Hubungan self esteem dengan optimisme meraih kesuksesan karir pada mahasiswa fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(1)

HUBUNGAN SELF ESTEEM DENGAN OPTIMISME

MERAIH KESUKSESAN KARIR PADA MAHASISWA

FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

SKRIPSI

OLEH

MUHARNIA DEWI ADILIA

106070002268

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1413H/2010M


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim

Syukur Alhamdullilah penulis panjatkan untuk kehadirat Allah SWT, karena berkat segala kekuasaan dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Bapak Drs.Rachmat Mulyono M.Si. Psi dan Ibu Liany Luzvinda M.Psi. yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mendapatkan banyak masukan dari beliau-beliau tersebut, serta terimakasih banyak atas wawasan yang telah diberikan.

3. Bapak Choliluddin A.S., MA sebagai dosen pembimbing akademik

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan.

5. Mama yang disiplin dan dengan segala nasihatnya serta papa yang humoris dengan setiap semangatnya, yang sangat membantu dalam pembuatan skripsi ini, baik itu membantu dalam hal fisik maupun psikis serta doa.

6. Kakak (Puspa ayu) yang banyak membantu dengan pengalamannya, adik (Alin) yang bersedia membantu penulis dalam mengolah data, dan Sami yang banyak membantu dengan tulus

7. Iqra Prasetia Rahadi Putra, yang tanpa disadari penulis merupakan anugerah terindah yang pernah Allah berikan kepada penulis, yang sangat banyak memberikan dukungan moral maupun banyak ikut andil dalam penyelesaiannya skripsi ini.


(3)

karya ini secepatnya, namun sekarang telah berada di rengkuhan Allah Swt sebelum penulis menyelesaikan karya ini. Semoga beliau selalu berada dalam naunganNya, amin.

9. Teman-teman “smart, rich and beautiful girl” (semoga kita benar-benar bisa menjadi seperti itu) Malini, Isni, Sila, Mita, Mb mut, Reta, Nining, Ega Nadiah, yang merupakan teman seperjuangan penulis dalam mendapatkan ilmu dan memperoleh cita-cita yang kita harapkan.

10.Semua teman-teman seperjuangan yang telah membantu penulis dalam mendapatkan sampel

11.Qori yang telah banyak membantu dengan membagi ilmunya kepada penulis, Ika membantu dengan semangatnya, dan teman-teman uin yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan makna pertemanan dan persahabatan kepada penulis, mudah-mudahan kita akan tetap dan selalu bersahabat selamanya. 12.Teman-teman kelompok KKL, dimana kita telah melewati waktu yang tidak singkat

dan tidak panjang untuk memahami tentang adanya keterbatasan di sekitar kita. 13.Bapak Syaiful Anam, S. Psi serta seluruh keluarga besar Rumah Sakit Khusus Jiwa

Dharma Graha.

14.Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas C serta angkatan dibawah penulis, terimakasih atas kebersamaan dan pembelajaran selama ini.

15.Staff bagian Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

16.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral serta pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan laporan ini.

Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini mendapatkan balasan yag berlipat ganda dari Allah SWT, amiin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.


(4)

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.

Jakarta, Agustus 2010


(5)

ABSTRAK A. Fakultas Psikologi

B. Agustus 2010

C. Muharnia Dewi Adilia

D. Hubungan Self esteem dengan Optimisme Meraih Kesuksesan Karir Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

E. Di zaman sekarang mendapatkan pekerjaaan yang sesuai dengan harapan atau sesuai dengan apa yang telah dipelajari di universitas tidaklah mudah. Persaingan yang banyak namun kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang diambil sewaktu kuliah sangat kurang. Adalah hal yang wajar bagi seorang mahasiswa mengalami kecemasan untuk menghadapi kesuksesan karirnya kelak, terutama bagi mahasiswa semester atas yang dianggap tidak lama lagi akan memasuki dunia kerja. Kemampuan dalam menilai dirinya secara unik dan memiliki potensi tersendiri sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan optimisme dan kepercayaan diri dalam menghadapi dunia karir. Karena itu, penelitian ini menguji korelasi antara variable self esteem dengan optimisme karir pada mahasiswa psikologi. Self esteem sendiri merupakan penghargaan diri seseorang dalam menilai diri mereka sendiri. Sedangkan, optimisme merupakan keyakinan diri akan suatu peristiwa atau masa depan akan berjalan dengan baik. Kedua hal tersebut merupakan inti pribadi diri yang penting dalam menjalani suatu kehidupan.

Penelitian ini selain bertujuan untuk untuk mengetahui hubungan antara self esteem dan optimisme, juga ingin mengetahui seberapa besar self esteem mahasiswa memberikan sumbangan terhadap keoptimisannya dalam menghadapi kesuksesan karir pada mahasiswa tersebut. Dalam hal ini mahasiswa semester atas atau yang telah mendapatkan mata kuliah peminatan dalam ilmu psikologi yang dinilai telah memiliki gambaran akan karir masa depannya, karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimana self esteem memiliki kaitan terhadap optimisme kesuksesan karir mahasiswa tersebut.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa psikologi UIN Syarif Hidyatullah yang telah mendapatkan mata kuliah peminatan dalam bidang psikologi. Sampel yang dipakai dalam penelitian ini berjumlah 100 mahasiswa dari angkatan 2006 dan seterusnya. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability sampling yakni accidental atau seketemunya, hal ini dilakukan untuk memudahkan penelitian, mengingat penelitian dilaksanakan ketika liburan semester dan waktu yang tidak memungkinkan bagi peneliti untuk menunggu hingga liburan usai. Ditambah lagi untuk mendapatkan sampel pada mahasiswa


(6)

ini.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode korelatif. Responden diberikan instrumen yang berupa skala yang terdiri dari skala self esteem dan skala optimisme. Dilakukan uji instrumen pada 65 sampel dengan memberikan 80 item pada skala optimis dan 92 item pada skala self esteem kemudian dilaksanakan penelitian terhadap 100 sampel dengan menggunakan skala yang telah valid yang terdiri dari 44 item skala self esteem dan 37 item skala optimisme. Untuk menguji validitas skala, penulis menggunakan rumus product moment Pearson, dengan menggunakan r table sebesar 0,3 pada taraf signifikasi. Beberapa item skala diambil dari skala yang telah baku. Kedua skala tersebut diuji reliabelitasnya dengan menggunakan Alpha Cronbach dimana semakin tinggi koefisien reliabelitas mendekati 1.00 berarti semakin tinggi tingkat reliabelitasnya.. Pada skala self esteem diperoleh hasil koefisien reliabelitasnya sebesar 0,917 yang berarti menempati kriteria yang sangat reliabel. Sedangkan pada skala optimisme terhadap kesuksesan karir masa depan diperoleh hasil koefisien reliabelitas sebesar 0,837 yang berarti menempati kriteria reliabel. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat korelasi antara self esteem dengan optimisme mahasiswa dalam menghadapi kesuksesaan karirnya. Mahasiswa yang mampu menghargai dirinya secara positif maka ia pun dapat berpikir positif tentang masa depannya karena ia yakin dengan kualitas kemampuannya sendiri. Hubungan antara self esteem dengan optimisme tersebut dapat dibuktikan dengan hasil penelitian ini yaitu dengan r hitung (0,753) > r tabel (0,195), pada taraf signifikansi 5 % maka Ho ditolak dan Ha diterima. Kemudian, hasil uji regresi dengan menggunakan perhitungan komputer dengan program SPSS versi 13.00, bahwa terdapat pengaruh atau sumbangan yag diberikan Self esteem terhadap optimisme karir masa depan sebanyak 56,6%. Self esteem memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap keoptimisan seorang mahasiswa, dalam hal ini meraih kesuksesan karirnya.


(7)

Kata Pengantar ... i

Abstrak... ii

Daftar Isi... iii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Identifikasi Masalah...9

1.3. Pembatasan Masalah ...9

1.4. Perumusan Masalah ...10

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...10

1.5.1. Tujuan Penelitian ...10

1.5.2. Manfaat Penelitian ...10

1.6. Sistematika Penelitian...11

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Optimisme...13

2.1.1 Pengertian Optimisme...13

2.1.2 Tipe Optimis ...15

2.1.3 Optimisme dalam Meraih Kesuksesan Masa Depan ...17

2.1.4. Aspek-aspek Optimisme ...18

2.1.5. Ciri-ciri Optimisme...21

2.1.6. Manfaat Optimisme ...26

2.1.7. Meningkatkan Optimisme dan Harapan ...30

2.2. Self Esteem ...31

2.2.1. Pengertian Self Esteem...31

2.2.2. Pembentukan Self Esteem...36

2.2.3. Aspek-aspek Self Esteem...38


(8)

2.4. Hipotesis ...48

BAB III METODE PENELITIAN...49

3.1. Metode Penelitian ...49

3.1.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...49

3.2. Variabel-variabel Penelitian ...49

3.2.1. Definisi Variabel...49

3.3. Pengambilan Sampel ...53

3.3.1. Populasi dan Sampel ...53

3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel ...54

3.4. Pengumpulan Data ...55

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data...55

3.4.2. Instrumen Pengumpulan Data...56

3.5. Uji Instrumen Penelitian...57

3.6. Prosedur Penelitian...65

3.7. Teknik Analisis Data ...67

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN...68

4.1. Analisis Deskriptif ...68

4.2. Uji Persyaratan...69

4.2.1. Kategorisasi Skor ...69

4.2.1.1. Katagori Skor skala Optimisme ...69

4.2.1.2. Katagori Skor skala Self Esteem...73

4.3. Hasil Penelitian ...76

4.3.1. Uji Korelasi...76

4.3.2. Uji Regresi Linear...77

BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN...80

5.1. Kesimpulan ...80


(9)

5.3.1. Saran Praktis ...85

Daftar Pustaka ...86

Lampiran I... i

Lampiran II... ii


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kaidah reliabilitas ... 58

Tabel 3.2 Blue print skala optimisme try out... 59

Tabel 3.3 Blue print skala optimisme penelitian ... 61

Tabel 3.4 Blue print skala self esteem try out ... 62

Tabel 3.5 Blue print skala self esteem penelitian... 64

Tabel 4.1 Tabel gambaran responden berdasarkan jenis kelamin ... 68

Tabel 4.2 Gambaran subjek berdasarkan usia... 69

Tabel 4.3 Nilai maksimum, minimum, rata-rata, jumlah total (sum), dan standar deviasi optimisme ... 70

Tabel 4.4 Kategorisasi optimisme... 71

Tabel 4.5 Tabel Optimis berdasarkan jenis kelamin... 71

Tabel 4.6 Kategori Optimis pada perempuan ... 72

Tabel 4.7 Kategori Optimis pada laki-laki... 72

Tabel 4.8 Nilai maksimum, minimum, rata-rata, jumlah total (sum), dan standar deviasi Self esteem... 73

Tabel 4.9 Kategorisasi skor Self esteem... 74

Tabel 4.10 Tabel Self esteem berdasarkan jenis kelamin... 75

Tabel 4.11 Kategori Self esteem pada perempuan ... 75

Tabel 4.12 Kategori Self esteem pada laki-laki... 76

Tabel 4.13 Tabel hasil uji korelasi Self esteem dengan optimisme... 77

Tabel 4.14 Tabel Linearitas ... 78


(11)

MOTTO

“GO CONFIDENTLY IN THE DIRECTION OF

YOUR DREAMS”


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sulitnya mendapatkan pekerjaan di masa globalisasi ini menjadi topik hangat yang

sangat meresahkan masyarakat. Dahulu jumlah tenaga ahli sangatlah sedikit dan pada

saat itu pula nilai atau value dari seorang mahasiswa pun sangat tinggi, hingga mampu

mendapatkan penghargaan melalui pekerjaan yang tepat dan sesuai dengan ilmu yang ia

miliki serta peroleh ketika kuliah.

