Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat.

47 dan alang-alang serta semak yang memiliki kerapat sedand merupakan faktor biofisik yang memiliki pengaruh terhadap kebakaran hutan dan laha. Sedangkan kejadian kebakaran pada lahan perkebunan, hutan tanaman indusri, lahan pertanian kering, sawah, pertambangan membuktikan adanya proses penyiapan lahan dan kejadian kebakaran yang terjadi pada kawasan HTI juga merupakan indikasi dari adanya kegiatan penyiapan lahan. Hal ini sejalan dengan hasil Penelitian Kayoman 2010 bahwa faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah aktivitas manusia, jarak terhadap jalan, penggunaan lahan, faktor biofisik yang dipengaruhi tutupan lahan dan jumlah curah hujan, Sedangkan pembukaan lahan hutan, penyiapan lahan dan pengolahan lahan dilakukan dengan cara membakar disebabkan pembukaan lahan atau hutan dengan cara membakar lebih cepat dan murah serta tidak memerlukan tenaga yang banyak. Hal ini sesuai yang dikemukakan KLH1998 yang menyatakan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hanya memerlukan waktu 28 HOK Hari Orang Kerja, sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK dtambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder.

5.2. Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat.

Analisis ini menggunakan metode content analysis untuk mengetahui hubungan antara peraturan perundangan atau kebijakan yang terkait dengan masalah yang sama apakah terdapat relevansinya dan apakah ada kesenjangan gap yang terjadi antara peraturan perundangan tersebut. Untuk itu dipilih kata kunci keywords yang dianggap relevan yaitu kebakaran hutan, kebakaran lahan, wewenang pemerintah pusat, wewenang pemerintah provinsi, wewenang pemerintah kabupatenkota, pengendalian kebakaran hutanlahan, kerawanan kebakaran hutan, kewajiban pelaku usaha, kewajibanperan serta masyarakat dan sanksi. untuk lebih jelasnya hasil content analysis dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Kalimantan Barat No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan 1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan - kebakaran hutan √ x pasal 47 huruf a, pasal 50 ayat 3 huruf d dan l, pasal 48 - kebakaran lahan x x - wewenang pemerintah pusat √ √ pasal 4 ayat 2, pasal 5 ayat 3, pasal 48 ayat 1-2, pasal 51, pasal 61-66 - wewenang pemerintah provinsi √ x Pasal 60, pasal 62-63, pasal 66 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x - kewajiban pelaku usaha √ √ Pasal 48 ayat 3, pasal 49, pasal 50 ayat 2, pasal 50 ayat 3 huruf d dan i - kewajibanperan serta masyarakat √ √ Pasal 4 ayat 3, pasal 32, Pasal 48 ayat 3, pasal 50 ayat 3 huruf d dan i, pasal 60, pasal 61 ayat 2, pasal 64, pasal 67- 71 - pengendalian kebakaran hutanlahan √ √ Pasal 47, pasal 50 ayat 1 - rawan kebakaran hutan x x - sanksi √ x Pasal 78 ayat 3, 4 dan 11 sanksi pidana, pasal 80 ayat 1-2 2. UU 18 tahun 2004 tentang Perkebunan - kebakaran hutan x x - - kebakaran lahan √ √ Pasal 18, Pasal 25 ayat 1, ayat 2 hurufc, pasal 26 - wewenang pemerintah pusat √ x Pasal, 18, pasal 44, pasal 45 - wewenang pemerintah provinsi √ x Pasal 18, Pasal 44 - wewenang pemerintah kabupatenkota x x - - kewajiban pelaku usaha √ √ Pasal 20, Pasal 25 ayat 1, pasal 26, penjlasan pasal 21 - kewajibanperan serta masyarakat √ √ Pasal 18, pasal 20, pasal 22, penjelasan pasal 21 - pengendalian kebakaran hutanlahan √ √ Pasal 25 ayat 1, ayat 2 huruf c, - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi √ √ Pasal 47, Pasal 48 sanksi pidana, pasal 49 3. Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana - kebakaran hutan x √ Pasal 1 definisi Bencana, penjelasan - kebakaran lahan x √ Pasal 1 definisi Bencana, penjelasan - wewenang pemerintah pusat √ √ Pasal 7, Pasal 13 - wewenang pemerintah provinsi √ √ Pasal 9, 18, 51, penjelasan - wewenang pemerintah kabupatenkota √ √ Pasal 9, 18, 51, penjelasan 49 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajibanperan serta masyarakat √ √ Pasal 59, pasal 60, pasal 69, pasal 72, penjelasan - pengendalian kebakaran hutanlahan x √ Pasal 11, pasal 13, - rawan kebakaran hutan x √ Pasal 1, pasal 21, pasal 32, pasal 47, penjelasan - sanksi √ √ Pasal 42, pasal 72, penjelasan 4. UU nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup - kebakaran hutan √ √ Pasal 21 ayat 3 huruf c - kebakaran lahan √ x Pasal 21 ayat 3 huruf c , Pasal 108 - wewenang pemerintah pusat √ x pasal 82 ayat 1-2, pasal 63, pasal 94 - wewenang pemerintah provinsi √ x pasal 82 ayat 2, pasal 39, pasal 63,pasal 64, pasal 94 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x pasal 82 ayat 2, pasal 39, pasal 63, pasal 64, pasal 94 - kewajiban pelaku usaha x √ Pasal 49, - kewajibanperan serta masyarakat √ √ Pasal 25, Pasal 26, Pasal 70, pasal 91 - pengendalian kebakaran hutanlahan √ √ Pasal 39, Pasal 108 - rawan kebakaran hutan x √ Pasal 39 - sanksi √ √ Pasal 76-78, pasal 80 ayat 1 -2, pasal 81-83, pasal 87 ayat 1 – 4, Pasal 108 5. PP Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau lahan - kebakaran hutan √ x Pasal 1 ayat 8-10, pasal 11, pasal 13, pasal 14 ayat 1, pasal 15, pasal 17, pasal 18 ayat 1, Pasal 20, pasal 21 ayat1 - kebakaran lahan √ x Pasal 1 ayat 8-10, pasal 11, pasal 13, pasal 14 ayat 1, pasal 15, pasal 17, pasal 18 ayat 1, Pasal 20, pasal 21 ayat1 - wewenang pemerintah pusat √ x Pasal 23-26, pasal 34 ayat 3, pasal 43 ayat 1, pasal 44 - wewenang pemerintah provinsi √ x pasal 28-29, pasal 34 ayat 2, Pasal 36 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x pasal 30-31, Pasal 33, pasal 34 ayat 1, Pasal 35 - kewajiban pelaku usaha √ x pasal 11, pasal 13, pasal 14 ayat 1, pasal 