KELEDAI NABI UZAIR

12. KELEDAI NABI UZAIR

Setelah nabi Musa a.s. wafat, orang-orang Yahudi banyak melakukan kerusakan di muka bumi. Sebelumnya, Allah telah mengutus para nabi untuk mereka. Nabi demi nabi datang silih berganti. Namun orang-orang Yahudi tersebut malah membunuh dan mendustakannya. Mereka menyembah berhala dan ingkar terhadap Allah. Maka Allah mengutus seorang raja dari Persia yaitu Bukhtanashar yang berhasil membunuh seribu orang Bani Israil. Dan di antara mereka yang masih hidup dijadikannya sebagai pelayan dan hamba sahaya bagi dirinya dan bagi kaumnya. Ini merupakan akibat dari kekufuran mereka terhadap Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.

Tangan-tangan jahat pun meluas sampai ke Baitulmaqdis, sehingga Bukhtanashar dan tentaranya membinasakannya. Mereka menjadikan Baitulmaqdis sebagai tempat yang tidak berguna lagi, seolah-olah tidak ada kemewahan sebelumnya. Negeri itu menjadi negeri yang kosong dari penduduk. Tidak ada bekas-bekas kehidupan dan juga bangunan. Di dalamnya, tidak terdengar lagi suara penduduk. Yang ada hanyalah sisa-sisa keruntuhan dan kehancuran. Atap-atap rumah berjatuhan menimpa dinding-dinding yang roboh dan perabot rumah serta perhiasan tampak berserakan. Padahal, sebelumnya negeri tersebut penuh dengan kehidupan dan kesenangan. Orang yang melihatnya hanya bisa merasakan sedih atas kehancurannya. Bani Israil yang telah mengundang azab dan kehancuran dengan dosa-dosanya, telah dilaknat oleh Allah Swt. karena telah membuat-Nya murka. Tulang-belulang lapuk yang berserakan dari sisa-sisa bangkai Bani Israil yang terbunuh adalah sebagai bukti nyata atas perbuatannya itu.

Di Baitulmaqdis —setelah mengalami kehancuran dan keruntuhan serta menjadi negeri mati —terdapat seorang hamba yang saleh yaitu Uzair. Dengan menunggangi keledainya, ia keluar untuk mencari rezeki. Ketika ia melihat bukti keruntuhan dan kehancuran itu, hatinya merasa sedih dan menangisi kaumnya. Ia adalah seorang mukmin yang hafal Taurat. Telah lama ia mengingatkan mereka dengan siksa akibat adanya kekufuran dan pembunuhan terhadap para nabi. Tetapi mereka tidak mengikuti petunjuk dan nasihatnya. Sehingga mereka ditimpa azab yang pedih. Negeri mereka, Baitulmaqdis pun hancur, bagaikan pengantin perempuan yang mereka bunuh di hari kepergiannya ke rumah pengantin pria.

Uzair mengeluarkan tempat makanannya. Ia hendak menyantap makanannya itu. Namun kehancuran Baitulmaqdis telah membuatnya khawatir. Ia bergumam, ―Bagaimana Allah menghidupkan negeri ini setelah hancur?‖

Laki-laki itu melihat bukti kehancuran dan keruntuhan. Ia heran dan bertanya- tanya bagaimana A llah Swt. mengembalikan kehidupan di negeri tersebut setelah matinya segala macam kehidupan. Rumah-rumah sudah tidak berguna, hancur berantakan dan para penduduk telah memindahkannya. Mustahil kehidupan akan kembali di negeri seperti ini. Namun Allah Swt. mendengarnya. Dia berkehendak untuk memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan yang telah mati, dan bagaimana mengembalikan kehidupan berikutnya pada tulang-belulang yang sudah lapuk, dan bangkai yang sudah menjadi tanah, yang dijadikan tempat bagi ulat-ulat untuk meyantap makanan serta berjalan-jalan di atasnya.

Tidak lama kemudian, Uzair tertidur dan tidak tahu bahwa tidurnya akan lama

Di Baitulmaqdis kehidupan telah kembali lagi setelah Allah menghilangkan azab-Nya terhadap mereka. Bukhtanashar pun telah meninggal dan pemerintahan telah di pegang oleh orang-orang yang adil. Kehidupan dan kesenangan di Baitulmaqdis kembali seperti semula, kecuali satu hal yang hilang dari hati dan tidak pernah kembali, yaitu keimanan yang telah ditinggalkan Bani Israil. Mereka lupa terhadap Taurat yang telah diturunkan kepada nabi Musa a.s. Mereka mengganti, merubah dan menulisnya kembali dengan tangan-tangan mereka yang merajut kebohongan dan kepalsuan terhadap Allah dan rasul-Nya.

