IKAN, MUSA, DAN KHIDIR A.S.

9. IKAN, MUSA, DAN KHIDIR A.S.

Pada suatu hari, nabi Musa memberikan ceramah di hadapan Bani Israil, menyuruh mereka untuk taat kepada Allah Swt. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berdiri dan berkata:

―Siapakah orang yang paling banyak ilmunya?‖ Musa menjawab, ―Sayalah orangnya.‖ Maka Allah menurunkan wahyu kepada Musa, ―Mengapa engkau menganggap

bahwa dirimu sebagai manusia yang paling banyak ilmunya? Mengapa tidak menyerahkannya kepada Allah dengan mengatakan, ‗Allahlah yang lebih tahu.‘‖ Musa pun memohon ampun kepada Tuhannya lalu berkata , ―Wahai Tuhanku, lalu siapakah orang yang lebih banyak ilmunya daripadaku? ‖

Allah berfirman, ―Sesungguhnya aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di majma‟al bahrain (pertemuan dua laut), dia lebih banyak ilmunya daripada kamu.‖ ―Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa sampai kepadanya?‖ ―Bawalah seekor ikan dalam sebuah wadah, lalu engkau pergi ke tempat itu. Di

sana ikan tersebut akan hilang dan itulah tandanya engkau akan bertemu dengan seorang hamba yang beriman. ‖

Musa sangat merindukan pertemuan dengan hamba mukmin yang telah Allah ajari ilmu selain yang ia miliki. Lalu Musa memanggil pembantunya yang sudah menginjak remaja, yaitu Yusya bin Nun. Ia menyuruhnya berburu seekor ikan untuk diletakkannya dalam sebuah wadah.

Dimulailah perjalanan ilmiah Musa dan pemuda itu untuk mencari hamba Allah tersebut. Musa adalah seorang nabi yang tidak menyukai kesengsaraan atau kelelahan dalam perjalanan kecuali karena tujuan mencari ilmu dan menginginkan untuk segera mencapainya, walaupun sampai ke ujung dunia.

Oleh karena itu, Musa dan Yusya bin Nun keluar untuk mencari seorang hamba saleh yang telah diberi banyak ilmu oleh Allah. Sehingga, keduanya sampai ke tempat bertemunya dua lautan.

Di pinggir sebuah batu karang yang besar, Musa dan Yusya tertidur karena sangat kelelahan. Pada waktu mereka tertidur, ikan yang mereka bawa keluar dari wadahnya. Karena batu besar tersebut letaknya tidak jauh dari laut, maka ikan itu dengan cepat kembali ke lautan dengan perasaan senang karena bisa hidup kembali.

Musa dan Yusya bangun dari tidur dan keduanya melanjutkan pencarian hamba yang saleh tersebut. Di tengah perjalanan, Musa dan Yusya merasa sangat lapar. Musa berkata kepada Yusya:

―Bawalah ke mari makanan kita (ikannya), kita sudah sangat letih karena perjalanan kita ini!‖ Lalu Yusya membuka wadah ikannya dan ternyata ikan itu sudah tidak ada. Ia mengira bahwa dirinya lupa meninggalkan ikan itu di pinggir batu besar tadi.

―Aku lupa membawa ikan itu. Bagaimana kalau kita kembali ke pinggir batu tempat kita tidur, mudah-mudahan ikan itu mAsih ada di sana,‖ kata Yusya.

Musa mengetahui bahwa ia akan menemukan hamba saleh itu di sana. Sebagaimana yang diberitahukan oleh Allah Swt., sesungguhnya tanda untuk itu adalah dengan hilangnya ikan. Sekarang ikannya sudah hilang, berarti ia akan segera bertemu dengan hamba itu dan menimba ilmu darinya.

Lalu kembalilah Musa dan Yusya ke tempat batu besar berada, untuk menemukan keajaiban Allah Swt. di sana.