15, pasal 17, pasal 18 ayat 1, Pasal 20, pasal 21 ayat1, pasal 51, - kewajibanperan serta masyarakat √ x Pasal 19, pasal 42-43, pasal 45-46 - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x pasal 14 ayat 1, pasal 17, pasal 18 ayat - rawan kebakaran hutan - - sanksi √ x Pasal 48, pasal 49, pasal 52 50 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan 6. PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan - kebakaran hutan √ √ Pasal 2 ayat 1, Pasal 6 huruf a, Pasal 8 ayat 4, Pasal 19 ayat 1- 2, Pasal 22 ayat , 1 pasal 23 ayat 1 huruf c, pasal 24 ayat 5-6, pasal 24 ayat 5-6, pasal 26 - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat √ √ pasal 3 ayat 1 , Pasal 19 ayat 3 izin Pemb terkendali, Pasal 20 ayat 3, pasal 21 ayat 1, Pasal 22 ayat 1 dan 4 23 ayat 1 huruf a dan e, pasal 24 ayat 5-6, pasal 25 - wewenang pemerintah provinsi √ √ pasal 3 ayat 1, Pasal 3 ayat 3, Pasal 8-11, pasal 20 ayat 4, pasal 21 ayat 2, pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1 huruf b, pasal 24ayat 4 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ √ pasal 20 ayat 5, pasal 21 ayat 3, Pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1 huruf c, pasal 24ayat 3 - kewajiban pelaku usaha √ √ Pasal 8 ayat 1- 4, pasal 10 ayat 1-2, pasal 19 ayat 1-3, pasal 20 ayat 6, pasal 21 ayat 4, pasal 24 ayat 1- 2, pasal 26 ayat 1-2 - kewajibanperan serta masyarakat Pasal 9 ayat 1 masy.adat - pengendalian kebakaran hutanlahan √ √ Pasal 10 ayat 2, Pasal 19 ayat 2, pasal 20 ayat 3-6, pasal 21 ayat 1, pasal 21 ayat 4, Pasal 22 ayat 3-4, pasal 23,pasal 24 ayat 1, pasal 24 ayat 5-6, pasal 26, pasal 28 ayat 1-2 - rawan kebakaran hutan √ x Pasal 16, pasal 23, - sanksi √ x Pasal 30 perdata dan pidana, Pasal 31 7. P No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota - kebakaran hutan x x - - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat √ x Pasal 2-5, pasal 9-10, pasal 15, pasal 16 ayat 1 -2, pasal 17-18 - wewenang pemerintah provinsi √ x Pasal 6-8, pasal 11-12, pasal 13-14, pasal 16 ayat 3, pasal 19 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x Pasal 6 -8, pasal 11-12, pasal 13-14, pasal 16 ayat 4 - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajibanperan serta masyarakat x x - - pengendalian kebakaran hutanlahan x x - - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi x x - 51 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan 8. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom - kebakaran hutan x √ Pasal 2 - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat √ √ Pasal 3, pasal 5 ayat 1, pasal 6-8 - wewenang pemerintah provinsi √ √ Pasal 3, pasal 5 ayat 2, pasal 9 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ √ Pasal 4 - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajibanperan serta masyarakat x x - - pengendalian kebakaran hutanlahan x x - - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi x x - 9. Peraturan menteri Kehutanan Nomor : P.12Menhut-II2009 - kebakaran hutan √ √ Pasal 1 - kebakaran lahan x x - - wewenang pemerintah pusat √ √ Pasal 5, pasal 6, pasal 20-33, pasal 40 - wewenang pemerintah provinsi √ √ Pasal 7-8, pasal 17, pasal 20-33, pasal 40 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ √ Pasal 10-11, pasal 17, pasal 20-33, pasal 40 - kewajiban pelaku usaha √ √ Pasal pasal 13, pasal 20-33, pasal 39, pasal 40 - kewajibanperan serta masyarakat √ √ Pasal 34-38 - pengendalian kebakaran hutanlahan √ √ Pasal 5-16, pasal 18-19 - rawan kebakaran hutan √ √ Pasal4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10 - sanksi x x - 10 Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 21KptsDJ-IV2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaaran Hutan Brigdalkarhut di Indonesia - kebakaran hutan √ x Berupa SK pembentukan brigdalkarhut di Indonesia, Lampiran keputusan berupa panduan dan susunan komando brigdalkarhut mekanisme, anggota, regu, sarana prasarana satndar, susuanan organisasi, dsb. - kebakaran lahan √ x Lampiran Keputusan - wewenang pemerintah pusat √ x Lampiran Keputusan - wewenang pemerintah provinsi √ x Lampiran Keputusan - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x Lampiran Keputusan - kewajiban pelaku usaha x x Lampiran Keputusan 52 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan - kewajibanperan serta masyarakat x x Lampiran Keputusan - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x Lampiran Keputusan keanggotaan Brigdalkarhut - rawan kebakaran hutan x √ - - sanksi x x - 11 Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 22KptsDJ-IV2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah - kebakaran hutan √ x Berupa SK pembentukan brigade pengendalian kebakaran htan Brigdalkar di beberapa daerah, penjelasan - kebakaran lahan √ x penjelasan - wewenang pemerintah pusat √ x penjelasan - wewenang pemerintah provinsi √ x Penjelasan - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x Penjelasan - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajibanperan serta masyarakat x x - - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x penjelasan - rawan kebakaran hutan √ x penjelasan - sanksi x x - 12. Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 30KptsDJ-IV2002 tentang Pemebentukan Pos Komando Pengendalian kebakaran Hutan Nasional - kebakaran hutan √ x Pasal 1 berupa SK personil Pusdalkarhutnas - kebakaran lahan x x - wewenang pemerintah pusat √ x Pasal 1-10 - wewenang pemerintah provinsi x √ - wewenang pemerintah kabupatenkota x √ - kewajiban pelaku usaha x x - kewajibanperan serta masyarakat x x - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x - rawan kebakaran hutan x √ - sanksi x x 53 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan 13. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 mengenai Pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan - kebakaran hutan √ x Pasal 1 huruf g, pasal 2-3, pasal 4 ayat 1, pasal 8, - kebakaran lahan √ x Pasal 1 huruf g, pasal 2-4, pasal 4 ayat 1, pasal 8, - wewenang pemerintah pusat x √ Pasal 9 - wewenang pemerintah provinsi √ x Pasal 9, pasal 12, pasal 15, 19 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x Pasal 9, pasal 12, pasal 16, pasal 17 - kewajiban pelaku usaha √ x Pasal 5, pasal 6, pasal 7 ayat 2, pasal 10, pasal 12 - kewajibanperan serta masyarakat √ x Pasal 5, pasal 7 ayat 1, pasal 11-12 - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x Pasal huruf h-l, Pasal 4 ayat 2, pasal 8, pasal 13-15 - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi √ x Pasal 18 14. Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap Protap Mobilisasi sumberdaya penegndalian kebakaran hutan dan lahan - kebakaran hutan √ x Pasal 1 - kebakaran lahan √ x Pasal 1 - wewenang pemerintah pusat x Pasal 10, pasal 15 ayat 5, pasal 36 - wewenang pemerintah provinsi √ x Pasal 15 ayat 1-2, pasal 19, pasal 20 ayat 1, pasal 21, pasal 24, pasal 27-29, pasal 36 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x Pasal 8-9, pasal 15 ayat 1 dan 3-5, pasal 20 ayat2-3, pasal 22- 23, pasal 25-26, pasal 30, - kewajiban pelaku usaha √ x Pasal 10, pasal 12, pasal 15 ayat 6, pasal 35 ayat 1 - kewajibanperan serta masyarakat x Pasal 31-34, pasal 35 ayat 1 - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x Pasal 1-7, pasal 10, pasal 13-14, pasal 16-19, - rawan kebakaran hutan √ x Pasal 5, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, - sanksi x x - 15. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah - kebakaran hutan √ x Pasal 1 - kebakaran lahan √ x Pasal 1 - wewenang pemerintah pusat x √ Pasal 13 - wewenang pemerintah provinsi √ x Pasal 1 ayat 2, pasal 2-8, pasal 12, pasal 16 - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x Pasal 1 ayat 2, pasal 9-11, pasal 12, pasal 16 - kewajiban pelaku usaha x x - - kewajibanperan serta masyarakat √ x Pasal 12 54 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x Pasal 1 - rawan kebakaran hutan x x - - sanksi x x - 16. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 311 Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Yustisi Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat - kebakaran hutan √ x Berupa SK penunjukan personil pemebntukan tim yustisi kebakaaran hutan dan lahan yang personilnya kepala pejabat daerah yang dianggap tugasnya dainggap relevan. - kebakaran lahan √ x - wewenang pemerintah pusat √ x - wewenang pemerintah provinsi √ x - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x - kewajiban pelaku usaha √ x - kewajibanperan serta masyarakat √ x - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x - rawan kebakaran hutan x x - sanksi x x 17. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 267 Tahun 2003 Tentang Pemebntukan Tim Action Plan Sterilisasi Kawasn Bandara Supadio dari Asapa Akibat Kebakaran Lahan - kebakaran hutan √ x Berupa SK penunjukan personil pemebntukan tim yustisi kebakaaran hutan dan lahan yang personilnya kepala pejabat daerah yang dianggap tugasnya dainggap relevan. - kebakaran lahan √ x - wewenang pemerintah pusat √ x - wewenang pemerintah provinsi √ x - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x - kewajiban pelaku usaha √ x - kewajibanperan serta masyarakat √ x - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x - rawan kebakaran hutan x x - sanksi x x 55 No Peraturan Perundangan Keyword Tersurat Sintaktikal Tersirat Semantikal Keterangan 18. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 24 Tahun 2009 tentang Pembentukan Pos Tanggap Darurat Penanggulangan Bencana AsapKebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat - kebakaran hutan √ x Berupa SK penunjukan personil pemebentukan tim yustisi kebakaaran hutan dan lahan yang personilnya kepala pejabat daerah yang dianggap tugasnya dainggap relevan. - kebakaran lahan √ x - wewenang pemerintah pusat √ x - wewenang pemerintah provinsi √ x - wewenang pemerintah kabupatenkota √ x - kewajiban pelaku usaha √ x - kewajibanperan serta masyarakat √ x - pengendalian kebakaran hutanlahan √ x - rawan kebakaran hutan x x - sanksi x x Hampir semua peraturan perundangan yang dianalisis memiliki semua keywords yang dipilih terkait dengan pengendalian kebakaran hutan yaitu kebakaran hutan, kebakaran lahan, wewenang pemerintah pusat, wewenang pemerintah provinsi, wewenang pemerintah kabupatenkota, kewajiban pelaku usaha kewajibanperan serta masyarakat, penanggulanganpengendalian kebakaran hutanlahan, rawan kebakaran dan sanksi. Khusus untuk kata kunci rawan kebakaran hutan hanya ditemukan pada Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 22KptsDJ-IV2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Permenhut No. P.12Menhut-II2009 dan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap Protap Mobilisasi sumberdaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dari segi peraturan sendiri UU nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sangat baik dari segi penggambaran wewenang, namun tidak spesifik mengarah ke pengendalian kebakaran hutan namun dari segi sanksi sangat baik bagi pelaku pembakaran hutan atau lahan. Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan sangat lengkap sebagai panduan bagi pelaku usaha di bidang perkebunan dari segi kewajiban hingga sanksi yang diberikan. Sedangkan PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan lebih banyak membahas masalah perlindungan hutan, masalah kebakaran lahan tidak ditemukan, sedangkan dari segi sanksi sudah cukup baik. PP Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran Lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran hutan dan atau lahan lebih spesifik membahas mengenai pencemaran lingkungan akibat kebakaran hutan dan lengkap dengan aturan pengendalian kebakaran hutan, wewenang pemerintah di semua lini terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta sanksi Peraturan pemerintah daerah Kalimantan Barat cukup baik namun lebih banyak aturan teknis mengenai mobilisasi, pembentukan badan pengendalian kebakaran hutan dan lahan daerah, sedangkan yang memuat sanksi hanya 57 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 mengenai Pencegahan dan penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, itupun dengan sanksi yang sangat kecil. Pada Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Barat No. 164 Tahun 2002, Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 311 Tahun 2002 dan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 267 Tahun 2003, memperlihatkan itikad baik pemerintah daerah untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan, namun kerjasama dengan UPT pusat kurang terlihat karena UPT pemerintah pusat yang ada di daerah seperti Balai KSDA Sumber Daya Alam Kalimantan Barat tidak diikutsertakan dalam kegiatan ini, namun pada Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor, 24 Tahun 2009 pemerintah daerah dan pusat terkoordinasi dengan dimasukannya BKSDA Kalimantan Barat dalam pos tanggap darurat penanggulangan bencana asap kebakaran hutan dan lahan Kalimantan Barat. Selain itu pihak perguruan tinggi juga dimasukan dalam peraturan ini. Yang mengindikasikan kesiapan di semua segi. Peraturan pemerintah kabupatenkota mengenai pengendalian kebakaran hutan tidak ditemukan sehingga boleh dibilang perangkat aturan daerah kurang memadai. 5.3. Hubungan Sebaran Titik panas, Perubahan Penutupan Lahan dan Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan Hasil analisis sebaran hotspot pada daerah Administrasi terlihat bahwa Kabupaten Ketapang, Sintang dan Sanggau serta Landak merupakan Kabupaten yang meimiliki jumlah hotspot tertinggi. Dari hasil analisis ini juga terlihat bahwa Kabupaten-kabupaten tersebut memiliki jumlah pertumbuhan penduduk yang tinggi dan jumlah lahan perkebunan, belukar dan tanah kering terluas. Peraturan penegndalain kebakaran di tingkat daerah hanaya ada pada tingkat Provinsi seperti yang telah disebutkan pada tabel 17. Namun pada daerahkabupaten kota khususnya yang tersebut di atas tidak memiliki perangkat peraturan perundangan yang mengadopsi kebijakan mengenai pengedalian kebakaran hutan maupun lahan di daerah tersebut. 58 UPT pemerintah pusat telah memiliki Daops di Kabupaten Ketapang dan Sintang yang memiliki jumlah hotspot tertinggi tersebut. Namun tugas pokok dan fungsi Daops tersebut adalah penanganan pengendalian kebakaran hutan pada kawasan konservasi. Selanjutnya dari hasil analisis sebaran hotspot pada jenis penggunaan lahan maka kerawanan kebakaraan tertinggi terjadi pada hutan produksi HP diikuti areal penggunaan lain APL dan hutan produksi konversi sebesar HPK. Peraturan perundangan yang mengatur tentang pengendalian kebakaran hutan di hutan produksi telah ada terutama di tingkat pusat yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa setiap pemegang izin usaha diwajibkan melakukan perlindung hutan pada areal kerjanya. Sedangkan pada PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan bahwa kegiatan perlindungan hutan menjadi tanggung jawab pemegang hak pengelolaan hutan produksi tersebut dan pengawasannya dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Namun tampaknya implementasi kebijakan peraturan ini tidak berjalan, mulai dari ketidapatuhan pelaku usaha sampai kelemahan pengawasan dari pemerintah pusat maupun daerah. Pada PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan juga dijelaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab terhadap semua kebakaarn hutan dan lahan yang terjadi pada lokasi usahanya dan setiap penanggung jawab usaha harus memiliki sarana dan parasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Di Provinsi Kalimantan Barat perusahaan kehutanan yang memiliki sarana prasarana Pengendalian Kebakaran Hutan hanya PT. Finantara Intiga HTI. Pemegang izin usaha hutan di Kalimantan Barat sangat banyak, namun samapia saat ini belum ada yang mendapat sanksi baik administratif maupun pidana terkait dengan kelalaian ini. Padahal sanksi ini jelas tercantum pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. PP Nomor 4 tahun 2001, PP 45 Tahun 2004. Sementara itu peraturan perundangan yang terkait dengan pengendalian kebakaran di kawasan non hutan seperti areal penggunaan lain APL yang terdiri 59 atas perkebunan, lahan pertanian dan sebagainya. Peraturan pada tingkat pusat telah ada yaitu UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 41 Tahun 2001 serta peraturan pada daerah provinsi Perda Kalimantan Barat No 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Sektor perekebunan telah memilki peraturan perundang pokok yaitu UU No. 18 Tahun 2004 namun peraturan teknis yang terkait tidak ditemukan. Sedangkan peraturan pada daerah kabupatenkota juga tidak ditemukan. Implementasi kebijakan pada sektor ini juga dinilai kurang. Dari sejumlah perusahaan perkebunan di Kalimantan Barat hanya PT Citra Usaha Lestari perkebunan kelapa sawit yang telah memiliki regu dan sarana prasaran pengendalian kebakaran hutan walaupun masih di