15 3 pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk
peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-Undang Pornografi menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman
dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan
ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Subjek hukum pidana meliputi orang manusia alamiah dan
korporasi persyarikatan baik yang berstatus badan hukum maupun bukan badan hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka peneliti dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana
perkembangan peraturan yang berkaitan dengan pornografi
sebelum keluarnya uu no.44 tahun 2008 ?
2. Bagaimana perbuatan yang termasuk tindak pidana pornografi menurut uu
no.44 tahun 2008 tentang pornografi? 3.
Bagaimana aspek hukum pidana video porno di dalam uu no.44 tahun 2008
?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perkembangan peraturan yang berkaitan dengan pornografi
sebelum keluarnya uu no.44 tahun 2008 .
Universitas Sumatera Utara
16 2.
Untuk mengetahui perbuatan yang termasuk tindak pidana pornografi menurut uu no.44 tahun 2008 tentang pornografi.
3. Untuk mengetahui aspek hukum pidana video porno di dalam uu no.44 tahun
2008 .
Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat baik manfaat objektif maupun manfaat subjektif sebagai berikut:
1. Manfaat Objektif Manfaat objektif dari penelitian ini adalah dengan diketahuinya bentuk-bentuk
penanggulangan bahaya pornografi. 2. Manfaat Subjektif
Manfaat subjektif dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai hukum pidana, serta untuk memenuhi syarat guna
mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
D. Keaslian Penelitian
Adapun judul tulisan ini adalah aspek hukum pidana video mesum dikaitkan dengan pornografi dan upaya penanganannya. Judul kripsi ini belum pernah ditulis
dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum USU. Dengan demikian
ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Sesorang dapat dipidana apabila perbuatan terdakwa pelaku harus memenuhi semua unsur tindak pidana. Apabila pelaku memenuhi unsur tersebut, maka dapat
dikatakan ia melakukan tindak pidana. Setelah dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar,
Universitas Sumatera Utara
17 termasuk cakap hukum maka dikatakan terdakwa memenuhi unsur kesalahan sehingga
terdakwa dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi sebelum penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang
meringankan dan memberatkan dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana. Kondisi sebagaimana disebutkan di atas tak lepas dari norma hukum positif, teori hukum
pidana dan pemidanaan serta doktrin yang menjadi sumber dari hukum pidana. Mendasarkan pada hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan atau
paradigma baru dalam hukum pidana. Orientasinya tidak hanya pada pelaku saja, akan tetapi juga korban secara seimbang. Dalam kepustakaan viktimologi pandangan
tersebut oleh Schafer disebut Criminal-victim relationship.
7
Dengan mengacu pada teori tersebut di atas, maka perhatian atas masalah hukum pidana cenderung akan berubah menjadi perbuatan, kesalahan orang, korban
dan pidana. Melalui paradigma demikian, tampaknya hukum pidana menjadi lebih tepat dan memenuhi rasa keadilan. Konsep pemikiran inilah yang dikaji dan
dikembangkan dalam penelitian tentang kedudukan korban yang muaranya adalah direkomendasikannya suatu model kedudukan korban secara adil dalam Sistem
Peradilan Pidana yang memenuhi rasa keadilan sebagai hakikat dibentuknya suatu norma.
1. Pengertian Tindak Pidana
Sebelum membicarakan masalah jenis – jenis pidana yang dikenal orang di dalam hukum pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang
apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.
7
Wisnusubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999,hal. 3
Universitas Sumatera Utara
18 Djoko menyatakan bahwa pemberian pidana dalam arti umum itu
merupakan bidang dari pembentuk Undang – undang karena azas legalitas, yang berasal dari zaman Aufklarung yang berbunyai : nullum crimen, nulla poena, sine
preavialege poenalli.
8
Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan Undang – undang terlebih dahulu.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang membedakan antara hukuman dengan pidana. “ Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang
berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang
menderitakan.
9
Menurut Van HAMEL, arti pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah: “Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar,
yakni semata – mata karena seorang tersebut telah melanggar hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
10
Menurut Profesor SIMON, pidana atau straf itu adalah: suatu penderitaan yang oleh Undang – undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap
suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.
ALGRA-JANSSEN telah merumuskan pidana atau straf sebagai : “Alat yang dipergunakan oleh penguasa hakim untuk memperingatkan mereka yang
telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari
8
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 22
9
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985, hlm. 1
10
P. A. F Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Amico, Bandung, 1984, hlm. 93
Universitas Sumatera Utara
19 penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang
seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana”.