Khidir a.s. adalah seorang hamba Allah yang saleh, yang telah diajari oleh Allah sebuah ilmu yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Khidir telah meminum mata air yang disebut Ainul Hayat, yaitu mata air yang jika diminum oleh seseorang maka ia akan memiliki umur panjang.

Khidir telah hidup sampai ia memeluk agama Islam bersama Rasulullah Saw. dan setelah itu ia wafat. Ia berkeliling negeri untuk melaksanakan perintah Allah, mengajak para hamba untuk beribadah kepada-Nya. Di pertemuan dua laut, di bawah batu besar, Khidir melakukan salat dengan berbaju merah. Lalu Musa mengucapkan salam kepadanya: ―Assalalmu‟alaikum warahmatullâh wabarakâtuh‖. ―Wa‟alaika salam. Siapakah engkau?‖ ―Musa, nabi dari Bani Israil, Siapa namamu, wahai hamba yang saleh?‖ ―Aku Khidir. Apa maksud kedatanganmu ke sini?‖ ―Aku ingin mengikutimu hingga engkau mau mengajariku ilmu yang telah Allah

ajarkan kepadamu‖. ―Wahai Musa, sesungguhnya aku memiliki ilmu yang tidak Allah ajarkan kepadamu dan engkau pun memiliki ilmu yang tidak Allah ajarkan kepadaku. Sesungguhnya engkau tidak akan bisa sabar terhadap apa yang engkau lihat. Bagaimana mungkin engkau bisa sabar dengan ilmu yang belum engkau ketahui sedikit pun.‖

―Insya Allah aku akan menjadi orang yang sabar dan tidak akan melanggar apa yang engkau perintahkan.‖ ―Jika engkau mengikutiku maka janganlah engkau menanyakan sesuatu apapun sebelum aku menjelaskannya‖.

Inilah syarat yang diterima Musa untuk mengikuti perjalanan Khidir, agar bisa melihat dan mendengar tanpa harus berbicara, sebelum Khidir menjelaskan dan menyebutkan rahasia-rahasia pengetahuan tersebut di akhir. Maka tibalah saatnya perjalanan seorang hamba yang saleh dengan seorang nabi. Ini merupakan salah satu proses pembelajaran yang menjadikan para nabi sebagai murid dari sebagian hamba yang saleh.

Adakah perjalanan yang lebih indah daripada perjalanan seorang nabi yang menjadi murid dari seorang hamba yang saleh? Jelaslah ini merupakan perjalanan yang menakjubkan!!

Musa dan Khidir pergi hingga sampai ke pinggir lautan. Lalu keduanya meminum mata air Ainul Hayat. Tak lama kemudian, sebuah perahu lewat di hadapan mereka. Khidir memanggil para penumpang yang berada di atasnya dan mereka pun ternyata mengenal Khidir. Khidir dan Musa menaiki perahu bersama mereka.

Para pemilik perahu sudah mengenal Khidir, sehingga mereka menerima dan mengajaknya naik tanpa harus membayar ongkos. Musa senantiasa menunggu apa yang akan ia ketahui dari hamba saleh itu. Ia pun berdiri di sampingnya, di ujung perahu. Lalu datanglah seekor burung kecil hinggap di tepi perahu. Burung itu menjulurkan paruhnya ke laut dan meminum setetes air. Asinnya air laut tidak membuat burung itu

―Wahai Musa sesungguhnya perumpamaan ilmuku, ilmumu dan ilmu seluruh manusia dibandingkan dengan ilmu Allah seperti paruh burung tersebut ketika barada di

tengah lautan‖. Tahulah Musa bahwa ia sedang berada di depan seorang cendekiawan. Rasa takjub Musa makin bertambah, demikian pula penghormatannya kepada Khidir. Di tengah-tengah ketakjubannya itu terajadilah hal yang tak disangka-sangka. Ketika para pemilik perahu —mereka adalah orang-orang fakir miskin—sedang sibuk berburu, tiba- tiba Khidir mendekati sebuah papan perahu dan mencopotnya sehingga perahu itu berlubang.

