Optimis dan Gembira Ekstrovert dan tidak mendalam Kerangka Berpikir

percaya bahwa kejadian-kejadian buruk memiliki penyebab-penyebab yang universal dan kejadian-kejadian baik disebabkan oleh faktor-faktor yang spesifik. Dalam buku Seligman ”The Optimistic Child” 1995 anak yang optimis dan pesimis memiliki respon yang berbeda dalam menyikapi kejadiaan baik di hidupnya. Anak yang yakin bahwa pristiwa yang baik bersifat permanen lebih optimis dibandingkan anak yang yakin bahwa hal tersebut hanya bersifat sementara.

2.1.6 Manfaat optimisme

Dalam banyak penelitian sebelumnya juga mengatakan banyak manfaat optimis bagi kesehatan fisik dan kesejahteraan psikis. Dalam Jalaludin 1997 tipe orang yang sehat jiwa healty-minded-ness menurut W.Starbuck yang dikemukakan oleh W.Hosuton Carlk adalah :

b. Optimis dan Gembira

Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis penuh, perasaan optimis, pahala menurut pandanganya adalah sebagai hasil jerih payahnya yang dberikan tuhan. Sebaliknya, segalabentuk musibah dan penderitaan dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beraggapan sebagai peringatan tuhan terhadap dosa mereka. Meraka yakin bahwa tuhan bersfat pengasih dan penyayang dan bukan pemberi azab.

c. Ekstrovert dan tidak mendalam

Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai eksos agamis tindakannya. Mereka selalu berpandangan keluar dan memulai suasana hatinya lepas dari kungkungan ajaran agama yang terlampau menggelimat. Mereka senang pada pemudahan dalam melaksanakan ajaran agama. Sebagai akibatnya mereka kurang senang mendalami ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai perbuatan mereka yang keliru.

d. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal

Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovert mereka cenderung: 1. Menyenangi teologi yang lues dan tidak kaku. 2. Menunjukan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas. 3. Menekankan ajaran cinta kasih dari pada kemurkaan dan dosa. 4. Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial. 5. Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan. 6. bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama 7. Selalu berpandangan positif. Berkembang secara graduasi. Maksudnya mereka meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan tidak melalui proses pendadakan. Menurut Scheier dan Carver dalam Snyder, 2002 menyatakan optimisme dapat dipastikan membawa individu kearah kebaikan kesehatan karena adanya keinginan untuk menjadi orang yang ingin menghasilkan sesuatu produktif dan ini tetap dijadikan tujuan untuk berhasil mencapai yang diinginkan. Sementara, Duffy, dkk dalam Ghufron, 2010 berpendapat bahwa optimisme membuat individu mengetahui apa yang diinginkan. Individu tersebut dapat dengan cepat mengubah diri agar mudah menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi, sehingga diri tidak menjadi kosong. Individu yang optimis di ibaratkan seperti gelas yang penuh, sedangkan individu yang pesimis seperti gelas yang kosong yang tidak memiliki apa-apa didalamnya. Orang pesimis kurang memiliki kepastian untuk memandang masa depaan dan selalu hidup didalam ketidakpastian dan merasa hidup tidak berguna. Menurut Belsky 1999 optimisme membuat individu memiliki energi tinggi, bekerja keraas untuk melakukan hal yang penting. Pemikiran optimisme memberi dukungan pada individu menuju hidup yang lebih berhasil dalam setiap aktivitas. Dikarenakan, orang yang optimis akan menggunakan semua potensi yang dimiliki. Menurut Robinson 1980, optimisme telah memberikan kesuksesan pada berbagai aspek seperti kesuksesan pada program perawatan pemberhentian penyalahgunaan alkohol Strack, Carver, Blaney, 1987, penyesuaian diri di perguruan tinggi Aspinwall Taylor, 1992, resisten dari depresi postpartum Carver Gaines, 1987. Sedangkan menurut Myers, 1999 dalam Ghufron, 2010 optimisme menunjukan arah dan tujuan hidup yang positif, menyambut datangnya pagi dengan sukacita, membangkitkan kembali rasa percaya diri kearah yang lebih realistik, dan menghilangkan rasa takut yang selalu menyertai individu. Pemikiran optimis menentukan individu dalam menjalani kehidupan, memecahkan masalah, dan penerimaan terhadap perubahan, baik dalam menghadapi kesuksesan maupun kesulitan hidup. Dalam Seligman 1995 Creedoon menegaskan proses menyerah, berkata tidak, berkecil hati akan mudah kecewa. Semisal pada seorang selesman yang teridentifikasi pesimisme yang dalam quisioner menyerah dengan mudah dan mengalami depresi berbeda dengan orang yang optimis, ia akan kebal terhadap permasalahan tersebut di atas dan mereka cenderung akan berhasil dengan suatu pekerjaan yang lebih menantang. Selanjutnya Seligman menyatakan pesimisme versus optimisme, individu yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi memiliki gaya penjelasan yang pesimistis, sedangkan individu yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, eksternal dan terbatas memiliki gaya-gaya penjelasan yang optimistik. Dalam Stoltz 2000 dari penelitian Seligman et al, ditemukan bahwa orang-orang optimis lebih unggul dibandingkan orang-orang yang pesimis dalam hidup maupun bidang-bidang pekerjaan. Seligman 1995 menyatakan pemikiran positif sering mencoba melibatkan pernyataan diri yang keras seperti ; ”setiap hari, dimanapun itu saya selalu merasa lebih baik dari sebelumnya” walaupun tidak seperti fakta yang ada atau malah kebalikan dari fakta yang ada. Orang yang optimis bertahan dari ketidakberdayaan. Mereka tidak mudah menjadi depresi ketika mereka mengalami kegagalan, mereka juga tidak mudah menyerah. Selama hidupnya orang yang optimis akan lebih sedikit mengalami ketidakberdayaan yang berkepanjangan dibandingkan orang yang pesimis. Dengan pengalaman ketidakberdayaan yang sedikit, maka akan membentuk sistem imun yang lebih baik dalam tubuh. Orang-orang yang pesimis mengalami masalah yang sama. Mereka semakin mudah menjadi pasif ketika masalah menghadang dan mereka mengambil lebih sedikit tindakan untuk mendapatkan dan mempertahankan dukungan sosial. Hubungan antara kurangnya dukungan sosial dan penyakit menjadi alasan keempat untuk percaya bahwa gaya memberikan penjelasan yang optimis dapat menjadi seseorang menjadi sehat. Seligman 2002 berpendapat bahwa menemukan penyebab permanen dan universal dari peristiwa baik serta menemukan penyebab temporer dan spesifik untuk musibah, adalah seni dari harapan. Sedangkan, menemukan penyebab permanen dan universal dari peristiwa buruk serta penyebab temporer dan spesifik untuk peristiwa baik adalah perilaku putus asa.