Selama Uzair mati tak seorang pun yang menoleh dan membangunkannya. Keledai yang pernah ia tunggangi tinggal tulang-belulang yang lapuk seperti tulang- belulang yang ia lihat sebelum ia mati. Adapun makanannya, selama seratus tahun, masih tetap seperti semula, tidak berubah. Makanan itu dijaga oleh Allah Swt. Uzair sendiri tinggal tulang-belulang lapuk yang berserakan. Kemudian Allah memerintahkan tulang-belulang Uzair itu untuk bersatu kembali. Maka tulang-belulang itu pun menyatu. Allah meniupkan ruh ke dalam akal, hati dan mata Uzair agar bisa melihat proses penciptaan-Nya. Tulang-belulangnya tersusun dan bersatu kembali dengan kehendak Allah sehingga Allah membalutnya dengan daging. Uzair pun kembali hidup. Ia duduk bersila dengan stabil. Di depannya sudah berada seorang malaikat yang bertanya:

“Berapa lama engkau tinggal di sini?” Adapun ketika Uzair mulai tidur, sinar matahari dalam keadaan terik, berarti

sudah masuk waktu zuhur. Dan Allah membangkitkannya sore hari sebelum matahari terbenam. Maka ia mengira bahwa ia tidur hanya beberapa jam atau sehari penuh.

“Aku tinggal di sini hanya sehari atau setengah hari,” jawabnya. Malaikat berkata lagi, ―Engkau telah tinggal seratus tahun.‖ Uzair merasa aneh dan heran. Manusia tidak mungkin bisa tidur satu abad

penuh!! Ini tiada lain karena kehendak Allah.

Ketika malaikat melihat ia merasa heran dan aneh, ia berkata kepadanya: ―Lihatlah makananmu belum berubah.”

Lalu Uzair melihat makanannya, dan makanan itu pun benar belum berubah. Ia semakin heran. Malaikat berkata lagi, “Lihatlah keledaimu, Kami bermaksud menjadikanmu sebagai tanda kekuasaan Kami (Allah) bagi manusia.” Uzair menoleh, mencari keledainya. Ia tidak menemukannya, kecuali tulang- belulang lapuk yang berserakan, terpisah-pisah di setiap tempat. Lalu malaikat memanggil tulang-belulang itu dan terkumpullah tulang-belulang itu. Malaikat itu memanggilnya dengan kehendak Allah, dengan tujuan agar tersusunnya tulang-belulang itu dapat dilihat oleh Uzair sehingga ia mengetahui jawaban dari pertanyaanya:

“Bagaimana Allah menghidupkan negeri ini setelah hancur?” Kemudian tulang-belulang keledai itu tersusun. Allah membalutnya dengan kulit dan bulu hingga menjadi seekor bangkai. Lalu Allah meniupkan ruh kepadanya, maka keledai itu pun mengeluarkan suara.

“Lihatlah tulang-belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kemudian kami membalutnya dengan daging, ” kata malaikat. Di sinilah segala keraguan Uzair hilang. Ia mengetahui bahwa Tuhannya Mahakuasa terhadap segala sesuatu. Dan ia yakin bahwa dirinya telah mati selama

―Aku mengetahui bahwa Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu.‖ Allah Mahakuasa untuk menghidupkan kembali yang mati dan mengembalikan

kehidupan pada tulang-belulang yang sudah lapuk.

Uzair menunggangi keledai, kembali ke negerinya untuk melihat perubahan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang ada, bukan lagi yang ia kenal dan bukan lagi mereka yang mengenalnya. Rumah-rumah telah berubah. Tidak ada sesuatu pun yang tetap seperti semula. Uzair terus melanjutkan perjalanannya untuk menghabiskan sisa umurnya yang telah terhenti selama seratus tahun. Ia mencari tahu tentang keadaan rumahnya hingga akhirnya ia menemukannya. Ketika sudah mendekati rumahnya, ia melihat seorang nenek buta yang sudah berumur seratus duapuluh tahun. Ia adalah pelayannya yang ditinggalkan ketika berumur duapuluh tahun. Wanita tua itu sangat mengenal Uzair dan masih mengingat paras wajahnya. Lalu Uzair bertanya:

―Apakah ini rumah Uzair?‖ ―Sejak seratus tahun yang lalu, aku belum pernah mendengar lagi orang yang menyebut Uzair. Orang-orang sudah melupakannya, ‖ jawab si wanita itu sambil menangis.

