Perjanjian Pada Umumnya
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Secara umum dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, di mana masing-masing pihak berjanji akan menaati
apa yang tersebut di dalam perjanjian yang telah disepakatinya. Subekti, 104 mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji untuk melakukan suatu hal. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terdapat rumusan mengenai perjanjian ini yang tercantum pada Pasal 1313, yang menegaskan bahwa perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih.
Dalam praktek, di samping istilah perjanjian juga dikenal istilah yang lain, yaitu istilah persetujuan. Namun demikian, dalam membahas sistem bisnis franchise ini penulis menggunakan istilah perjanjian, sebab di samping istilah perjanjian sudah biasa dipergunakan dalam masyarakat, istilah perjanjian tersebut menurut hemat penulis mencakup makna yang lebih jelas
dan tepat jika dibandingkan dengan istilah persetujuan. 105 Masalah yang berkaitan dengan perjanjian di dalam KUH Perdata
diatur pada buku III, yang menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak. Ini berarti KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para
Lihat Juajir Sumardi, "Perjanjian sebagai Dasar dalam Hubungan Bisnis 105 Franchise", Makalah, (Jakarta: PPSUI, 1993), hal.10.
Dikatakan bahwa istilah perjanjian lebih jelas dan tepat dari istilah persetujuan oleh karena persetujuan yang berasal dari kata setuju yang artinya sepakat dan mufakat, pada dasarnya merupakan syarat dari suatu perbuatan, sedang perjanjian itulah yang merupakan perbuatan induknya.
pihak yang mengadakan perjanjian untuk menentukan isi perjanjian dengan syarat tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sedangkan pasal-pasal di dalam KUH Perdata hanya merupakan hukum pelengkap, artinya apabila para pihak sudah mengatur sendiri dalam perjanjian, maka pasal-pasal dalam KUH Perdata dapat dikesampingkan. Namun sebaliknya, apabila para pihak belum mengatur dalam perjanjiannya, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata.
Buku III KUH Perdata tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum mengatur tentang perikatan- perikatan pada umumnya, perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian atau kontrak, perikatan-perikatan yang lahir karena undang-undang, dan tentang hapusnya perikatan. Sedangkan bagian khusus mengatur tentang perjanjian- perjanjian khusus yang dikenal atau disebut juga perjanjian bernama seperti; jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya.
Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kesepakatan untuk membuat perikatan.
3. Suatu hal yang tertentu.
4. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua sebagaimana tersebut di atas disebut sebagai syarat subjektif, sehingga dengan demikian, apabila tidak dipenuhi salah satu dari kedua syarat ini, maka dapat mengakibatkan perjanjian tersebut boleh dimintakan pembatalannya. Sedangkan syarat ketiga dan keempat tersebut di atas merupakan syarat objektif, yaitu jika salah satunya tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi batal karena hukum.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut di dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi, maka menurut Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 KUHP Perdata menegaskan bahwa ―semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ‖. Persetujuan- persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut di atas, maka dapat diketahui adanya asas kebebasan berkontrak, yaitu setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau bebas untuk menentukan isi suatu perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 106
2. Asas-asas Hukum Perjanjian
Dalam melakukan perjanjian, harus diingat bahwa di samping harus mengindahkan ketentuan-ketentuan yang ada, maka juga harus memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya. Adapun asas yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah:
Dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1338, maka dimungkinkan timbulnya bentuk dan/atau macam perjanjian yang belum diatur di dalam KUH Perdata. Perjanjian yang secara khusus sudah diatur di dalam KUH Perdata sejauh ini adalah: jual beli diatur dalam Bab V, tukar menukar dalam Bab VI, sewa menyewa dalam Bab VII, persekutuan diatur dalam Bab VIII, perkumpulan diatur dalam Bab IX, hibah diatur dalam Bab X, penitipan barang diatur dalam Bab XI, pinjam pakai diatur dalam Bab XII, pinjam meminjam diatur dalam Bab XIII, bunga tetap atau bunga abadi diatur dalam Bab XIV, persetujuan untung- untungan diatur dalam Bab XV, tentang pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI, tentang penangguhan hutang diatur dalam Bab XVII, dan tentang perdamaian diatur dalam Bab XVIII. Keseluruhan macam perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata ini dikelompokkan sebagai perjanjian bernama.
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah, bahwa para pihak bebas mengadakan perjanjian menurut kehendaknya sendiri, baik terhadap perjanjian yang sudah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum ada pengaturannya. Dengan asas ini, sering disebut bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
b. Asas kesepakatan (kosensual)
Maksud dari asas ini adalah, bahwa untuk lahirnya suatu perjanjian cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari per- janjian tersebut, maka pada saat itu pula perjanjian sudah sah atau lahir dan mempunyai kekuatan mengikat tanpa harus diikuti oleh perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. Asas konsensus ini merupakan asas yang universal yang terdapat dalam KUH Perdata, khususnya dalam hukum perikatan. Konsensus merupakan syarat mutlak bagi lahirnya perjanjian dalam hukum perjanjian modern.
c. Asas itikad baik
Asas itikad baik ini sangat penting dalam membuat suatu perjanjian, dimana yang dimaksud dengan itikad baik di sini adalah, bertindak sebagai pribadi yang baik. Asas ini berkaitan langsung dengan perlindungan hukum bagi para pihak bila suatu ketika terjadi sengketa di pengadilan.
d. Asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda)
Asas kekuatan mengikat atau sering disebut dengan asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menegaskan bahwa "semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Konsekuensi dari Asas kekuatan mengikat atau sering disebut dengan asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menegaskan bahwa "semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Konsekuensi dari
e. Asas berlakunya perjanjian
Pada dasarnya perjanjian itu hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, oleh karena itu perjanjian yang dibuat tidak boleh merugi-kan atau menguntungkan pihak ketiga kecuali perjanjian tersebut dibuat untuk kepentingan pihak ketiga.
f. Asas kepatutan dan kebiasaan
Asas kepatutan dan kebiasaan harus diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian. Sebagai ukuran dari kepatutan dan kebiasaan adalah pergaulan hidup-masyarakat di mana perjanjian itu akan dilaksanakan.
Suatu perjanjian apabila isinya dirasakan kurang patut atau bertentangan dengan apa yang menjadi kebiasaan masyarakat, maka dapat mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut. Karena itu, baik kepatutan maupun kebiasaan sifatnya juga mengikat. Hal ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menegaskan bahwa "perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur secara tegas di dalamnya, tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang".
3. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1233 KUH Perdata, "bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang", maka dengan berakhirnya semua perikatan yang terjadi Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1233 KUH Perdata, "bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang", maka dengan berakhirnya semua perikatan yang terjadi
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan tentang cara berakhirnya suatu perikatan, yaitu: Perikatan-perikatan hapus karena pembayaran; karena penawaran
pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan hutang; karena perjumpaan hutang atau kompensasi; karena percampuran hutang; karena pembebasan hutangnya; karena musnahnya barang yang terhutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam Bab I buku ini; karena lewatnya waktu.
Di samping hapusnya perjanjian berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata seperti tersebut di atas, masih ada sebab lain berakhirnya perjanjian, yaitu:
- jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir, - adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian
tersebut, - ditentukan oleh undang-undang, misalnya perjanjian akan berakhir
dengan meninggalnya salah satu pihak peserta perjanjian tersebut, 107 - adanya putusan hakim, dan
- tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.