2.1.7 Meningkatkan Optimisme dan Harapan

Menurut Seligman 2002 terdapat sebuah metode yang terdokumentasikan dengan baik untuk membangun optimisme. Metode ini berupa mengenali pikiran pesimistis, lalu menentangnya. Kunci untuk menentang pikiran pesimistis adalah dengan pertama-tama mengenalinya, lalu memperlakukannya seolah-olah pikiran itu adalah tuduhan orang lain, seorang pesaing yang misi hidupnya adalah membuat kita sengsara. Terdapat jalan pintas untuk melakukannya yaitu begitu menyadari kita memiliki sebuah pikiran pesimistis yang tampaknya tak perlu, lawanlah pikiran tersebut dengan menggunakan model ABCDE. A untuk adversity kesusahan, B untuk belief persangkaan yang otomatis terbentuk begitu pikiran itu muncul, C untuk consequence konsekuensi yang lazimnya muncul dari persangkaan kita, D untuk disputation penentangan terhadap persangkaan yang lazim kita punyai, dan E untuk energization energisasi yang muncul ketika kita melawannya dengan sukses. Dengan cara melawan secara efektif persangkaan yang mengikuti suatu kesusahan, kita bisa mengubah reaksi yang tadinya menyerah dan bersedih menjadi beraktivitas dan bergembira. 2.2. Self Esteem 2.2.1 Pengertian Self Esteem Menurut Minchinton 1995 self esteem adalah penilaian terhadap diri sendiri. Merupakan tolak ukur harga diri kita sebagai seorang manusia, berdasarkan pada kemampuan penerimaan diri dan prilaku sendiri atau tidak. Dapat juga dideskripsikan sebagai penghormatan terhadap diri sendiri atau perasaan mengenai diri yang berdasarkan pada keyakinan mengenai apa dan siapa diri kita sebenarnya. Self esteem bukan hanya sekedar aspek atau kualitas diri tetapi dengan pengertian yang lebih luas yang merupakan kombinasi yang berhubungan dengan karakter dan perilaku. Dalam hal ini pentingnya self esteem merupakan inti diri kita-dasar dalam diri yang kita bangun dalam hidup kita. Selama kita tidak hidup sendirian dibumi ini, perasaan mengenai diri sendiri dapat mempengaruhi bagaimana cara berhubungan dengan orang lain disekitar kita dan pada setiap aspek dalam hidup kita. Menurut James, 1980 Self esteem adalah evaluasi terhadap diri sendiri dalam Baron, 2003. Menurut Frey dan Carlock 1984, jika penilaian terhadap diri positif, dimana ia menerima diri atau memiliki penghargaan yang baik terhadap diri, maka individu tersebut dikatakan memiliki self esteem yang tinggi. Self esteem menunjukan keputusan yang diambil seseorang apakah ia menilai dirinya secara negatif, positif, atau netral yang ditempatkan dalam suatu wadah konsep diri. Lerner dan Spanier, 1980 dalam Ghufron, 2010 berpendapat bahwa harga diri adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri seseorang. Harga diri merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif. Mirels dan Mcpeek 1980 berpendapat bahwa harga diri sebenarnya memiliki dua pengertian, yaitu pengertian yang berhubungan dengan harga diri akademik dan harga diri non akademik. Contoh harga diri akademik adalah jika seseorang memiliki harga diri tinggi karena kesuksesannya dibangku sekolah, tetapi pada saat yang sama ia tidak merasa berharga karena penampilan fisiknya kurang meyakinkan, misalnya postur tubuhnya terlalu pendek. Sementara itu, contoh harga diri non-akademik adalah jika seseorang mungkin memiliki harga diri yang tinggi karena cakap dan sempurna dalam salah satu cabang olahraga tetapi, pada saat yang sama merasa kurang berharga karena kegagalannya di bidang pendidikan khususnya berkkaitan dengan kecakapan verbal. Menurut Branden 1992 self esteem merupakan kepercayaan diri pada kemampuan kita dalam menghadapi tantangan hidup, keyakinan akan diri kita memiliki hak untuk bahagia, perasaan berharga, berjasa, berhak untuk menyatakan kebutuhan dan keinginan kita, dan menikmati buah dari usaha kita. Menurut Gecas 1982; Rosenberg 1990; Rosenberg et.al 1995, dalam Cast Burke, 2002 self esteem secara keseluruhan menunjuk kepada evaluasi diri yang positif. Terdiri atas dua dimensi yaitu kemampuan dan keberhargaan Gecas 1982; Gecas Schwalbe 1983. Dimensi kemampuan bermakna berdasar pada self esteem menunjuk pada tingkat dimana seseorang melihat dirinya sendiri sebagai sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dan bermakna. Dimensi keberhargaan diri berharga berdasar pada self esteem menunjuk pada tingkat dimana individu merasa diri mereka sebagai seseorang yang bernilai. Menurut Ghufron, 2010 harga diri merupakan hasil penilaian yang dilakukannya dan perlakuan orang lain terhadap dirinya dan menunjukan sejauh mana individu memiliki rasa percaya diri serta mampu berhasil dan berguna. Dalam menggambarkan self esteem Frey dan Carlock 1984, secara garis besar mengatakan bahwa self esteem terdapat dua pengertian yang saling berkesinambungan tentang self atau diri. Kedua