Uzair berkata kepadanya, ―Aku adalah Uzair. Allah telah mematikanku selama seratus tahun, lalu Dia membangkitkanku lagi.‖ Wanita itu pun membuka kerut keningnya, dan kelihatan takjub. Namun ia tetap belum percaya terhadap apa yang ia dengar. ―Sejak seratus tahun yang lalu, kami belum mendengar Uzair. Uzair selalu

dikabulkan doanya. Jika beliau mendoakan orang sakit maka Allah menyembuhkannya. Untuk itu, berdoalah kepada Allah agar Dia mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat lagi. Jika engkau Uzair pasti aku masih mengenalimu ,‖ lanjut si wanita itu.

Lalu Uzair berdoa kepada Allah agar mengembalikan penglihatannya, dan Allah pun mengabulkannya sehingga wanita tua itu dapat melihatnya. Maka, ketika ia melihatnya ternyata benar, ia masih mengenalinya.

Wanita itu baru yakin bahwa ia adalah Uzair. Hal ini menjadi bukti atas kebenaran ucapan Uzair bahwa Allah telah mematikannya selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya kembali.

Lalu Uzair memegang tangan pelayannya yang sudah tua itu dan pergi bersamanya menuju ke suatu majlis yang di dalamnya terdapat anak-anaknya. Sang pelayan tua menyeru mereka. Dan mereka pun berdiri, lalu ia berkata:

―Ini adalah Uzair!!‖ Tapi mereka tidak percaya terhadap kata-kata wanita tua itu. Uzair

meninggalkan anaknya ketika berumur delapan belas tahun. Maka umur anaknya sekarang seratus delapan belas tahun. Sehingga umur anak lebih tua daripada bapaknya. Memang tidak masuk akal jika dilihat dari segi umur anak-anaknya. Namun anaknya yakin bahwa Uzair adalah yang sedang berdiri di depannya. Dan orang-orang yang hadir pun percaya bahwa Uzair adalah tanda kekuasaan Allah dalam membangkitkan

orang yang sudah mati. Sebagaimana firman Allah: ―Agar Kami menjadikanmu sebagai tanda kekuasaan Kami,” (QS Al-Baqarah [2]: 259). Yang membuat takjub adalah bahwa seorang bapak berjalan di belakang anak-anaknya. Mereka adalah para pembesar yang sudah tua. Mereka berjalan dengan tongkat sedangkan Uzair masih muda, lebih kecil daripada mereka.

Uzair pergi untuk menulis kembali Taurat yang benar setelah orang-orang merubahnya. Ia mengeluarkan Taurat lama dari sebuah tempat dimana ia dan bapaknya memendamnya. Ia segera menulis ulang Taurat itu. Kemudian setelah itu ia meninggal dunia. Demikian juga keledainya. Kali ini merupakan kematian terakhir yang akan dibangkitkan kembali di hari kiamat. Setelah keduanya dijadikan sebagai tanda kekuasaan Allah dalam menghidupkan kembali orang mati dan membangkitkan mereka dari dalam kubur pada pase berikutnya, orang Yahudi memaknainya lain. Mereka

mengatakan: ―Uzair adalah anak Tuhan. Ia tidak mempunyai anak. Ia maha esa. Yang tidak beranak dan tidak diperanakan. Tidak ada sekutu baginya.