Namun seiring bertambahnya jumlah populasi di Indonesia, Jumlah individu yang

lulus dari perguruan tinggi pun makin meningkat dan membuat nilai dari tiap-tiap

individu tersebut menurun atau bahkan hilang. Hal ini menyebabkan banyak lulusan dari

perguruan tinggi tidak lagi mendapatkan pekerjaan sesuai dengan ilmu yang mereka

miliki, atau mendapakan pekerjaan yang kurang layak, dan tidak sedikit yang tidak

memperoleh pekerjaan sama sekali. Berdasarkan informasi dari surat kabar bahwa,

jumlah pengangguran tingkat sarjana dewasa ini melonjak drastis, yakni dari 183.629

lulusan pada tahun 2006 menjadi 409.890 lulusan pada tahun 2007. ditambah dengan

pemegang gelar diploma I, II, dan III yang menganggur, sehingga berdasarkan pendataan

tahun 2007 lebih dari 740.000 orang ( Kompas, 06/02/2008).

Menurut asumsi penulis, saat jumlah mahasiswa terbatas maka nilai dari seorang

mahasiswa itu akan sangat tinggi dan begitu juga sebaliknya. Penurunan ini terjadi

karena dengan banyaknya jumlah mahasiswa membuat perusahaan memiliki lebih


(13)

jumlah pekerjaan yang tersedia dengan nilai dari lulusan perguruan tinggi menjadi alasan

utama sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak di masa ini. Karena itu tingkat

persaingan di pasar buruh pun menjadi sangat tinggi dan hanya mereka yang memiliki

spesialisasi atau keahlian tertentu yang dapat bertahan di persaingan dalam mendapatkan

pekerjaan.

Kesadaran akan fenomena tersebut tidak jarang dapat menimbulkan kecemasan

pada masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya dalam memperoleh

pekerjaan yang sesuai dengan harapan. Saat kuliah tentunya seorang mahasiswa memiliki

harapan tinggi untuk memperoleh pekerjaan yang layak nantinya, serta dapat

mensejahterakan kehidupannya. Namun, sulitnya keadaan sekarang ini justru

mempengaruhi keoptimisan mahasiswa dalam memperoleh kesuksesannnya kelak

ditengah persaingan pasar yang ketat. Padahal keoptimisan adalah inti dari motivasi

seseorang untuk berjuang dalam dunia persaingan ekonomi yang kuat. Tanpa

kemampuan untuk berpikir optimis seseorang dapat mengalami tekanan-tekanan dalam

dirinya ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapannya, buruknya hal tersebut dapat

mengakibatkan kegoncangan mental seseorang.

Disini penulis berasumsi bahwa seseorang yang telah dikategorikan sebagai

seorang mahasiswa yang mulai memasuki masa perkembangan dewasa awal, tentunya

telah memiliki gambaran yang lebih matang mengenai masa depannya dibandingkan

remaja SMA. Dengan kemampuan menilai potensi dan keseluruhan dari dirinya yang

lebih matang, seorang mahasiswa akan lebih memiliki optimisme yang tinggi untuk

menggapai apa yang diharapkannya. Optimisme sendiri adalah kemampuan seseorang

untuk memandang positif akan segala hal. Memiliki pemikiran yang selalu positif akan


(14)

maupun fisik seseorang. Berbagai penelitian banyak yang membuktikan manfaat dari

berpikir optimis dan pengaruhnya pada kesuksesan atau keberhasilan masa depannya.

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Seligman (Seligman, 2008), diperoleh hasil

optimisme sangat berpengaruh pada kesejahteraan psikis dan kesehatan mental seseorang,

dapat meningkatkan system imun dan menurukan tingkat stress.

Patton et.al (2004), menyatakan optimisme dianggap sebagai suatu pertimbangan

yang memiliki kecenderungan dapat mempengaruhi perasaan, sikap cara berpikir, dan

prilaku seseorang dalam situasi tertentu. Creed, Patton, dan Bartrum (2002) melakukan

tes peninjauan kembali (dari penelitian Scheier, Carver & Bridges, 1994) mengenai

dimensi orientasi kehidupan antara optimisme dan pesimisme dan hubungannya dengan

variable karir seperti pengambilan keputusan, kematangan karir, serta tujuan karir masa

depan pada siswa SMA. Ditemukan bahwa siswa dengan optimisme yang tinggi

menunjukan hasil yang lebih tinggi terhadap rencana dan penjelajahan karir masa depan,

mereka telah melakukan pengambilan keputusan tentang karir masa depan, dan lebih

memiliki tujuan karir terhadap masa depan mereka. Sebaliknya, pada mereka yang

pesimis menunjukan hasil yang rendah terhadap pengetahuan tentang karir masa depan

dan lebih ragu-ragu dalam pengambilan keputusan untuk karir masa depan, dan

dilaporkan memiliki prestasi sekolah yang lebih rendah. Lazarus (1991)

mengidentifikasikan bahwa optimisme dan self esteem merupakan suatu keyakinan diri

bahwa hubungan seseorang dan lingkungannya dipengaruhi oleh penilaian dan

penyesuaian diri dan secara potensial yang dapat mengurangi pengaruh stress dan

adaptasi seseorang terhadap lingkungan.

Seligman, 1975; Taylor, 1971 (dalam Scioli et al 1997) mengatakan bahwa suatu


(15)

menyesuaikan diri pada kondisi depresi, kehilangan harapan, dan keputus asaan yang

mengarah pada rasa menyerah, rasa sakit, dan bahkan kematian).

Yates (2002), mengungkapkan terdapat suatu penelitian menetapkan bahwa

perbedaan antara orang yang optimis dan pesimis dalam penjelasan atribusi meliputi pada

aspek-aspek penting pada penyesuaian pribadi, serta memberikan pengaruh pada

kesehatan, motivasi, dan pembelajaran (Peterson & Bossio, 1991; Schulman, 1995).

Kecendrungan optimis dan pesimisnya seseorang dibentuk sejak masa kanak-kanak

(Nolen-Hoeksema & Girgus, 1995; Yates, 1998a) dari banyaknya pengalaman keseharian

(Peterson & Bossio, 1991) yang dapat mempengaruhi kesehatan anak, motivasi dan

prestasinya (Seligman, 1990, 1995). Pada suatu tes yang dilakukan di California

menggunakan California Achievement Test, anak yang pesimis lebih sedikit mengalami

sukses dibanding anak yang optimis (Nolen-Hoeksema & Girgus, 1995). Menurut,

Seligman (1995), siswa yang mengembangkan kerangka berpikir yang pesimis memiliki

resiko untuk tidak berhasil dalam bidang akademisnya.

Selain itu, menurut Seligman dalam bukunya the optimistic child menyatakan

bahwa mereka yang pesimis melakukan suatu pekerjaan lebih buruk dari mereka yang

optimis dalam tiga aspek : pertama, mereka lebih sering merasakan depresi. Kedua,

prestasi mereka rendah di sekolah, dalam pekerjaan, dan di lapangan bermain

dibandingkan bakat yang mereka sebenarnya. Ketiga, kesehatan fisik mereka lebih buruk

dibandingkan orang yang optimis.

Sifat optimis tidak hanya baik bagi kesehatan fisik dan kesejahteraan psikis, dalam

islam pun Allah Swt memerintahkan pada hamba-Nya untuk tidak berputus asa dan

selalu berpikir positif (optimis) baik secara Habluminnanas (hubungan antara manusia


(16)

seperti dalam surat Al-Hijr ayat 56 dan surat Yusuf ayat 87 dimana Allah SWT

membenci orang-orang yang berputus asa.

Di luar medan perjuangan dalam meniti karir, dilihat secara individu bahwa tiap

manusia itu unik, dan memiliki karakter yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain,

termasuk potensi dan kemampuannya sejak dilahirkan. Penilaian orang lain atas dirinya

mengenai perasaan, sikap, dan tingkah lakunya merupakan wujud dari self esteem. Self

esteem mengacu pada bagaimana seseorang secara subjektif menilai dirinya sendiri,

kemampuan serta potensi yang dimilikinya. Seseorang yang positif terhadap

potensi-potensi dirinya dan pengembangan dirinya sendiri, diyakini memiliki self esteem yang

positif. Dengan kemampuan melihat dirinya secara positif maka kedepannya akan sangat

membantu dalam berjuang meniti kesuksesan karirnya sendiri. Seperti pada berbagai

penelitian yang dilakukan oleh para ahli dimana self esteem berdampak pada kemampuan

diri seseorang dalam memperoleh prestasi dan menentukan konsep karir masa depannya.

Tidak hanya itu self esteem juga sangat menentukan kepercayaan diri seseorang terhadap

kemampuan yang ia miliki.

Gardner, 1981; Holland, 1085; Super 1980 ( dalam Patton et al, 2004) dalam suatu

kepustakaan riwayat kerja, mengindikasikan remaja dengan self esteem yang tinggi

memiliki konsep yang lebih jelas mengenai ketertarikan terhadap karir dan kemampuan

membuat keputusan mengenai karir masa depan dibandingkan siswa yang memiliki self

esteem yang rendah.

