Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi Talaq dalam Pandangan Agama Kristen

Dan ketika bangsa Yunani mulai bangkit dan kebudayaan mulai menanjak, maka persoalan talaq telah merata di kalangan masyarakat, tanpa suatu ikatan dan persyaratan. Talaq bagi orang-orang Romawi dinilai dari eksistensi perkawinan itu sendiri. Sehingga para hakim pun dapat membatalkan perkawinan, walaupun kedua belah pihak telah berjanji tidak akan bercerai. Padahal perkawinan secara keagamaan menurut generasi pertama tidak membenarkan adanya talaq. Tetapi pada waktu itu juga seorang suami diberinya kekuasaan penuh, tanpa batas absolut terhadap isterinya. Sehingga dalam beberapa hal dia dibenarkan membunuh isterinya. Kemudian agama mereka ini mencabut hak tersebut dan membenarkan adanya talaq yang juga dibenarkan oleh undang-undang sipil yang berlaku.

1. Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi

Agama Yahudi menganggap baik persoalan talaq dengan menitik-beratkan peninjauannya kepada keadaan isteri. Tetapi perkenan itu diperluas. Seorang suami oleh syari`at mereka diharuskan mencerai isterinya kalau ternyata si isteri berbuat serong, sekalipun suami telah memaafkannya. Secara hukum istri yang serong harus dicerai, meski suami masih menyayanginya dan tidak mau melepaskannya. Undang-undang mereka pun memaksa kepada suami untuk mencerai isterinya kalau perkawinan itu berjalan 20 tahun, tetapi ternyata tidak menghasilkan anak. Ini adalah sebuah bentuk ketidak-adilan kepada pihak wanita, dimana secara undang-undang resmi para wanita secara otomatis diceraikan, apabila tidak sanggup melahirkan keturunan. 127

2. Talaq dalam Pandangan Agama Kristen

Kristen adalah agama yang menyimpang dari agama-agama yang kami tuturkan di atas, bahkan bertentangan dengan agama Yahudi itu sendiri. Injil melalui lidah al-Masih mengharamkan talaq dan mengharamkan mengawini laki- laki atau perempuan yang ditalaq. Injil karangan Matius fasal 5 ayat 31 dan 32 mengatakan: `Barangsiapa mencerai istrinya, hendaklah ia memberi surat talaq kepadanya. Tetapi aku ini berkata kepadamu: barangsiapa mencerai istrinya lain daripada sebab berzina, ialah menjadi pohon yang sebab perempuan itu berzina; dan barangsiapa beristrikan perempuan yang diceraikan demikian itu, ia pun berzina.` Dan dalam Injil karangan Markus, fasal 10 ayat 11 dan 12 dikatakan: `Barangsiapa menceraikan istrinya, lalu beristrikan orang lain, ialah berbuat zina terhadap istrinya yang dahulu itu. Dan jikalau seorang perempuan menceraikan suaminya, lalu bersuamikan orang lain, ia pun berbuat zina.` Injil memberikan alasan haramnya talaq yang demikian keras itu karena: `sesuatu yang telah dijodohkan oleh Allah jangan diceraikan oleh manusia.` Matius 19: 6. Alasan ini maksudnya baik. Tetapi menjadikan alasan tersebut untuk melarang perceraian adalah suatu hal yang sangat ganjil. Sebab maksud Allah menjodohkan antara suami-isteri itu pengertiannya, bahwa Ia memberi izin dan mengatur jalannya perkawinan. Oleh karena itu benar kalau 128 menisbatkan penjodohan kepada Allah, sekalipun pada hakikatnya manusialah yang langsung mengadakan aqad. Jika Allah membenarkan dan mengatur perceraian karena sebab dan alasan yang mengharuskan, maka perceraian waktu itu artinya dari Allah juga, sekalipun pada hakikatnya manusia itu sendiri yang secara langsung melakukan perceraian. Dengan demikian, jelas bukan manusia itu sendiri yang menceraikan apa yang telah dijodohkan Allah. Bahkan baik yang menjodohkan maupun yang menceraikan adalah Allah. Bukankah Allah jua yang menceraikan antara suami- isteri lantaran sebab berzina? Mengapa Allah tidak boleh menceraikan suami-isteri lantaran sebab lain yang mengharuskan cerai?

3. Pertentangan Sekte Kristen dalam Persoalan Talaq