Allah Swt. berfirman: “Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata: „Bagaimana Allah menghidupkan negeri ini setelah hancur?‟ Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah) bertanya, „Berapa lama engkau tinggal di sini?‟ Dia (orang itu) menjawab, „Aku tinggal di sini sehari atau setengah hari.‟ Allah berfirman, „Tidak! Engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan

minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang- belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.‟ Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, „Saya mengetahui bahwa allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah [2]:

Pelajaran Berharga:

1. Kekuasaan Allah dalam mengembalikan makhluk dan kehidupan dari tulang- belulang yang sudah lapuk.

2. Allah Swt. Mahahidup lagi tidak akan mati. Sedangkan manusia, jin dan semua yang hidup selain Allah akan mati.

3. Iman kepada hari kiamat, kebangkitan dan tempat kembali.

13. BINATANG ASHABUL UKHDUD Seorang penyihir tua berjalan dengan menggunakan tongkatnya. Pada tubuhnya,

nampak tanda-tanda usia tua. Ubannya sudah menyebar keseluruh rambut hingga kelihatan putih. Tak sehelai pun rambutnya yang berwarana hitam. Tulangnya menjadi lebih lemah daripada tulang anak kecil. Punggungnya sudah bungkuk dimakan lamanya zaman. Di dekat istana raja, ia menatapkan kedua matanya, dan seketika teringat bahwa dialah yang telah membantu raja —dengan kekuatan sihirnya—untuk mengatakan kepada manusia bahwa dia (raja) adalah tuhan mereka.

Tetapi sekarang umurnya sudah hampir berakhir. Kelemahannya sebagai tanda bahwa kematian akan segera menghampirinya. Si penyihir tua memasuki istana raja. Dan ketika raja melihatnya, ia pun langsung berdiri menyambut dan membantunya duduk, sehingga si penyihir itu merasakan nafasnya kembali lega. Sang raja lalu menatapnya sambil berkata:

―Apa yang bisa aku lakukan sepeninggalmu, wahai penyihir negriku? Aku tidak bisa melakukan tipu daya tanpa bantuanmu. Sesungguhnya manusia menyembahku

karena bantuan sihirmu.‖ ―Wahai tuanku, umurku sudah menjelang akhir. Kesehatanku semakin hari semakin menurun. Menurutku, sebaiknya engkau memilih seorang anak kecil. Aku akan mengajarkan sihirku agar ia bisa menggantikanku dan membantu menyuruh manusia menyembahmu. Sehingga jika aku mati, sihirku tidak akan mati dan manusia tetap menyembahmu ,‖ jawab si penyihir.

Raja tidak menemukan jalan lain kecuali usulan tersebut. Benar, si penyihir sebentar lagi akan mati, sementara ia tidak bisa melakukan tipu daya tanpa dirinya. Jika sihir itu hilang, maka aibnya akan terbuka dan orang-orang akan mengetahui bahwa ia hanya sekedar manusia biasa seperti mereka. Maka raja pun menyetujui usulan tadi. Kemudian ia menyuruh para pembantunya agar memilih seorang anak cerdas di daerah kekuasaannya, untuk dijadikan penyihirnya yang baru. Dan akhirnya, terpilihlah Abdullah bin Tamir seorang anak kota yang cerdas. Pada hari pertamanya, Abdullah pergi ke penyihir dengan rasa senang dan gembira karena mendapatkan sebuah anugrah. Baju-bajunya baru, hartanya banyak dan ia akan menjadi seorang penyihir raja yang ditakuti manusia. Ia juga akan menjadi seorang laki-laki terkenal di seluruh daerah kerajaan, bahkan akan menjadi orang terkaya setelah raja serta dapat tercapai segala yang diinginkan. Lalu dimullailah pembelajaran sihir.

Jalan dari rumah Abdullah ke tempat penyihir melewati tempat peribadatan seorang pendeta. Di Tempat tersebut, sang pendeta memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan semata-mata demi ibadah kepada Allah. Ini terjadi sebelum datangnya Islam. Karena Islam jelas mengharamkannya. Setiap hari, setiap kali Abdullah melewati sang pendeta, ia mendengar pendeta itu berdzikir menyebut Tuhannya dengan ucapan:

“La il ̂ ha illa Allah, y ̂ hayyu y ̂ qayy ̂ m, y ̂ kh ̂ liqu al-sam ̂ w ̂ ti wa al ardhi (tidak ada Tuhan selain Allah, wahai Yang Mahahidup, wahai Yang terus-menerus mengurus makhluk- Nya, wahai Pencipta langit dan bumi).‖

Kalimat tersebut bagaikan anak panah yang diarahkan pendeta kepada hati Abdullah, yang senantiasa merasa tenang ketika mendengannya. Gema suaranya Kalimat tersebut bagaikan anak panah yang diarahkan pendeta kepada hati Abdullah, yang senantiasa merasa tenang ketika mendengannya. Gema suaranya

