Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Negeri Gorontalo Email: syam_bio@ung.ac.id ABSTRAK
1 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Negeri Gorontalo Email: syam_bio@ung.ac.id ABSTRAK
Streptococcus pyogenes merupakan salah satu bakteri patogen yang bisa menyebabkan infeksi pada manusia. Tonsilofaringitis merupakan salah satu infeksi yang disebabkan oleh bakteri S. pyogenes, yaitu peradangan akut pada bagian membran mukosa faring dan struktur lain yang ada disekitarnya. Tonsilofaringitis umumnya terjadi pada anak-anak berusia antara 5 –
15 tahun. Untuk pemeriksaan bakteri S. pyogenes dapat ditegakkan dengan pemeriksan kultur dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi bakteri S. pyogenes dari pasien anak yang menderita tonsilofaringitis dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 60 sampel swab tenggorok yang diperiksa dengan teknik PCR diperoleh hasil sebanyak 5 sampel yang terdeteksi positif sebagai bakteri S. pyogenes dengan menggunakan gen target slo pada amplikon 439bp.
Keyword: Streptococcus pyogenes, PCR
A. Pendahuluan
2007; Juhn, et al , 2012; Borek, at al , Bakteri Streptococcus pyogenes
2012). Dari data WHO dilaporkan bahwa ( S. pyogenes ) merupakan salah satu jenis
penyebab kematian akibat infeksi bakteri bakteri yang termasuk dalam kelompok
S. pyogenes menduduki urutan bakteri
kesembilan di antara sepuluh penyebab kemampuan untuk menimbulkan infeksi.
patogen
yang
memiliki
kematian utama di dunia (Juhn, et al , Bakteri ini bertanggung jawab untuk
2012). Selanjutnya menurut Cunningham berbagai penyakit dengan manifestasi
(2000) bahwa diperkirakan 5-15% klinis beragam pada manusia karena
individu normal memiliki bakteri ini dan menimbulkan invasi lokal dan sistemik
pada saluran dan kelainan imunologi pasca infeksi
biasanya
terdapat
pernapasan, namun tidak menimbulkan streptokokus (Cole, et al , 2011; Jawetz,
gejala penyakit. S. pyogenes dapat 2007).
menginfeksi ketika pertahanan tubuh S.
inang menurun ketika organisme tersebut penyebabutama
pyogenes adalah
bakteri
mampu berpenetrasi melewati pertahanan mortalitasdi seluruh dunia terutama di
morbiditasdan
inang yang ada. Bila bakteri ini tersebar negara-negara
sampai ke jaringan yang rentan, maka perkiraan 500.000 orang mengalami
berkembang
dengan
infeksi supuratif dapat terjadi, seperti kematian per tahun, dan sebagian besar
faringitis, tonsilitis, impetigo dan demam disebabkaninfeksiinvasif, demam rematik
scarlet .
akut, danjantung rematik (Steer, et al ,
Salah satu
infeksi
yang
hal ini akan menyebabkan keterlambatan peradangan akut pada bagian membran
dalam memulai pengobatan dan dan mukosa faring dan struktur lain
diperlukan fasilitas laboratorium untuk disekitarnya
melakukan kultur tersebut (Aalbers, et al , tonsilofaringitis.
yang
disebut
2011; Jurianti, A, 2008). merupakan infeksi umum yang terjadi
Tonsilofaringitis
Dengan perkembangan biologi pada anak-anak berusia antara 5 – 15
molekuler maka telah dilakukan beberapa tahun, yaitu sekitar 15% sampai 30 %
upaya pengembangan untuk mendeteksi dan infeksi ini disebarkan melalui kontak
adanya bakteri S. pyogenes secara cepat orang per orang, melalui tetesan ludah
dan aman , salah satunya dengan dengan atau sekresi nasal dengan tingkat
pendekatan metode molekuler, yaitu insidensinya meningkat pada saat musim
teknik Polymerase Chan Reaction (PCR) hujan untuk negara-negara tropis
(Goyal, et al , 2012). PCR merupakan (Cunningham, 2000; Schaad, 2004; Steer,
salah satu teknik amplifikasi asam nukleat et al , 2006). in vitro yang paling banyak dipelajari dan
Gejala tonsilofaringitis yang khas digunakan secara luas (Putra, 1999). akibat bakteri Streptococcus berupa nyeri
Prinsip utama darai PCR adalah tenggorokan dengan awitan mendadak,
melibatkan beberapa tahap yang berulang disfagia dan demam. Urutan gejala yang
(siklus) dan pada setiap siklus terjadi biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di
duplikasi jumlah target DNA untai ganda atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri
(Handoyo dan Rudiretna, 2000). perut dan muntah. Selain itu juga
Selanjutnya menurut Yuwono (2006) didapatkan demam yang dapat mencapai
bahwa proses PCR melibatkan banyak suhu 40 o
C, beberapa jam kemudian siklus yang masing-masing terdiri dari terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti
tiga tahap berurutan, yaitu denaturasi rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitas
penempelan primer dan diare biasanya disebabkan virus.
( denaturation ),
dan pemanjangan Kontak dengan pasien rinitis juga dapat
( annealing )
( elongation ).
ditemukan pada anamnesis (Rahajoe, dkk, 2010).
B. Metode Penelitian
Diagnosis tonsilofaringitis tidak
1. Lokasi dan Rancangan Penelitian
dapat ditegakkan hanya berdasarkan Penelitian ini dilakukan di Puskesmas gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Untuk
Kassi-Kassi, Kota Makassar sebagai itu pemeriksaan laboratorium sangatlah
tempat pengumpulan sampel dan Rumah penting sebagai penunjang dalam
Sakit Universitas Hasanuddin Lt. 6 pemeriksaan
sebagai tempat pemeriksaan kultur serta ataupun virus. Baku emas penegakan
infeksi
Streptokokus
PCR. Penelitian ini dilakukan pada bulan diagnosis tonsilofaringitis bakteri atau
Maret sampai Juni 2013. virus adalah melalui pemeriksaan kultur
2. Populasi dan Sampel
dari apusan tenggorok. Namun dalam Populasi penelitian adalah pasien pemeriksan kultur terdapat beberapa
anak-anak yang berumur antara 3 – 14 keterbatasan, yaitu dalam identifikasi
tahun penderita tonsilofaringitis di mikroorganisme penyebab memerlukan
Puskesmas Kassi-Kassi, Kota Makassar.
Sampel adalah 60 swab tenggorok pada etanol-OH 75%, DEPC-dH 2 O, methanol, anak. Cara pemilihan sampel pada
TBE, marker, loading dye, agarose, penelitian ini adalah
ethidium bromide, pure distilled water sampling , yaitu semua sampel swab
consecutive
(baker), primer spesifik (gen slo F ; tonsil-faring, yang memenuhi kriteria
GCCAATGTTTCAACAG CTATTG dan McIsaac.
gen
slo R ;
3. Kriteria Inkulusi dan Eksklusi
CGGAGCTGCACTAAAGGCCGC).
a. Kriteria Inklusi
5. Prosedur Kerja
1) Pasien adalah anak-anak umur 3 -
a. Sampel swab tenggorok yang diambil
14 tahun. dari pasien anak-anak yang menderita
dilakukan oleh tubuh ≥ 38 o
2) Pasien demam yang bersuhu
tonsilofaringitis
petugas laboratorium yang terlatih demam
C atau ada riwayat
dan data faktor biomedis (umur, jenis pemeriksaan
12 jam
sebelum
keluhan, riwayat pembengakakan tonsil, hiperemis
disertai
kelamin,
dilakukan dengan dan memenuhi kriteria Mc Isaac
pengobatan)
wawancara).
dengan skor > 2.
b. Sampel swab tersebut kemudian
3) Semua pasien yang ikut dalam dikultur pada media Brain Heart penelitian ini telah mendapat
Infussion Broth (BHIB) selama 24 persetujuan atau izin dari orang o jam pada suhu 37 C.
tua/ wali dengan menandatangani
c. Hasil kultur dari media BHIB informed consent .
kemudian dilakukan proses ekstraksi
b. Kriteria Eksklusi dengan menggunakan metode Trizol
1) Tidak sedang mengkonsumsi dengan tujuan untuk mendapatkan antibiotik.
DNA secara keseluruhan.
2) Tidak bersedia untuk ikut dalam
d. Hasil ekstraksi DNA kemudian penelitian
diamplifikasi dengan teknik PCR
4. Alat dan Bahan
menggunakan primer spesifik. Tahap
a. Alat Penelitian siklus PCR terdiri dari denaturasi Alat pengambilan sampel adalah o awal 94 C selama 5 menit, denaturasi
swab kapas steril, medium transpor, o 94 C selama 30 detik (30x), annealing termometer dan o ice box , tabung reaksi, 50 C selama 30 detik kemudian
rak tabung reaksi, inkubator, kaca objek, dilanjutkan dengan elongasi awal 72 mikroskop, o laminary air flow , sarung
C selama 1 menit dan elongasi tangan, masker, bunsen, sentrifuge, tube o terakhir 72
C selama 7 menit dan
14 ºC mikropipet 1-1000 µl, tip aerosol 1000 µl,
1.5 µ L, mesin PCR, tube PCR, diakhiri dengan tahap cooling
selama waktu tidak ditentukan. 100 µl, dan 10 µl, rak tabung, mesin
e. Hasil amplifikasi berupa produk PCR elektroforesis dan gel doc.
kemudian di elektroforesis untuk
b. Bahan Penelitian melihat pita DNA yang terbentuk. Bahan digunakan adalah swab
6. Analisis Data
tonsil dan faring, alkohol 70%, BHI Data yang diperoleh kemudian di Broth, alkohol 96%, aquadest, trizol,
analisis secara deskriptif. glikogen,
isopropanol,
chloroform,
C. Hasil Penelitian
menderita tonsilofaringitis berumur 7,6
1. Karakteristik Demografi Pasien
tahun dengan umur terendah adalah 3 Tonsilofaringitis tahun dan umur tertinggi adalah 13 tahun.
