1.3. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan-perempuan yang suka
kawin cerai. Riwayat Thabarani
1.4. Abdullah bin Abbas juga berkata: Talaq itu hanya dibenarkan karena suatu kepentingan.`
2. Mencerai Waktu Haidh Talaq Bid`iy
Apabila ada keperluan dan kepentingan yang membolehkan talaq, tidak berarti seorang muslim diperkenankan untuk
segera menjatuhkan talaqnya kapan pun ia suka, tetapi harus dipilihnya waktu yang tepat. Sedang waktu yang tepat
itu --menurut yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam keadaan bersih, yakni tidak datang bulan,
baru saja melahirkan anak nifas dan tidak sehabis disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si
perempuan tersebut jelas dalam keadaan mengandung,
Karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas, mengharuskan seorang suami untuk menjauhi isterinya.
Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq. Oleh karena
itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian bersuci, kemudian dia boleh
menjatuhkan talaqnya sebelum si isteri itu disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai isteri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci
sesudah bersetubuh. Sebab siapa tahu barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali
ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa isterinya hamil kemudian dia akan merubah niatnya,
138
dan dia dapat hidup senang bersama isteri karena ada janin yang dikandungnya.
Tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka
jelas di sini bahwa yang mendorong untuk bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu di
saat yang demikian dia tidak berdosa mencerainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab
pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini sewaktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Maka bertanyalah
Umar kepada Rasulullah s.a.w., maka jawab Nabi kepada Umar:
`Suruhlah dia Abdullah bin Umar supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang isterinya itu dalam
keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan
Allah dalam firmanNya: Hai Nabi Apabila kamu hendak mencerai isterimu, maka cerailah dia pada iddahnya. Yakni
menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci.`
Di satu riwayat disebutkan: Perintahlah dia Abdullah bin Umar supaya kembali,
kemudian cerailah dia dalam keadaan suci atau mengandung.` HR. Bukhari
Akan tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau tidak?
139
Pendapat yang masyhur, bahwa talaq semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara ahli fiqih berpendapat tidak sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak menurut aturan syara` dan
tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?
Diriwayatkan: Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana
pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya waktu haidh? Maka ia menceriterakan kepada si
penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai isterinya waktu haidh, dan Rasulullah s.a. w. niengembalikan
isterinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikitpun.` Riwayat Abu Daud dengan
sanad yang sahih
3. Bersumpah Untuk Mencerai Hukumnya Haram