5. Berlebihan Dalam Memahami Masalah Poligami Dalam Islam
Ada orang yang terlalu berlebihan dalam memahami kebolehan poligami dalam Islam. Dan sebaliknya, ada
kalangan yang berusaha mengahalang-halangi terjadinya poligami dalam Islam, meski tidak sampai menolak syariatnya.
a. Pihak yang berlebihan
Menurut kalangan ini, poligami adalah perkara yang sangat utama untuk dikerjakan bahkan merupakan sunnah
muakkadah dan pola hidup Rasulullah SAW. Kemana-mana mereka selalu mendengungkan poligami hingga seolah hamir
mendekati wajib.
Pemahaman keliru seperti itu sering menggunakan ayat poligami yang memang bunyinya seolah seperti mendahulukan
poligami dan bila tidak mampu, barulah beristri satu saja. Istilahnya, poligami dulu, kalau tidak mampu, baru satu saja.
Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
.QS. An-Nisa : 3
Padahal makna ayat itu sama sekali tidak demikian. Karena meski sepintas ayat itu kelihatan mendahulukan poligami lebih
dahulu, tapi dalam kenyataan hukum hasil dari istinbath para ulama dengan membandingkannya dengan dalil-dalil lainnya
menunjukan bahw poligami merupakan jalan keluar atau
102
rukhshah bentuk keringanan atas sebuah kebutuhan. Bukan menempati posisi utama dalam masalah pernikahan. Alasan
agar tidak jatuh ke dalam zina adalah alasan yang ma`qul dan sangat bisa diterima. Karena Allah SWT memang
memerintahkan agar seorang mukmin menjaga kemaluannya.
Allah SWT berfiramn : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya
QS. Al-Mukminun : 5
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat
. QS. An-Nur : 30 Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya
QS. Al-Ma`arij : 29
Bila satu istri saja masih belum bisa menahan gejolak syahwatnya, sementara secara nafkah dia mampu berbuat adil,
bolehlah seseorang untuk menikah lagi dengan niat menjaga agamanya. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat saja.
Bentuk kekeliruan yang lain adalah rasa terlalu optimis atas kemampuan menanggung beban nafkah. Padahal Islam tetap
menutut kita berlaku logis dan penuh perhitungan. Memang rezeki itu Allah SWT yang memberi, tapi rezeki itu tidak
datang begitu saja.
Bahkan untuk orang yang baru pertama kali menikah pun, Rasulullah SAW mensyaratkan harus punya kemampuan
finansial. Dan bila belum mampu, maka hendaknya berpuasa saja.
103
Jangan sampai seseorang yang penghasilannya senin kamis, tapi berlagak bak seorang saudagar kaya yang setiap hari isi
pembicaraannya tidak lepas dari urusan ta`addud. Ini jelas sangat `njomplang`, jauh asap dari api.
b. Pihak yang mencegah poligami