Dalam Research Fact and Findings (2003) ada bermacam-macam tingkatan self

esteem pada anak remaja yang nampaknya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

gender, kebudayaan, dan kelas sosial, dapat juga di pengaruhi oleh karakteristik individu


(17)

berbeda pula seperti dalam hal sosial, pelajaran, olahraga, penampilan dan tingkah laku

secara umum. Pada penelitian Harter (1990, 1999) di temukan bahwa, kepuasan dalam

hal penampilan fisik memberikan komponen self esteem yang besar, dan pada remaja

wanita lebih memiliki ketidak puasan yang besar terhadap penampilan fisiknya dibanding

remaja laki-laki.

Suatu penelitian dalam Research Finding and Facts (2003) ditemukan bahwa

sepertiga sampai setengah dari remaja berjuang menghadapi self esteem yang rendah,

terutama pada remaja awal (Harter, 1990; Hirsch & Dubois, 1991). Self esteem yang

rendah berdampak sementara, tetapi dalam kasus yang serius dapat mengarah pada

berbagai macam permasalahan, seperti depresi, anorexia nervosa, delinquency, sikap

melukai diri sendiri dan bahkan bunuh diri. Remaja dengan self esteem yang rendah lebih

banyak berprilaku tidak baik di sekolahnya, hamil, atau menghamili pasangannya. Tetapi

juga perlu diketahui bahwa penyebab pasti dari hal tersebut juga tidak jelas, penelitian

pun tidak begitu yakin bahwa self esteem yang rendah dapat menjadi penyebab anak

muda memiliki masalah prilaku tsb. Sebagai contoh, dilaporkan bahwa anggota geng

memiliki self esteem di atas rata-rata. Seorang anak yang memiliki self esteem yang tinggi

ketika masa kanak-kanaknya akan memiliki self esteem yang tinggi pula ketika

remajanya. Dalam Savin Williams – Demo, 1983; Harter, 1990, banyak penelitian

menunjukan bahwa sepanjang masa remaja pertengahan dan remaja akhir hingga masa

dewasa awal memiliki self esteem yang stabil dan bahkan terus meningkat.

Dalam Naderi, et al (2009) terdapat suatu penelitian yang mendokumentasikan

pentingnya peranan self esteem dalam prestasi akademis, sosial, dan tanggung jawab

pribadi (Redenbach, 1991). Berlaku bagi setiap orang, bahwa perkembangan potensi


(18)

utama yang mempengaruhi tingkat keahlian seseorang dalam semua usaha keras. Self

esteem berhubungan dengan kesuksesan kerja, prestasi sekolah, keserasian pribadi dan

kebahagiaan (Redenbach, 1991). Di kutip dari Malbi & Reasoner (2000), self esteem di

indikasikan secara luas sebagai keyakinan individu terhadap dirinya sendiri untuk

berkompeten dan berguna dalam kehidupan. Suatu penelitian menunjukan terdapat

korelasi yang kuat antara bagaimana seseorang menilai diri mereka dengan pencapaian

akademiknya. Mereka yang merasa percaya diri, secara umum lebih berprestasi dibanding

mereka yang tidak percaya diri.

Dalam Nave (1990) Self esteem siswa lebih memiliki hubungan yang erat dengan

kesuksesan siswa dibanding IQ (Canfield, 1976). Dalam hal itu beberapa Negara bagian

di Amerika telah memasukan program peningkatan self esteem dalam kurikulum sekolah.

Seperti yang di beritakan bahwa daerah bagian California mempromosikan Self Esteem

dengan menggunakan kekuatan tugas lokal. Beberapa sekolah mengadopsi program

terbaru untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa. Berdasarkan survey Departemen

Pendidikan US program Self Esteem 86 % dilaksanakan di sekolah SD California dan 83

% pada distrik SMA California (The Patriot News, 1990). Kekuatan tugas yang sama di

bentuk di Virginia dan Maryland. Penelitian pun segera dilakukan di Negara bagian ini

untuk menemukan bagaimana cara Self Esteem dapat digunakan untuk meningkatkan

kesuksesan siswa.

Dinyatakan pula dalam Nave (1990) bahwa salah satu teknik untuk meraih

kesuksesan siswa dalam meningkatkan self esteem-nya adalah siswa di libatkan secara

penuh dalam penentuan sasaran tujuan hidupnya dan tujuan karirnya. Dengan bantuan


(19)

kemampuan siswa sebelumnya). Beberapa tujuan seharusnya dengan seketika dapat

dicapai agar dapat menetapkan kesuksesan secepatnya dan umpan balik yang positif, serta

dalam beberapa hal harus melibatkan mimpi panjang mereka yakni cita-cita siswa.

Dalam Nave (1990) mengatakan bahwa ratusan artikel ilmiah mengenai self esteem

menyatakan terdapat korelasi yang kuat antara self esteem dengan aktivitas yang

dilakukan siswa : anak rumahan memiliki self esteem yang rendah, yang berprestasi tinggi

memiliki self esteem yang tinggi, orang yang depresi memiliki self esteem yang rendah,

atlit hebat memiliki self esteem yang tinggi, anak yang mendapatkan nilai F memiliki self

esteem yang rendah dan seterusnya.

Namun, optimisme saja tidaklah cukup untuk meraih apa yang kita inginkan,

karena dalam menggapai kesuksesan haruslah disertai dengan usaha yang nyata. Memiliki

optimisme yang tinggi namun usaha yang tidak sepadan dalam menggapai apa yang

diinginkan, di ibaratkan seperti doa tanpa usaha, atau berusaha tetapi tanpa pemikiran

yang optimis bahwa ia akan sukses, diibaratkan seperti usaha tanpa doa. Antara optimis

dan berusaha tidak dapat dipisahkan jika seseorang ingin menggapai kesuksesan karirnya

kelak.

Dalam SIRC (2009) faktor individu seperti aspek self esteem dan optimisme dapat

mempengaruhi self efficacy, harapan dan terutama prilaku seseorang. Dalam suatu

penelitian kecil mengenai optimisme dan dengan menggunakan kerangka teori dari SSCT

(Social Cognitive Career Theory) secara umum optimis memiliki kecendrungan

memberikan hasil yang positif atau memberi keyakinan yang baik dibanding sesuatu yang


(20)

Idealnya seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi, memiliki optimisme

yang tinggi pula dalam hal ini optimisme meraih kesuksesan karir masa depan. Sehingga

walaupun di masa sekarang sulit mendapat pekerjaan dan banyaknya sarjana yang

menganggur, mereka yang memiliki self esteem yang positif dan sangat menyadari

potensi dirinya akan memiliki optimisme yang tinggi pula dalam menghadapi karir masa

depan mereka.

Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan optimisme, yakni faktor dari

dalam diri seperti kreativitas, motivasi, percaya diri, dan faktor internal lainnya. Serta

faktor dari luar diri lingkungan sosial, keluarga, budaya, status sosial, agama dll. Penulis

tertarik meneliti hubungan antara self esteem dengan optimisme karena penulis ingin

mengetahui keterkaitannya lebih jauh dan dapat menginformasikan berbagai manfaat dari

optimisme.

1.2 Identifikasi Masalah

• Apakah ada hubungan self esteem dengan optimisme meraih kesuksesan karir mahasiswa?

• Seberapa besar pengaruh atau sumbangan yang diberikan self esteem terhadap optimisme meraih kesuksesan karir mahasiswa?

1.3.Pembatasan Masalah

y Self esteem : Merupakan penilaian yang diberikan individu terhadap dirinya sendiri, baik positif naupun negatif, yang kemudian diekspresikan dalam sikap terhadap

dirinya tersebut dalam aspek perasaan mengenai dirinya sendiri, perasaan terhadap


(21)

y Optimisme : Harapan kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan akan mampu teratasi dengan baik, walaupun ditimpa banyak masalah dan frustasi.

Optimisme sebagai kecenderungan untuk memandang segala sesuatu dari segi dan

kondisi baiknya dan mengharapkan hasil yang paling memuaskan.

y Mahasiswa yang diteliti adalah mahasiswa fakultas psikologi yang telah mendapatkan mata kuliah peminatan.

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, peneliti merumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara self esteem dengan optimisme meraih

kesuksesan karir mahasiswa? “

2. Seberapa besar pengaruh atau sumbangan yang diberikan self esteem terhadap

optimisme meraih kesuksesan karir mahasiswa?

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. mengetahui hubungan self esteem dengan optimisme meraih kesuksesan karir

mahasiswa.

2. Mengetahui seberapa besar pengaruh atau sumbangan yang diberikan Self esteem

terhadap optimisme meraih kesuksesan karir mahasiswa.

1.5.2. Manfat Penelitian

Manfaat teoritis: secara teoritis, penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan


(22)

Manfaat praktis: secara praktis, penelitian ini dapat memberikan motivasi kita untuk

meraih kesuksesan karir dengan berpikir optimis terutama bagi

mahasiswa.

1.6 Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan pemahaman pada tulisan ini, maka penulis menyusunnya dalam

sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab 1 Pendahuluan

Yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab 2 Kajian Pustaka

Bagian ini membahas mengenai teori self esteem (pengertian self esteem,

pembentukan harag diri, aspek-aspek self esteem, karakteristik individu berdasarkan self

esteem yang dimiliki). Teori optimisme (pengertian optimisme, tipe-tipe optimis, optimis

meraih kesuksesan masa depan, aspek-aspek optimis, ciri-ciri optimis, manfaat optimis,

meningkatkan optimis dan harapan), kerangka berpikir dan hipotesis.

Bab 3 Metodologi Penelitian

Bagian ini membahas mengenai jenis penelitian (pendekatan dan metode penelitian),

subjek penelitian (karakteristik dan jumlah subjek, serta teknik pemilihan subjek penelitian),

pengumpulan data (metode pengumpulan data dan instrument penelitian), prosedur penelitian


(23)

Bab 4 Presentasi dan Analisis data

Terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, uji instrument penelitian, hasil skala

uji validitas skala self esteem dan skala optimisme kesuksesan karir serta hasil uji reliabelitas

self esteem dan optimisme kesuksesan karir masa depan. Uji persyaratan yang terdiri dari uji

normalitas, uji homogenitas dan uji hipotesis serta hasil utama penelitian.