bawah standar yang ditetapkan. Hal ini seharusnya bila diawasi dengan baik, dapat diberikan sanksi baik secara administratif, perdata maupun pidana seperti yang telah tercantum pada UU No. 18 Tahun 200 Tahun 2004 dan PP 4 Tahun 2001. Namun sampai saat ini hal tersebut belum dilakasanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten. Sementara itu berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat terdapat indikasi yang kuat antara perubahan penutupan lahan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hampir semua areal yang mengalami perubahan penutupan lahan memiliki tingkat kerapatan hotspot yang tinggi. Kejadian kebakaran hampir sebagian besar terjadi pada lahan non hutan. Dengan kondisi seperti ini peraturan perundangan yang mendukung tentang pengendalian kebakaran lahan telah tersedia yaitu UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 41 Tahun 2001 serta peraturan pada daerah provinsi Perda Kalimantan Barat No 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Semua pertauran yang ada bukan belum didukung oleh aturan teknis yang seharusnya ada untuk mengatur teknis pelaksanaan penegendalian kebakaran lahan di lapangan. Peraturan ini seharusnya 60 ada di tingkat daerah kabupatenkota karena kejadian kebakaran lahan ini merupakan wilayah kerja pemerintah daerah kabupawenkota. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan di Provinsi Kalimantan Barat terlihat bahwa kejadian kebakaran di kawasan hutan masih cukup tinggi terutama yang diakibatkan oleh perubahan fungsi lahan jhutan menjadi peruntukan lain. Hal ini sangat disayangkan karena peraturan perundangan yang ada di bidang pengendalian kebakaran hutan sudah cukup baik dan memadai yaitu UU No. 41 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. PP Nomor 4 tahun 2001, PP 45 Tahun 2004, Perda Kalimantan Barat No 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Permenhut Nomor : P.12Menhut- II2009 hingga Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 21KptsDJ-IV2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaaran Hutan Brigdalkarhut di Indonesia, Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 22KptsDJ-IV2002 tentang Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; Keputusan Dirjen PHKA Nomor : 30KptsDJ-IV2002 tentang Pemebentukan Pos Komando Pengendalian kebakaran Hutan Nasional, Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap Protap Mobilisasi sumberdaya penegndalian kebakaran hutan dan lahan. permasalahan saja. Khusus di kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan bahkan telah memiliki Regu Pengedalian Kebakaran Hutan Brigdalkarhut Manggala Agni yang berkeddudukan di Daops. Kalimantan Barat memiliki 5 Daops yaitu di Daops Pontianak di Kabupaten Kubu Raya, Daops Singkawang di Kota Singkawang, Daops Sintang di Kabupaten Sintang, Daops Ketapang di Kabupaten Ketapang dan Daops Semitau di Kabupaten Sintang. Empat Daops pertama berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Kalimantan Barat, sedangkan Daops Putusibau berada di bawah pengelolan Balai taman Nasional Danau Sentarum. Selain Daops yang memiliki personil manggala agni dan sarpras yang lebih 61 lengkap, Taman nasional Gunung palung juga memliki Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dengan Sarpras ex proyek JICA. Sedangkan Taman Nasional lain di Provinsi Kalimantan Barat tidak memiliki pasukan Brigdalkarhut. Lingkup kegiatan Brigdalkar meliputi serangkaian proses kegiatan yang terdiri dari pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran hutan baik dari darat maupun udara. Ketiga kegiatan tersebut dilaksanakan secara lengkap, seimbang dan proporsional Pencegahan kebakaran hutan adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan ini pada dasarnya dilakukan sepanjang tahun, tetapi dalam pentahapan kesiagaan dikategorikan dalam SIAGA III. Kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya kebakaran hutan; pembangunan saranaprasarana fisik seperti sekat bakar, menara pengamat api, embung, jalur hijau dan lain-lain; pengembangan sumberdaya pengendalian baik sumberdaya manusia SDM, peralatan dan pendanaan melalui rekruitmen dan pelatihan, identifikasi dan pengadaan peralatan dan pendanaan; dan pengkajian dan penerapan ilmu dan teknologi kebakaran hutan seperti pembakaran terkendali, pengelolaan bahan bakar, peringatan dini, deteksi dini dan lain-lain. Terkait dengan kegiatan pencegahan yang dilakukan di Kalimantan Barat, Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan menggandeng pihak luar yaitu Japan International Corporation Agency JICA dan Canadian Forest System CFS, Lembaga Penerbangan dan Antarikasa Nasional LAPAN, Badan Meteorologi dan Geofisika BMG dan Badan Penelitian dan Pengembangan Tekhnologi BPPT. Kegiatan yang dilakukan dengan JICA merupakan pilot project awal dari sebelum terbentuknya Daops hingga saat ini. Pada tahun 2000 JICA memfasilitasi pembentukan Brigdalkar di Taman Nasional Gunung Palung Kalimantan Barat. Namun saat ini pembantuan JICA ini lebh terpusat pada pemberdayaan masayarakat di tingkat desa terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada tahun 2004 juga dikembangkan kerjasama antara CFS, BMG, LAPAN dan BPPT mengenai Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK. SPBK ini sangat baik dan sangat responsif terhadap kondisi yang terjadi di 62 lapangan. SPBK ini dikembangkan untuk kegiatan pengendalian kebakaran hutan dibutuhkan data cuaca on site, sedangkan BMG Kalimantan Barat hanya memiliki 7 tujuh stasiun pengamatan yang umumnya terletak di bandara setempat. Pada kegiatan ini dibutuhkan Automatic Weather System AWS namun