orang ini mengatakan bahwa komponen self atau diri itu terdiri dari komponen kognisi dari diri mencakup hal-hal mengenai apa dan siapa dirinya, tentang tujuan dan cita-cita, kepercayaan, moral, dan nilai yang dianutnya. Sedangkan komponen afeksi dari diri adalah semua yang termasuk dalam perasaan-perasaan tentang diri sendiri, baik yang positif ataupun yang negatif. Kesadaran tentang diri dan perasaan terhadap diri sendiri itu akan menimbulkan penilaian terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Sikap apakah mereka menerima atau menolak diri inilah yang menunjukan harga diri seseorang. Jika penilaian terhadap dirinya positif, dimana ia menerima diri atau memiliki penghargaan yang baik terhadap diri, maka individu tersebut memiliki self esteem yang tinggi. Self esteem adalah suatu konsep penting dan popular, baik dalam ilmu sosial maupun kehidupan sehari-hari. Branden 2007, menjelaskan bahwa tanpa dibekali self esteem yang sehat, individu akan mengalami kesulitan untuk mengatasi tentangan hidup maupun untuk merasakan berbagai kebahagiaan dalam hidupnya. Branden juga mengatakan bahwa self esteem mengandung nilai keberlangsungan hidup survival value yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Hal ini memungkinkan self esteem mampu memberikan sumbangan bermakna bagi proses kehidupan individu selanjutnya, maupun bagi perkembangan pribadi yang normal dan sehat. Sedikides 1993 dalam Baron, 2003 menyatakan tiga kemungkinan motif dalam evaluasi diri. orang dapat mencari self-assesment untuk memperoleh pengetahuan yang akurat tentang dirinya sendiri, self-enhancement untuk mendapatkan informasi positif tentang diri mereka sendiri atau self-verification untuk mengkonfirmasi sesuatu yang sudah mereka ketahui tentang diri mereka sendiri. Motif mana yang paling aktif akan tergantung dari budaya dan kepribadian seseorang, serta situasi yang dihadapinya Booson Swann, 1999; Rudich Valacher, 1999; Taylor, Neter, Wayment, 1995. Memiliki self esteem yang tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri. Evaluasi positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian lagi berdasarkan dari pengalaman spesifik. Perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang penting bagi self esteem seseorang. Sebagai contoh, harmoni dalam hubungan interpersonal merupakan elemen yang penting dalam budaya kolektivis, sementara harga diri adalah hal yang penting bagi budaya individualis Kwan, Bond, Singelis, 1997. Menurut Longmore DeMaris, 1997; Pearlin Scholer, 1978; Spencer, Josephs, Steele, 1993; Thoits, 1994 Dalam Cast dan Burke, 2002 bahwa penelitian terhadap self esteem secara umum meneruskan asumsi awal salah satu dari tiga konsep, dan tiap konsep hampir diperlakukan sebagai konsep yang dapat berdiri sendiri dari yang lainnya. Konsep-konsep tersebut yakni : • Pertama, self esteem diselidiki sebagai suatu hasil. Para sarjana mengambil pendekatan yang memfokuskan self esteem pada proses yang menghasilkan atau pencegahan, seperti Coopersmith, 1967; Harter, 1993; Peterson Rollins, 1987; Rosenberg, 1989. Self esteem dipandang sebagai suatu hasil, dasar dari motivasi adalah “tujuan” yang sesuai dengan makna diri yang memainkan peranan penting dalam pencapaian prestasi dan tujuan diri. Misalnya James 1950 menyatakan bahwa self esteem merupakan perbandingan antara kesuksesan dengan keinginan diri, yang memainkan peranan penting antara penyempurnaan diri dengan tujuan seseorang. Hal ini berkaitan dengan persepsi diri mengenai kesuksesan, dan standar tujuan seseorang. • Kedua, self esteem diselidiki sebagai suatu motif diri, tidak ada kecendrungan seseorang untuk bertindak dalam memelihara atau meningkatkan penilaian positif diri Kaplan, 1975; Tesser, 1988. Self esteem sebagai perlindungan diri, ketika seseorang ingin membuktikan diri mereka, perasaan akan kompetensi dan keberhargaaan akan meningkat, dengan begitu akan ada gangguan-gangguan emosi negatif selama proses pembuktian diri ini terjadi. Emosi negatif terebut dapat berbentuk depresi dan kecemasan Burke 1991;, 1996 Higgins 1989. Seseorang harus memiliki sesuatu yang dapat mendukung mereka ketika periode ini terjadi agar tidak terjadi penumpukan yang berlebihan. Self esteem dapat menjadi sumber tersebut yang berfungsi mengatur hubungan sosial individu. • Terakhir, self esteem diselidiki sebagai penahan tenaga diri yang menyediakan perlindungan diri terhadap pengalaman yang berbahaya atau menyakitkan. Self esteem sebagai motif diri, motif diri memberikan suatu standard an petunjuk dalam berprilaku. Self esteem sebagai motif diri yang menyatakan usaha individu untuk mengatur atau meningkatkan self esteem mereka pada berbagai tingkatan yang diinginkan e.g., Kaplan 1975; Rosenberg 1979; Tesser 1988.