Sebagai bahan dari penelitian ini Dilihat dari jenis kelamin ternyata laki- adalah 60 sampel swab tenggorok dari
laki mempunyai proporsi terbesar, yaitu pasien anak-anak yang berumur 3-14
32 orang (53,3%) dan perempuan 28 tahun yang berobat di Puskesmas Kassi-
orang (46,7%). Hasil pengamatan Kassi Makassar selama bulan April-Juni
distribusi pasien tonsilofaringitis menurut 2013 dengan gejala klinis yang
umur dan jenis kelamin ditunjukkan pada didasarkan atas kriteria Mc Isaac.
Tabel 1.
Selanjutnya berdasarkan rata-rata umur
diperoleh
anak-anak
yang
Tabel 1. Distribusi pasien tonsilofaringitis menurut umur dan jenis kelamin
Karakteristik n = 60
a. Umur (tahun)
1) Median
2) Minimum
3) Maksimum
b. Jenis Kelamin
1) Laki-laki
2) Perempuan
2. Hasil Pemeriksaan
didiagnosis tonsilofaringitis dengan Chain Reaction menggunakan primer gen slo pada Dari
Polymerase
hasil
pemeriksaan
amplikon 439 bp diperoleh 5 sampel
positif S. pyogenes, yakni sampel kode menunjukkan bahwa 60 sampel swab
Polymerase Chain Reaction (PCR)
19, 29, 33, 40 dan 51. Untuk jelasnya tenggorok dari pasien anak-anak yang
hasil PCR ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil penggandaan produk DNA untuk mendeteksi S. pyogenes dengan
teknik PCR pada amplicon 439 bp
D.
E. Pembahasan
sampel yang diperiksa. Dari hasil Penelitian ini menggunakan 60
elektroforesis terlihat pita DNA terbentuk sampel swab tenggorok yang terdiri dari
pada sumur nomor 19, 29, 33, 40, 51 pasien anak-anak usia antara 3-14 tahun
sedangkan kontrol negatif tidak terbentuk yang berobat di Puskesmas Kassi-Kassi
pita DNA. Pita DNA yang terbentuk Makassar selama bulan April-Juni 2013
menunjukkan bahwa dalam sampel swab dengan gejala klinis yang didasarkan atas
tonsilofaringitis positif mengandung S. kriteria Mc Issac, yaitu demam ≥38 O C,
pyogenes dengan ketebalan pita yang tidak batuk, pembengkakan kelenjar
berbeda-beda . Hal ini sesuai pendapat servikal, pembengkakan dan eksudat
Hatta, dkk, (2004) bahwa pita DNA yang tonsil (McIsaac, et al , 2004). Dari 60
terbentuk memperlihatkan ketebalan yang subjek tersebut terdiri dari 32 laki-laki
berbeda-beda dan hal ini tergantung pada dan 28 perempuan. Hal ini disebabkan
banyaknya DNA yang akan diamplifikasi karena laki-laki lebih aktif dibandingkan
dimana semakin banyak DNA yang dengan perempuan dimana laki-laki suka
diamplifikasi maka semakin tebal/terang bermain dan
berinteraksi dengan pita DNA yang terbentuk. lingkungan luar sehingga akan lebih
Dari hasil penelitian yang rentan terpapar bakteri yang bisa
dilakukan Jing et al (2006) dari 86 strain menyebabkan tonsilofaringitis (Rizkianti,
streptokokus grup A yang diambil dari
A. 2009). sampel darah (n = 10), epifaring (n = 47), Berdasarkan umur diperoleh rata-
nanah (n = 7), luka dan dari sumber lain rata
(n = 15), menunjukkan bahwa semua tonsilofaringitis berumur 7,6 tahun
anak-anak
yang
menderita
sampel yang di uji dengan menggunakan dengan umur terendah adalah 3 tahun dan
primer gen slo pada panjang 439 bp umur tertinggi adalah 13 tahun. Menurut
mampu mendeteksi 100% keberadaan Malino
bakteri. Selanjutnya penelitian yang tonsilofaringitis meningkat sesuai dengan
bahwa
insidensi
dilakukan oleh Thenmozhi, R, et al , umur dan mencapai puncaknya pada4 –7
(2010) dari 270 sampel swab tenggorok tahun, dan berlanjut hingga dewasa.
pasien faringitis diperoleh hasil dengan Secara epidemiologik, penelitian pada
metode kultur teridentifikasi sebanyak 8 penderita dengan infeksi tenggorok
sampel positif bakteri S. pyogenes menujukkan bahwa penyebaran melalui
sedangkan dengan teknik PCR dengan udara (droplet nuklei, debu) dan
menggunakan primer spesifik (SCAR) lingkungan
teridentifikasi sebanyak 23 sampel positif penyebaran dalam keluarga dan sekolah
yang
tercemar
serta
bakteri S. pyogenes
sering terjadi (Soedarmo, dkk, 2010). Teknik PCR merupakan salah satu Berdasarkan hasil pengujian PCR
metode molekuler yang telah banyak dengan menggunakan primer gen slo menjadi pilihan klinisi selama beberapa
yang memiliki panjang amplikon 439 bp tahun terakhir. Beberapa alasan yang yang merupakan salah satu daerah
mendasari hal tersebut adalah metode ini penanda gen pada bakteri S. pyogenes mampu mengidentifikasi bakteri dalam
diperoleh hasil sebanyak 5 sampel positif waktu yang cepat, membutuhkan jumlah bakteri Streptococcus pyogenes dari 60
sampel yang sedikit. Namun, metode ini
al , 2006).
yang lebih mahal dan membutuhkan keterampilan khusus.
F. Kesimpulan dan Saran
Pada prinsipnya reaksi PCR
1. Kesimpulan
berlangsung dalam 3 tahap yang berbeda Dari 60 sampel swab tenggorokan suhu dan waktunya, yaitu tahap
yang diperiksa dengan teknik PCR denaturation, annealing, dan extension.
pada gen target slo (amplikon 439 bp ) Reaksi tersebut berlangsung di dalam
diperoleh hasil 5 sampel terdeteksi mesin PCR yang telah diatur suhu dan
positif sebagai bakteri S. pyogenes. waktunya. Proses PCR dimulai dengan:
1. Proses denaturation, yaitu proses ter-
2. Saran
jadinya pemisahan untai ganda DNA Untuk penelitian lanjutan disarankan template (dsDNA) menjadi untai
dengan menggunakan jumlah sampel tung-gal DNA (ssDNA). Proses ini
yang lebih banyak serta penggunaan hanya terjadi pada suhu tinggi (93-
gen target lain untuk mendeteksi
96 o C) adanya bakteri S. pyogenes .
2. Proses annealing yaitu proses penem- pelan/hibridisasi pasangan primer
G. Daftar Pustaka
pada DNA target dengan posisi yang
1. Aalbers, J., O’Brien, K.K., Chan, sesuai (komplemen), yaitu pada dua
W.S., Falk, G.A., Teljeur, C., bagian yang berbeda yang mengapit
Dimitrov, B.D and Fahey, T. 2011. bagian yang akan digandakan. Proses
Predicting Streptococcal Pharyngitis annealing berlangsung pada suhu 50-
In Adults In Primary Care: A
68 o C. Systematic Review of The Diagnostic
3. Proses extension yaitu proses sintesis Accuracy of Symptoms and Signs and DNA baru yang komplementer
Validation of The Centor Score. J dengan DNA template. Proses ini
BMC Medicine 2011, 9:67
Obszańska, K., Untuk
terjadi pada suhu 70-72 o C. 2. Borek,
A.L.,
Hryniewicz, W., and Sitkiewicz, I. dengan menggunakan teknik PCR
pemeriksaan
bakteri
2012. Detection of Streptococcus memiliki jumlah siklus yang berbeda
Pyogenes Virulence Factors by tergantung gen target yang diinginkan.
Multiplex PCR. J Virulence 3:6, 529 – Untuk bakteri S. pyogenes dengan SLO
533 . sebagai gen target pada amplikon 434 bp 3. Cole, J.N., Barnett, T.C., Nizet, V.,
memiliki program PCR sebagi berikut; and Walker, M.J. 2011. Molecular tahap denaturasi awal 94 o
Insight Into Invasive Group A menit, denaturasi 94 o
C selama 5
Disease . USA ; (30x), annealing 50 o
C selama 30 detik
Streptococcal
Department of Pediatrics and Skaggs kemudian dilanjutkan dengan elongasi
C selama 30 detik
Pharmacy and awal 72 o C selama 1 menit dan elongasi
School
of
Pharmaceutical Sciences, University terakhir 72 o
C selama 7 menit dan of California San Diego, La Jolla. diakhiri dengan tahap cooling
14 ºC
4. Cunningham,
M.W. 2000.
