2.1.2 Konstruktivisme
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisir dan bermakna. Keberagaman pola konsepkognitif
merupakan hasil dari lingkungan historis, cultural, dan personal yang digali terus menerus.
Istilah konstruksi sosial sendiri menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social
Construction of reality, a treatise in the sociological of knowledge”. Mereka menggambarkan bahwa proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang
mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Menurut mereka, konstruktivisme merupakan
penggabungan dari dua teori yaitu structural fungsionla dan interaksionisme
simbolik.
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan
ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi, dan lain sebagainya. Ia
mengatakan, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataannya harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika, dan dasar
pengetahuan adalah fakta. Descartes kemudia memperkenalkan ucapannya “cogito, ergo sum” atau “ saya berpikir karena saya ada”. Kata-kata Descartes
yang terkenal itu menjadi perkembangan gagasan-gagasan paradigma konstruktivisme sampai saat ini. Di dalam ilmu-ilmu sosial, paradigm ini
merupakan salah satu dari tiga paradigma yang ada. Dua paradigma lainnya
adalah klasik dan kritis.
Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi
secara sosial, dan karenanya plural. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu
Universitas Sumatera Utara
sebagai yang terberi dari objek adanya hubungan yang antara pikiran yang membentuk ilmu pengetahuan dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan
demikan paradigm konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme- subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam ilmu
pengetahuan. Positivisme meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi
gambaran atau ungkapan dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat objektivisme. Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Sedangkan
konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi bentukan kita sendiri.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut Elvinaro Bambang, 2007:155 :
1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka,
tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2.
Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur
konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Jadi intinya konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi realsi sosial antara
individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membagun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada
struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruksi semacam ini yang oleh Berger dan Luckman disebut dengan konstruksi sosial.
Realitas sosial yang dimaksud Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas objektif, simbolik, dan subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk
dari pengalaman dunia objektif, yang berada di luar individu dan realitas ini
Universitas Sumatera Utara
dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik adalah reaksi simbolis dari realitas-realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif
adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi. Bagi Berger, realitas itu
tidak dibentuk secara alamiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.
Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah gandaplural. Setiap orang bisa mempunyai pengalaman, profesi, pendidikan tertentu, dan lingkungan
pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Dalam melakukan pekerjaan, peneliti sebagai
seorang konstruktivis akan melakukan konstruksi dan perlu meyakinni bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak sesuai dengan kategori konseptual
dalam pemikirannya. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa individu memandang dunia melalui sistem konstruk personalnya. Konstruk personal adalah indikator
adanya kompleksitas kognitif. Kompleksitas kognitif merupakan bangunan kognitif yang disesuaikan dengan realitasnya. Bangunan ini kemudian memberi
perintah pada persepsi seseorang Antonius, 2004:110. Subjek memiliki kemampuan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan menciptakan makna,
yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara.
2.2 Kajian Pustaka