2.2.2 Pembentukan Self esteem

Menurut Bradshaw dalam Ghufron 2010 proses pembentukan Self esteem telah dimulai sejak bayi merasakan tepukan pertama kali yang diterima orang mengenai kelahirannya. Darajat 1980 menyebutkan bahwa Self esteem sudah terbentuk pada masa kanak-kanak sehingga seorang anak sangat perlu mendapatkan rasa penghargaan dari orang tuanya. Proses selanjutnya, Self esteem dibentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang lingkungannya. Seperti dimanja dan diperhatikan orang tua dan orang lain. Dengan demikian harga diri bukan merupakan faktor yang bersifat bawaan, melainkan faktor yang dapat dipelajari dan terbentuknya sepanjang pengalaman individu. Mukhlis dalam Ghufron 2010 mengatakan bahwa pembentukan Self esteem pada individu dimulai sejak individu mempunyai pengalaman dan interaksi sosial, yang sebelumnya didahului dengan kemampuan mengadakan persepsi. Olok-olok, hukuman, perintah, dan larangan yang berlebihan aakan membuat anak merasa tidak dihargai. Sedangkan, Coopersmith 1967 mengatakan bahwa pola asuh otoriter dan permisif akan mengakibatkan anak mempunyai harga diri yang rendah. Sementara itu, pola asuh authoritarian akan membuat anak mempunyai harga diri yang tinggi. Senada dengan pendapat Klass dan Hodge 1978 yang mengemukakan bahwa Self Esteem adalah hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta penerimaan penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut. Pada saat melakukan evaluasi diri, individu akan melihat dan menyadari konsep-konsep dasar dirinya yang menyangkut pikiran-pikiran, pendapat, kesadaran mengenai siapa dan bagaimana dirinya, serta kemampuan membandingkan keadaan diri saat itu dengan bayangan diri ideal yang berkembang dalam pikirannya. Self esteem yang dimiliki masing-masing individu bervariasi, ada yang rendah dan ada yang tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme pembentukan Self esteem. Menurut Coopersmith seperti yang dikutip dalam Ghufron 2010 bahwa pembentukan Self esteem dipengaruhi beberapa faktor yaitu : 1. Keberartian individu Keberartian diri menyangkut seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, dan berharga menurut standard an nilai pribadi. Penghargaan inilah yang dimaksud dengan keberartian diri. 2. Keberhasilan seseorang Keberhasilan yang berpengaruh terhadap pembentukan harga diri adalah keberhasilan yang berhubungan dengan kekuatan atau kemampuan individu dalam mempengaruhi dan mengendalikan diri sendiri maupun orang lain. 3. Kekuatan individu Kekuatan individu terhadap aturan-aturan, norma, dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Maka, semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebaagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu bersangkutan. Hal ini mendorong harga diri tinggi. 4. Performasi individu yang sesuai dalam mencapai prestasi yang diharapkan Apabila individu mengalami kegagalan, maka harga dirinya akan menjadi rendah. Sebaliknya apabila performansi seseorang sesuai dengan tuntutan dan harapan, maka akan mendorong pembentukan harga diri yang tinggi.