Pathogenesis
of Group
Streptococcal Infections. JClinical Tesis. Yogyakarta: Bagian Ilmu Microbiology, July 2000, p. 470 – 511,
Kesehatan
Anak, Fakultas Vol. 13, No. 3 Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
5. Goyal, K., Chitransh, R., Khare, S.,
12. Malino, I.Y. 2012. Uji Diagnosis Chaudary, R., dan Kumar, A. 2012.
Kriteria McIsaac Pada Faringitis Rapid PCR Based Diagnosis of
Akut Streptokokus β Hemolitikus Pharyngitis and Rheumatic Heart
Grup A. Tesis. Program Studi Ilmu Disease Using mga Gene as a Spesific
Kedokteran Klinis Sekolah Pasca Genetic Marker. The Journal of
Sarjana Universitas Gadjah Mada. Bioscience and Medicine 2, 1 (2012)
13. McIsaac, W.J., Kellner, J.D.,
6. Handoyo, D dan Rudiretna A. 2000. Aufricht, P., Vanjaka, A., dan Low, Prinsip Umum dan Pelaksanaan
D.E. 2004. Empirical Validation of Polymerase Chain Reaction (PCR).
Guidelines for the Management of Jurnal Unitas, Vol. 9, No. 1,
Pharyngitis in Children and Adults. J September 2000 - Pebruari 2001, 17-
American Medical Association Vol
291 No. 13
7. Hatta, Moch, Eka W, Zaraswati D,
14. Putra, S.T. 1999. Biologi Molekuler Rosana A, M. Sabir, Yadi, Masyhudi.
Kedokteran . Surabaya; Airlangga 2004. Pengaruh dekontaminasi dalam
University Press.
identifikasi
15. Rahajoe, N., Supriyatno, B., dan tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-
Mycobacterium
Setyanto, D.B. 2010. Buku Ajar; Neelsen dan Polymerase Chain
Respirologi Anak Edisi Pertama. Reaction. Jurnal Kedokteran Yarsi
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 12(3) : 17-24 . 16. Rizkianti, A. 2009. Faktor-Faktor
8. Jawetz, Melnick and Adelberg. 2007. yang berhubungan Dengan Kejadian Mikrobiologi Kedokteran . Jakarta:
Pneumonia Pada Balita 10-59 Bulan EGC.
yang Dirawat Inap di RSUP
9. Jing, H., Ning, B., Hao, H., Zheng, Persahabatan Jakarta 2008 . Skripsi. Y., Chang, D., Jiang, W., and Jiang,
Jakarta: FKM UI
Y. 2006. Epidemiological Analysis of
2004. Acute Group A Streptococci Recovered
17. Schaad,
U.B.
Streptococcal Tonsillopharyngitis; a From Patients In China. Journal of
Review of Clinical Efficacy and Medical Microbiology, 55, 1101-
Bacteriological
Eradication. The 1107. Journal of International Medical
10. Juhn, Y.J. Frey, D., Li, X., and Research, 2004; 32: 1 – 13 Jacobson, R. 2012. Streptococcus
18. Soedarmo, S.S.P., Garna, H., Pyogenes Upper Respiratory Infection
Hadinegoro, S.R.S dan Satari, H.I. and Atopic Conditions Other Than
2010. Buku Ajar; Infeksi dan Pediatri Asthma: A Retrospective Cohort
Tropis Edisi Kedua. Ikatan Dokter Study. J Prim Ca re Respir J 2012;
Anak Indonesia.
21(2): 153-158 19. Steer, A.C., Danchin, M.H and
11. Jurianti, A. 2008. Faringitis Grup A β Carapetis, J.R. 2007. Group A Hemolitik Streptokokus Pada Anak-
Streptococcal Infections In Children. Anak: Klinis dan Kultur Tenggorok .
Journal of Paediatrics and Child Health 43 (2007) 203 – 213.
20. Thenmozhi, R., Balaji, K., Kanagavel, M. And Pandian, S.K. 2010. Development of Species-Spesific Primers for Detection of Streptooccus
pyogenes from Throat Swabs. Federation
European Microbiological Societies .
of
21. Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi; Polymerase
Reaction . Yogyakarta; Andi.
Chain
313
ANALISIS KUANTITAITIF LOGAM BERAT Cd, Cu, DAN Zn DALAM AIR LAUT DAN BEBERAPA JENIS KERANG DI PERAIRAN TELUK PALU SULAWESI TENGAH
Irwan Said 1 , Tri Santoso 1 Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Tadulako
ABSTRACT
Determination of heavy metal contents (Cd, Cu, and Zn) in water and some species of mussels collected from Palu Bay were carried out in Oktober 2013. Water samples are taken in twelve stations, while mussles collected in coastal area. Total heavy metals content in all samples were determined by air-acetylene flame AAS. The result showed that the observed concentrations of heavy metal Cd and Cu is higher than the maximum standart set for living of marine organism established by Indonesian Government, while Zn still lower. The concentrations of Zn is found in mussel Thais sp (1594 ppm). Cd in Gaerarium tumidum and Isognomon ephipium (4.852 ppm), and Cu in Narita polita (83,108 ppm). This results showed that the capability of Zn accumulation by mussels is much higher than other heavy metals observed. Cd content in all mussels is higher than 2 ppm, and Zn is higher than 60 ppm. This concentrations has passed WHO standart namely 2 ppm and 40 ppm, while for Cu the higher concentrations is found in Narita polita (83,104 ppm) and Isognomon ephipiion (79,62 ppm) only. This concentrations has passed WHO standart namely 30 ppm.
Keywords: Heavy metal, mussel, Palu Bay.
PENDAHULUAN
ginjal, pernafasan, syaraf, dan Emphysema (Sanusi, 1985).
Logam berat seperti Cd, Cu, dan Zn termasuk dalam golongan logam dengan
Cu merupakan unsure esensial yang criteria yang sama dengan logam-logam
terdapat dalam organisme hidup. Cu penting lainnya.
Perbedaannya terletak pada bagi protein, metaloenzim, beberapa pigmen pengaruh yang dihasilkan bila logam berat
yang ada di alam dan untuk sintesis tersebut membentuk ikatan atau atau masuk
haemoglobin dan pembentukan tulang ke dalam tubuh organisme hidup (Palar,
(Surwina, 1988). Hati, jantung, otak, ginjal, 1994). Umumnya logam berat bersifat racun,
dan rambut mengandung Cu yang tinggi namun dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh
dibandingkan jaringan lain. Jika kandungan tubuh. Sifat racunnya akan timbul bila
dalam hati, dapat terdapat dalam kadar yang relatif tinggi .
Cu
berlebihan
menyebabkan penyakit yang disebut Wilsin’s diseases, atau degenerasi hepatolentikuler
Cd bersifat racun bagi tubuh, penyebab yang ditandai dengan penyakit hati dan penyakit itai-itai (Kobayashi, 1978). Cd akan
gangguan pada mata (Berman, 1980). terakumulasi dalam ginjal dan hati, dan dapat
Toksisitas Cu akan muncul bila jumlah Cu menyebabkan anemia, menurunkan absorbsi
yang diserap tubuh melebihi nilai toleransi besi dalam usus, dan menurunkan aktivitas
organisme yang bersangkutan. enzim leusine amino peptidase yang
diperlukan oleh Zn (Suwirma, 1988). Cd juga Zn adalah logam esensial untuk menghalangi aktivitas enzim sulfuhidril,
pertumbuhan normal, reproduksi, dan yang mempunyai afinitas untuk sel (Berman,
berguna untuk proses perbaikan jaringan dan 1980). Gejala keracunan Cd pada manusia
penyembuhan luka. Zn dan Cu terikat pada adalah; kerapuhan tulang, gangguan fungsi
sitosol hati yang mengandung protein yang sitosol hati yang mengandung protein yang
laut dipisahkan dan dipekatkan dengan seperti Cd. Unsure Zn dapat mengganti Cd
ammonium piolidin ditio karbamat (APDC) dalam suatu ikatan, karena kedua unsure
dan diekresikan dengan metal isobutil keton tersebut berada dalam satu golongan, maka
(MIBK). Contoh biota diambil dipinggir Zn dapat mengurangi daya racun Cd.
pantai pada saat air surut, dan disimpan Kelebihan Zn dapat menyebabkan tumor,
dalam botol plastik. Selanjutnya contoh paralysis, menghalangi pertumbuhan, dan
didestruksi dengan H 2 SO 4 dan HNO 3 pekat anemia, hal terbukti pada hewan uji (Laws,
dengan perbandingan 2 : 1. Hasil pelarutan 1981).
dipekatkan dan diekstraksi dengan cara yang sama denagn contoh air. Selanjutnya kadar
Berdasarkan uraian di atas, maka logam berat Cd, Cu, dan Zn dalam semua tulisan ini akan menguraikan mengenai
contoh ditentukan dengan Spektrofotometer analisis kuantitatif kandungan logam berat
(Atomic Absorbtion Cd, Cu, dan Zn di dalam air alut dan
Serapan
Atom
Spectrofotometer) dengan menggunakan beberapa jenis kerang di perairan Teluk Palu,
nyala campuran udara-asetilen. faktor-faktor yang mempengaruhi, serta
dampaknya terhadap organisme hidup.
HASIL DAN PEMBAHASAN METODOLOGI
Air Laut
Hasil analisis logam berat (Cd, Cu, dan Penelitian dilakukan di perairan Teluk
Zn) dalam air laut Teluk Palu disajikan pada Palu Sulawesi Tengah pada bulan Oktober
Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dilihat kadar Cd 2013. Contoh air laut permukaan sebanyak 1
dalam air berkisar antara 0,021-0,036 ppm liter diambil dari 12 satsiun pengamatan
dengan rerata 0,031 ± 0,004 ppm. Data ini dengan menggunakan tabung plastic yang
menunjukkan bahwa variansi kadar Cd di dimodifikasi. Contoh air laut disimpan dalam
seluruh lokasi pengamatan relative tidak botol PVC dan diawetkan dengan HNO 3 besar (CV= 12,90%).
Tabel 1.
