Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

 Suku jawa 2. Untuk mengetahui alasan informan menjadi hipnoterapis. ‐ Karena senang membantu orang lain dan ingin memahami perilaku manusia 3. Untuk mengetahui proses komunikasi intrapersonal hipnoterapi dalam mengubah perilaku fobia di Klinik Tranzcare Jakarta.  Mengubah sebuah persepsi yang menjadi sebuah kesimpulan yang dimaknai secara salah sebagai hasil dari proses berpikir.

4.5 Pembahasan

Dari analisis hasil dan pengamatan peneliti, maka peneliti membuat pembahasan sebagai berikut: Dalam proses komunikasi intrapersonal hipnoterapi, peneliti memahami bahwa proses komunikasi antarpersonal yang terjadi antara hipnoterapis dan klien, Bersamanya juga terjadi sebuah proses komunikasi intrapesonal. Ini berarti bahwa sebuah pesan yang disampaikan hipnoterapis tidak serta merta langsung diterima oleh klien, namun terlebih dahulu akan melewati proses pengolahan pesan dalam diri individu tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini peneliti tidak akan melihat dari mana stimuluspesan berasal namun bagaimana sebuah pesan sebagai stimulus di proses dalam proses pengolahan informasi intrapersonal sehingga dapat mengubah perilaku fobia di dalam diri klien. Dari keempat informan tersebut, peneliti melakukan pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan peneliti dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui karakteristik hipnoterapis, untuk mengetahui alasan informan menjadi hipnoterapis, dan untuk mengetahui proses komunikasi intrapersonal hipnoterapi dalam mengubah perilaku fobia di Klinik Tranzcare Jakarta. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil analisis, peneliti mendapati bahwa karakteristik seorang hipnoterapis adalah orang yang memiliki pendidikan minimal sarjana strata 1 S1, untuk menjadi hipnoterapis strata bidang keilmuan hipnoterapis sendiri tidak harus selalu berkaitan dengan ilmu psikologi, komunikasi atau pun bidang ilmu sosial. Namun demikian peneliti melihat mereka yang menjadi seorang hipnoterapis adalah orang yang memiliki minat terhadap ilmu-ilmu pemberdayaan diri, komunikasi, persuasi dan juga potensi-potensi dasar manusia. Ternyata untuk menjadi seorang hipnoterapis selain mempelajari tentang hipnosis dan hipnoterapi mereka juga harus memperlengkapi dirinya dengan berbagai ilmu seperti NLP, Psikologi, Persuasi, Komunikasi, EFT Emotional Freedom Technique, Ego State therapy, psychocybernetics dan berbagai ilmu pemberdayaan diri lainnya. Walaupun pada praktik-praktik hipnosis tradisional sering sekali fenomena hipnosis dikaitkan dengan kepercayaan, kebudayaan, dan hal-hal spritual. Namun menjadi seorang hipnoterpis saat ini tidak terbatas pada kepercayaan, suku budaya, maupun agama, karena hipnosis modern sejatinya adalah bidang keilmuan yang universal dan dapat dipelajari secara ilmiah. Untuk menjadi seorang hipnoterapis mereka mempelajari hipnosis dan hipnoterapi melalui berbagai pelatihan non akademik yang tergolong cukup mahal, oleh sebab itu hipnoterpis di klinik Tranzcare memang orang-orang yang tingkat kesejahteraan hidupnya adalah menengah ke atas cukup mampu. Memang di Indonesia sampai saat ini, pembelajaran mengenai hipnosis dan hipnoterapi secara akademik masih sulit sekali didapatkan, karena hipnosis di Indonesia belum masuk dalam bidang keilmuan yang wajib dipelajari secara akademik. Peneliti juga mendapati kesamaan dari keempat hipnoterapis di klinik Tranzcare mengenai alasan mereka menjadi seorang hipnoterapis. Kesamaan alasan mereka terletak pada keinginan mereka untuk dapat membantu orang lain dalam menyelesaikan permasalahan yang dimilikinya. Peneliti menilai keinginan untuk dapat membantu orang lain adalah