11
Roeslan Saleh yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa pidana adalah: “reaksi atas delik dan berwujud nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.”
12
Dari tiga buah rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka.
Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia
jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan
perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis belanda itu, secara harafiah telah
menerjemahkan perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah
tujuan dari pemidanaan.
13
Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa:
“ Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya berechten.
Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini
11
Romli Atmasasmita. Strategi Pembinaan Hukum, Alumni FH-UI. Jakarta. 1992,. Hlm 69
12
Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasa – dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1996, hlm. 57
13
Ibid
Universitas Sumatera Utara
20 berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya,
yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman
dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeeling”.
14
Ted Honderich yang dikutip oleh M. Sholehuddin berpendapat tentang pemidanaan harus memuat 3 tiga unsur berikut:
a. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan deprivation atau
kesengsaraan distress yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan.
b. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara
hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan hasil keputusan pelaku – pelaku personal suatu
lembaga yang berkuasa. c.
Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subyek yang terbukti sengaja melanggar hukum atau peraturan.
15
Ada satu asas yang berlaku di dalam hukum pidana yaitu yang disebut asas legalitas. Hal ini berakibat tidak dapat dijatuhkan pidana suatu perbuatan yang
tidak termasuk ke dalam rumusan delik. Untuk mencatumkan suatu perbuatan ke dalam rumusan delik, ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu sifat melawan
hukum dan dapat dicela. Dengan demikian perbuatan pidana menurut D. Schaffmeister dapat diartikan “Perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang
lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela”.
16
14
Ibid
15
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 71
16
D. Schaffmeister, etc ed J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P K, Liberty Yogyakarta, 1995, hlm. 27
Universitas Sumatera Utara
21 Perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan seseorang
dijatuhi pidana. Pidana disini merupakan penghukuman atas tindakannya. Van Hammel yang dikutip Lamintang menyebutkan bahwa:
“Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama
negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang telah ditegakkan oleh negara”.
17
Adanya pidana bagi pelaku kejahatan pada umumnya diharapkan menimbulkan efek penjeraan bagi si pelaku.
Ada 3 tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana dan pemidanaan”, masing-masing
merupakan “sub-sistem” dan sekaligus “pilar-pilar” dari keseluruhan bangunan sistem pemidanaan. Berikut diuraikan secara singkat mengenai ketiga sub-sistem
tersebut dalam Konsep KUHP Nasional 2004.
18
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh Undang-
undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehingga
tidak terjadi eigenricthing seperti yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eignricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan
demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat
terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat
pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan
17
P. A. F Lamintang, Op. Cit, hlm. 91
18
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985. hlm 84
Universitas Sumatera Utara
22 pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana
sebagai sarana pencegahan kejahatan. Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh
mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.
19
Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu Pasal. Salah satu unsur dalam suatu Pasal adalah sifat
melawan hukum wederrechtelijke baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu Pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum
yang implisit dan eksplisit dalam suatu Pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak
dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dalam dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan.
1 Dasar Patut Dipidananya Perbuatan
a Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah
sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu per- buatan sebagai tindak pidana atau bukan. Seperti halnya dengan KUHP
WvS, Konsep tetap bertolak dari asas legalitas formal ber-sumber pada Undang-Undang. Namun Konsep juga memberi tempat kepada
“hukum yang hiduphukum tidak tertulis” sebagai sumber hukum asas legalitas materiel.
b Dalam Konsep sebelumnya sd konsep KUHP Nasional 2002 belum
ada penegasan mengenai pedomankriteriarambu-rambu untuk
19
Sudarto, R. Ali, Kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, PT Alumni, Bandung, 2000, hlm 62
Universitas Sumatera Utara
23 menentukan sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum sumber legalitas. Namun dalam perkembangan Konsep terakhir Konsep KUHP Nasional 2004 yang
sudah diserahkan kepada Menkumham pada tgl. 4 Januari 2005, sudah dirumuskan pedomankriteriarambu-rambunya, yaitu “sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Jadi,
pedomankriterianya bertolak dari nilai-nilai na-sional maupun internasional. Sesuai dengan nilai-nilai nasional Pancasila, artinya
sesuai dengan nilaiparadigma moral religius, nilai paradigma kemanusiaan humanis, nilaiparadigma kebangsaan, nilaiparadigma
demokrasi kerakyatanhikmah kebijaksanaan, dan nilaiparadigma keadilan sosial. Patut dicatat, bahwa rambu-rambu yang berbunyi
“sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”, mengacubersumber dari istilah “the
general principles of law recognized by the community of nations” yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 ICCPR International Covenant on
Civil and Political Rights. c
Sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formal dan materiel itu, Konsep juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum formal
dan materiel dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana.