Kadar Logam Berat Cd, Cu, dan Zn Dalam Air Laut di Teluk Palu
Logam berat (Air Laut), ppm
No Satsiun
25% Baku mutu
CV 12,90%
0,10 Sumber : Kantor MENKLH (1988).
Kadar Cd ini telah melebihi Nilai Zn ini belum melebihi NAB yang ditetapkan Ambang Batas (NAB ) Cd dalam air laut
oleh Kantor MENKLH (1988) untuk yang ditetapkan oleh Kantor MENKLH
kepentingan organisme perairan yaitu < 0,10 (1988) yaitu sebesar 0,01 ppm.
ppm. Dengan demikian kadar Zn di perairan Kadar Cu dalam contoh air berkisar
ini belum berbahaya bagi biota hidup di antara 0,053-0,074 mg/L dengan rerata
dalamnya.
0,066 ± 0,005 mg/L. Data ini menunjukkan bahwa variansi kadar Cu di seluruh lokasi
Kerang
pengamatan relative tidak besar (CV= Hasil pengukuran kadar logam berat 7,57%). Kadar Cu ini telah melebihi NAB
(Cd, Cu, dan Zn) dalam daging keran y ang yang ditetapkan oleh Kantor MENKLH
diambil dari Teluk Palu, disajikan pada (1988) untuk kepentingan organisme perairan
Tabel 2. Dari Tabel 2. Dapat dilihat yaitu 0,06 ppm.
bahwa kadar Cd dalam semua jenis Kadar Zn dalam air laut berkisar antara kerang berkisar antara 2,228-4,852 ppm, 0,019-0,036 ppm dengan rerata 0,024 ±
0,006 ppm. Data ini menunjukkan bahwa kadar ini relative tinggi dibandingkan
variansi kadar Zn di seluruh lokasi dengan kadar Cd dalam air laut. pengamatan relatif besar (CV = 25%). Kadar
Tabel 2.
Kadar Cd, Cu, dan Zn dalam Kerang di Teluk Palu
(ppm, berat basah)
No
Jenis Kerang
1 Anadara granosa 3,412
2 Gaerarium tumidum 4,852
3 Narita polita 2,228
4 Isognomon ephippium 4,852
5 Thais sp
Baku Mutu
Sumber * = Plasket & Potter (1979); ** Hutagalung & Suwirma /91987).
Data diatas menunjukkan bahwa Cd Hutagalung & Razak (1982) mendapatkan yang terdapat dalam air, terakumulasi dalam
factor akumulasi Cd oleh kerang darah, tubuh kerang yang diamati dengan factor
Anadara granosa di perairan Muara Angke, akumulasi berkisar antara 7,147-15,65 kali
Teluk Jakarta berkisar antara 14-18 kali lebih (Tabel 3).
tinggi dari air laut, nilai ini lebih besar Hal yang sama juga ditemukan oleh
dibandingkan dengan Teluk Palu, yang Hutagalung & Razak (1982) di perairan
factor akumulasinya 11 kali (Tabel 3). Muara Angke, Teluk Jakarta, dan Hutagalung
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh & Sutomo (1996) di perairan Teluk Banten,
perbedaan umur dari masing-masing kerang Jawa Barat. Namun, berbeda dalam factor
tersebut. Kadar Cd dalam kerang darah akumulasinya. Factor akumulasi adalah
Anadara granosa yang berasal dari Teluk perbandingan antara kadar cd, Cu, dan Zn
Palu, adalah 3,412 ppm, kadar ini lebih yang terdapat dalam daging kerang dengna
tinggi dibandingkan dengan kadar Cd dalam kadar yang terdapat dalam air laut.
kerang darah Anadara granosa yang berasal kerang darah Anadara granosa yang berasal
juga oleh perbedaan kondisi fisik dan kimia Barat yang berkisar antara 0,01 – 0,042 ppm
masing-masing perairan. Perbandingan kadar (Hutagalung & Razak, 1982; Hutagalung &
Cd, Cu, dan Zn dalam daging kerang dengan Sutomo, 1996). Di sini terlihat bahwa
kadar Cd, Cu, dan Zn dalam air laut (Faktor akumulasi Cd oada kerang Anadara granosa akumulasi) disajikan pada Tabel 3.
di Teluk Palu, relatif lebih tinggi. Hal ini di
Tabel 3.
Perbandingan Kadar Cu, Cd, dan Zn dalam Kerang san Air
Laut (faktor akumulasi)
Faktor Akumulasi
No
Jenis Kerang
Cd Cu Zn
1 Anadara granosa 11,00
2 Gaerarium tumidum 15,56
3 Narita polita 7,187
4 Isognomon ephippium 15,65
5 Thais sp
Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa diperoleh jumlah maksimum kerang lain kadar Cd dalam daging kerang yang diamati
yang diperkenankan untuk di konsumsi. ternyata tidak sama. Kadar Cd tertinggi
Seperti halnya Cd, kadar Cu dalam dijumpai pada kerang Gaerarium tumidum
semua jenis kerang juga lebih tinggi dan Isognomon ephippium yaitu sebesar
dibandingkan dengan kadar Cu dalam air. 4,852 ppm dan terendah pada kerang Narita
Hal ini juga menunjukkan bahwa Cu yang polita yaitu 2,228 ppm. Perbedaan ini
terdapat dalam air terakumulasi dalam tubuh disebabkan oleh perbedaan fisiologis masing-
kerang yang diamati, dengan factor masing jenis kerang.
akumulasi yang berkisar antara 155-1259 Nilai ambang batas Cd dalam makanan
(Tabel 3). Akumulasi ini terjadi akibat hasil laut yang ditetapkan oleh Australian
konsumsi Cu yang berlebihan, sehingga tidak National Health and Medical Council adalah
mampu lagi dimetabolisme oleh kerang
2 ppm (Plasket & Potter, 1979). Kadar Cd tersebut. Hal yang sama ditemukan oleh dalam semua jenis kerang yang diamati di
Hutagalung & Razak (1982) di perairan Teluk
Muara Angke, Teluk Jakarta, dan Hutagalung dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas
Palu, ternyata
lebih
tinggi
& Sutomo (1996) di perairan Teluk Banten, tersebut. Jumlah Cd yang boleh masuk ke
Jawa Barat.
tubuh manusia melalui badan makanan Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa adalah 400 µg per orang per minggu per 70
akumulasi Cu oleh kerang yang diamati kg berat badan (Hutagalung, 1991).
ternyata tidak sama. Hal ini diperkirakan Berdasarkan ketentuan ini, maka jumlah
karena perbedaan fisiologis masing-masing kerang Gaerarium tumidum dan Isognomon
jenis kerang. Kadar Cu yang tinggi dijumpai ephippium yang bias dikonsumsi adalah 400
pada kerang Narita polita yaitu 83,108 ppm µg dibagi 4,852 µg/g (kadar Cd dalam
dan Isognomon ephippium yaitu 79,62 ppm. Gaerarium
Isognomon Kadar Cu dalam kedua jenis kerang tersebut ephippium ) = 82 g per minggu per 70 kg
tumidum dan
telah melebihi nilai Ambang Batas yang berat badan. Dengan cara yang sama akan
ditetapkan oleh The Current State Food Standard Regulation , Tasmania (Hutagalung
& Suwirna, 1987) untuk bahan makanan tertinggi dijumpai dalam kerang Thais sp yang berasal dari laut. Menurut standar
yaitu 1594 ppm, dan terendah dalam kerang Tasmania tersebut Nilai Ambang Batas Cu
darah Anadara granosa yaitu 60 ppm Nilai yang diperkenankan dalam bahan makanan
Ambang Batas Zn yang diperkenankan untuk hasil laut adaalah 30 ppm.
bahan makanan hasil laut menurut Jumlah Cu yang diperkenankan masuk
Tasmanian Food and Drug Regulation ke dalam tubuh manusia adalaah 33.500 µg
(Hutagalung & Suwirna, 1987) adalah 40 per 70 kg berat badan per minggu
ppm. Dengan demikian bila kerang tersebut (Hutagalung, 1991). Dengan demikian kadar
manusia akan dapat total Cu yang diperkenankan masuk ke
dikonsumsi
menimbulkan keracunan. daalam tubuh manusia akan diperoleh jika mengkonsumsi kerang Narita polita tersebut
KESIMPULAN
sebanyak 35.500 µg/83,104 µg/gr = 427 g per 70 kg berat badan per minggu dan kerang
Dari data yang diperoleh dapat
disimpulkan bahwa kadar Cd dan Cu dalam µg/79,62 µg/g = 455 g per 70 kg berat badan
Isognomon ephippium sebanyak 35.500
air laut lebih tinggi dari Nilai Ambang Batas per minggu. Menurut WHO (palar, 1994),
yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Negara kebutuhan tubuh manusia terhadap Cu cukup
kependudukan dan Lingkungan Hidup, tinggi. Manusia dewasa membutuhkan
sedangkan dalam daging semua jenis kerang sekitar 30 µg Cu per kg berat badan, anak-
kadar Cd, Cu, dan Zn telah melebihi nilai anak 40 µg per kg berat badan, sedangkan
ambang batas yang diperkenankan untuk bayi 80 µg per kg berat badan. Pada kerang,
bahan makanan hasil laut. Kadar Cd tertinggi bila dalam tubuhnya telah terakumulasi Cu
dan dalam kerang Gaerarium tumidum dan dalam jumlah tinggi maka baagian otot
Isognomon ephippium , Cu dalam kerang tubuhnya akan berwarna kehijauan. Hal
Narita polita, dan Zn dalam kerang Thais sp . tersebut dapat dijadikan petunjuk apakah
Untuk Cd, kerang Gaerarium tumidum dan kerang yang hidup di suatu perairan masih
Isognomon ephippium yang dikonsumsi layak untuk dikonsumsi atau tidak.
adalh 82 g per minggu per 70 kg berat badan. Kadar Zn daalam semua jenis kerang
Untuk Cu, kerang Narita polita dan juga relative tinggi dibandingkan dengaan
ephippium yang boleh dalam air. Hal ini menunjukkan bahwa Zn
Isognomon
dikonsumsi adalah 427 gr dan 455 gr per yang terdapat dalam air juga telah
minggu per 70 kg berat badan. terakumulasi dalam tubuh kerang yang diamati, dengan factor akumulasi yang berkisar antara 2500-66416 kali. Hal yang
DAFTAR PUSTAKA
sama juga ditemukan oleh Hutagalung & Razak (1982) di perairan Muara Angke,
Kantor MENKLH. 1988. Keputusan Menteri
Teluk Jakarta, dan Hutagalung & Sutomo
Negara
Kependudukan No.Kep-
(1996) di perairan Teluk Banten, Jawa Barat.