Selama Abdullah, si penyihir kecil dekat dengan penyihir raja, ia belum pernah menemukan hal-hal yang berfaedah pada perilaku penyihir raja itu. Apa yang dilakukannya hanya merupakan permainan, tipu daya, kepalsuan, dan angan-angan semata. Si penyihir kecil mengetahui adanya perkara yang besar antara penyihir, raja, dan sihirnya. Ia baru saja mendengar lagi suara pendeta di telinganya: “La il ̂ ha illa

Allah, y ̂ hayyu y ̂ qayy ̂ m, y ̂ kh ̂ liqu al-sam ̂ w ̂ ti wa al-ardhi (tidak ada Tuhan selain Allah, wahai Yang Mahahidup, wahai Yang Mahahidup, wahai Yang terus- menerus mengurus makhluk-Nya, wahai P encipta langit dan bumi).‖

Pahamlah Abdullah, bahwa ia tak lebih dari sekedar pelayan raja. Dan raja itu hanya manusia yang lemah, tidak bisa memberikan manfaat dan bahaya kepada seseorang. Bahkan ia membutuhkan makanan jika lapar, air jika haus, dan memerlukan obat jika sakit. Apa yang nampak hanyalah merupakan tipu daya besar bagi penduduk kerajaan.

Ketika Abdullah berada dalam perjalanan menuju si penyihir, tiba-tiba terdengar lagi suara: Y ̂ hayyu y ̂ qayy ̂ m (wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya). Ia berkeinginan keras untuk masuk ke dalam gua, sehingga akhirnya ia masuk dan melihat ada orang tua yang sedang mengangkat tangannya sambil berdoa dengan mengucapkan:

―Tuhanku Yang Maha Hidup dan Yang terus-menerus mengurus makhluk- Nya….Tuhan langit dan Tuhan bumi….Engkau adalah Tuhan, tidak ada tuhan selain diri- Mu….dan Engkau adalah Tuhan, tidak ada yang suci selain diri-Mu. Maha Tinggi Engkau. ‗Arasy-Mu di atas langit wahai Yang Maha Pengasih. Maka ampunilah aku dan sayangilah diriku.‖

Air mata Abdullah mengalir membasahi kedua pipinya. Doa itu terdengar bagaikan mutiara prosa. Tiba-tiba dengan tak disadari lisannya terucap: ―Aku beriman kepada Yang Mahahidup dan Maha Berdiri Sendiri.‖ Orang tua itu terperanjat sam bil berkata: ‖Siapa engkau anak muda?‖ ―Saya Abdullah bin Tamir, penyihir raja yang kecil.‖ ―Bagaimana engkau bisa masuk ke sini?‖ lanjut orang tua itu ―Aku mendengarmu menyeru Tuhanmu yang Mahahidup dan Yang terus-

menerus mengurus makhluk-Nya. Kata-kata mu sungguh mengagumkanku,‖ jawab Abdullah.

―Wahai anakku sesungguhnya Allah adalah penciptaku, penciptamu, dan juga pencipta raja yang telah mengaku dirinya sebagai Tuhan selain Allah.‖ Abdullah berkata: ―Allah…. Dia Tuhan Yang Mahaagung. Aku dengar ucapa nmu itu. Tunjukanlah kepadaku, bagaimana aku menyembah Allah.‖ Maka Orang tua yang sekaligus pendeta itu mengajarkan kepadanya bagaimana menyembah dan mensucikan Tuhannya. Abdullah menangis. Karena imannya, ia telah menjadi dewasa dan kedewasaannya melebihi orang dewasa yang kafir terhadap Allah.

Di sini, sang pendeta berpesan: ―Wahai Abdullah janganlah engkau beritahu orang lain tentang keberadaanku. Sembunyikanlah imanmu dari orang-orang. Jika raja

itu mengetahui keadaanmu yang sebenarnya, maka ia akan membunuhku dan juga mambunuhmu. Lalu akan hilanglah keimanan di muka bumi.‖

―Aku akan mengikuti perintah orang yang telah memberiku petunjuk tentang

Abdullah tidak begitu mementingkan lagi urusan sihir yang ia pelajari. Ia tahu bahwa si penyihir yang mengajarinya adalah seorang pembohong. Dan ia tahu bahwa kabathilan akan segera terungkap di hadapan manusia walaupun mereka orang-orang kecil dan fakir seperti dirinya.