20
Penegasan ini diformulasikan dalam Pasal 11 Konsep 2004 yang lengkapnya berbunyi :
20
Masruchin Ruba, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP Malang, 1996. hlm 89
Universitas Sumatera Utara
24 1
“Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 2
Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan,
harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
3 Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum,
kecuali ada alasan pembenar. 4
Adanya formulasi ketentuan umum tentang pengertian tindak pidana dan penegasan unsur sifat melawan hukum materiel di atas,
patut di-catat sebagai suatu perkembangan baru karena ketentuan umum se-perti itu tidak ada dalam KUHP.
2 Bentuk-bentuk Tindak Pidana “Forms of Criminal Offence”
a Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP WvS
tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk
“percobaan”, “permufakatan jahat”, “penyertaan”, “perbarengan” con- cursus, dan “pengulangan” recidive. Hanya saja di dalam KUHP,
“permufakatan jahat” dan “recidive” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus.
b Dalam Konsep, semua bentuk-bentuk tindak pidana atau tahapan
terjadinyadilakukannya tindak pidana itu, dimasukkan dalam Ketentu- an Umum Buku I. Bahkan dalam perkembangan terakhir Konsep
KUHP Nasional 2004 ditambah dengan ketentuan tentang “persiapan”
Universitas Sumatera Utara
25 preparation yang selama ini tidak diatur dalam KUHP dan juga
belum ada dalam Konsep-konsep sebelumnya. c
Aturan umum “permufakatan jahat” dan “persiapan” dalam Buku I Konsep, agak berbeda dengan “percobaan”.
21
Perbedaannya adalah: 1.
Penentuan dapat dipidananya “percobaan” dan lamanya pidana ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain oleh
UU; pidana pokoknya maksimum minimum dikurangi sepertiga. 2.
Penentuan dapat dipidananya “permufakatan jahat” dan “persi- apan” ditentukan secara khusustegas dalam UU dalam perumus-an
tindak pidana ybs.. Aturan umum hanya menentukan pengerti- anbatasan kapan dikatakan ada “permufakatan jahat” atau
“persiapan”, dan lamanya pidana pokok yaitu dikurangi dua pertiga.
22
Dalam Bab Pertanggung Jawaban Pidana Kesalahan, Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 1 “asas tiada pidana tanpa kesalahan” “Geen straf
zonder schuld”; “Keine Strafe ohne Schuld”; “No punishment without Guilt”; asas
“Mens rea” atau “asas Culpabilitas” yang di dalam KUHP tidak ada. Asas
culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh kare-nanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas.
Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan
monodualistik.
Konsep tidak memandang kedua asassyarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan dalam hal-hal
21
M. Sholehuddin, Op.Cit. hlm 70
22
Martiman Prodjohamodjojo, Op.Cit. hlm 86
Universitas Sumatera Utara
26
tertentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maafpengampunan oleh hakim” “rechterlijk pardon” atau “judicial
pardon”.
23
a. Masalah Pemidanaan
1 Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :
Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal
ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa : -
sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan “purposive system” dan pidana hanya merupakan alat sarana untuk
mencapai tujuan; -
“tujuan pidana” merupakan bagian integral sub-sistem dari ke-seluruhan sistem pemidanaan sistem hukum pidana di samping sub-sistem lainnya,
yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana kesalahan”, dan “pidana”;
- perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi
pengendalikontrolpengarah dan sekaligus mem-berikan dasarlandasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;
- dilihat secara fungsionaloperasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu
rangkaian proses melalui tahap “formulasi” kebijakan legislatif, tahap “aplikasi” kebijakan judisialjudikatif, dan tahap “eksekusi” kebijakan
administratifeksekutif; oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
23
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm75
Universitas Sumatera Utara
27 b.
Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-
tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sbb. : a.
ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat umum dan kepentingan individu;
b. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”;
c. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku “offender”
individualisasi pidana dan “victim” korban; d.
ide penggunaan “double track system” antara pidanapunish-ment dengan tindakantreatmentmeasures;
e. Ide mengefektifkan “non custodial measures alternatives to
imprisonment”. f.