02/MNKLH/I/1988 tentang Pedoman
Kadar Zn dalam semua jenis kerang Buku Mutu Lingkungan . Kantor tidak sama,seperti yang telah dijelaskan
Menteri Negara Kependudukan dan terdahulu untuk Cd dan Cu. Perbedaan
Lingkungan Hidup, Jakarta tersebut ada kaaitannya dengan sifat
Berman.E.1980. Toxic Metals and Their
fisiologis masing-masing kerang. Kadaar Zn Analysis. Heyden & Son Ltd. Heyden, dalam semua jenis kerang yang diamati
London.
telaah melebihi Nilai Ambang Batas yang Hutagalung, H.P & H. Razak. 1982. diperkenankan untuk dikonsumsi. Kadar Zn
Pengaamaatan Pendahuluan Kadar
Pb dan Cd dalam Air dan Biota di
Magnuson, B. & S. Westerlund. 1981.
Estuari Muara Angke. Oseaanologi
Solvent
extraction procedures
di Indonesia No 15: 1-10.
combined with back titration for trace
Hutagalung, H.P & Sutomo. 1996.
metals determinations by atomic Kandungan Pb, Cd, Zu dalam Air,
absorption spectrophotometry. Anal. Sedimen dan Kerang Darah di
Chin.Acta. 131: 63-72
Perairan Teluk Banten, Jawa Barat. Palar, H. 1994. Pencemaran & Toksikologi Inventarisasi
dan
Evaluasi
Logam Berat. Penerbit Rineka Cipta.
Lingkungan Pesisir (Oseanografi,
Jakarta.
Geologi, Biologi dan Ekologi). P3O-
Plasket. D. & G. Potter. 1979. Heavy Metals
Concentration in the Muscle Tissue Hutagalung, H.P & S. Suwirna. 1987. Heavy
LIPI, Jakarta: 141-146.
of 12 Species of teleost from Metals Content in Some Seafoods
Cockburn Sound, Western Australia. Collected from Angke Estuary F ish
Aust. J. Mar. F resw. Res.
Auction Place, Jakarta. Mar.Res.
Indonesia (26): 51-58. Said, I. 2011. Bioakumulasi Logam Berat
Hutagalung, H.P. 1991. Pencemaran Laut
Krom (Vi), Merkuri (Ii), Dan Timbal oleh Logam Berat, Dalam: D.H.
(Ii) Dalam Makrozoobentos Terebralia Kunarso
Ruyitno: Status
Sulcata Pada Perairan Estuaria Teluk
Pencemaran Laut di Indonesia dan
Palu, Disertasi. Tidak diPublikasikan, Teknik Pemantauannya . P3O-LIPI,
Pasca sarjana Universitas Hasanuddin Jakarta: 45-49.
Makassar.
Kobayashi, J. 1978. Pollution by Cadnium
Sanusi, H.S. 1985. Akumulasi Logam berat and Itai-Itai Disease in Japan. In
Hg dan Cd pada tubuh IKan Toxicity of Heavy Metals in The
Thesis. Fakultas Environment. Part I. Maecell Dekker,
Bandeng.
Pascasarjana IPB-Bogor Inc., New York.
Suwirma, S, 1988. Kandungan Logam Berat
Laws, E.A. 1981. Aquatic Pollution. A di Aliran Sungai Cakung. Thesis. Wiley-Interscience Publication, John
Pascasarjana ILmu Wiley & Sons, New York.
Program
Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta.
Electrospray Mass Spectrophotometry of Linear Ligands and their metal ion complexes
Vanny Tiwow
Faculty of Education Tadulako University Palu Email : Vanny.Tiwow@gmail.com
Abstract
The aim of this research is to determine if the linear N2 Ligand and the linear N2S3 ligand in solution in the absence and presence of a range of mainly M(II) ion survive the electrospray process, and whether the mass spectra reflect likely species that ar e present in bulk solution. The application of electrospray mass spectrometry (ESMS) method which consisted of a vacuum system, an inlet system, an ESI sources, a quadrupole mass filter and an electron multiplier detector. Each part of these contents had their technique, condition and processing. Sample solutions of complexes of ligand were prepared in milli-Q water (to 10 -4 M). Aliquots of these solution 20 m were stirred and gently heated, mixed, with the solution of the metal ion salts in water, stirred and the pH adjusted. All sample solutions were directly infused into the electrospray sources using a 10-microliter syringe assisted by the flow of mobile phase which was fed by the binary pumps of the HPLC system. The result showed that both these linear ligands clearly went through a various of range cleavage reaction under ESMS conditions but keep their consistency in part as free and complexed species. Fragmentation appeared indisciminantly at the weaker C-S and C-N bonds rather than at C-C bonds. A wide range of transition metals formed dominantly 1;1 complexes with the ligands reflecting the behavior in bulk solution.
Key words : linear ligand, complexes, ESMS
1. Introduction
= Cl, Br, I). 1 Exchanges of M, E and X were The development of ESMS has had a
detected in various mixtures of these clusters profound impact on the mass spectrometric
and the fragmentation have been investigated analyses of a broad range of analytes, notably
The distribution of simple hydrated inorganic and inorganic and bioinorganic
and complexes metal species in solution was systems. One of the potential areas of
also determined using ESMS for complexes investigation involving ESMS has been the
formed by selected metal ions with added detection and analysis of transition metal ion
organic ligands using water/acetonitrile and complexes in aqueous and non- aqueous
50: 50water: methanol solvents under acidic, solution. The focus in ESMS in on studies of
neutral and basic conditions. 1 The metal ions the gas-phase metal ion chemistry, which may
examined
reflect the chemistry in the bulk solution Mn² ,Co² ,Ni² ,Zn² ,Cd² ,Pb² ,Fe³ ,Cr³ and employed in analysis. The technique appears
A1³ ] are known to be of both biological and ‘soft’ enough to often preserve complexes in
geochemical importance. Simple organic the gas phase. Despite these and other studies,
ligands used, namely 8-hydroxyquinoline (a it is surprising that no examination of simple
N,O donor), N,N-diethyldithiorcarbamate linear saturated polymines and polyaminothio
(S,S ), diphenylthiocarbazone (N,S), and ethers have appeared. A range of inorganic
dimethylglyoxyme (N,N). metal species system has been examined to date. For
containing acetate and nitrate ions as well as example, Lover et al had characterized by
solvent molecules predominated in acidic ESMS the chemistry of anionic metal sulfide
solution, but became less abundant at higher thiolate clusters, such as [E 4 CD 10 (SPh) 16 ] 4- pH. Interaction between metal ions and (E=S,Se), [SZn 10 (SPh) 16 ] - and [S4Cd 17 added organic ligands become more
(SPh) 28 ] and of the metal thiopenolate selective with increasing pH, showing the complexes
[M(SPh) 4 ] 2- and[M(SPh) 10 ] 2-
expected preference of hard and soft ligands
(where M = Cd, Zn), and [Cd 4 X (SPh) 4 4 ] 2- (X
for metal ions of the corresponding type.
Species distributions also tended toward
neutral iron (III), larger complexes as the pH increased.
solutions
of
and copper(II) Reduction of copper (II) in aqueous
cobalt(III),nickel(II)
dithiocarbamate (R dtc )with nitrosonium acetonitrile resulted in the detection of
tetrafluoroborate. The major reaction of the copper (I) complexes for certain ligands.³
metal dithiocarbamate with NOBF studied This research surveys some aspects
here correspond to NO acting as an of the characterisation by ESMS of the
innocent one-electron oxidant. However, the binding of metal ions with both the linear N
[ Feˡ˅(R dtc)]³ ,[Coˡ˅ (R dtc) ] , ligand (1) and the linear N S ligand (2).
ions
[Niˡ˅R dtc) ] and [Cuˡˡˡ(R dtc) ] ions are The objectives were to determine if
the dominant species formed, as is the case these ligands in the solution in the absence
with electrochemical oxidation. However, and presence of a range of mainly M(II) ion
[Fe(R dtc) NO] and survive the electrospray process, and whether
the
ions
and [Cu(R dtc) S] the mas spectra reflect likely species that are
[Co (R dtc) S]
resulting from oxidant addition or ligand present in the bulk solution. A limited
dissociation reaction were also observed as examination of two linear Schiff base
products.
diimines based on (2) and an oxo analogue is Faizar and coworkers studied bolt Cu(I) and also included, where the imine bond is a
Cu(II) species extracted from jet fuel that candidate for hydrolytic cleavage.