Yang lebih diperhatikan oleh Abdullah dalam hidupnya —sejak beriman kepada Allah —adalah pergi ke gua tempat pendeta berada, mendengarkan tasybih-tasybih dan senandungnya serta belajar darinya tentang cara menyenandungkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Akibatnya, Abdullah banyak terlambat dalam aktivitasnya.

Jika ia datang ke penyihir, maka si penyihir itu memukulnya karena ia terlambat. Dan jika kembali ke rumahnya, keluarganya pun memukulnya karena ia juga terlambat datang ke rumah. Ia mengalami dua urusan yang tidak menyenangkan. Lalu ia

menceritakan permasalahannya itu kepada pendeta. Sang pendeta menyarankan: ―Jika si penyihir menanyakan, ‗mengapa kamu terlambat?‘ katakan kepadanya: ‗aku ditahan keluargaku‘. Dan jika keluargamu menanyakanmu, jawablah: ‗Aku ditahan si penyihir. ‘‖

Karena jalan yang cukup jauh, maka si penyihir mempercayai apa yang Abdullah katakan dengan tidak bertanya lagi pada keluarganya. Demikian juga keluarganya tidak bisa bertanya kepada si penyihir. Akhirnya Abdullah selamat dari amukan penyihir dan hukuman keluarganya.

Suatu hari Abdullah berjalan menelusuri jalan yang biasa ia lalui. Tiba-tiba ia melihat adanya kemacetan di jalan itu. Ia segera mendekatinya. Ternyata, di sana ada seekor binatang yang besar telah menghalangi jalan, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa menyebrang atau lewat. Kebetulan, Abdullah menemukan sebuah tongkat tergeletak di atas tanah. Ia bergumam: ―Sekarang aku akan mengetahui mana yang lebih dicintai Allah, urusan pendeta atau urusan penyihir.‖ Lalu ia berdoa: ―Ya Allah jika

urusan pendeta lebih Engkau cintai daripada urusan penyihir, maka jauhkanlah binatang ini dari jalan.‖

Tidak lama kemudian ia melemparkan tongkatnya, dan binatang itu pun menjauh. Abdulah melanjutkan perjalanannya menuju pendeta. Sementara imannya semakin bertambah (karena kejadian tersebut). Sesampainya di tempat pendeta, ia langsung menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Sang pendeta memuji Abdullah sekaligus memperigatkannya:

―Wahai anakku, sungguh sekarang engkau lebih baik dariku. Tapi ingat, Allah akan mengujimu. Jika engkau diuji, maka janganlah engkau menunjukannya kepadaku.‖ Lalu keduanya melakukan salat dalam waktu yang lama, berdoa, dan memohon kepada Allah.

Di istana, sang raja yang mengaku dirinya tuhan mempunyai saudara sepupu yang mengalami kebutaan sejak kecil. Ia merasa sedih dengan keadaannya yang seperti itu. Ia berusaha mencari tabib yang bisa mengembalikan penglihatannya agar dapat melihat normal seperti orang lain.

Namun para tabib tidak ada yang mampu mengembalikan penglihatannya. Walaupun kekayaan yang dimiliki si buta terpaksa dikerahkan, namun harta itu pun tidak bisa membahagiakan dan mengembalikan penglihatannya.

Datanglah seseorang membawa kabar gembira, bahwa di negeri itu ada seorang tabib yang sering didatangi banyak orang dan setiap orang yang memiliki penyakit atau Datanglah seseorang membawa kabar gembira, bahwa di negeri itu ada seorang tabib yang sering didatangi banyak orang dan setiap orang yang memiliki penyakit atau

Sampailah si buta ke rumah sang tabib bersama orang yang mengantarnya. Mereka melihat antrian panjang orang sakit sedang berdiri di hadapan pintu. Kemudian mereka mohon izin masuk. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan dengan hal yang tak disangka-sangka, ternyata tabib itu adalah Abdullah bin Tamir si penyihir raja. Hanya sekarang ia sudah lebih terkenal dari semua orang, bahkan dari raja sendiri.