alat ini sudah rusak dikarenakan tidak cocok dengan iklim tropis dan biaya perbaikan alat ini sangat besar, sehingga otomatis kegiatan SPBK ini sementara ini terhenti dan dalam pengendalian kebakarn hutan hanya mengandalkan data hotspot yang dikirimkan melalui miling list sipongi sipongiyahoogroups.com Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dilakukan pada musim siaga I dan II mencakup pra-pemadaman pada siaga II, pemadamanpenyerangan dan mop-up patroli dan pemadaman sisa-sisa pada siaga III. Kegiatan pemadaman yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat telah dilakukan dengan cukup baik. Namun hal ini terkendala apabila ada kebakaran di luara kawasan konservasi, dimana brigdalkarhut hanya mempunyai kewenangan perbantuan saja dan tidak diizinkan untuk memakai dana operasional yang ada untuk kegiatan ini. Hal ini juga di sebabkan karena Pemerintah daerah tidak memiliki pasukan pengendali kebakaran sendiri, Daops seringkali dijadikan ujung tombak pengendalian kebakaran hutan baik di kawasan hutan maupun lahan. sesuai dengan kebutuhan setempat. Saat ini posisi Daops yang dikepalai oleh Kepala Daops berada di bawah pengelolaan Balai KSDATN setempat. Hal ini membuat Daops tidak indipenden dan sulit melakukan koordinasi dengan aparat pemerintah daerah karena kepala Daops bukan merupakan jabatan struktural. Selain itu Kepala Daops juga tidak memiliki kewenangan dalam hal pengelolaan keuangan Daops sehingga seringkali hal ini menyebabkan kesulitan dalam penanganan kebakaran secara cepat di lapangan. Selain itu kondisi Daops di Kalimantan Barat yang jauh dari kawasan konservasi juga cukup menyulitkan tugas Daops. Daops yang letaknya berhampiran dengan kawasan konservasi hanya Daops Putussibau yang berada di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum. Sedangkan yang lain jauh dari kawasan konservasi bahkan Daops Pontianak yang terletak di Kabupaten Kubu Raya wilayah kerjanya tidak memiliki kawasan konservasi. 63 Jumlah personil yang dimiliki Daops bila dibandingkan dengan wilayah kerja Daops dinilai tidak sebanding. Terkadang Daops hanya memiliki 3 regu yang masing-masing regu terdiri dari 15 orang. Apabila Daops yang ada ingin dipertahanakan, penulis berpendapat sebaiknya lokasi daops juga harus ditinjau ulang. Selain itu status anggota Manggala Agni yang merupakan tenaga kontrak juga menyebabkan kaderisasi personil Manggala Agni sering tidak berhasil., karena personil yang mahir biasanya akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Walaupun hubungan antara jumlah titik panas di kawasan konservasi dan keberadaan Daops diasumsikan positif namun dari pelaksanaan kebijakan belum efektif karena masih tingginya jumalah kejadian kebakaran hutan yang diindikasdikan dengan tingginya hotspot yang terpantau dan luasan kebakaran sesuai dengan Renstra Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan tahun 2010- 2014. Indikator penilaian keberhasilan kinerja pengendalian kebakaran hutan berdasarkan penurunan titik panas dan pengurangan luasan kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran hutan dinilai berhasil bila terjadinya penurunan tren titik panas yang signifikan berdasarkan rerata. Saat ini penurunan titik panas 20 dan luasan kebakaran hingga 50 per tahun dari rerata 2004-2009 merupakan indikator kinerja Kementerian Kehutanan Renstra Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan 2010-2014. Namun hal ini terkendala pada data luas areal kebakaran hutan dan lahan yang dirilis oleh Pemerintah seringkali tidak akurat dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hal ini disebabkan penghitungan luas kebakaran hutan masih merupakan perkiraan yang disebabkan kurangnya kemampuan SDM dalam hal penggunaan perangkat yang ada untuk memperkirakan luasan kebakaran. Selain itu titik panas hanya peringatan dini yang belum tentu merupakan titik api sebenarnya, dan adakalanya titik panas ini mengalami kesalahan. Terkadang titik panas ada tetapi kejadian kebakaran tidak ada ataupun kejadian kebakaran ada tetapi tidak terdeteksi sebagai titik panas oleh satelit. Selain itu, sejak tahun 2002 semenjak berdirinya Daops Sampai saat ini Kementerian Kehutanan sebagai penanggung jawab nasional Pengendalian 64 kebakaran kehutanan belum memiliki standar atau kriteria penetapan suatu daerah sebagai daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Upaya untuk merangkul masyarakat sudah mulai dilakukan oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dengan cara memperkenalkan pengolahan lahan tanpa bakar PLTB dan membentuk Masyarakat Peduli Api MPA dengan tujuan mengetuk kesadaran masyarakat lokal untuk menyadari besarnya masalah ini. Namun saat ini cara ini belum begitu efektif. Kegiatan pemeberdayaan madayarakat ini terbentur dengan pola pikir dan budaya masyarakat pada umumnya. Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa angota masyarakat kebanyakan masyarakat kebakaran lahan dan hutan merupakan hal biasa dan asap hasil kebakaran hutan dan lahan ini tidak terlalu mengganggu aktivitas mereka terkecuali bila sampai pada tahapan yang sangat berat. Hal ini dipengaruhi dan mempengaruhi kultur bertani masyarakat yang masih melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, walaupun pemerintah memberikan penyuluhan mengenai pembukaan lahan tanpa bakar namun praktik pembukaan lahan dengan cara membakar tetap dilakukan karena dinilai murah, cepat dan efektif. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan KLH 1998 bahwa biaya pembukaan lahan hutan dengan cara membakar hanya memerlukan seperempat dari biaya pembukaan lahan tanpa bakar PLTB artinya tidak ada insentif ekonomi bagi perusahaan untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar. Pembukaan lahan dengan pembakaran hanya memerlukan waktu 28 HOK Hari Orang Kerja, sementara PLTB secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK ditambah 12 jam kerja traktor dan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor bagi hutan sekunder. Selain itu masyarakat juga menganggap tanah yang telah dibakar akan memberikan hasi panen yang baik, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Hardjanto 1998, bahwa pembakaran yang dilakukan oleh petani dilakukan dengan tujuan menambah kesuburan tanah dan setiap keluarga hanya mampu membakar + 1 hatahun. Hal ini sesuai dengan hasil. Selanjutnya menurut Anonimous 1998 Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung lama, karena hutan banyak memberikan manfaat bagi kehidupan. 65 Pola perladangan berpindah masih terus dilakukan masyarakat terutama masyarakat lokal, seperti yang terjadi di Kecamatan Bonti Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, setiap kepala keluarga mungkin memiliki 3-5 Ha lahan yang sistem perladangannya digilir dengan waktu yang tidak jelas. Pola pemilikan lahan di sini cukup unik, pemilikan tanah biasanya dilakukan dengan melakukan pembakaran lahan dan setelah itu menanam suatu pohon tertentu sebagai tanda kepemilikan. Lahan ini biasanya akan diolah untuk beberapa saat sampai kurang baik hasilnya kemudian akan ditinggalkan dan akan diolah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian untuk selanjutnya berpindah ke ladang yang lainnya. Sesuai dengan pendapat Yuadji 1981 bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap kemampuan daya dukung lingkungan suatu kawasan. Semakin tinggi jumlah penduduk di suatu daerah, maka gangguan kerusakan hutan akan semakin tinggi. Pada tingkatan Daerah Provinsi peraturan mengenai pengendalian kebakaran hutan ini suadah terdapat peraturan daerah yang cukup baik namun perlu segera dilakukan revisi ulang karena Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 karena isinya khusus mengenai sanksi dan penegakan hukum sudah tidak bisa mengakomodir kondisi yang ada saat ini. Selain Pemerintah Daerah juga telah memiliki prosedur Tetap pengendalian kebakaran Hutan tentang Mobilisasi Sunberdaya Pengendalian Kebakaran Hutan. Namun sayangnya tidak dibarengi dengan pembentukan Brigade pengedalian kebakaran hutan seperti yang diamanatkan oleh PP 45 tahun 2004 Mengenai Perlindungan Hutan. Sedangkan pada tingkatan daerah kabupatenkota tidak ditemukan adanya peraturan pengendalian kebakaran hutan baik mengenai mekanisme daerah rawan kebakaran maupun mekanisme pengendalian kebakaran hutan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa peraturan pengendalian kebakaran hutan di tingkata provinsi yaitu Perda No. 6 Tahun 1998 tetang Penegndalian Kebakaran Hutan dan Lahan tidak terlalu spesifik membahas mekanisme pengendalian kebakaran hutan. Peraturan teknis di tingkat Provinsi sudah ada dan sangat baik dan lengkap yaitu Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap Protap Mobilisasi 66 Sumberdaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, namun sayangnya peraturan ini tidak dibarengi dengan pembentukan regu pengendalian kebakaran hutan dan lahan seperti yang diamanatkan pada PP No. 45 Tahun 2004 dan PP No. 4 Tahun 2001 untuk menangani kebakaran hutan di kawasan hutan yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah seperti hutan lindung, kawasan hutan pada daerah aliran sungai. Selain itu keberadaan peraturan di tingkata daearah kabuapatenkota juga tidak ditemukan. Sedangkan dari pembagian wewenang dan tupoksi sampai saat ini masih kurang terintegrasi dengan baik antara pemerintah pusat dan daerah. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan pihak UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan pihak Balai KSDA Kalimantan Barat, terkesan adanya kekurang sepakatan dalam memahami peraturan perundangan baik di tingkat nasioanal maupun lokal. Hal ini terjadi apabila terjadi kebakaran di luar kawasan konservasi. Hal ini disebabkan antara lain karena sampai saat ini pemerintah daerah belum memiliki regu dan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sementara UPT pusat terkendala dengan ketentuan tugas pokok dan fungsi serta masalah pembiayaan. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenangan pemerintah dan Provinsi sebagai daerah otonomi pada pasal 2 ayat 3 bagian 4e telah dijelaskan penyelenggaraan pengelolaan Wewenang pemerintah pusat di bidang kehutanan di kawasan suaka alam Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, kawasan pelestarian alam Taman Nasional dan Taman Wisata Alam taman buru termasuk daerah aliran sungai. Sedangkan pada pasal 3 bagian 4a dan 4n dijelaskan bahwa wewenang pemerintah daerah adalah penyelenggaraan hutan lindung hutan produksi dan taman hutan raya serta pengendalian kebakaran hutan di hutan lindung Taman Hutan Raya Tahura dan lahan. Kondisi seperti ini menyebabkan kejadian kebakaran hutan dan lahan sulit ditanggapi secara cepat sehingga membuat pengendalian kebakaran lahan dan hutan lambat sehingga hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab luasan kebakaran hutan dan jumlah titik panas di Kalimantan Barat masih relatif tinggi dibandingkan provinsi lain.. 67 Kegiatan penanganan pasca kebakaran hutan di Kalimantan Barat yang mencakup kegiatan penegakan hukum penyelidikan, penyidikan, pengadilan, rehabilitasi, inventarisasi dan penanganan dampak kebakaran masih banyak yang belum dilakukan. Kegiatan ini pada umumnya bersifat lintas sektoral yang melibatkan berbagai