was exposed to copper metal by using
2. Reading reviews
ESMS. 5 The detection of the copper species Alvare, et al found that the
by the electrospray method depends on the electrospray analysis of a series of
ligand introduced during the analysis or methanolic solutions composed of a present in the carrier stream. Detection limits
quinoline antibiotic, a transition metal ino in the 30-150ppb range are achieved for the salt and auxiliary diimine ligands yields
N,N’-disalicylidene-1,2- mass spectra that indicate the formation of
coper
(II)
propylenediamine complex, detected as its
metal complexes. 3 The quinolone-metal
protonated ion.
complexes generated are of the type [Mˡˡ(L- Recently, Ralph et al examined a
H )(bipy)] , where M (II) is either Cu, Co, series of cationic metal complexes of the or Ni and 2,2’-bipyridine is the auxiliary
cage compound ligands.
bicyclic
hexamine
1,5,9,13,20-pentamethyl -3,7,11,15,18,22- Bond the coworkers examined a
hexaazabicyclo[7.7.7] tricosane by using range of ionic platinum (II) complexes by
ESMS, together with metal complexes of ESMS, and related these to parallel NMR
relate d smaller and larger hexamine ’cage’ studies. 4 The main identifying feature of
complexes. 6 The most abundant ion observed compounds was their rich isotopic pattern,
in the ESMS of divalent metal-ion cage which dominates the appearance of the mass
complexes was the doubly-charged molecular spectrum. The polyphosphine derivatives of
ion,[M(cage)]² . For trivalent metal ion
a series of ionic Pt(II)-dithiolate complexes complexes, spectra obtained using a low all produced the intact cation in their mass
resolution quadrupole mass spectrometry spectrum, usually as the base peak. With
suggested that the most abundant ion is the certain
mono-deprotonated metal(III) ion of the type combinations, dications were formed in the
[Mˡˡˡ (cage-H)]² , whereas when the spectra of solution, and these invariably formed an ion-
several of these cage complexes were paired adduct with the acetate ion from the
obtained using a high-resolution sector mobile phase. The association of anionic
instrument it was shown that the most intense groups with multiply-charged cation is found
peaks were due to mixtures of this and the for inorganic systems under ESMS
reduced metal (II) ions, [Mˡˡ(cage)]² ,formed conditions, since charge reduction to mainly
by reduction of the metal(III) ion complex in
1 or at 2 ions is a feature noted in many
the ion source.
ESMS studies
where
appropriate
3. Experimental Method
mechanisms of charge reduction can operate. Sample Preparation and Analysis Another series examined studied cationic
Sample solution of (2) for ESMS complexes generated by the reaction of
were prepared by dissolving the solid 1,11- were prepared by dissolving the solid 1,11-
NN NH 3 +
The solution was stirred and gently headted.
A 20 mL aliquot of this solution was mixed
into a solution of the metal ion salt ( 10 M) in milli-Q water (20 mL). The hydrated salts
ofCu (CIO ) , Ni (CIO ) , COCL , ZnCL , The peak due to the monoprotonated CrCI ,CdCI and Fe(NO ) were used. After
(1) is the peak, at m/z 190.1 under the pH stirring, each of the mixed solution was
condition present in the bulk solution, adjusted to pH 6, usually by adding to the
polyprotonated species would not be present solution 0.1 M aqueous sodium hydroxide. A
in hight amounts in the bulk. Since ESMS Hanna HI8521 pH meter (Hanna Instruments,
favours charge-reduced species, it is not Italy) was used for measuring pH values, and
surprising that the absence of polyprotonated was calibrate at room temperature using
species carries through from the bulk buffers of pH 4.0 and 7.0 (BDH, Australia).
solution. In this case, even (1) H ² is Sample solutions of complexes of (1)
detectable only at high cone voltage (C.V), were prepared by dissolving the ligand
and then as a small peak ; it is absent at the tetraethylenepentamine in milli-Q water (to
relatively low 20V C.V. conditions used
10 M). Aliquots of these solution (20 mL) routinely in this study. However, even at 20V were stirred and gently heated, mixed with the
C.V., significant fragmentation of (1) occurs, solution of the metal ion salts in water (10
if a random sequence of C-N cleavages M,20 mL), stirred, and the pH adjusted to 6.
(including successive cleavages) occurs, All sample solution were directly
fragment of the type depicted in Scheme 1 infused into the electrospray source using a
may form. These arise by loss to yield smaller 10-microliter syringe assisted by the flow
polyamine. Alternatively, cleavage at C-N mobile phase (which was fed by the binary
bonds towards the centre can occur,giving pump of the HPLC system).
rise to fragments containing a range of Mass spectra were acquired by
different numbers of amine groups. In scanning the quadrupole mass filter from m/z
addition, if some of the radical intermediates ratio of the most abundant peak in the parent
of bond scission undergo cyclisation rather group
than proton abstraction, di-,tri- and tetra-aza cyclic species may from, also depicted in the
Results and Discussion
Scheme, and are included in assignments made in Table 1. as the cone voltage is
Metal Ion Complexes of Tetren increased, fragmentation increases (Figure 1), The pentaamine tetren (1) is
with (F8)H becoming the dominant peak at chemically stabe and forms thermodynamic-
40V C.V.
cally stable complexes with a wide range of This is behaviour observed generally in metal ions. Cyclic polyamines and their
ESMS; although considered a’ soft’ MS complexes are generally even more stable,
technique, and hence capable of preserving and this is reflected in their ESMS behaviour,
molecular ion integrity, some fragmentation is where dissociation processes are medest. 6,10 frequently observed ang increases at higher
The stability of saturated, linear polyamines
cone voltage.
under ESMS is less well probed, if studied at All metal ions studied from 1:1 all, to date. The example tetren (1) has been
complexes with (1) (Table 1). These are examined in this work. Under mild ESMS
dominantly simple [M(1)]² and or [M(1)]² . conditions, fragments consistent with N-C
xH O species. An example of the ESMS of a bond breakages and some following reactions
metal complex appears in Figure 2. Since (1) accur; in fact, all of the N-C bonds appear to
is capable of five –coordination, it is assumed
be implemented. Potential sites of cleavage in that the gas-phase [M(1)]² complexes are the molecule are indicated below.
five-coordinate species, although lower coordination can be achieved with a dangling
arm and higher coordination can be achievedd arm and higher coordination can be achievedd
Table 1. Major metal complex ions observed in the ESMS of tetren (1) ligand in the presence of added metal (II) ions. Metal ion
complexes
m/z obsd % BPI m/z calcd
Copper(II) Cu(I) 2+
[Cu(I)(ClO 4 )] + 216.7, 64%
[Cu(I)(OH)] 2+ H 2 O
Cu(I) + 251.3, 3%
[Cu(I)H (ClO 4 )] 177.9, 36%
[Cu(I)] .6H 2 O
Figure 2. The ESMS spectrum of(1) with an
Cobalt(II) Co(I) 2+
equimolar amount of cadmium(II) ion in
[Co(I)(OH)] 2+ H 2 O
Co(I) + 247.6, 1%
water ( at a cone voltage of 20 V).
Nikel(II) Ni(I) 2+
[Ni(I)] 2+ .2H 2 O
Lower charges species are detected, achieved
Cu(I) + 247.6,1%
by deprotonation of a water to from
Iron(II) [Fe(I)] 2+ .H 2 O
[Mˡˡ(1)(OH)] species or else by metal ion
Fe(I) +
reduction to form [Mˡ(1)] species. For the
[Fe(I)(OH)] +
above two ion, the alternate deprotonated
Chromium Cr(I) 2+ .H 2 O
species [Mˡˡ(1-H)(OH )] and [Mˡˡ(1-H)]
(II) [Cr(I)] 2+ .3H 2 O
[Cu(I)(OH) + 259.3, 4%
respectively cannot be distinguished from the
Zink(II) Zn(I) 2+
first two proposals in the low resolution
[Zn(I)(OH)] +
machine used. In studies by another group
[Zn(I)] 2+ .2H 2 O
using a high-resolution machine, it was
Cadmium Cd(I) 2+
concluded that both deprotonation and metal
(II) Cd(I)] 2+
ion reduction processes operate. 9 However, the strong growth in peak intensity with
increasing cone voltage for the latter of the first two c hoices in this study favours [Mˡ(1)]
rather than the [Mˡˡ(1-H)] as the major species observed. In some cases, complexes such as [M(1)X] (X =anion, such as CIO ) are found. This behaviour has been repported
previously for metal salt. 10 The ESMS technique is known to favour charge reduction of higher charged species,achieved by metal ion reduction,deprotonation,or strong ion pairing. All methods appear to operate to some extent here to produce monoprotonated ions.
Apart from the copper complexes of (1) reported in table 2, there are some peaks assignable to complexed fragment of (1). Identified species were [Cu(F1)]² .
Metal ion Complexes of N 2 S 3 -Tetren The free mixed-heteroatom ligand (2) appears to undergo substantial cleavage in the
Figure 1. Variation in ESMS spectrum of (1) ESMS process, although the simple ion (2)H + in water at pH 6 cone voltage (a) 20 V,
is the major peak at low cone voltage (Table (b) 30V(c)40V 2). As the cone voltage is raised, the is the major peak at low cone voltage (Table (b) 30V(c)40V 2). As the cone voltage is raised, the
H + 2 N SS
NH 3
Figure 4: A part of the ESMS spectrum of (2) complexed with nickel(II) ion in water (C.V.
of 20 V), isotopic patterns [ 58 Ni/ 60 Ni] are resolved for some peaks here and in other spectra, but machine resolution limits this level of detail.