Ide elastisitasfleksibilitas pemidanaan “elasticityflexibility of sentencing”;
g. Ide modifikasiperubahanpenyesuaian pidana “modification of
sanction”; the alterationannulmentrevocation of sanction”; “redetermining of punishment”;
h. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
i. Ide permaafan hakim “rechterlijk pardon””judicial pardon”;
j. Ide mendahulukanmengutamakan keadilan dari kepastian hukum;
24
Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan- ketentuan yang tidak ada dalam KUHP yang berlaku saat ini, yaitu antara lain:
24
Andi Hamzah, Op.Cit. hlm 81
Universitas Sumatera Utara
28 1.
adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” asas culpabilitas yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict
liability” dan “vicarious liability” Pasal 35; 2.
adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak “the age of criminal responsibility”; Pasal 46.
3. adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak Bab III Bagian
Keempat; 4.
adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak asas
diversi, Pasal 111; 5.
adanya pidana mati bersyarat Pasal 86; 6.
dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat Pasal 67 jo. 69;
7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-
menuhan kewajiban adat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup Pasal 62 jo 64;
8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturanpe-
doman pemidanaannya atau penerapannya Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137;
9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi pidana dan tindakan;
10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang
berdiri sendiri Pasal 64 ayat 2; 11.
dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na
tunggal Pasal 56-57;
Universitas Sumatera Utara
29 12.
dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa- laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif Pasal 58;
13. dimungkinkannya hakim memberi maafpengampunan “rechterlijk
pardon” tanpa menjatuhkan pidanatindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan Pasal 52
ayat 2. Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan memidana
si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut
dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”; Pasal 54 .
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hukum. Dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 di tegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum maka Negara
berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya tindak pidana atau kejahatan di masyarakat. Pencapaian tujuan itu tentulah harus dilaksanakan oleh
segenap komponen bangsa termasuk dalam konsep pemidanaan dan pelaksanaanya. Dalam pemidanaan itu sendiri prosesnya dari laporan dari masyarakat kepada
polisi, lalu polisi menyelidiki dan menyidik, setelah itu kasus dilimpahkan kepada kejaksaan. Kejaksaan akan memeriksa kasus, apakah bukti-buktinya sudah lengkap
atau belum, jika sudah maka jaksa akan melakukan penuntutan dan perkara akan diperiksa dan diputus di pengadilan. Dari serangkaian proses tersebut, pemeriksaan di
Universitas Sumatera Utara
30 setiap tahapnya memerlukan saksi sebagai alat bukti yang sah dan untuk mengetahui
kebenaran materiel yang sesungguhnya dari terjadinya tindak pidana.
25
Adanya keterangan dari saksi danatau korban yang mendengar, melihatmengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana merupakan salah satu alat
bukti yang sah yang mana dapat membantu hakim untuk benarbenar menyakinkan kesalahan terdakwa hampir semua proses peradilan pidana menggunakan keterangan
saksi. Keberhasilan suatu proses
peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap
atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan
dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.
Dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah
penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan alat bukti ”keterangan saksi”
yang merupakan alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Berkaitan dengan peranan saksi ini, seorang praktisi hokum
hakim, Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi dark number mengingat
dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli.
2. Pengertian Pornografi
Pornografi adalah
26
: 1. Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacuran atau prostitusi,
25
Muladi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta,2002,hal.201
26
Andi Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Bina Mulia, Jakarta, 1997, hal. 8
Universitas Sumatera Utara
31 2. Suatu ungkapan dalam bentuk tulisan tentang kehidupan erotik dengan hanya untuk
menimbulkan rangsangan seks kepada pembacanya atau yang melihatnya. Pornografi memang sering dipersepsikan dengan cara yang beragam.
Interpretasi pornografi diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi
sebagai seks berupa tampilan gambar,aksi maupun teks, namun ada juga pihak yang memandang pornografi sebagai seniart berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya,
cara bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan.
27
Namun jika dilihat dari asal katanya, sesungguhnya Pornografi berasal dari kata Yunani yaitu “porne” yang berarti pelacur dan “grape” yang berarti tulisan atau
gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan
pelacur.
28
Batasan pornografi dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang membatasi pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto,
film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi.
29
Sedangkan pornografi merupakan propaganda patriarchal yang
menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan laki-laki.
30
Pornografi adalah sebuah industri yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menyebarkan kekerasan terhadap
27
Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi, [Jakarta; Dewan Pers 1987], hal. 10-11
28
Ade Armando, Mengupas Batas Pornografi. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1
29
Neng Djubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, [Jakarta; Prenada Media, 2003, hal. 137
30
Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, [Bandung; Mujahid, 2002], hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
32 perempuan, pornografi mendehumanisasi seluruh perempuan dan pornografi
menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk menyebarkan pelecehan seksual.