Si buta itu memperlihatkan harta dan hadiah kepadanya agar bisa mengembalikan penglihatannya. Abdullah berkata: ―Aku tidak membutuhkan imbalan. Aku tidak butuh harta. Yang aku butuhkan hanyalah engkau beriman kepada Allah satu-satu- Nya.‖ ―Siapakah Allah itu?‖ tanya si buta. Ia menjawab, ―Allah adalah yang akan menyembuhkan penyakitmu jika aku

berdoa kepada- Nya untuk kesembuhanmu.‖ ―Raja itu? Bukankah ia Tuhan?‖ Tanya si buta lagi. Abdullah balik bertanya, ‖Apakah raja itu menyembuhkanmu? Ia adalah seorang

hamba, saya hamba, dan engkau juga seorang hamba. Kita semua adalah hamba Allah.‖ Lalu Abdullah berdoa untuk si buta agar Allah menyembuhkannya. Maka Allah menyembuhkannya dan penglihatannya kembali normal. Si buta pun berteriak: ―Aku beriman kepada Allah…Tidak ada Tuhan selain Allah.‖ Kemudian Abdullah, si tabib kecil berpesan, ―Janganlah engkau memberitahu

raja, nanti ia bisa membunuhku dan juga membunuhmu.‖ Keluarlah si buta dengan penglihatannya yang normal. Ia telah beriman kepada Allah setelah sebelumnya kufur. Dan ia juga menyembunyikan keimanannya walaupun terhadap anak dan istrinya.

Suatu saat, seorang pengawal datang ke istana sepupu raja yang telah Allah kembalikan penglihatannya itu. Ia berkata: ―Tuan raja ingin bertemu denganmu.‖ Maka ia pergi bersama pengawal tersebut dengan tanpa membutuhkan penuntun

dalam perjalanannya. Ketika masuk menemui raja, sang raja merasa takjub dengan keadaannya dan berkata:

―Selamat buat sepupu kami yang telah kembali melihat.‖ ―Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah menjadikan ini semua.‖ Mendengar jawaban seperti itu, raja langsung marah sambil membentak, ―Allah,

apakah engkau memuji Allah di dalam kerajaanku dan istanaku? Apakah engkau beriman kepada Allah?‖

―Ya, aku beriman kepada Yang telah menyembuhkanku dan mengembalikan penglihatanku wahai raja‖. ―Tuhan selain diriku disembah dalam kerajaanku?‖ ―Tetapi semua orang adalah hamba dalam kerajaan Allah wahai raja,‖ jawab

sepupu raja dengan penuh keberanian. Maka bangkitlah sang raja memanggil para pengawal, lalu mereka menyiksanya hingga akhirnya mau menunjukkan Abdullah yang telah mengajarinya. Lalu mereka mendatangkan Abdullah dan juga menyiksanya hingga Abdullah pun mau menunjukkan pendetanya. Maka hadirlah ketiganya di hadapan sang raja yang zalim.

Kemudian raja mengikat mereka dengan tali yang terbuat dari besi, lalu berkata:

Sepupu sang raja menjawab, ―Aku tidak menyembah kecuali kepada Allah dan aku tidak mempersekutukan- Nya dengan sesuatu apa pun.‖

Maka tentara raja langsung membunuhnya dengan cara membelah tubuhnya dengan gergaji hingga menjadi dua bagian. Raja berkata kepada pendeta, ―Jadilah engkau orang kafir. Kalau tidak, kami akan bertindak kepadamu seperti yang kami lakukannya kepada sepupu kami.‖

Pendeta itu tetap teguh pada keimanannya, lalu ia pun dibelah tubuhnya dengan gergaji hingga menjadi dua bagian. Tibalah giliran Abdullah, si anak kecil. Mereka berkata kepadanya, ‖Ingkarilah Allah. Jika tidak, engkau akan seperti mereka.‖ Abdullah menjawab, ―Allah adalah Tuhanku. Aku tidak akan mempersekutukan- Nya dengan sesuatu apa pun.‖ Dengan demikian Abdullah terancam hukuman mati. Mereka meletakkan gergaji di atas kepalanya. Hampir saja mereka membunuhnya. Namun aneh, gergaji itu tidak bisa digerakkan sama sekali. Mereka mencoba menggunakan pedang, tetap tidak bisa membunuhnya. Lalu mereka mencoba menggunakan tombak, panah dan pisau, namun mereka pun tetap tidak berhasil.

Raja terdiam heran melihat keadaan anak kecil ini. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. ―Ya Allah cukupkanlah bagiku siksaan dan kejahatan mereka dan jauhkanlah mereka dariku sesuai kehendak- Mu.‖ Inilah doa anak kecil tersebut ketika berada di puncak sebuah gunung. Ia disertai dua orang pengawal raja yang akan melemparkannya dari atas gunung agar ia mati — setelah berbagai macam cara dan tipu daya untuk membunuhnya telah dilakukan.