Bab 5 Penutup


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Optimisme

2.1.1. Pengertian Optimisme

Dalam Seligman (1995) optimisme berasal dari kata bahasa inggris yaitu

Optimism yang berarti keadaan selalu berpengharapan baik. Selama ini pandangan

umum masyarakat mengenai optimisme adalah cara memandang suatu hal seperti

melihat gelas yang tidak penuh sebagai gelas yang setengah berisi, dan bukan

setengah kosong atau bersikap menguatkan diri dengan kalimat-kalimat positif kepada

dirinya sendiri. Tetapi makna optimisme sebetulnya lebih dalam dari itu. Dasar dari

optimisme adalah bagaimana cara berpikir seseorang ketika menghadapi suatu

masalah.

Menurut Segerestrom, 1998 (dalam Ghufron, 2010) optimisme adalah cara

berpikir yang positif dan relistis dalam memandang suatu masalah. Berpikir positif

adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk. Belsky (1999)

berpendapat bahwa optimisme adalah menemukan isnspirasi baru. Kekuatan yang

dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan sehingga mencapai keberhasilan.

Lopez dan Snyder (2003) berpendapat optimisme adalah suatu harapan yang

ada pada individu bahwa segala sesuatu akan berjalan menuju kearah kebaikan.

Perasaan optimisme membawa individu pada tujuan yang diinginkan, yakni percaya

pada diri dan kemampuan yang dimiliki. Sikap optimis menjadikan seseorang keluar

dengan cepat dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan perasaan


(25)

keberuntungan sendiri-sendiri. Belsky (1999) berpendapat bahwa optimisme adalah

menemukan inspirasi baru. Kekuatan yang dapat diterapkan dalam semua aspek

kehidupan sehingga mencapai keberhasilan.

Scheier dan Carver (dalam Snyder dkk, 2005) mengatakan bahwa orang yang

optimis adalah orang yang selalu mengharapkan atau menduga bahwa hal baik yang

akan terjadi padanya. Lebih lanjut Scheier, Weintraub, dan Carver (1986) meneliti

perbedaan cara coping antara orang yang optimis dan pesimis ketika mereka

menghadapi situasi stress. Orang yang optimis cenderung akan melakukan coping

melalui usaha yang aktif untuk mengatasi masalahnya. Menurut Scehier dan Carver,

kamus mendefinisikan optimisme dan pesimisme merupakan keyakinan seseorang

terhadap harapan masa depannya.

Menurut Kerley (2006), optimis adalah gaya penjelasan (bagaimana kita

menjelaskan sesuatu pada diri kita), dan juga suatu sikap (bagaimana cara kita

merasakan sesuatu). Merupakan suatu komponen perilaku yang menghasilkan suatu

hasil yang kompleks dari pikiran dan emosi kita. Secara simpelnya optimis berarti

meyakini suatu peristiwa akan berjalan baik.

Dalam SIRC (2009) mendefinisikan optimisme sebagai suatu istilah yang

banyak dipakai dalam mendeskripsikan pengalaman, perasaan, dan watak seseorang

pada berbagai konteks sejarah maupun sosial. Menurut Weinstein (1980), optimisme

adalah merupakan kecenderungan seseorang untuk meyakini bahwa mereka akan

lebih banyak mengalami suatu peristiwa yang baik daripada mengalami suatu


(26)

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa optimis merupakan suatu

istilah yang dipakai untuk menggambarkan perbedaan watak yang didasarkan pada

perbedaan pengalaman, latar belakang, dan kehidupan sosial seseorang.

Dalam SIRC (2009) Berdasarkan hasil penelitian (berupa polling, di Inggris)

dalam suatu jurnal psikologi menghasilkan bahwa tinggi rendahnya optimisme

seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni:

1. faktor dari lingkungan keluarga sebanyak 72%

2. faktor kesehatan diri sebanyak 65%, nampaknya faktor ini merupakan faktor

kunci yang mempengaruhi optimisme seseorang dan

3. faktor politik dan ekonomi global sebanyak 12%

Dengan cara yang sama, dari hasil polling (di Inggris) bahwa mayoritas orang

sangat merasa optimis dalam hal kehidupan keluarga 61%, hubungan pribadi 53%,

dan kehidupan sosial 31%, serta hanya ada 4% yang optimis terhadap masa depan

negaranya.

2.1.2 Tipe Optimis

Dari analisis SIRC (Social Issues Research Center, 2009), ditemukan berbagai

macam tipe sifat optimisme (menggunakan banyaknya partisipan yang ada dalam

polling nasional, dan mereka mendeskripsikan diri mereka sendiri):

1. Realist (24%) : saya tidak optimis ataupun pesimis, tapi cukup realistik


(27)

2. Concrete optimist (optimis konkrit) (19%) : saya optimis, tapi saya juga

realistik mengenai kemungkinan hasil dari suatu kejadian.

3. Cautious optimist (optimis yang berhati-hati) (18%) : saya optimis, tetapi saya

berhati-hati untuk tidak puas dengan keberuntungan baik saya.

4. Situational optimist (optimis terkondisikan) (15%) : tingkat optimis saya

berubah-ubah pada setiap situasi.

5. Fatalist (6%) : terutama sekali saya menerima bahwa saya tidak dapat

merubah apa yang telah terjadi pada saya, baik itu bagus ataupun buruk.

6. Individualist (3%) : terutama sekali saya yakin bahwa saya dapat mengontrol

apa yang akan terjadi pada saya, baik itu bagus atau buruk.

7. Pessimist (3%) : secara umum saya pesisimis apapun situasinya.

8. Contagious optimist (optimis yang menular) (2%) : saya selalu optimis dan

keoptimisan saya menular pada mereka yang ada di sekitar saya.

9. Unbashed optimist (sangat optimis) (2%) : saya selalu optimis apapun

situasinya.

Dalam hasil peneltian yang dilakukan oleh SIRC, hal-hal yang paling

mempengaruhi tinggi rendahnya optimisme dalam diri seseorang secara umum

adalah; (1) keluarga, (2) kesehatan, (3) penghasilan pribadi, (4) kehidupan percintaan,

(5) kehidupan sosial, (6) pekerjaan, (7) ekonomi Negara (dalam hal ini di UK), (8)


(28)

2.1.3. Optimisme meraih kesuksesan masa depan

Goleman (2002) mengatakan bahwa optimisme masa depan adalah harapan

kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan akan mampu teratasi

dengan baik, walaupun ditimpa banyak masalah dan frustasi. Melihat optimis melalui

titik pandang kecerdasan emosional, yakni suatu pertahanan diri pada seseorang agar

jangan sampai terjatuh kedalam masa kebodohan, putus asa, dan depresi bila

mendapat kesulitan. Dalam menerima kekecewaan, individu yang optimis cenderung

menerima dengan respon aktif, tidak putus asa merencanakan tindakan kedepan,

mencari pertolongan, dan melihat kegagalan sebagai sesuatu yang dapat diperbaiki.

Harapan, menurut peneliti-peneliti modern, lebih bermanfaat daripada memberikan

sedikit hiburan ditengah kesengsaraan; harapan memainkan peran yang menakjubkan

manfaatnya dalam kehidupan, memberikan suatu keunggulan dalam bidang-bidang

yang begitu beragam seperti prestasi belajar dan keberhasilan memikul tugas-tugas

yang berat. Harapan, dalam artian teknis adalah lebih daripada pandangan yang

optimis bahwa segala sesuatunya akan menjadi beres. Menurut Weinstein (1980)

Beberapa data menyatakan bahwa seseorang cenderung bersikap optimisme tidak

realistik dalam menghadapi masa depan mereka.

Snyder yang dikutip dalam Goleman, (1995) setiap individu pasti mempunyai

harapan akan masa depannya. Harapan yaitu keyakinan untuk mencapai sasaran.

Harapan tersebut juga dapat merupakan perubahan yang lebih baik pada dirinya dari

keadaan sekarang. Dalam menuju ke suatu harapan yang lebih baik atau suatu

kesuksesan di masa yang akan datang, individu tidak terlepas dari

hambatan-hambatan yang akan menghalanginya. Untuk itu individu harus dapat menghalau

hambatan tersebut. Mahasiswa-mahasiswa yang memiliki harapan tinggi mematok


(29)

meraihnya. Bila ingin membandingkan mahasiswa-mahasiswa yang bakat

intelektualnya setara dalam segi prestasi akademik, apa yang membedakan mereka

adalah harapan.

Menurut Heine dan Lehman (1995), kebanyakan orang nampaknya

termotivasi untuk memperhitungkan rasa ancaman yang mereka rasakan ketika

menghadapi peristiwa buruk dengan menggunakan keoptimisannya yang tidak

realistik untuk memprediksi masa depan mereka.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa optimisme

masa depan adalah kecenderungan untuk memandang segala sesuatu dari segi dan

kondisi baiknya dan mengharapkan hasil yang paling memuaskan serta cara pandang

dan rasa keyakinan seorang tentang masa depannya.

2.1.4 Aspek-Aspek Optimisme

Seligman (1995) menjelaskan bahwa bagaimana cara individu memandang

suatu peristiwa di dalam kehidupannya berhubungan erat dengan gaya individu

dalam menjelaskan suatu peristiwa (explanatory style). Dengan gaya penjelasan

itu, seseorang yang optimis akan dapat menghentikan rasa ketidakberdayaannya.

Ditinjau dari perspektifnya, orang yang optimis menjelaskan suatu kejadian atau

pengalaman negatif diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal, bersifat sementara,

atau faktor-faktor khusus. Sementara itu, orang pesimis menjelaskan bahwa

kejadian negatif dikarenakan oleh faktor internal, bersifat stabil, dan diakibatkan

oleh faktor-faktor global. Seligman (2001) mengemukakan ada tiga macam gaya

penjelasan (explanatory style), yaitu permanence, pervasiveness dan


(30)

a. Permanence (hal yang menetap)

gaya ini menggambarkan bagaimana individu melihat peristiwa yang bersifat

sementaran (temporary) atau menetap (permanence). Orang-orang yang pesimis

melihat peristiwa yang buruk sebagai sesuatu yang menetap dan mereka

cenderung menggunakan kata-kata ”selalu” dan ”tidak pernah”, misalnya: ”saya

tidak pernah mendapat nilai yang bagus pada mata pelajaran matematika karena

kemampuan saya dalam berhitung kurang”. Orang pessimis melihat hal yang baik

hanyalah sebagau hal yang bersifat sementara, misalnya: ”saya berhasil dalam

ujian itu kerena saya belajar tadi malam”.