Scheme 1. Fragmentation Species of N 2 S 3 - Tetren (2) ligand in ESMS
(F12) H +
(F13) H +
+ NH 3 SH
SS
. Figure 3: Variation in the ESMS
(F14) H +
NH 2 + S
spectrum of (2) in water at pH with cone
(F15) H +
NH 2 voltage; (a) 20V, (b).30 V, (c) 40 V. +
(F16) H +
This produces a range of fragments
NH 3 +
S NH 3 +
(Scheme 1), some of which arise from
(F17) H +
subsequent cyclisation and or bond formation
H 3 N CH 2 reactions of short-lived radicals. The fragment CH3
NH 2 S
S NH + 3 +
(F18) H +
(F20) H +
(F12) Form by loss of NH 2 -CH 2 -CH 2
fragment via C-S cleavage and presumably H + 2
subsequent proton abstraction. (F13) and
(F19) H +
(F21) H +
(F14) subsequently can form from loss of further –CH 2 -CH 2 -SH unit. Alternatively,
relative size in approximately the same (F13) and F16) can for from cleavage of a C-
manner as the C.V. is raised, this sugggests S at the central tioether, with the smaller of
that this may be plausible and dominant the two fragment formed initially cyclising to
reaction. (F18). Cyclisation of fragments is form (F16). Since (F13)and (F16) vary in
observed, with macrocycle (F15), formed.
The amount of (2)H+ observed decreaseds as formed by (2). This fragmentation appear to the C.V. increases, while amounts of
be greater then observed with (1), reflecting fragments generally increase. This is
the weaker C-S compared with C-N bonds, consistent which greater fragmentation under
but once again complexation may reduce the increased collision activation.
extent of decomposition Reformation of thiol and carbon radical fragments can account for formation
4. Conclusion
of (F17), whereas combination of two thiol Liner polydentate ligands with N and S radicals leads to formation of disulphide with
heteroatoms clearly undergo a range of bond metal complexation of (2) leads to dominantly
cleavage reactions under ESMS conditions, yet maintain their integrity in part as both free
1:1 species (Table 3) particularly
and complexes species. Fragmentation occurs [M(2)] .xH 2 O(x ≥ 0) (Figure 4). Once again fairly indiscriminately at the weaker C-S and
charge reduction is seen via strong ion-pairing C-N bonds rather then at C-C bonds. A wide
range of transition metals form dominantly reduction (eg. [Cu II (2)] + ) or the protonation
(such as seen in [Cu II (2)(ClO 4 ) + ), metal ion
1:1 complexes with the ligands examined here (eg. [Ni(2) (OH)] + ).
reflecting the behavior in bulk solution. There is some evidence to suggest that cyclic
ligands undergo less fragmentation than Table 1. Major metal complex ions observed analogous acrylic ligands, particularly when
in the ESMS of N 2 S 3 -Tetren (2) ligand in the present as their metal complexes. Further and presence of added metal (II) ions.
more detailed examination of this observation is warranted.
Metal ion complexes
m/z obsd % BPI m/z calcd
This study has identified that the ‘soft’
Copper(II) Cu(2) 2+
ESMS technique, though to produce structural
Cu(2)(OH)] 3H 2 O 179.2, 78%
retention in polydentate ligands and their
Cu(2) + 303.7, 19%
[Cu(2)(ClO 4 )] + 402.4, 100%
complexes, can exhibit significant cleavage of
[Cu(2)(OH)] + 561.3, 8%
at least acyclic ligands even at low cone
Cobalt(II) Co(2) 2+
voltage. This behavior is even more marked at
[Co(2)(OH)] 2+ H 2 O
higher cone voltages. This caution in the use
Co(2) + 390.7, 65%
and interpretation of the technique, powerful
Nikel(II) Ni(I) 2+
though it may be for studies of coordination
[Ni(I)] .2H 2 O
chemistry, is required.
[Ni(I)] .3H 2 O
[Ni(I)] 2+ .5H 2 O
[Ni(I)] 2+ .7H 2 O
Ni(I) +
(OH) + 317.0, 90%
Iron(II)
[Fe(2)] 2+ .2H 2 O
1. A. R. Ross, M. G. Ikonomou, J.A.
Fe(2)(OH)] + .H 2 O
Thomson and K. J. Orians, Anal. Chem.,
Chromium Cr(2) 2+ 145.2, 100%
[Cu(2)(OH 2 ) + 103.0, 23%
2. E. J. Alvares, V. H. Vartanian and S.J.
[Cr(2)(OH)] +. H 2 O
Zink(II) Zn(2) 2+
Borodbelt, Anal. Chem ., 1997, 67,1147.
[Zn(2)] 2+ .2H 2 O
3. A. M. Bond, J. Harvey and S. J. Traeger,
[Zn(2)(OH)] +
Inorg. Chem. Acta ., 1995,288, 193.
Cadmium Cd(I) 2+
4. A. M. Bond, R . Coton, A. D. Agostino,
(II) Cd(I)] 2+ .2H 2 O
Cd(I)] 2+ .5H 2 O
J. Harvey and J. C. Traeger, Inorg.
Cd(I)] + .2H 2 O
Chem. Soc. Dalton Trans ., 1993, 32, 3952.
5. T. Vaisar, F. Turecek, L. C. Galtlin, for complexes of (1). Once again, ligand
This is parallel behaviour discussed
Anal.Chem. 1994, 66, 3950. fragmentation is noted in the presence of
metal ions despites the strong complexes
6. S. F. Ralph, M. M. Shiel, A. L. Hick, R. J. Geue, and A. M. Sargeson, J. Chem. Soc., Dalton Trans. 1996, 4417.
7. Sutrisno, doctor thesis , University of Newcastle, 2000.
URGENSI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN DALAM PENERAPAN PAKEM BERINTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA
Gamar Abdullah, S.Si., M.Pd 1
1 Jurusan PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK
Makalah ilmiah ini bertujuan mendeskripsikan kualitas perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan dengan mengimplementasikan model-model pembelajaran yang berbasis PAKEM berintegrasi pendidikan karakter serta mendeskripsikan hasil implementasi perangkat pembelajaran tersebut pada mata kuliah Pembelajaran Sains SD. Rumusan masalah yang akan dibahas adalah (1) Bagaimanakah kualitas perangkat pembelajaran pada mata kuliah Pembelajaran Sains SD yang dikembangkan dengan menggunakan model-model pembelajaran berbasis PAKEM berintegrasi pendidikan karakter, dan (2) Bagaimanakah implementasi perangkat pembelajaran dengan menggunakan model-model pembelajaran berbasis PAKEM berintegrasi pendidikan karakter pada mata kuliah Pembelajaran Sains SD? P enelitian ini merupakan penelitan pengembangan dengan menggunakan metode pengembangan dari Thiagarajan (1974) yang terdiri dari empat tahap, yaitu: (1) pendefinisian, (2) perencanaan, (3) pengembangan (4) pendesiminasian. Perangkat pembelajaran yang telah dihasilkan adalah silabus mata kuliah, satuan acara perkuliahan (SAP) bahan ajar, lembar kerja mahasiswa (LKM), tes hasil belajar, serta instrument penialaian aktivitas dosen, mahasiswa dan karakter mahasiswa. Da ri hasil penerapan instrument dalam pembelajaran telah ditunjukkan bahwa implementasi perangkat ini dapat meningkatkan aktifitas mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa.
Kata Kunci: Perangkat, Pembelajaran, PAKEM, Karakter
A. Pendahuluan
yang dihadapi Implementasi model-model
Masalah
sekarang ini, secara umum dosen pembelajaran
menyajikan materi perkuliahan pembelajaran
pada
proses
melalui metode ceramah, termasuk meningkatkan mutu pembelajaran
bertujuan
untuk
untuk mata kuliah-mata kuliah yang (perkuliahan), serta meningkatkan
berhubungan dengan pembelajaran, aktivitas
sehingga yang terjadi adalah mahasiswa. Disamping itu, sebagai
dan
hasil
belajar
mahasiswa mengetahui banyak teori- jurusan yang mencetak guru-guru
teori belajar, mengetahui banyak sekolah dasar, tugas dosen bukan
model-model pembelajaran, akan hanya menstransfer ilmu dan
tetapi bagaimana menerapkan semua pengetahuan pada mahasiswa, akan
teori ini pada proses pembelajaran, tetapi lebih dari itu bagaimana
mahasiswa mengalami kesulitan. Ini membekali
terlihat pada mata kuliah PPL 1 keterampilan yang nantinya dapat
mahasiswa
dengan
2, mahasiswa diaplikasikan kelak pada saat
ataupun
PPL
mengalami kesulitan mulai dari menjadi guru.
penyusunan
perangkat hingga perangkat hingga
disampaikan oleh guru dapat ideal bagaimana seharusnya guru
dipahami oleh siswa dengan mudah. mengajar tidak pernah ditemukan
Untuk mengkondisikan agar dalam oleh mahasiswa.
pembelajaran terjadi interaksi yang Begitupun halnya dengan
efektif maka digunakan berbagai penerapan pembelajaran PAKEM.
pendekatan dalam pembelajaran. Mahasiswa cenderung hanya dibekali
Salah satu pendekatan pembejaran dengan
yang dapat digunakan adalah pembelajaran dengan sedikit contoh
teori-teori
model
Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, dalam
Menyenangkan Disamping itu, pendidikan bangsa
hal pengaplikasiannya.