hal yang tidak hanya harus dimiliki oleh seorang hipnoterpis, tetapi juga mereka yang berprofesi sejenis sebagai dasar untuk Universitas Sumatera Utara memberikan palayanan dan penangan terbaik secara tulus dan bukan karena mencari keuntungan pribadi semata. Pada umum, adanya rasa takut yang dimiliki oleh seseorang merupakan hal yang wajar, bahkan emosi takut ini sebenarnya bersifat positif karena emosi takut bisa menjadi langkah antisipatif tanggapan terhadap sesuatu yang sedangakan terjadi dikemudian hari. Perasaan takut akan sangat berguna jika hanya membuat seseorang menjadi hati-hati dan waspada dalam menjalani hidup. Namun ketika perasaan takut ini menjadi berlebihan dan tidak irasional tidak masuk akal maka akan sangat menggangu kehidupan. Melalui wawancara dengan para hipnoterpis peneliti mendapati bahwa mereka yang miliki fobia pada umumnya menyadari akan perilaku fobianya yang tidak wajar. Mereka sadar akan perilakunya yang terlalu berlebihan dan irasional dalam merespon sebuah stimulus pemicu dari fobianya. Bahkan sering kali mereka yang memiliki fobia paham bahwa itu hanya masalah persepsinya saja. Walaupun mereka menyadari dan paham akan hal tersebut, mereka acap kali tidak mampu mengontrol dirinya dalam menghadapi stimulus dari fobianya. Pernyataan para hipnoterapis ini juga secara tidak langsung dibenarkan oleh pernyataan dari informan tambahan yang peneliti wawancarai, mba Vita menyatakan ia sadar bahwa perilaku fobianya tidak wajar dan tidak seharusnya ia memiliki fobianya. Ia pun mengatakan bahwa walaupun ia sadar bahwa fobianya hanya masalah dalam persepsinya saja dan ingin mengontrol dirinya ketika menghadapi stimulus pemicu fobianya ia tetap tidak dapat mengontrol dirinya sendiri. Para hipnoterapis di klinik Tranzcare menjelaskan mereka yang memiliki fobia tidak dapat mengontrol dirinya karena setiap kesadaran dan pemahaman yang mereka miliki untuk bisa lepas dari fobianya itu berada di pikiran sadarnya, Sedangkan fobia emosi takut itu sendiri berada di pikiran bawah sadar yang notabenenya berpengaruh sekitar sembilan kali lebih kuat dari pada pikiran sadar yang ingin mengontrol perilaku fobianya. Dengan pemahaman dan persepsi yang dimilikinya maka timbullah keyakinan yang ditambah dengan rasa emosional dalam diri mereka bahwa mereka tidak mampu lepas dari fobianya dengan kemampuannya Universitas Sumatera Utara sendiri. Maka keyakinan, nilai dan rasa emosional inilah yang menjadi konsep diri dalam diri mereka yang juga mempengaruhi perilaku mereka. Adanya keyakinan untuk bisa lepas dari fobianya dan kenyataan seseorang tersebut tidak dapat mengontrol dirinya untuk tidak berperilaku yang berlebihan dan irasional terhadap stimulus fobianya, membawa orang tersebut pada ketidakselarasan batin di dalam dirinya. Selain itu Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, diketahui bahwa perilaku yang seseorang tunjukan saat menghadapi stimulus fobianya adalah sebuah respon flight lari yang ada di primitive area. Respon flight adalah sebuah bentuk perlindungan diri dari sesuatu yang dianggap atau dipandang berbahaya bagi dirinya. Respon flight ini menghasilkan reaksi yang cepat tanpa melalui proses pengolahan informasi berpikir, karena respon yang begitu cepat bahkan terjadi tanpa disadari oleh individu itu sendiri sering kali perilaku ini tidak diharapkan oleh individu tersebut. Respon flight berupa perilaku yang terjadi tanpa dikehendaki ini jugalah yang menyebabkan ketidakselarasan atau ketidakseimbangan di dalam dirinya. Ketidakselarasan inilah yang menjadi perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan terganggu di dalam diri individu yang memiliki fobia. Selain dari dimensi internal, konsep diri