11
alang-alang, semak yang biasanya memiliki kerapatan vegetasi sedang Arianti, 2006. Sementara Samsuri 2008 mengemukakan bahwa faktor-faktor utama
penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah tipe sistem lahan, tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan.
2.3. Kebijakan dan Ruang Lingkup Pengendalian Kebakaran Hutan
Kebijakan publik atau disebut juga kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan course of action, kerangka kerja framework, petunjuk guidelines,
rencana plan, peta map dan strategi yang dirancang untuk menerjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program dan tindakan untuk
mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial social welfare Suharto, 2008.
Salah satu kebijakan Pemerintah Indonesia adalah mengenai pengendalian kebakaran hutan. Dalam rangkaian kebijakan tersebut ada beberapa peraturan
perundangan yang terkait diantaranya adalah UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Peraturan
Pemerintah PP No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan. Menurut Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 47
huruf a perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.
Di dalam PP No. 4 tahun 2001 dinyatakan setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan dan pada Pasal 12
dinyatakan bahwa Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan. Untuk mengendalikan terjadinya kebakaran hutan, maka Pemerintah cq
Kementerian Kehutanan menetapkan kategori daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia berdasarkan jumlah hotspot dan peta rencana pembukaan wilayah
12
perkebunan, pertanian dan pertambangan. Kategori daerah kerawanan tersebut yaitu kategori rawan I, rawan II dan rawan III. Tindak lanjutnya pada daerah
yang masuk kategori rawan I dibentuklah Brigdalkarhut-Manggala Agni, melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.
21KPTSDJ-1V2002 tentang Pedoman Brigdalkarhut di Indonesia dan No. 22KPTSDJ-IV2002 tentang Brigdalkarhut di Provinsi Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang secara riil di lapangan terwujud pada tahun 2003 yang selanjutnya disebut Daerah Operasi DAOPS.
Kemudian berdasarkan keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor No. SK. 113IV-PKH2005 tanggal 11 November 2005 dibentuk Brigade Pengendalian
Kebakaran Hutan Manggala Agni di Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi pemantauan hotspot semakin intensif. Menurut Albar 2009, Kementerian Kehutanan memiliki
stasiun penerima data hotspot dari satelit NOAA yang berbasis Sistem Informasi Geografis. Pemantauan ini dilakukan secara harian dan datanya dikirimkan
kepada seluruh UPT Kementerian Kehutanan di seluruh Indonesia. Namun hotspot
ini hanya bersifat early warning bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak menggambarkan kejadian kebakaran hutan yang sesungguhnya karena
hotspot itu sendiri tidak semuanya yang merupakan titik api yang sebenarnya,
hotspot hanya merupakan titik panas, bisa berasal dari kebakaran hutan,
pembakaran skala besar, pantulan panas dari seng dan sebagainya. Selain Kementerian Kehutanan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
LAPAN juga memiliki sistem pemantauan kebakaran, namun dengan ambang batas treshold suhu yang berbeda.
Selanjutnya hal ini menjadi dasar utama penetapan daerah rawan kebakaran hutan. Daerah dengan kategori rawan I artinya frekuensi kebakaran
lahan atau hutan sangat sering terjadi yang diamati dari data jumlah hotspot yang terpantau pada tahun-tahun sebelumnya 1997-2001 baik dari stasiun penerima
Departemen Kehutanan, LAPAN, maupun ASEAN Specialized Meteorological Center
ASMC Singapura. Selain itu penetapan daerah rawan ini juga
13
berdasarkan rencana
pembukaan wilayah
perkebunan, pertanian
dan pertambangan Sukrismanto, 2009.
2.4. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Pusat Terkait dengan Pengendalian Kebakaran Hutan