Efektif
dan
(PAKEM), yang merupakan suatu dewasa ini lebih diarahkan pada
pembelajaran yang melibatkan guru pendidikan karakter anak bangsa.
dan siswa secara aktif. Pelaksanaan Oleh karena itu, penerapan PAKEM
bertujuan untuk yang berintegrasi dengan pendidikan
PAKEM
suatu lingkungan berbasis karakter dapat menjadi salah
menciptakan
belajar yang mengkondisikan siswa satu alternatif dalam menghasilkan
untuk menguasai keterampilan- pembelajaran yang efektif.
keterampilan, pengetahuan dan sikap Mata kuliah Pembelajaran
yang baik, untuk mempersiapkan diri Sains SD merupakan salah satu mata
siswa dalam kehidupannya kelak, kuliah di Jurusan PGSD yang
baik dalam kehidupan bermasyarakat berkaitan
maupun dalam melanjutkan studi ke pembelajaran PAKEM di SD.
dengan
penerapan
jenjang yang lebih tinggi (Indrawati, Mahasiswa
diharapkan
dapat
pembelajaran menarik, dan menggunakan media
mendesain pembelajaran Sains yang
Dalam
hendaknya keempat komponen pembelajaran yang efektif serta
PAKEM dapat dilaksanakan secara memanfaatkan segala sumber daya
untuk mewujudkan yang ada di lingkungannya sebagai
sinergis
tercapainya tujuan pembelajaran. sumber belajar. Oleh karena itu,
Secara garis besar dalam PAKEM dilakukan pengembangan perangkat
kondisi-kondisi pembelajaran pada mata kuliah
menggambarkan
sebagai berikut:
Pembelajaran Sains SD melalui
a. Peserta didik terlibat dalam pendekatan PAKEM berintegrasi
berbagai kegiatan (aktifitas) pendidikan karakter.
yang
mengembangkan keterampilan, kemampuan dan
B. Pembelajaran Aktif, Kreatif,
pemahamannya dengan
Efektif dan Menyenangkan
menekankan pada belajar
(PAKEM)
Berintegrasi
dengan berbuat ( learning by
Pendidikan Karakter
doing ).
menggunakan perpaduan antara pengertian kegiatan
Pembelajaran
merupakan
b. Guru/dosen
berbagai stimulus/motivasi dan pengajaran oleh guru dan kegiatan
alat peraga, termasuk lingkungan belajar oleh mahasiswa. Dalam
sebagai sumber belajar agar pembelajaran terjadi interaksi antara
lebih menarik, guru dengan siswa dan siswa dengan
pengajaran
menyenangkan dan relevan bagi siswa. Dengan terjadinya interaksi
peserta didik.
c. Guru/dosen mengatur kelas kesediaan berbagi dan merasakan untuk memajang buku-buku dan
kebaikan (Zuchdi, 2010:3). materi-materi yang menarik,
Secara imperatif pendidikan hasil karya peserta didik, dan
karakter bukanlah hal baru dalam membuat “pojok baca”.
sistem pendidikan nasional kita
d. Guru/dosen menggunakan cara karena tujuan pendidikan nasional belajar yang lebih kooperatif dan
dalam semua undang-undang yang interaktif, termasuk belajar
pernah berlaku (UU 4/1950; kelompok.
12/1954; 2/89 dengan rumusannya
e. Guru/dosen mendorong peserta yang berbeda secara substantif didik untuk menemukan caranya
memuat penddikan karakter. Dalam sendiri dalam menyelesaikan
Undang-undang Nomor 20 Tahun masalah,
2003 tentang Sistem Pendidikan gagasannya, dan melibatkan
mengungkapkan
komitmen tetang peserta didik dalam menciptakan
Nasional
pendidikan karakter tertuang dalam lingkungan
Pasal 3 yang menyatakan bahwa sekolahnya sendiri (Indrawati,
belajar
pada
“Pendidikan nasional berfungsi 2009)
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
Sebagai suatu
konsep
bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan terjemahkan
akademis, character atau kita
bertujuan untuk makna
karakter
memiliki
bangsa,
substantif dan proses berkembangnya potensi peserta didik psikologis yang sangat mendasar.
agar menjadi manusia yang beriman Lickona (2007) merujuk pada konsep
dan bertakwa kepada Tuhan Yang goodcharacter yang dikemukakan
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, oleh Aristoteles sebagai “... the life of
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan right conduct — right conduct in
warga negara yang relation to other persons and in
menjadi
serta bertanggung relation to oneself ”. Dengan kata lain
demokratis
jawab.” Jika dicermati semua elemen karakter dapat kita maknai sebagai
dari tujuan tersebut terkait erat kehidupan berprilaku baik/penuh
karakter (Winataputra, kebajikan, yakni berprilaku baik
dengan
terhadap pihak lain (Tuhan Yang Integrasi pendidikan karakter Maha Esa, manusia, dan alam
di dalam proses pembelajaran semesta) dan terhadap diri sendiri.
dilaksanakan mulai dari tahap Dalam dunia modern ini, lebih lanjut
pelaksanaan, dan dijelaskan bahwa kita cenderung
perencanaan,
evaluasi pembelajaran pada semua melupakan the virtuouslife atau
mata pelajaran. Di antara prinsip- kehidupan yang penuh kebajikan,
prinsip yang dapat diadopsi dalam termasuk
di dalamnya
membuat perencanaan pembelajaran orientedvirtuous atau kebajikan
self -
(merancang kegiatan pembelajaran terhadap diri sendiri, seperti self
dan penilaian dalam silabus, SAP, control
dan bahan ajar), melaksanakan pengendalian diri dan kesabaran; dan
and
moderation atau
proses pembelajaran, dan evaluasi other-oriented
adalah prinsip-prinsip pembelajaran kebajikan terhadap orang lain, seperti
virtuous atau
kontekstual ( Contextual Teaching generousity and compassion atau
and Learning ) (Wuryanto, 2011:211) and Learning ) (Wuryanto, 2011:211)
Dalam
menerapkan
sesuai dengan tujuan yang telah pendidikan
ditetapkan? Apakah guru atau dosen perkuliahan
karakter
dalam
perancang pembelajaran perencanaan yang baik. Ada tiga
perlu
dilakukan
sebagai
melaksanakan dan pertanyaan
dapat/mampu
berfungsi untuk mencapai tujuan yang pembelajarn, yaitu: (1) Bagaimana
tentang
perancangan
ditapkan? Perencanaan kebiasaan Anda dalam merancang
telah
pembelajaran hendaknya dipandang pembelajaran? Apa alasan Anda
sebagai suatu alat yang dapat melakukan demikian? (2) Apakah
membantu para guru/dosen dalam Anda puas dengan hasil yang Anda
melaksanakan tugas dan fungsinya capai? (3) Seberapa jauh tingkat
sebagai pengajar, serta mencapai keberhasilan peserta didik melalui
tujuan pembelajaran secara lebih pembelajaran yang Anda lakukan
efisien. Dengan berdasarkan
efektif
dan
perencanaan Yang matang seorang Ketiga
rancangan
tersebut?
guru akan lebih sistematis dan lebih menunjukkan bahwa perencanaan itu
pertanyaan
tersebut
memantau dan merupakan keharusan bagi guru
mudah
dalam
pelaksanaan proses maupun dosen sebelum mengajar.
mengontrol
pembelajaran dan pencapaian tujuan. Dengan
mempertimbangkan Guru maupun dosen yang mengajar keberhasilan peserta didik setelah
tanpa perencanaan pembelajaran yang pembelajaran, Anda dapat selalu
matang maka sudah dapat dipastikan mengubah perencanaan itu sesuai
hasilnya tidak akan memuaskan dan dengan kebutuhan. Begitupun halnya
tidak akan dapat mencapai tujuan dalam pengimplementasian pendidikan
secara efektif dan efisien. Oleh karena karakter dalam pembelajaran.
perencanaan pembelajaran Begitupun
itu,
merupakan langkah pertama yang bahan pembelajaran, Dalam konteks
halnya
dengan
harus dilakukan oleh guru/dosen pembelajaran, bahan pembelajaran
dalam melaksanakan tugas dan merupakan komponen yang harus ada
sebagai pengelola dalam proses pembelajaran, karena
fungsinya
pembelajaran.
bahan pembelajaran merupakan suatu
pengembangan komponen yang akan/harus dikaji,
Dalam
perangkat pembelajaran khususnya dicermati, dipelajari dan dijadikan
bagi mata kuliah pembelajaran sains materi yang akan dikuasai oleh siswa
SD telah dicoba dengan menggunakan dan sekaligus dapat memberikan
model 4-D yang dikemukakan pedoman
Thiagarajan, Semmel dan Semmel Tanpa bahan pembelajaran maka
untuk
mempelajarinya.
(1974) yang terdiri dari empat tahap. pembelajaran tidak akan menghasilkan
Keempat tahap tersebut adalah apa-apa.
pendefinisian ( define ), perancangan Fungsi
( design ), pengembangan ( develop ) pembelajaran
perencanaan
dan tahap penyebaran (disseminate). komponen-komponen berikut yang
berkaitan
dengan
1. Pengembangan Perangkat mengarah pada tujuan pembelajaran.
Pembelajaran
Apakah bentuk,
Pengembangan perangkat konstruksi pembelajaran sesuai dengan
model,
pola,
pembelajaran meliputi beberapa tujuan yang telah ditetapkan? Apakah
tahapan yaitu (1) penyusunan komponen materi yang di rencanakan
pembelajaran, (2) tersebut sesuai dengan tujuan yang
perangkat
validasi perangkat pembelajaran, telah ditetapkan? Apakah fasilitas (3) uji coba atau implementasi validasi perangkat pembelajaran, telah ditetapkan? Apakah fasilitas (3) uji coba atau implementasi
hasil belajar mahasiswa setelah proses pembelajaran berbasis
diterapkan pendekatan PAKEM karakter. Perangkat pembelajaran
pada pembelajaran sains hasil yang disusun meliputi silabus,
belajar mahasiswa adalah baik. satuan acara perkuliahan, bahan