Sebaliknya orang yang optimis melihat peristiwa buruk sebagai suatu hal yang

hanya bersifat sementara, misalnya: ”akhir-akhir ini kerja tim kita berantakan”.

Sementara orang yang optimis melihat hal yang baik sebagai suatu hal yang

bersifat permanen, misalnya: ”Saya berhasil mendapat nilai baik karena saya

pintar”.

b. Pervasiveness (hal yang mudah menyebar)

Gaya penjelasan peristiwa ini berkaitan dengan ruang lingkup dari peristiwa

tersebut, yang meliputi universal (menyeluruh) dan spesifik (khusus). Orang yang

optimis bila dihadapkan pada kejadian yang buruk akan membuat penjelasan yang

spesifik dari kejadian itu, bahwa hal buruk terjadi diakibatkan oleh sebab-sebab

khusus dan tidak akan meluas kepada hal-hal yang lain. Misalnya: ”meskipun nilai

ulangan saya kemarin jelek, itu tidak akan membuat saya gagal menjadi juara

kelas”. Bila dihadapkan pada hal yang baik ia akan menjelaskan hal itu

diakibatkan oleh faktor yang bersifat universal. Misalnya: ”Saya mendapat nilai


(31)

Sementara orang yang pesimis akan melihat kejadian yang baik sebagai suatu

hal yang spesifik dan berlaku untuk hal-hal tertentu saja. Misalnya: ”saya

mendapat nilai bagus karena saya pintar dalam pelajaran matematika”.

Sedangkan, jika menemui kejadian buruk pada satu sisi hidupnya ia akan

menjelaskannya sebagai suatu hal yang universal, dan akan meluas keseluruh sisi

lain dalam hidupnya, dan biasanya akibat hal ini ia menjadi mudah menyerah

terhadap segala hal meski ia hanya gagal dalam satu hal. Misalnya: ”saya tidak

akan menjadi juara kelas karena ulangan matematika saya kemarin jelek”.

c. Personalization (hal yang yang berhubungan dengan pribadi)

Personalisasi merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan

sumber dari penyebab kejadian tersebut, meliputi internal dan eksternal.

Ketika mengalami hal yang buruk, orang yang pesimis akan menganggap bahwa

hal itu terjadi karena faktor dari dalam dirinya. Misalnya: ”saya mendapat nilai

jelek pada ulangan matematika kemarin karena saya tidak pintar berhitung”. Bila

dihadapkan pada peristiwa baik ia akan menganggap bahwa hal itu disebabkan

oleh faktor luar dirinya. Misalnya: tim saya berhasil menang pada pertandingan

tadi malam karena lawan tidak dalam kondisi yang baik”.

Di lain pihak orang optimis akan menganggap hal yang baik merupakan hal yang

disebabkan oleh faktor dalam dirinya. Misalnya: ”kami berhasil menang dalam

pertandingan tadi malam karena kemampuan kami memang lebih baik dari lawan”. Dan

akan menjelaskan suatu hal yang buruk sebagai hal yang disebabkan oleh faktor

eksternal. Misalnya: ”saya mendapat nilai yang jelek dalam ulangan kemarin karena


(32)

2.1.5 Ciri- ciri Optimisme

Ada beberapa ciri dari optimisme yang diungkapkan oleh para ahli. Martin

E.P. Seligman (1995) mengatakan bahwa orang yang optimis percaya bahwa

kegagalan hanyalah suatu kemunduran yang bersifat sementara dan penyebabnya pun

terbatas, mereka juga percaya bahwa hal tersebut muncul bukan diakibatkan oleh

faktor dari dalam dirinya, melainkan diakibatkan oleh faktor luar.

Sementara itu Kerley (2006), mengatakan bahwa ada 12 ciri-ciri orang yang

optimis menurut Alan McGinnis, yaitu :

a. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis berani

menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok.

b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan

bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani

kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Mereka

membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa ditangani.

c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka.

Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar

sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu

menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah

lain-lainnya menyerah.

d. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga

optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah

individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk

melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk memastikan


(33)

e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus

pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang

lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin dari

segi pandangan yang menguntungkan.

f. Meningkatkan kekuatan apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia ini, dengan

semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal baik

untuk dirasakan dan dinikmati.

g. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah

pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka

belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.

h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis

berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.

i. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk

diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu mempunyai

keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum

tercapai.

j. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan

dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati

kita.

k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka.

Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan

orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan menyentuh banyak arti

kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada

diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka


(34)

l. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang

paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat

mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah

sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustrasi dan mereka

melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima orang-orang

itu apa adanya dan bersikap santai. Mereka berprinsip “Ubahlah apa yang bisa

anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda ubah”.

Robinson dkk (1997), menyatakan individu yang memiliki sikap optimis

jarang menderita depresi dan lebih mudah mencapai kesuksesan dalam hidup,

memiliki kepercayaan, dapat berubah kearah yang lebih baik, adanya pemikiran dan

kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih, dan selalu berjuang dengan kesadaran

penuh.

Scheier dan Carver (dalam Snyder, 2002) menegaskan bahwa individu yang

optimis akan berusaha menggapai pengharapan dengan pemikiran yang positif, yakin

akan kelebihan yang dimiliki. Individu yang optimis biasa berkerja keras menghadapi

stress dan tantangan sehari-hari secara efektif, berdoa, dan mengakui adanya faktor

keberuntungan dan faktor lain yang turut mendukung keberhasilannya.

Menurut Seligman (1995), karakteristik orang yang pesimis adalah mereka

cenderung meyakini peristiwa buruk akan bertahan lama dan akan menhancurkan

segala yang mereka lakukan dan itu semua adalah kesalahan mereka sendiri.

Sedangkan, orang yang optimis jika berada dalam situasi yang sama, akan berpikir


(35)

kekalahan hanyalah kegagalan yang sementara, dan itu karena terbatas pada satu hal

saja. Orang yang optimis yakin kekalahan bukanlah karena kesalahan mereka :

keadaan, keberuntungan atau orang lain yang menyebabkannya. Orang yang seperti

itu tidak akan merasa terganggu dengan kekalahannya. Mereka menganggap situasi

yang buruk adalah sebagai suatu tantangan dan mereka akan berusaha keras

menghadapinya.

Ketika hal buruk terjadi, biasanya orang akan menyalahkan dirinya sendiri

(internal) atau menyalahkan orang lain (eksternal). Orang-orang yang menyalahkan

dirinya sendiri saat mereka gagal membuat penghargaan pada diri mereka rendah,

mereka pikir mereka tidak berguna, tidak punya kemampuan, dan tidak dicintai.

Orang yang menyalahkan kejadian-kejadian eksternal tidak kehilangan rasa

penghargaan pada dirinya sendiri saat kejadian-kejadian buruk menimpa mereka.

Secara keseluruhan, mereka lebih banyak suka pada diri mereka sendiri daripada

orang yang menyalahkan diri mereka sendiri menyukai mereka. Gaya optimis juga

menjelaskan kejadian-kejadian baik berlawanan dengan yang digunakan untuk

menjelaskan kejadian-kejadian buruk; lebih bersifat internal daripada eksternal.

Orang-orang yang percaya bahwa mereka menyebabkan kejadian-kejadian baik

cenderung lebih menyukai diri mereka sendiri daripada orang-orang yang percaya

bahwa hal-hal baik tersebut dari orang lain atau keadaan. Hal yang perlu untuk di

ingat juga bahwa orang yang optimis adalah orang yang punya harapan besar dalam

hidupnya. Dengan harapan tersebut ia akan menyongsong hari esok dengan

senyuman. Begitu pula dalam berprestasi kita harus punya rasa optimisme sehingga


(36)

Suatu eksperimen (dalam Seligman 1995) juga menunjukan bahwa orang yang

optimis dapat melakukan lebih baik dalam hal sekolah dan kuliah, ditempat kerja

dan di lingkungan pergaulannya. Mereka juga secara teratur dapat melebihi prediksi

aptitude test. Gaya penjelasan orang yang optimis dapat mengehentikan keputusaan,

dimana gaya penjelasan orang pesimis justru menyebarkan rasa keputusasaan.

Orang yang depresi secara kontras melihat kesuksesannya disebabkan oleh faktor

yang sama dengan kegagalannya.

Teori gaya penjelasan untuk sukses mengatakan bahwa untuk memilih

orang-orang yang akan berhasil dalam suatu pekerjaan yang menantang, berdasarkan tiga

faktor berikut ; bakat, motivasi, dan optimisme. Ketiga faktor ini yang menentukan

kesuksesan seseorang.

Seligman (1995) mengatakan bahwa gaya penjelasan optimis tidak

mempengaruhi apa yang dikatakan orang lain tentang kemungkinan yang terjadi tapi

apa yang dikatakan pada dirinya sendiri saat kemungkinan itu berkata tidak. Ia juga

berkata kepada Creedon orang yang pesimis akan mengatakan pada dirinya sendiri

tentang hal-hal yang bersifat permanent, perpasif, dan personal, seperti “Aku tidak

hebat”. Dan sebaliknya orang yang optimis akan berbicara pada dirinya sendiri

dengan cara yang membangun, tidak mudah menyerah, bersifat permanensi

(Orang-orang yang melawan ketidakberdayaan percaya bahwa penyebab-penyebab dari

banyak kejadian buruk hanya bersifat sementara). Gaya penjelasan orang yang

optimis untuk kejadian-kejadian yang baik bertentangan dengan gaya penjelasan

optimis untuk kejadian buruk. Orang optimis percaya bahwa

kejadian buruk memiliki penyebab-penyebab yang spesifik, sedangkan


(37)

percaya bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki penyebab-penyebab yang universal

dan kejadian-kejadian baik disebabkan oleh faktor-faktor yang spesifik.

Dalam buku Seligman ”The Optimistic Child” (1995) anak yang optimis dan

pesimis memiliki respon yang berbeda dalam menyikapi kejadiaan baik di hidupnya.

Anak yang yakin bahwa pristiwa yang baik bersifat permanen lebih optimis

dibandingkan anak yang yakin bahwa hal tersebut hanya bersifat sementara.