seseorang juga dapat terbentuk dari dimensi eksternal yaitu bagaimana individu menerima penilaian sosial atas dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki perilaku fobia, merasa memiliki perasaan tidak menyenangkan dan terganggu juga kerena adanya penilaian yang negatif atau ketidak sesuaian perilakunya yang dibandingkan dengan kecenderung perilaku sosial pada umumnya. Dalam teori disonansi kognitif, ketidakselarasan atau ketidakseimbangan kognisi seseorang yang memahami bahwa dirinya melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ia ketahui dan yakini akan memotivasi seseorang untuk berpengharapan bisa lepas dari perasaan-perasaan tidak menyenangkan atau mengganggu tersebut. Kemudian mengambil langkah demi mengurangi perasaan ketidaknyaman, tidak menyenangkan dan perasaan terganggu tersebut. Adanya pengharapan seseorang akan keyakinan diri bisa lepas dari fobianya sehingga bisa kembali menjalani aktivitas sehari-harinya secara normal merupakan konsep diri Universitas Sumatera Utara yang positif, yang kemudian menjadi alasan mereka untuk mengambil upaya menghilangkan fobianya dalam hal ini dengan datang ke klinik hipnoterapi. Dengan datang ke klinik hipnoterapi inilah mereka mengambil langkah untuk mendapatkan perubahan yang menghilangkan ketidakselarasan atau ketidak seimbangan karena perilaku fobianya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki pengharapan dan keyakinan bisa lepas dari fobia yang dimilikinya akan pasrah menjalani kehidupannya dengan menerima perilaku fobia tersebut. Menurut Festinger dalam West dan Turner 2008, jika seseorang menemui orang lain dalam rangka mengurangi disonansi kognitif maka hal tersebut merupakan cara dan usahanya untuk mempengaruhi dirinya sendiri demi mengalami perubahan dalam dirinya. Jadi berdasarkan hasil dan pengamatan peneliti, hipnoterapi adalah proses yang sesuai dengan pernyataan Festinger ini. Sebab hipnoterapi adalah sebuah proses yang memfasilitasi setiap individu untuk bisa mempengaruhi dirinya sendiri dengan lebih efektif demi mengalami perubahan dalam diri individu tersebut. Dapat dikatakan sampai saat ini masih sedikit dari mereka yang memiliki fobia, mau memilih metode hipnoterapi untuk mengubah perilaku fobianya. Hal ini dikarenakan masih buruknya stigma masyarakat Indonesia terhadap praktik-praktik hipnosis sehingga dapat dipastikan hanya mereka yang memiliki pandangan baik terhadap praktik hipnosis saja lah, yang baru mau menjalani metode hipnoterapi. Pada saat konsultasi mba Vita dengan pak Juli, peneliti juga memahami bahwa mba Vita tidak memiliki pandangan yang buruk atau hal-hal yang menakutkan tentang hipnosis, hanya saja ia tidak memiliki pemahaman lebih dalam mengenai hipnosis. Biasanya mereka yang memandang baik praktik hipnoterapi, datang ke klinik hipnoterapi dengan tidak ada paksaan dari orang lain atau dapat dikatakan datang atas kesadaran dirinya sendiri. Dengan datang atas kesadaran sendiri, dalam menjalani proses hipnoterapi maka secara tidak langsung klien sudah siap untuk mengalami perubahan yang diharapkan dalam dirinya. Kesadaran dan kemauan seseorang untuk menjalani hipnoterapi untuk mengubah perilaku fobia yang sejatinya adalah self hipnosis, dapat sangat membantu proses keberhasilan hipnoterapi. Selain pandangan yang baik terhadap praktik Universitas Sumatera Utara hipnosis serta adanya kesadaran dan kemauan dari diri sendiri, mereka yang datang ke klinik Tranzcare untuk menjalani hipnoterapi adalah juga mereka yang memiliki tingkat kesejahteraan hidup yang baik dan berpendidikan. Peneliti melihat adanya hubungan yang erat antara tingkat pendidikan dengan pandangan seseorang terhadap praktik hipnosis. Mereka yang berpendidikan