Di sinilah Musa berontak dan marah, lalu ia berkata: ―Mereka adalah kaum yang telah membawa kita tanpa memungut ongkos,

mengapa engkau mencopot papan perahu mereka dan membuat perahu itu berlubang, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh engkau telah berbuat suatu kesalahan yang b esar‖.

Tetapi Khidir kelihatan tenang dan berkata kepada Musa: ―Bukankah aku telah mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau tidak akan

bisa sabar denganku‖. Lalu Musa ingat tentang syarat itu. Perjanjian yang telah ia putuskan adalah

tidak bertanya dan tidak membantah. ―Janganlah engkau menghukumku karena aku lupa dan jangan pula membebaniku dengan urusan yang tidak mampu aku lakukan‖.

Lalu ia pergi lagi setelah Khidir memaafkan kealfaannya yang pertama.

Sifat lupa dan tidak sabar adalah aib manusia. Adam pun pernah lupa memakan buah khuldi yang diharamkan Allah dan ia menginginkan dengan segera atas sebuah keputusan Allah. Balasan yang ia terima adalah diturunkan ke bumi. Maka seluruh keturunan Adam mewarisi sifat ini, sehingga Musa pun lupa apa yang dia janjikan kepada Khidir untuk tidak bertanya tentang sesuatu sebelum Khidir menjelaskan hakikat dari perkara-perkara yang ia lakukan dan Khidir juga memaklumi Musa.

Selanjutnya Khidir berangkat dengan ditemani Musa, untuk mengajarkan kepadanya sebuah pelajaran baru dan menjelaskan rahasia keajaibannya. Khidir dan Musa turun dari perahu menuju sebuah desa. Mereka berdua menemukan seorang anak yang sedang bermain dengan riang gembira. Mereka bagaikan malaikat karena masih suci dari dosa dan belum mengetahui antara salah dan benar.

Tiba-tiba Khidir memilih salah seorang anak yang paling ganteng di antara mereka. Ia membisikinya dan pergi bersama anak itu hingga ke tempat yang jauh dari pandangan manusia. Ia memegang kepala anak itu lalu membunuhnya. Musa melihat Khidir melakukan hal itu hingga ia pun berteriak dan bergejolak amarahnya.

―Mengapa engkau membunuh jiwa yang masih suci, tanpa alasan yang benar (bukan karena dia telah membunuh orang lain)? Sungguh engkau telah melakukan

sesuatu yang sangat mungkar.‖ Perkara-perkara yang sulit itu tidak bisa dipahami oleh Musa. Andaikan kita

berada pada posisi sebagai Musa tentu kita akan melakukan hal sama. Tetapi Khidir tidak melakukan sesuatu kecuali karena perintah Allah. Lalu Khidir memandang Musa dengan berkata:

―Bukankah telah aku katakan kepadamu, sesungguhnya engkau tidak akan bisa

Musa berkata penuh malu dengan apa yang telah ia lakukan. ―Jika aku bertanya kepadamu tentang hal yang lain, engkau berhak untuk meninggalkanku. Engkau telah

banyak memaafkanku‖. Sebenarnya Musa masih berharap untuk tetap menyertainya. Ia menunggu keajaiban-keajaiban lain dalam perjalanannya. Tetapi ia menetapkan sebuah syarat dengan apa yang dikatakannya itu. Dia mengira tidak akan lupa untuk kesekian kalinya. Tetapi Adam pun dulu pernah lupa, maka wajarlah kalau keturunannya memiliki sifat pelupa. Manusia sungguh berada dalam duka cita.