2.1.6 Manfaat optimisme

Dalam banyak penelitian sebelumnya juga mengatakan banyak manfaat

optimis bagi kesehatan fisik dan kesejahteraan psikis. Dalam Jalaludin (1997) tipe

orang yang sehat jiwa (healty-minded-ness) menurut W.Starbuck yang dikemukakan

oleh W.Hosuton Carlk adalah :

b. Optimis dan Gembira

Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan

perasaan optimis penuh, perasaan optimis, pahala menurut pandanganya adalah

sebagai hasil jerih payahnya yang dberikan tuhan. Sebaliknya, segalabentuk musibah

dan penderitaan dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan

tidak beraggapan sebagai peringatan tuhan terhadap dosa mereka. Meraka yakin

bahwa tuhan bersfat pengasih dan penyayang dan bukan pemberi azab.

c. Ekstrovert dan tidak mendalam

Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini

menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang


(38)

memulai suasana hatinya lepas dari kungkungan ajaran agama yang terlampau

menggelimat. Mereka senang pada pemudahan dalam melaksanakan ajaran agama.

Sebagai akibatnya mereka kurang senang mendalami ajaran agama. Dosa mereka

anggap sebagai perbuatan mereka yang keliru.

d. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal

Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovert mereka cenderung:

1. Menyenangi teologi yang lues dan tidak kaku.

2. Menunjukan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.

3. Menekankan ajaran cinta kasih dari pada kemurkaan dan dosa.

4. Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.

5. Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.

6. bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama

7. Selalu berpandangan positif.

Berkembang secara graduasi. Maksudnya mereka meyakini ajaran agama

melalui proses yang wajar dan tidak melalui proses pendadakan.Menurut Scheier dan

Carver (dalam Snyder, 2002) menyatakan optimisme dapat dipastikan membawa

individu kearah kebaikan kesehatan karena adanya keinginan untuk menjadi orang

yang ingin menghasilkan sesuatu (produktif) dan ini tetap dijadikan tujuan untuk


(39)

Sementara, Duffy, dkk (dalam Ghufron, 2010) berpendapat bahwa optimisme

membuat individu mengetahui apa yang diinginkan. Individu tersebut dapat dengan

cepat mengubah diri agar mudah menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi,

sehingga diri tidak menjadi kosong. Individu yang optimis di ibaratkan seperti gelas

yang penuh, sedangkan individu yang pesimis seperti gelas yang kosong yang tidak

memiliki apa-apa didalamnya. Orang pesimis kurang memiliki kepastian untuk

memandang masa depaan dan selalu hidup didalam ketidakpastian dan merasa hidup

tidak berguna. Menurut Belsky (1999) optimisme membuat individu memiliki energi

tinggi, bekerja keraas untuk melakukan hal yang penting. Pemikiran optimisme

memberi dukungan pada individu menuju hidup yang lebih berhasil dalam setiap

aktivitas. Dikarenakan, orang yang optimis akan menggunakan semua potensi yang

dimiliki.

Menurut Robinson (1980), optimisme telah memberikan kesuksesan pada

berbagai aspek seperti kesuksesan pada program perawatan pemberhentian

penyalahgunaan alkohol (Strack, Carver, & Blaney, 1987), penyesuaian diri di

perguruan tinggi (Aspinwall & Taylor, 1992), resisten dari depresi postpartum

(Carver & Gaines, 1987).

Sedangkan menurut Myers, 1999 (dalam Ghufron, 2010) optimisme

menunjukan arah dan tujuan hidup yang positif, menyambut datangnya pagi dengan

sukacita, membangkitkan kembali rasa percaya diri kearah yang lebih realistik, dan

menghilangkan rasa takut yang selalu menyertai individu. Pemikiran optimis

menentukan individu dalam menjalani kehidupan, memecahkan masalah, dan

penerimaan terhadap perubahan, baik dalam menghadapi kesuksesan maupun


(40)

Dalam Seligman (1995) Creedoon menegaskan proses menyerah, berkata

tidak, berkecil hati akan mudah kecewa. Semisal pada seorang selesman yang

teridentifikasi pesimisme yang dalam quisioner menyerah dengan mudah dan

mengalami depresi berbeda dengan orang yang optimis, ia akan kebal terhadap

permasalahan tersebut di atas dan mereka cenderung akan berhasil dengan suatu

pekerjaan yang lebih menantang.

Selanjutnya Seligman menyatakan pesimisme versus optimisme, individu

yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi

memiliki gaya penjelasan yang pesimistis, sedangkan individu yang merespon

kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, eksternal dan terbatas memiliki

gaya-gaya penjelasan yang optimistik. Dalam Stoltz (2000) dari penelitian Seligman

et al, ditemukan bahwa orang-orang optimis lebih unggul dibandingkan orang-orang

yang pesimis dalam hidup maupun bidang-bidang pekerjaan.

Seligman (1995) menyatakan pemikiran positif sering mencoba melibatkan

pernyataan diri yang keras seperti ; ”setiap hari, dimanapun itu saya selalu merasa

lebih baik dari sebelumnya” walaupun tidak seperti fakta yang ada atau malah

kebalikan dari fakta yang ada. Orang yang optimis bertahan dari ketidakberdayaan.

Mereka tidak mudah menjadi depresi ketika mereka mengalami kegagalan, mereka

juga tidak mudah menyerah. Selama hidupnya orang yang optimis akan lebih sedikit

mengalami ketidakberdayaan yang berkepanjangan dibandingkan orang yang pesimis.

Dengan pengalaman ketidakberdayaan yang sedikit, maka akan membentuk sistem

imun yang lebih baik dalam tubuh. Orang-orang yang pesimis mengalami masalah

yang sama. Mereka semakin mudah menjadi pasif ketika masalah menghadang dan


(41)

dukungan sosial. Hubungan antara kurangnya dukungan sosial dan penyakit menjadi

alasan keempat untuk percaya bahwa gaya memberikan penjelasan yang optimis dapat

menjadi seseorang menjadi sehat.

Seligman (2002) berpendapat bahwa menemukan penyebab permanen dan

universal dari peristiwa baik serta menemukan penyebab temporer dan spesifik untuk

musibah, adalah seni dari harapan. Sedangkan, menemukan penyebab permanen dan

universal dari peristiwa buruk serta penyebab temporer dan spesifik untuk peristiwa

baik adalah perilaku putus asa.

2.1.7 Meningkatkan Optimisme dan Harapan

Menurut Seligman (2002) terdapat sebuah metode yang terdokumentasikan

dengan baik untuk membangun optimisme. Metode ini berupa mengenali pikiran

pesimistis, lalu menentangnya. Kunci untuk menentang pikiran pesimistis adalah

dengan pertama-tama mengenalinya, lalu memperlakukannya seolah-olah pikiran itu

adalah tuduhan orang lain, seorang pesaing yang misi hidupnya adalah membuat kita

sengsara. Terdapat jalan pintas untuk melakukannya yaitu begitu menyadari kita

memiliki sebuah pikiran pesimistis yang tampaknya tak perlu, lawanlah pikiran

tersebut dengan menggunakan model ABCDE. A untuk adversity (kesusahan), B

untuk belief (persangkaan) yang otomatis terbentuk begitu pikiran itu muncul, C

untuk consequence (konsekuensi) yang lazimnya muncul dari persangkaan kita, D

untuk disputation (penentangan) terhadap persangkaan yang lazim kita punyai, dan E

untuk energization (energisasi) yang muncul ketika kita melawannya dengan sukses.

Dengan cara melawan secara efektif persangkaan yang mengikuti suatu kesusahan,

kita bisa mengubah reaksi yang tadinya menyerah dan bersedih menjadi beraktivitas


(42)

2.2. Self Esteem

2.2.1 Pengertian Self Esteem

Menurut Minchinton (1995) self esteem adalah penilaian terhadap diri sendiri.

Merupakan tolak ukur harga diri kita sebagai seorang manusia, berdasarkan pada

kemampuan penerimaan diri dan prilaku sendiri atau tidak. Dapat juga dideskripsikan

sebagai penghormatan terhadap diri sendiri atau perasaan mengenai diri yang

berdasarkan pada keyakinan mengenai apa dan siapa diri kita sebenarnya. Self esteem

bukan hanya sekedar aspek atau kualitas diri tetapi dengan pengertian yang lebih luas

yang merupakan kombinasi yang berhubungan dengan karakter dan perilaku.

Dalam hal ini pentingnya self esteem merupakan inti diri kita-dasar dalam diri yang

kita bangun dalam hidup kita. Selama kita tidak hidup sendirian dibumi ini, perasaan

mengenai diri sendiri dapat mempengaruhi bagaimana cara berhubungan dengan

orang lain disekitar kita dan pada setiap aspek dalam hidup kita.

Menurut James, 1980 Self esteem adalah evaluasi terhadap diri sendiri (dalam

Baron, 2003). Menurut Frey dan Carlock (1984), jika penilaian terhadap diri positif,

dimana ia menerima diri atau memiliki penghargaan yang baik terhadap diri, maka

individu tersebut dikatakan memiliki self esteem yang tinggi. Self esteem menunjukan

keputusan yang diambil seseorang apakah ia menilai dirinya secara negatif, positif,

atau netral yang ditempatkan dalam suatu wadah konsep diri.

Lerner dan Spanier, 1980 (dalam Ghufron, 2010) berpendapat bahwa harga

diri adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan

konsep diri seseorang. Harga diri merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya

sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif. Mirels dan


(43)

yaitu pengertian yang berhubungan dengan harga diri akademik dan harga diri non

akademik. Contoh harga diri akademik adalah jika seseorang memiliki harga diri

tinggi karena kesuksesannya dibangku sekolah, tetapi pada saat yang sama ia tidak

merasa berharga karena penampilan fisiknya kurang meyakinkan, misalnya postur

tubuhnya terlalu pendek. Sementara itu, contoh harga diri non-akademik adalah jika

seseorang mungkin memiliki harga diri yang tinggi karena cakap dan sempurna dalam

salah satu cabang olahraga tetapi, pada saat yang sama merasa kurang berharga

karena kegagalannya di bidang pendidikan khususnya berkkaitan dengan kecakapan

verbal.

Menurut Branden (1992) self esteem merupakan kepercayaan diri pada

kemampuan kita dalam menghadapi tantangan hidup, keyakinan akan diri kita

memiliki hak untuk bahagia, perasaan berharga, berjasa, berhak untuk menyatakan

kebutuhan dan keinginan kita, dan menikmati buah dari usaha kita.