Allah mengabulkan doa anak kecil tersebut. Maka gunung pun berguncang dan para pengawal itu mati berjatuhan kecuali Abdullah, dia tetap hidup. Abdullah kembali menemui raja untuk yang kesekian kalinya. Ia mengajaknya beriman kepada Allah. Raja semakin bertambah marah. Sehingga akhirnya ia menyuruh tentaranya untuk meletakan anak kecil itu di atas perahu kecil dan membawanya ke tengah lautan. Lalu mereka membiarkannya di sana agar mati tenggelam. Di tengah- tengah ombak yang ganas, suara anak itu terdengar keras berdoa kepada Allah:

―Ya Allah cukupkanlah bagiku siksaan dan kejahatan mereka dan jauhkanlah mereka dariku sesuai kehendak- Mu.‖ Sampan itu pun berbalik dan Abdullah selamat dari amukan ombak, lalu ia kembali lagi menemui sang raja dan berkata kepadanya:

―Sesungguhnya engkau tidak akan bisa membunuhku kecuali engkau melakukan apa yang aku perintahkan.‖ ―Apa yang ingin engkau perintahkan?‖ tanya sang raja Ia menjawab, ‖Kumpulkan orang-orang pada sebuah dataran tinggi, lalu ikat aku

pada batang pohon. Ambillah anak panah milikku dari wadahnya dan letakkan pada busurnya, lalu ucapkan: ‗Bismillahi Rabbil gulam‟ (Aku berlindung atas nama Tuhan anak ini). Jika engkau melepaskan panah itu, engkau dapat membunuhku.‖

Raja pun menyetujui apa yang Abdullah katakan, agar ia terbebas darinya. Berkumpullah penduduk kerajaan di sebuah dataran yang tinggi. Mereka melihat

Abdullah terikat pada sebuah pohon. Tiba-tiba raja memegang wadah anak panah Abdullah, lalu dikeluarkanlah anak panah dari wadah tersebut. Orang-orang pun

“Bismillahi Rabbil gulam (Aku berlindung atas nama Tuhan anak ini).‖ Raja melepaskan anak panah itu tepat mengenai hidung Abdullah dan Abdullah

pun mati sebagai syahid. Para penduduk kerajaan mulai menyadari bahwa raja mereka tidak mampu membunuh seorang anak kecil keculai setelah mengucapkan: “Bismillahi Rabbil gulam (Aku berlindung dengan nama Tuhan anak ini).‖ Lalu mereka berteriak, ―Kami beriman kepada Tuhan anak ini.‖

Jasad Abdullah telah tiada, namun dakwahnya tetap hidup. Demikian juga imannya. Raja merasa heran semua penduduknya telah menjadi penyembah Allah. Mereka tidak lagi menyembahnya seperti semula. Akhirnya, sang raja zalim memerintahkan untuk menggali parit besar.

Raja menyuruh para tentara pengawalnya untuk membuat parit dan menyalakan api yang bersar di sepanjang parit tersebut. Mereka membawa orang-orang mukmin satu per satu. Para tentara menyeru:

―Mau memilih kafir terhadap Allah atau dilemparkan ke dalam parit yang berapi?‖ Orang-orang mukmin itu tidak seorang pun yang tersisa. Semuanya dibakar di dalam parit, kecuali seorang wanita yang sedang menyusui anaknya. Dan tentara itu pun merebut anaknya sambil berkata:

―Apakah engkau akan tetap beriman kepada Allah? Jika engkau tidak melepaskan imanmu, maka kami akan membakar anakmu.‖ Wanita tersebut memandang anaknya dan hampir saja mengucapkan kalimat kufur. Namun Allah menghendaki agar ia tidak menjadi orang kafir. Maka anaknya tiba-tiba bisa berbicara. Ia mengatakan:

―Wahai ibuku, bersabarlah sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran yang nyata.‖ Wanita itu pun menolak kekufurannya. Hatinya tidak merelakannya kecuali dengan iman. Akhirnya, anaknya dilemparkan ke dalam parit, dan ia pun menyusul berikutnya. Tinggallah raja dengan tentaranya, menunggu azab yang sangat pedih di hari kiamat.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2