lebih memiliki pandangan yang baik terhadap praktik hipnosis dikarenakan tidak begitu saja menerima informasi dari tayangan televisi dan cenderung mengedukasi dirinya melalui berbagai sumber, seperti buku, internet dan sebagainya. Fobia bisa terjadi kepada siapa saja tanpa mengenal adanya batasan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan juga tingkat kesejahteraan hidup seseorang. Fobia ada sangat banyak dan berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara untuk memudahkannya peneliti menggolongkan fobia menjadi tiga jenis secara umum, yaitu fobia sosial ketakutan berada dalamberinteraksi dengan lingkungan sosialnya, fobia terhadap objek hewan, benda, karakter, dan sebagainya dan fobia situasional ketinggian, gelap, tempat tertutup, macet dan sebagainya. Begitu banyak teknik yang dapat digunakan untuk mengubah perilaku fobia seseorang namun penggunaan teknik sangat bergantung pada jenis fobia yang ditangani dan keunikan dari klien itu sendiri. Artinya fobia yang sama belum tentu bisa ditangani dengan cara yang sama terhadap individu yang berbeda, sebab setiap individu adalah pribadi yang unik dalam membentuk dunia internalnya. Dengan demikian hipnoterapis sangat dituntut untuk melakukan proses hipnoterapi yang berpusat kepada klien itu sendiri client centered therapy. Secara umum keefiktifan seseorang dalam menerima informasi sangat bergantung pada fokus, minat, dan emosi terhadap informasi yang diterimannya. Fokus, minat, dan emosi terhadap informasi inilah yang kemudian akan menentukan apakah sebuah informasi akan sangat dikritisi diproses berdasarkan analisa, logika, pertimbangan etika, dll di area kritis critical area seseorang atau tidak. Apabila seseorang memiliki fokus, minat, dan emosi yang besar terhadap suatu informasi maka informasi tersebut akan semakin sedikit dikritisi atau bahkan tidak dikritisi Universitas Sumatera Utara sama sekali. Proses kritisi inilah yang kita kenal dengan proses berpikir, sebelum pada akhirnya sebuah informasi diterimatersimpan di dalam memori seseorang. Agar dapat memahami bagaimana proses komunikasi intrapersonal hipnoterapi dalam mengubah perilaku fobia maka peneliti akan membahas proses terjadinya fobia melalui proses pengolahan informasi yang ditambah dengan pemahaman peneliti mengenai permodelan pikiran dari NLP Neuro Linguistic Programming. Dalam proses pengolahan informasi – untuk dapat memahami pembahasan ini dengan baik lihat gambar 2.3 model teoritik yang peneliti buat – sebuah stimulus akan diterima oleh seseorang melalui representasi sistem yaitu VAKOG Visual, Auditory, Kinesthetic, Olfactory, Gustatory, VAKOG merupakan modalities representasi internal yang merujuk pada struktur indrawi. Proses penangkapan stimulus ini disebut sensasi. Kemudian sensasi itu akan dipersepsikan diberikan makna berdasarkan memori yang dimiliki. Memori ini menyangkut belief dan value, pengalaman yang sudah ada, meta program serangkaian pola atau program yang menjadi sistem pola pikir bagi seseorang dalam berperilaku serta persepsi yang dimiliki. Dalam tahap ini proses pemberian makna difilter berdasarkan apa yang sudah ada di dalam memori. Kemudian sesudah tahap ini maka persepsi tersebut akan melalui proses berpikir, apakah persepsi ini dapat diterima dan dijadikan sebuah persepsiprogram baru untuk kemudian disimpan di dalam memori atau tidak. Proses berpikir biasanya juga selalu menyertai intensitas emosi yang dirasakan seseorang dalam menerima sebuah peristiwa atau kondisi sebagai pertimbangan. Pada kasus fobia, stimulus yang diterima pada proses sensasi dalam suatu peristiwa atau kondisi terasosiasi dengan intensitas emosional negatif seperti takut, jijik, benci, dll yang berlebihan