Menurut Gecas 1982; Rosenberg 1990; Rosenberg et.al 1995, (dalam Cast &

Burke, 2002) self esteem secara keseluruhan menunjuk kepada evaluasi diri yang

positif. Terdiri atas dua dimensi yaitu kemampuan dan keberhargaan (Gecas 1982;

Gecas & Schwalbe 1983). Dimensi kemampuan ( bermakna berdasar pada self

esteem) menunjuk pada tingkat dimana seseorang melihat dirinya sendiri sebagai

sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dan bermakna. Dimensi keberhargaan

diri (berharga berdasar pada self esteem) menunjuk pada tingkat dimana individu

merasa diri mereka sebagai seseorang yang bernilai.

Menurut Ghufron, 2010 harga diri merupakan hasil penilaian yang

dilakukannya dan perlakuan orang lain terhadap dirinya dan menunjukan sejauh mana


(44)

Dalam menggambarkan self esteem Frey dan Carlock (1984), secara garis

besar mengatakan bahwa self esteem terdapat dua pengertian yang saling

berkesinambungan tentang self atau diri. Kedua orang ini mengatakan bahwa

komponen self atau diri itu terdiri dari komponen kognisi dari diri mencakup hal-hal

mengenai apa dan siapa dirinya, tentang tujuan dan cita-cita, kepercayaan, moral, dan

nilai yang dianutnya. Sedangkan komponen afeksi dari diri adalah semua yang

termasuk dalam perasaan-perasaan tentang diri sendiri, baik yang positif ataupun yang

negatif. Kesadaran tentang diri dan perasaan terhadap diri sendiri itu akan

menimbulkan penilaian terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Sikap

apakah mereka menerima atau menolak diri inilah yang menunjukan harga diri

seseorang. Jika penilaian terhadap dirinya positif, dimana ia menerima diri atau

memiliki penghargaan yang baik terhadap diri, maka individu tersebut memiliki self

esteem yang tinggi.

Self esteem adalah suatu konsep penting dan popular, baik dalam ilmu sosial

maupun kehidupan sehari-hari. Branden (2007), menjelaskan bahwa tanpa dibekali

self esteem yang sehat, individu akan mengalami kesulitan untuk mengatasi tentangan

hidup maupun untuk merasakan berbagai kebahagiaan dalam hidupnya. Branden juga

mengatakan bahwa self esteem mengandung nilai keberlangsungan hidup (survival

value) yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Hal ini memungkinkan self esteem

mampu memberikan sumbangan bermakna bagi proses kehidupan individu

selanjutnya, maupun bagi perkembangan pribadi yang normal dan sehat.

Sedikides 1993 (dalam Baron, 2003) menyatakan tiga kemungkinan motif

dalam evaluasi diri. orang dapat mencari self-assesment (untuk memperoleh


(45)

mendapatkan informasi positif tentang diri mereka sendiri) atau self-verification

(untuk mengkonfirmasi sesuatu yang sudah mereka ketahui tentang diri mereka

sendiri. Motif mana yang paling aktif akan tergantung dari budaya dan kepribadian

seseorang, serta situasi yang dihadapinya (Booson & Swann, 1999; Rudich &

Valacher, 1999; Taylor, Neter, & Wayment, 1995). Memiliki self esteem yang tinggi

berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri. Evaluasi positif ini sebagian

berdasarkan opini orang lain dan sebagian lagi berdasarkan dari pengalaman spesifik.

Perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang penting bagi self esteem seseorang.

Sebagai contoh, harmoni dalam hubungan interpersonal merupakan elemen yang

penting dalam budaya kolektivis, sementara harga diri adalah hal yang penting bagi

budaya individualis (Kwan, Bond, & Singelis, 1997).

Menurut Longmore & DeMaris, 1997; Pearlin & Scholer, 1978; Spencer,

Josephs, & Steele, 1993; Thoits, 1994 (Dalam Cast dan Burke, 2002) bahwa

penelitian terhadap self esteem secara umum meneruskan asumsi awal salah satu dari

tiga konsep, dan tiap konsep hampir diperlakukan sebagai konsep yang dapat berdiri

sendiri dari yang lainnya. Konsep-konsep tersebut yakni :

• Pertama, self esteem diselidiki sebagai suatu hasil. Para sarjana mengambil pendekatan yang memfokuskan self esteem pada proses

yang menghasilkan atau pencegahan, seperti (Coopersmith, 1967;

Harter, 1993; Peterson & Rollins, 1987; Rosenberg, 1989). Self esteem

dipandang sebagai suatu hasil, dasar dari motivasi adalah “tujuan”

yang sesuai dengan makna diri yang memainkan peranan penting

dalam pencapaian prestasi dan tujuan diri. Misalnya James (1950)

menyatakan bahwa self esteem merupakan perbandingan antara


(46)

antara penyempurnaan diri dengan tujuan seseorang. Hal ini berkaitan

dengan persepsi diri mengenai kesuksesan, dan standar tujuan

seseorang.

• Kedua, self esteem diselidiki sebagai suatu motif diri, tidak ada kecendrungan seseorang untuk bertindak dalam memelihara atau

meningkatkan penilaian positif diri (Kaplan, 1975; Tesser, 1988). Self

esteem sebagai perlindungan diri, ketika seseorang ingin membuktikan

diri mereka, perasaan akan kompetensi dan keberhargaaan akan

meningkat, dengan begitu akan ada gangguan-gangguan emosi negatif

selama proses pembuktian diri ini terjadi. Emosi negatif terebut dapat

berbentuk depresi dan kecemasan (Burke 1991;, 1996 Higgins 1989).

Seseorang harus memiliki sesuatu yang dapat mendukung mereka

ketika periode ini terjadi agar tidak terjadi penumpukan yang

berlebihan. Self esteem dapat menjadi sumber tersebut yang berfungsi

mengatur hubungan sosial individu.

• Terakhir, self esteem diselidiki sebagai penahan (tenaga) diri yang menyediakan perlindungan diri terhadap pengalaman yang berbahaya

atau menyakitkan. Self esteem sebagai motif diri, motif diri

memberikan suatu standard an petunjuk dalam berprilaku. Self esteem

sebagai motif diri yang menyatakan usaha individu untuk mengatur

atau meningkatkan self esteem mereka pada berbagai tingkatan yang


(47)

2.2.2Pembentukan Self esteem

Menurut Bradshaw (dalam Ghufron 2010) proses pembentukan Self esteem

telah dimulai sejak bayi merasakan tepukan pertama kali yang diterima orang

mengenai kelahirannya. Darajat (1980) menyebutkan bahwa Self esteem sudah

terbentuk pada masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan

rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, Self esteem dibentuk melalui

perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya. Seperti dimanja dan

diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan

faktor yang bersifat bawaan, melainkan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya

sepanjang pengalaman individu.

Mukhlis (dalam Ghufron 2010) mengatakan bahwa pembentukan Self esteem

pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial,

yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Olok-olok,

hukuman, perintah, dan larangan yang berlebihan aakan membuat anak merasa tidak

dihargai. Sedangkan, Coopersmith (1967) mengatakan bahwa pola asuh otoriter dan

permisif akan mengakibatkan anak mempunyai harga diri yang rendah. Sementara itu,

pola asuh authoritarian akan membuat anak mempunyai harga diri yang tinggi.

Senada dengan pendapat Klass dan Hodge (1978) yang mengemukakan bahwa Self

Esteem adalah hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang

diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta penerimaan

penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut. Pada saat

melakukan evaluasi diri, individu akan melihat dan menyadari konsep-konsep dasar

dirinya yang menyangkut pikiran-pikiran, pendapat, kesadaran mengenai siapa dan

bagaimana dirinya, serta kemampuan membandingkan keadaan diri saat itu dengan


(48)

masing-masing individu bervariasi, ada yang rendah dan ada yang tinggi. Hal ini

berkaitan erat dengan mekanisme pembentukan Self esteem.

Menurut Coopersmith seperti yang dikutip dalam Ghufron (2010) bahwa

pembentukan Self esteem dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

1. Keberartian individu

Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya

mampu, berarti, dan berharga menurut standard an nilai pribadi. Penghargaan

inilah yang dimaksud dengan keberartian diri.

2. Keberhasilan seseorang

Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah

keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu

dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain.

3. Kekuatan individu

Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan

yang ada dalam masyarakat. Maka, semakin besar kemampuan individu untuk

dapat dianggap sebaagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi

pula penerimaan masyarakat terhadap individu bersangkutan. Hal ini

mendorong harga diri tinggi.

4. Performasi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan

Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi

rendah. Sebaliknya apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan


(49)

2.2.3 Aspek-Aspek Self Esteem

Menurut Minchinton (1993) Self esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal

saja, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan prilaku. Minchiton

menjabarkan tiga aspek self esteem, yaitu perasaan mengenai diri sendiri, perasaan

terhadap hidup, serta hubungan dengan orang lain.

1.Perasaan mengenai diri sendiri

Seseorang haruslah menerima dirinya secara penuh, apa adanya. Mampu menilai

diri kita sendiri sebagai seorang manusia. Dengan begitu, perasaannya tentang

dirinya sendiri tidak bergantung pada kondisi eksternal. Apapun yang terjadi kita

dapat merasa nyaman dengan diri kita sendiri dan dapat menilai keunikan yang

ada didalam diri kita tanpa menghiraukan karakter atau kemampuan yang kita

punya atau tidak punya.

Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi dapat menghormati dirinya dan

memiliki keyakinan penuh bahwa diri kita adalah sesosok yang penting, dan

apapun itu jika tidak berlaku bagi orang lain, setidaknya berlaku bagi diri kita

sendiri. Selain itu juga dapat memaklumi dan memaafkan diri sendiri, atas segala

kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ia miliki.

Mereka yang memiliki harga diri yang tinggi juga mampu menghargai nilai

personal mereka sebagai seorang individu, sehingga mereka tidak mudah

terpengaruh oleh pendapat orang lain. Mereka tidak akan merasa lebih baik ketika

mereka dipuji atau merasa buruk ketika mereka di kritisi. Perasaan baik kita

mengenai diri kita sendiri tidak bergantung pada kondisi luar.

Seseorang dengan harga diri tinggi memegang kendali atas emosinya sendiri.