31
Dari batasan-batasan tersebut di atas tampak bahwa pengertian pornografi telah mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya tulis atau
gambar, seiring dengan perkembangan teknologi media massa, ruang lingkup pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain seperti televisi,
radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Demikian pula yang menjadi objek tidak lagi hanya pelacur -dalam pengertian orangmanusia- atau kejalangan tetapi secara
perlahan pornografi mencakup semua materi yang melalui berbagai media dianggap melacurkan nilai atau seolah-olah berfungsi bak seperti pelacur. Dengan demikian
maka pornografi sampai pada batasan sebagai “materi” yang disajikan di media tertentu yang dapat dan atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak
atau mengeksploitasi seks.
32
Pengertian ‘pornografi’ secara umum telah dipahami oleh setiap individu. Dengan pola pikir individu yang berbeda, kata ‘pornografi’, terlepas dari konotasi
positif dan negatifnya, memiliki sejumlah arti yang hampir sama dalam keragaman komunitas masyarakat kita. Pornografi sering dikonotasikan dengan pertunjukan seks,
cabul, bagian tubuh terlarang yang dipertontonkan khususnya perempuan, dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau indidu yang menyaksikan terangsang
layaknya manusia normal.
33
Secara terminologi, pornografi merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris yang berasal dari kata dalam Bahasa Yunani ‘porne’ dan ‘graphos’ yang berarti
31
Gunawan, FX. R., 1993, Filsafat Pornografi, Bentang, Yogyakarta, hal. 15
32
Ibid, hal. 23
33
Tjipta Lesmana, Pornografi Dalam Media Massa Cet.I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 1995, hal.109
Universitas Sumatera Utara
33 gambaran atau tulisan mengenai wanita jalang. Atau dalam arti lain adalah tulisan
tentang wanita susila. Berikut ini beberapa definisi mengenai pornografi
34
:
Menurut definisi RUU Pornografi, Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi
danatau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual danatau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : Pornografi adalah penggambaran
tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang
untuk membangkitkan nafsu berahi.
Oxford English Dictionary : Pornografi adalah pernyataan atau saran mengenai hal-hal yang mesum atau kurang sopan di dalam sastra atau seni.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pornografi merupakan satu penyajian, baik dari visualisasi gambar, lukisan, foto, film, sampai diskripsi dalam
tulisan, yang kesemua itu terdapat unsur seks, cabul maupun tingkah laku yang bisa membangkitkan nafsu birahi seseorang, sehingga dengan dasar itu dapat
dikategorikan telah melecehkan hakekat dan martabat wanita, melanggar moral, ajaran agama, adat istiadat dan tradisi
Memuat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 1 angka 1: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
34
Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
34 melalui berbagai bentuk media komunikasi danatau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap
perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan
sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak,
dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, danatau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan,
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang
Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga Negara
.
3. Dampak Pornografi
Pornografi merupakan salah satu bentuk eksploitasi seks dan karenanya mempunyai korelasi dengan kekerasan terhadap perempuan karena pornografi
berdampak pada kekerasan domestik dan trafficking, pornografi sendiri merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menempat perempuan sebagai
Universitas Sumatera Utara
35 korban, namun pada saat yang bersamaan pornografi memposisikan perempuan
sebagai pelaku kriminalisasi walau sebenarnya perempuan adalah sebagai korban reviktimisasi.
35
Lebih jauh lagi –secara khusus- pornografi juga dianggap sebagai salah bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan di media massa karena: a media dengan
sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka, dengan demikian penggunaan pornomedia dilakukan secara terencana untuk mengabaikan,
menistakan dan mencampakkan harkat manusia, khususnya perempuan, b objek pornomedia umumnya tubuh perempuan dijadikan sumber kapital yang dapat
mendatangkan uang, sementara perempuan sendiri menjadi subjek yang disalahkan, c media massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilai-
nilai pendidikan dan agama serta tidak bertanggungjawab terhadap efek negatif yang terjadi di masyarakat, d selama ini berbagai pendapat yang menyudutkan perempuan
sebagai subyek yang bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari media harus berimbang,
e media massa secara politik menempatkan perempuan sebagai bagian dari kekuasaan mereka secara umum.