sehingga setiap kali stimulus itu muncul maka intensitas emosi yang sama akan muncul kembali. Intensitas emosi negatif yang tinggi akan membawa kecenderungan sebuah program terbentuk menjadi negatif dan sebaliknya jika intensitas emosi positif yang menyertai tinggi, maka akan terbentuk sebuah program yang positif. Setelah proses internal ini selesai dilakukan maka akan dihasilkan sebuah responprogram berupa kebiasaanperilaku dari individu dalam menanggapi stumulus tersebut dikemudian hari. Dalam perilaku fobia program yang Universitas Sumatera Utara terbentuk adalah program negatif di bawah sadar yang akan berjalan ketika menangkap stimulus yang sama. Untuk lebih memudahkan pemahaman mengenai proses terjadinya fobia sebagai sebuah program dibawah sadar diatas, peneliti memakai permodelan dari buku Adi W. Gunawan sebagai berikut: Sumber: Gunawan, 2009. Dalam kasus fobia, pemberian makna terhadap sensasi persepsi yang disertai dengan intensitas emosi negatif yang berlebihan tinggi akan menyebabkan sensasi dari stimulus tersebut menjadi berbeda dari yang seharusnya. Biasanya fobia terbentuk melalui dua proses. Proses pertama dinamakan sensitizing event kejadianperistiwa yang membuat seseorang menjadi sensitif dan yang kedua dinamakan activating event peristiwa yang mengaktifkan. Kedua proses tersebut bisa ada dalam satu peristiwa yang sama ataupun merupakan peristiwa-peristiwa yang terpisah. Program Negatif Pikiran Bawah Sadar Program Positif Emosi RASCritical Area Proses Pengolahan Informasi Pemikiran Pikiran Sadar Teman Panca Indra Repersentasi sistem Lingkungan Guru Stimulus Eksternal Internet orangtua Film Universitas Sumatera Utara Bila dikaji berdasarkan kedua proses di atas ada tiga kemungkinan terjadinya fobia. Pertama, persepsi negatif yang berlebihan tersebut melewati sebuah proses berpikir yang seharusnya dan tetap diterima menjadi sebuah program, misalnya seseorang yang memiliki minat dan fokus menonton berita kecelakan pesawat terbang berulang kali kemudian terasosiasi dengan rasa emosional para korban kecalakan pesawat akan belajar percaya dan memahami bahwa naik pesawat terbang itu berbahaya. Kedua, persepsi negatif yang berlebihan tersebut merupakan pengalaman pertama first experience sehingga menjadi sebuah program karena memori belum mempunyai pembanding, misalnya pada saat seorang anak kecil yang baru pertama kali melihat patung terasosiasi dengan emosi takut yang berlebihan maka di kemudian hari ia memiliki pemaknaan yang salah dalam persepsinya. Ketiga, persepsi negatif berlebihan tersebut lolos dari sebuah proses berpikir atau filterisasi karena individu tersebut dalam kondisi reseptifrileks dalam hal ini filtercritical area pikiran bawah sadar terbuka, misalnya anak-anak yang mendengar dan merasakan pertengkaran orang tuanya saat hendak tidur dan secara tidak disadari terbawa terasosiasi dalam suasana pertengkaran yang menakutkan tersebut. Dari ketiga kemungkinan diatas terlihat bahwa sebuah fobia erat kaitannya dengan hukum asosiasi low of association. Hukum asosiasi menjelaskan bahwa orang yang mengalami kejadian berbahaya dan menakutkan akan mungkin menjadi sangat takut pada kejadian yang serupa dan merasakan intensitas emosi yang sama pada hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa atau kejadian tersebut. Dengan memahami hukum ini dapat dimengerti bahwa ketakutan atau fobia sangat tergantung pada konsep diri seseorang. Ini berarti setiap orang sangat mungkin memiliki respon yang berbeda terhadap peristiwa yang sama, ada yang terpengaruh sangat kuat sehingga menjadi fobia dan ada juga yang sama sekali tidak terpengaruh. Setelah berada di bawah sadar, persepsi dengan emosi negatif yang berlebihan dalam