(1)

VAR00052 269.0154 340.078 .196 . .916

VAR00053 268.7385 337.227 .450 . .914

VAR00054 268.9385 342.684 .123 . .916

VAR00055 268.9846 341.828 .170 . .916

VAR00056 269.0308 334.530 .423 . .914

VAR00057 269.2769 335.922 .373 . .915

VAR00058 268.9538 337.920 .376 . .915

VAR00059 268.7231 338.016 .425 . .915

VAR00060 269.2000 329.131 .526 . .913

VAR00061 269.1077 341.004 .214 . .916

VAR00062 268.5231 333.722 .531 . .914

VAR00063 268.7846 341.922 .254 . .916

VAR00064 268.9846 339.359 .289 . .915

VAR00065 268.5538 337.845 .439 . .915

VAR00066 269.1077 337.879 .391 . .915

VAR00067 268.6615 337.727 .406 . .915

VAR00068 269.7846 341.515 .154 . .916

VAR00069 269.4769 341.128 .186 . .916

VAR00070 268.8000 333.600 .516 . .914

VAR00071 268.6154 344.240 .057 . .917

VAR00072 269.1846 344.059 .055 . .917

VAR00073 268.6462 339.420 .388 . .915

VAR00074 268.7231 332.235 .534 . .914

VAR00075 268.7846 341.859 .172 . .916

VAR00076 268.7692 342.555 .200 . .916

VAR00077 268.9385 337.809 .335 . .915

VAR00078 268.7846 340.578 .250 . .915

VAR00079 269.2000 342.350 .129 . .916

VAR00080 269.5692 344.999 .023 . .917

VAR00081 268.6769 338.785 .382 . .915

VAR00082 268.7846 337.359 .396 . .915

VAR00083 268.8462 344.913 .027 . .917

VAR00084 269.0154 337.390 .371 . .915

VAR00085 268.6000 338.525 .363 . .915

VAR00086 268.7538 337.032 .417 . .915

VAR00087 269.0769 337.510 .328 . .915

VAR00088 268.9385 341.590 .157 . .916

VAR00089 268.6615 338.946 .393 . .915

VAR00090 268.8000 335.600 .393 . .915

VAR00091 269.0769 343.322 .086 . .917

VAR00092 269.0308 334.124 .439 . .914


(2)

Scale Statistics

271.8769 345.672 18.59226 92

Mean Variance Std. Deviation N of Items

Case Processing Summary

65 100.0

0 .0

65 100.0

Valid Excludeda

Total Cases

N %

Listwise deletion based on all variables in the procedure. a.

Reliability Statistics

.823 .837 80

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

VAR00001 3.1231 .33108 65

VAR00002 3.2308 .58012 65

VAR00003 3.2154 .45043 65

VAR00004 3.2000 .47434 65

VAR00005 1.9846 .69580 65

VAR00006 3.0923 .55122 65

VAR00007 2.2769 .59968 65

VAR00008 2.5231 .64001 65

VAR00009 3.2462 .46873 65

VAR00010 3.1692 .48635 65

VAR00011 3.2308 .74518 65

VAR00012 3.2769 .64970 65

VAR00013 2.8308 .78201 65

VAR00014 3.2923 .52211 65

VAR00015 3.0923 .67830 65


(3)

VAR00016 2.7846 .71790 65

VAR00017 2.7385 .75575 65

VAR00018 2.9692 .70643 65

VAR00019 3.0769 .53932 65

VAR00020 2.8462 .64301 65

VAR00021 2.0615 .52669 65

VAR00022 1.8154 .65889 65

VAR00023 3.0308 .76993 65

VAR00024 2.6923 .58425 65

VAR00025 3.1692 .67475 65

VAR00026 3.0308 .58548 65

VAR00027 2.8308 .65118 65

VAR00028 3.0308 .55816 65

VAR00029 2.9231 .56755 65

VAR00030 3.1846 .60962 65

VAR00031 3.1385 .52669 65

VAR00032 3.2308 .45993 65

VAR00033 3.1385 .60922 65

VAR00034 3.0769 .64488 65

VAR00035 2.9846 .67297 65

VAR00036 3.4154 .58342 65

VAR00037 3.2000 .66615 65

VAR00038 2.9385 .63435 65

VAR00039 3.3538 .51329 65

VAR00040 2.8923 .68746 65

VAR00041 1.9692 .80950 65

VAR00042 2.1231 .64970 65

VAR00043 2.0615 .55557 65

VAR00044 2.0769 .62017 65

VAR00045 2.8308 .82100 65

VAR00046 3.2154 .64933 65

VAR00047 2.8462 .61823 65

VAR00048 3.4154 .60962 65

VAR00049 3.1692 .60128 65

VAR00050 2.3231 .64001 65

VAR00051 3.4615 .56116 65

VAR00052 2.5692 .70643 65

VAR00053 3.1231 .64970 65

VAR00054 3.1846 .58342 65

VAR00055 3.3385 .50858 65

VAR00056 3.1692 .51748 65

VAR00057 3.2154 .45043 65

VAR00058 2.3077 .55686 65

VAR00059 3.2154 .51515 65

VAR00060 3.1077 .79300 65

VAR00061 3.2923 .57887 65

VAR00062 3.2154 .51515 65


(4)

VAR00063 2.3077 .61041 65

VAR00064 2.7231 .71824 65

VAR00065 2.7846 .73935 65

VAR00066 2.9846 .54464 65

VAR00067 3.0000 .70711 65

VAR00068 2.9231 .62017 65

VAR00069 3.4000 .60725 65

VAR00070 2.7231 .64970 65

VAR00071 3.1846 .68219 65

VAR00072 3.0308 .63662 65

VAR00073 3.1231 .71824 65

VAR00074 3.1692 .57471 65

VAR00075 2.2923 .67830 65

VAR00076 3.3385 .59364 65

VAR00077 2.8462 .71219 65

VAR00078 2.9231 .66867 65

VAR00079 3.0154 .64933 65

VAR00080 1.7692 .63169 65

Summary Item Statistics

2.914 1.769 3.462 1.692 1.957 .171 80

.390 .110 .674 .564 6.149 .013 80

.021 -.271 .332 .603 -1.225 .007 80

.060 -.635 .649 1.285 -1.021 .043 80

Item Means Item Variances Inter-Item Covariances Inter-Item Correlations

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items

The covariance matrix is calculated and used in the analysis.

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

VAR00001 229.9846 164.922 .210 . .822

VAR00002 229.8769 161.547 .334 . .819

VAR00003 229.8923 161.098 .482 . .818

VAR00004 229.9077 162.523 .336 . .820

VAR00005 231.1231 176.797 -.566 . .837

VAR00006 230.0154 160.140 .457 . .817

VAR00007 230.8308 172.643 -.393 . .832

VAR00008 230.5846 165.622 .048 . .824

VAR00009 229.8615 161.121 .460 . .818

VAR00010 229.9385 163.777 .225 . .821


(5)

VAR00011 229.8769 157.391 .474 . .815

VAR00012 229.8308 163.393 .181 . .822

VAR00013 230.2769 160.578 .284 . .820

VAR00014 229.8154 161.653 .368 . .819

VAR00015 230.0154 156.672 .570 . .814

VAR00016 230.3231 157.472 .490 . .815

VAR00017 230.3692 164.643 .083 . .824

VAR00018 230.1385 159.152 .402 . .817

VAR00019 230.0308 162.124 .320 . .819

VAR00020 230.2615 167.009 -.036 . .826

VAR00021 231.0462 165.795 .055 . .824

VAR00022 231.2923 174.960 -.492 . .835

VAR00023 230.0769 162.416 .194 . .822

VAR00024 230.4154 163.403 .206 . .821

VAR00025 229.9385 156.840 .563 . .814

VAR00026 230.0769 161.603 .327 . .819

VAR00027 230.2769 163.953 .146 . .822

VAR00028 230.0769 165.478 .071 . .824

VAR00029 230.1846 163.622 .198 . .821

VAR00030 229.9231 159.447 .455 . .817

VAR00031 229.9692 162.187 .324 . .819

VAR00032 229.8769 164.578 .172 . .822

VAR00033 229.9692 160.749 .369 . .818

VAR00034 230.0308 158.499 .487 . .816

VAR00035 230.1231 159.860 .382 . .818

VAR00036 229.6923 160.591 .398 . .818

VAR00037 229.9077 160.335 .358 . .818

VAR00038 230.1692 161.705 .292 . .820

VAR00039 229.7538 160.376 .475 . .817

VAR00040 230.2154 161.984 .249 . .820

VAR00041 231.1385 174.527 -.391 . .835

VAR00042 230.9846 171.890 -.323 . .831

VAR00043 231.0462 169.107 -.180 . .828

VAR00044 231.0308 169.343 -.180 . .828

VAR00045 230.2769 167.203 -.050 . .828

VAR00046 229.8923 161.254 .312 . .819

VAR00047 230.2615 164.196 .141 . .822

VAR00048 229.6923 159.154 .474 . .816

VAR00049 229.9385 165.184 .082 . .824

VAR00050 230.7846 167.234 -.050 . .826

VAR00051 229.6462 160.388 .430 . .818

VAR00052 230.5385 169.284 -.161 . .829

VAR00053 229.9846 158.078 .509 . .815

VAR00054 229.9231 160.822 .382 . .818

VAR00055 229.7692 160.680 .456 . .818

VAR00056 229.9385 160.809 .437 . .818

VAR00057 229.8923 164.160 .213 . .821


(6)

XVIII

VAR00058 230.8000 168.788 -.158 . .827

VAR00059 229.8923 161.223 .407 . .818

VAR00060 230.0000 158.000 .411 . .817

VAR00061 229.8154 160.934 .378 . .818

VAR00062 229.8923 162.160 .335 . .819

VAR00063 230.8000 167.006 -.036 . .826

VAR00064 230.3846 160.897 .297 . .819

VAR00065 230.3231 161.472 .255 . .820

VAR00066 230.1231 160.203 .458 . .817

VAR00067 230.1077 156.691 .544 . .814

VAR00068 230.1846 159.372 .451 . .817

VAR00069 229.7077 160.304 .400 . .818

VAR00070 230.3846 168.178 -.106 . .827

VAR00071 229.9231 156.885 .554 . .814

VAR00072 230.0769 159.635 .421 . .817

VAR00073 229.9846 159.953 .349 . .818

VAR00074 229.9385 158.965 .519 . .816

VAR00075 230.8154 167.872 -.086 . .827

VAR00076 229.7692 163.243 .212 . .821

VAR00077 230.2615 162.602 .204 . .821

VAR00078 230.1846 161.122 .309 . .819

VAR00079 230.0923 162.210 .253 . .820

VAR00080 231.3385 173.227 -.410 . .833

Scale Statistics

233.1077 166.816 12.91574 80