lembaga atau instansi. Kegiatan penanganan dampak samapi saat ini masih belum efektif dilaksanakan, yang terkendala masalah biaya dan prioritas. Selain itu dalam hal penegakan sampai saat ini belum ada kasus kebakaran hutan yang memiliki kekuatan hukum tetap, umumnya terhenti sampai tahap P21 saja. Hal ini diasumsikan terkendala asumsi masyarakat bahkan aparat pemerintah mengenai isu-isu lingkungan khususnya pengendalian kebakaran hutan. Di sisi lain sanksi yang ada berbeda-beda pada UU NO. 41 Tahun 1999 Sanksi pidana dijelaskan pada pasal 78 4 UU No. 41 Tahun 1999, pada ayat 4 sanksi pidana bagi pelaku yang sengaja membakar hutan diancam ayat pidana 15 lima belas tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- satu milyar lima ratus juta rupiah. Pada ayat 11 dijelaskan sanksi pidana pelaku yang membuang benda yang dapat menyebabkan kebakaran serta kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan diancam sanksi pidana penjara paling lama 3 tiga tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah, sementara pada Perda No. 6 Tahun 1998 sanksi pidana bagi eplaku pemabakaran hutan yaitu 6 bulan penjar dan denda Rp. 50.000,-. Hal ini tidak memberikan efek jera terhadap pelaku. Padahal sesuai dengan peraturan perundangan yang ada sanksi yang dikenakan sudah sangat jelas, walaupun ada sanksi yang sangat ringan dan tidak seseuia dengan kerugian yang ditimbulkan. Kearifan-kearifan yang dimiliki oelh masayarakat yang mndukung pengedalian kebakaran hutan harusnya terus digali dan dipelajari dengan serius apaklah juga bisa diimplementasikan di tempat lain. Kearifan lokal mengenai pengendalain kebakaran hutan dan lahan yang terdapat di Desa Tanjung Lokang Kabupaten Kapuas Hulu yang wilayahnya merupakan enclave di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Pada 68 peraturan ini disebutkan apabila ada masyarakat yang berladang dan memabakar lahan, dan kebaran tersebut merambat sampai ke lahan orang lain tembawang maka akan diberikan sanksi adat yang besarnya ditentukan oleh faktor kesengajaan atau bukan dan diputuskan oleh pemuka adat. Hal ini mendapat sambutan baik dari pihak Taman Nasional dengan gencar melakukan penyuluhan mengenai pembuatan sekat bakar dan bahaya kebakaran hutan dan lahan. Selain itu pada kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, dimana masyarakat di dalam dan sekitar kawasan melakukan usaha madu organik, juga tedapat aturan tersendiri mengenai kebakaran hutan dan lahan. Apabila ada anggota masayarakat melakukan pembakaran dan mengenai tikung sarang lebah madu milik orang lain maka pelaku akan dikenakan sanksi mengganti semua kerusakan yang terjadi pada tikung tesebut yang besarannya sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh pemuka adat dan kesepakatan dengan pemilik tikung. Hal ini juga didukung oleh Pihak Taman Nasional dengan terus memberika penyuluhan dan peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan uraian di atas penetapan Kalimantan Barat sebagai daerah rawan kebakaran hutan dinilai sudah tepat namun dari segi keefektifannya pelaksanaan dinilai kurang. Hal ini diindikasikan dengan masih tingginya titik panas dan tingginya luasan kejadian kebakaran hutan yang menjadi indikator keberhasilan kinerja Pengendalian Kebakaran Hutan saat ini, sesuai yang tercantum dalam Renstra Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Tahun 2010- 2014. Selain itu karena kejadian kebakaran pada lahan non hutan lebih tinggi porsinya daripada kejadian kebakaran di lahan hutan, hendaknya kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran hutan ini dijadikan satu dengan daerah kebakaran lahan. Sejalan dengan konsekuensi ini tentunya pembentukan brigade pengendalian kebakaran hutan dan lahan juga harus dibeentuk oleh pemerintah daerah yang memiliki otoritas pada wilayah tersebut. Perlu pengkajian ulang mengenai keefektifan implementasi kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sistem reward and punishment bagi semua pihak namun lebih dititikberatkan pada masyarakat dan pelaku usaha karena terkait 69 dengan kebutuhan hidup. Untuk itu perlu ada reward baik langsung dan tidak langsung bisa berupa keringanan pajak, atau jenis insentif lainnya agar masyarakat tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Hal ini disebabkan selain faktor efisiensi biaya juga karena budaya masyarakat karena pada beberapa suku di Provinsi Kalimantan Barat pembukaan lahan merupakan bagian dari Budaya masyarakat. Selain itu kearifan-kearifan lokal menegnai pengendalian kebakaran hutan harusnya lebih diperkenalkan da apabila cocok bisa ditularkan pada daerah lain. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Taconi 2003 bahwa jika kegiatan mata pencaharian masyarakat terkait dengan masalah kebakaran hutan atau kabut asap, maka hanya inisiatif atau kegiatan berbasis masyarakat saja yang didukung oleh perundangan yang akan berhasil. Untuk itu di tingkat lokal perlu ditinjau ulang implementasi kebijakan penetapan daerah rawan kebakaran khususnya di tingkat Kabupateankota, kecamatan hingga desa. Karena kejadian kebakaran hutan di Kalimantan Barat bukan hanya permasalahan politis saja namun terkait erat dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Selain itu Pihak Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan sebagai pemangku kebijakan pengendalian kebakaran hutan di tingkat nasional perlu memiliki standarisasi dan kriteria penetapan daerah rawan kebakaran hutan di seluruh Indonesia yang memasukan berbagai aspek seperti hotspot, penutupan lahan, karakteristik lainnya seperti akses, ekonomi dan sosial budaya.

VI. SIMPULAN DAN SARAN