersyarat Pasal 86; 6.
dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat Pasal 67 jo. 69;
7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-
menuhan kewajiban adat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup Pasal 62 jo 64;
8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturanpe-
doman pemidanaannya atau penerapannya Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137;
9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi pidana dan tindakan;
10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang
berdiri sendiri Pasal 64 ayat 2; 11.
dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na
tunggal Pasal 56-57;
Universitas Sumatera Utara
29 12.
dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa- laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif Pasal 58;
13. dimungkinkannya hakim memberi maafpengampunan “rechterlijk
pardon” tanpa menjatuhkan pidanatindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan Pasal 52
ayat 2. Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan memidana
si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut
dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”; Pasal 54 .
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hukum. Dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 di tegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum maka Negara
berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya tindak pidana atau kejahatan di masyarakat. Pencapaian tujuan itu tentulah harus dilaksanakan oleh
segenap komponen bangsa termasuk dalam konsep pemidanaan dan pelaksanaanya. Dalam pemidanaan itu sendiri prosesnya dari laporan dari masyarakat kepada
polisi, lalu polisi menyelidiki dan menyidik, setelah itu kasus dilimpahkan kepada kejaksaan. Kejaksaan akan memeriksa kasus, apakah bukti-buktinya sudah lengkap
atau belum, jika sudah maka jaksa akan melakukan penuntutan dan perkara akan diperiksa dan diputus di pengadilan. Dari serangkaian proses tersebut, pemeriksaan di
Universitas Sumatera Utara
30 setiap tahapnya memerlukan saksi sebagai alat bukti yang sah dan untuk mengetahui
kebenaran materiel yang sesungguhnya dari terjadinya tindak pidana.
25
Adanya keterangan dari saksi danatau korban yang mendengar, melihatmengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana merupakan salah satu alat
bukti yang sah yang mana dapat membantu hakim untuk benarbenar menyakinkan kesalahan terdakwa hampir semua proses peradilan pidana menggunakan keterangan
saksi. Keberhasilan suatu proses
peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap
atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan
dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.
Dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah
penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan alat bukti ”keterangan saksi”
yang merupakan alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Berkaitan dengan peranan saksi ini, seorang praktisi hokum
hakim, Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi dark number mengingat
dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli.
2. Pengertian Pornografi