36
Dari ulasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan pornografi di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
akses terhadap situs porno yang dicatat melalui Googletrends yang menempatkan Indonesia pada urutan nomer dua di dunia. Hal ini tentu meresahkan bangsa. Sebab
kemudahan akses terhadap pornografi ini pada akhirnya akan melahirkan perilaku-
35
Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi Seri Pemulihan Diri, Yogyakarta: Yayasan Gloria, hal. 28
36
Kemal Dermawan, Mohammed, Strategi Pencegahan Kejahatan Pornografi, Citra Aditya
Bhakti, Bandung, 1994, hal 17
Universitas Sumatera Utara
36 perilaku menyimpang yang berujung pada dekadensi moral dan tindakan asusila.
Berikut ini adalah beberapa dampak yang diakibatkan dari pornografi
37
: a.
Resiko kultural pergeseran nilai-nilai. Pornografi dapat mengubah pola hidup masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap pantas berdasarkan norma
kesopanan maupun agama. Kemudahan akses terhadap pornografi dapat mempengaruhi pandangan umum atau masyarakat akan nilai-nilai kehidupan.
Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam
yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi.
b. Meningkatkanya kriminalitas. Melalui tayangan yang bersifat pornografi,
seseorang dapat mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan apa yang dipamerkan dalam tayangan pornografi tersebut. Kesalahan penyaluran
perilaku seksual ini dapat berujung pada tindak kriminalitas, seperti pemerkosaan, pencabulan, maupun tindak kekerasan, baik itu terhadap
perempuan bahkan anak-anak di bawah umur. c.
Resiko terhadap psikologis. Dari segi psikologis, seringnya mengkonsumsi tayangan yang bersifat pornografi dapat mengakibatkan kecanduan. Ada empat
tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi : 1 Adiksi atau ketagihan, 2 Eskalasi, yaitu peningkatan kualitas ketagihan
menjadi perilaku yang semakin menyimpang, 3 Desentisisasi, yaitu semakin menipisnya sensitifitas, dan 4 Acting Out, yaitu ketika pecandu pornografi
mulai melakukan tindak seksual. Pada tahap inilah tindakan asusila dan kriminalitas seksual dapat terjadi.
37
Op.Cit, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
37 Selain itu, pornografi dapat mengganggu perkembangan seksual anak-anak dan
remaja atau kaum muda. Hal ini dapat mengakibatkan kecenderungan untuk berhubungan seksual sebagai aktivitas fisik semata bukan sebagai sesuatu hal
yang sakral dalam ikatan pernikahan yang sah secara hukum dan agama. d. Resiko kesehatan. Berikut ini beberapa resiko kesehatan yang diakibatkan oleh
Penyakit Menular Seks PMS akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi
dalam kandungan, dan HIV AIDS. Kecanduan pornografi juga dapat merusak fungsi dan struktur otak.
F. Metode Penelitian
Dalam penguraian dan penulisan skripsi ini, penlis mengumpulkan data yang diperlukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :
Penelitian Kepustakaan Library Research Dalam hal ini berusaha mengumpulkan data-data melalui sarana kepustakaan,
yakni dengan cara mempelajari dan menganalisa secara sistematik buku-buku, peraturan-peraturan dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan materi
yang dibahas dalam skripsi ini. G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub- sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat
digambarkan sebagai berikut :
BAB I :
Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat
Universitas Sumatera Utara
38 Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
Perkembangan Peraturan Yang Berkaitan Dengan Pornografi Sebelum Keluarnya Uu No.44 Tahun 2008. Dalam bab ini berisi tentang
Pornografi kaitannya dengan UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, Pornografi Kaitannya dengan UU No.36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, Pornografi Kaitannya dengan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Pornografi Kaitannya dengan UU No.32 Tahun 2002
tentang penyiaran.
BAB III : Perbuatan Yang Termasuk Tindak Pidana Pornografi Menurut Uu
No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi . Dalam bab ini berisi tentang
Latar Belakang Lahirnya UU No.44 Tahun 2008, Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk kedalam lingkup tindak pidana pornografi, Sanksi
Pidana menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
BAB IV : Aspek Hukum Pidana Video Porno Di Dalam Uu No.44 Tahun 2008.
Dalam bab ini berisi tentang Penyebaran Video porno sebagai salah satu bentuk tindak pidana tindak pidana pornografi, Upaya Penegakan
Hukum terhadap Video Porno Menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Beberapa contoh kasus.
BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian
bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.
Universitas Sumatera Utara