peristiwa yang menimbulkan fobia ini menjadi sebuah program stimulus respon S – R yang tertanam di bawah sadar sehingga dikemudian hari, jika seseorang berhadapan dengan stimulus itu kembali maka orang tersebut secara bawah sadar akan melakukan proses shortcut jalan pintas dalam proses pengolahan Universitas Sumatera Utara informasi untuk segera merespon stimulus tersebut. Untuk itu dalam menangani perilaku fobia seseorang, hipnoterapis dengan berbagai teknik hipnoterapi mengubah atau melakukan adjustment penyesuaian terhadap persepsi yang telah menjadi program stimulus respon di bawah sadar seseorang. Dengan mengubah atau melakukan adjustment penyesuaian, persepsi dengan emosi negatif yang berlebihan tersebut menjadi netral sehingga sensasi dalam menangkap stimulus juga akan menjadi netral dan kemudian akan menghasilkan respon yang seharusnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa siapapun mereka yang memiliki fobia harus membentuk konsep dirinya secara positif, baik pembentukan tersebut berdasarkan penilaian dirinya sendiri maupun penilaian orang lain terhadap dirinya. Ini merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu untuk memperoleh motivasinya dan bisa berpengharapan lepas dari perasaan-perasaan mengganggu atau tidak menyenangkan tersebut. Sehingga kemudian bisa mengambil langkah demi mengurangi perasaan ketidaknyaman yang dimilikinya. Motivasi dan harapan klien untuk bisa bebas dan melakukan aktivitas sehari-harinya secara normal menjadi sangat penting bagi proses keberhasilan hipnoterapi yang memfasilitasi individu demi mengalami perubahan dalam diri individu. Agaknya masyarakat indonesia saat ini, sudah seharusnya bisa memiliki pandangan yang baik terhadap praktik-praktik hipnosis sehingga setiap orang bisa memperoleh manfaat pemberdayaan diri di berbagai bidang melalui metode hipnoterapi. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasi penelitian tentang komunikasi intrapersonal hipnoterapi dalam mengubah perilaku fobia di klinik Tranzcare, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Seseorang yang ingin menjadi hipnoterpis tidak hanya harus memiliki pengetahuan mengenai ilmu hipnosis saja tetapi juga harus menguasai berbagai ilmu pendukung seperti, NLP Neuro Linguistic Programming, Psikologi, Persuasi, Komunikasi, EFT Emotional Freedom Technique, Ego State Therapy, Psychocybernetics, potensi-potensi dasar manusia dan berbagai ilmu lainnya. Tidak hanya ilmu pemberdayaan diri, hipnosis juga dapat di sejajarkan dengan bidang ilmu pengetahuan umum lainnya karena hipnosis modern sejatinya merupakan bidang keilmuan yang universal dan dapat dipelajari secara ilmiah tanpa terkait dengan praktik-praktik hipnosis tradisional yang menyangkut kepercayaan, kebudayaan, dan praktik-praktik spiritual tertentu. 2. Alasan informan pokok menjadi hipnoterpis adalah karena ingin bisa membantu orang lain dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Alasan untuk bisa membantu orang lain merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang hipnoterapis agar dapat memberikan pelayanan dan penangan terbaik secara tulus dan bukan sekedar mencari keuntungan pribadi semata. Walaupun dikatakan hipnoterapis yang membantu klien dalam menyelesaikan permasalahannya, dalam hipnoterapi sebenarnya klienlah yang memegang peranan tersebut. Klien membantu dirinya sendiri dalam proses penyelesaian masalahnya dan hipnoterapis hanya berperan sebagai fasilitator untuk membimbing klien mendapatkan penyelesaian atas masalahnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa harapan dan motivasi klien untuk bisa lepas dari fobianya, agar dapat melakukan aktivitas sehari-harinya secara Universitas Sumatera Utara