Kemudian Musa dan Khidir melanjutkan perjalanannya yang asing dan penuh keajaiban, hingga mereka sampai ke sebuah desa dalam keadaan sangat lapar. Mereka pun mencari makanan dari penduduk desa itu. Apalagi Musa belum sempat makan sejak hilangnya ikan yang ia bawa. Sedangkan penduduk desa tersebut merupakan orang-orang kikir, mereka tidak mau menjamu keduanya. Musa tetap bersabar hingga ia bersama Khidir menemui sebuah tembok tua yang hampir roboh. Khidir berkata pada Musa: ―Bantulah aku menegakkan dinding ini.‖

Rasa lapar yang dirasakan Musa sudah begitu kuat, namun ia tetap diam sehingga tidak adanya perpisahan dalam perjalanannya menemani orang saleh tersebut. Lalu dia membantunya menegakkan dinding itu. Ketika keduanya selesai mendirikan kembali dinding itu, Musa berkata:

―Kita telah meminta makanan dan jamuan dari penduduk desa ini, tapi mereka tidak mau menjamu kita. Andaikan engkau mau, engkau bisa meminta upah atas

pekerjaan ini‖. Khidir pun berkata, ―Inilah akhir dari perjalan kita.‖ Musa sepertinya menyesali apa yang ia katakan. Ia masih berharap perjalanan itu

bisa lebih lama lagi. Lalu Khidir berkata lagi, ―Akan aku jelaskan takwil tentang apa yang ingin segera engkau ketahui.‖ ―Adapun perahu, itu adalah milik orang-orang miskin dan fakir yang bekerja di laut. Sementara di belakang mereka terdapat seorang raja zalim yaitu Hudad bin Budar yang akan merampas setiap perahu untuk dimilikinya. Jika ia melihat cacat dalam

perahu, ia akan meninggalkannya dan tidak akan mengambilnya.‖ ―Setelah kita semua turun dari perahu itu, ia datang dan mendapati perahu telah terkoyak lalu ia pun meninggalkannya. Mengoyak perahu adalah sebagai sebab

selamatnya para pemilik perahu itu, bukan untuk menenggelamkan mereka.‖ Musa merasa takjub. Ia tidak mengetahui tentang hal-hal yang gaib dan yang memperdayakan akal manusia. Ia tidak mengetahui hikmah Allah dalam segala perbuatan, walaupun dalam beberapa hal ia merasa lelah mengikutinya.

―Sedangkan Anak yang dibunuh—namanya Jaisur—kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Jika ia dibiarkan hidup, ia akan menjadi orang kafir. Allah akan mengganti dengan anak berikutnya yang lebih baik darinya, yaitu anak yang akan

menjadi seorang mukmin yang tidak akan menyusahkan kedua orang tuanya.‖ Kematian yang mendadak mendatangkan kesedihan yang mendalam bagi kedua

orang tuanya, namun kecintaan Allah terhadap hamba-Nya melebihi kecintaan seorang ibu terhadap anaknya.

―Mengenai tembok, adalah milik dua orang anak yatim di Madinah. Bapaknya adalah seorang mukmin. Di bawah dinding itu terdapat kekayaan yang disimpan

―Bapak kedua anak itu telah berdoa kepada Allah agar kedua anaknya bisa mendapati hartanya itu, maka Allah mengabulkan doanya dan menyuruhku untuk pergi

ke sana, menegakkan kembali dinding itu sebelum benar-benar runtuh. Jika keduanya menginjak dewasa, maka mereka akan mendapatkan harta simpanan itu. Inilah takwil tentang apa yang ingin segera engkau ketahui.‖

Khidir dan Musa berpisah. Setelah melakukan perjalanannya mencari ilmu baru tersebut, Musa kembali ke Bani Israil. Kebaikan yang sangat bernilai; sebuah perahu yang dicopot papannya, anak yang dibunuh, dan tembok yang dibangun kembali.

Setelah melewati masa yang lama, Rasulullah Saw. bersabda. ―Kita menyayangkan, andaikan Musa Sabar, kita akan melihat keajaiban. Kita semua

menyayangkan hal itu.‖

Pelajaran Berharga:

1. Allah Swt. Maha Mengetahui, dan ilmu-Nya tidak terbatas.

2. Memuliakan ilmu dan ulama serta mau menanggung kesusahan dalam mencari ilmu.

3. Perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa dalam mencapai apa yang diharapkan.

4. Takdir Allah seluruhnya baik untuk manusia; karena Dia mencintai semua hamba-Nya.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2