2.2.3 Aspek-Aspek Self Esteem

Menurut Minchinton 1993 Self esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal saja, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan prilaku. Minchiton menjabarkan tiga aspek self esteem, yaitu perasaan mengenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup, serta hubungan dengan orang lain. 1.Perasaan mengenai diri sendiri Seseorang haruslah menerima dirinya secara penuh, apa adanya. Mampu menilai diri kita sendiri sebagai seorang manusia. Dengan begitu, perasaannya tentang dirinya sendiri tidak bergantung pada kondisi eksternal. Apapun yang terjadi kita dapat merasa nyaman dengan diri kita sendiri dan dapat menilai keunikan yang ada didalam diri kita tanpa menghiraukan karakter atau kemampuan yang kita punya atau tidak punya. Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi dapat menghormati dirinya dan memiliki keyakinan penuh bahwa diri kita adalah sesosok yang penting, dan apapun itu jika tidak berlaku bagi orang lain, setidaknya berlaku bagi diri kita sendiri. Selain itu juga dapat memaklumi dan memaafkan diri sendiri, atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ia miliki. Mereka yang memiliki harga diri yang tinggi juga mampu menghargai nilai personal mereka sebagai seorang individu, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain. Mereka tidak akan merasa lebih baik ketika mereka dipuji atau merasa buruk ketika mereka di kritisi. Perasaan baik kita mengenai diri kita sendiri tidak bergantung pada kondisi luar. Seseorang dengan harga diri tinggi memegang kendali atas emosinya sendiri. Sebaliknya, keadaan yang buruk dapat mempengaruhi perasaan seseorang dengan self esteem rendah, akibatnya suasana hatinya mood pun menurun. Setiap kali seseorang mengatakan sesuatu tentang dirinya, apakah dari pasangan, guru, pimpinan, orang tua, atau saudara kandung, ia akan menerima komentar tersebut begitu saja dan membiarkan pikiran orang ‘melumpuhkan’ kehidupannya. Kemudian, ia pun mulai mempercayai ucapan orang tersebut meskipun jauh di lubuk hati dan jiwanya, ia tahu itu tidak benar, pada akhirnya ia akan merasa cemburu, tidak bahagia, dan depresi. 2.Perasaan terhadap Hidup Perasaan terhadap hidup berarti menerima tanggung jawab atas sebagian hidup yang dijalaninya. Maksudnya, seseorang dengan self esteem tinggi akan menerima realita dengan lapang dada dan tidak menyalahkan keadaan hidup ini atau orang lain atas segala masalah yang dihadapinya. Ia sadar bahwa semuanya itu terjadi dengan pilihan dan keputusannya sendiri, bukan karena faktor eksternal. Karena itu, ia pun akan membangun harapan atau cita-cita secara realistis: sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perasaan seseorang terhadap hidup juga menentukan apakah ia akan menganggap sebuah masalah adalah rintangan hebat atau kesempatan bagus untuk mengembangkan diri. Selain itu, seseorang dengan self esteem tinggi juga tidak berusaha mengendalikan orang lain atau situasi yang ada. Sebaliknya, ia akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. 3.Hubungan dengan Orang Lain Seseorang dengan toleransi dan penghargaan yang sama terhadap semua orang berarti memiliki self esteem yang bagus. Ia percaya bahwa setiap orang, termasuk dirinya, mempunyai hak yang sama dan patut dihormati. Karena itu, seseorang dengan self esteem tinggi mampu memandang hubungannya dengan orang lain secara lebih bijaksana. Saat seseorang merasa nyaman dengan dirinya sendiri, ia pun akan menghormati orang lain sebagaimana adanya mereka. Ia tidak akan memaksakan kehendak atau nilai-nilai kepada orang lain karena ia tidak membutuhkan penerimaan dari orang tersebut agar ia merasa berharga. Mereka memiliki pemikiran yang masuk akal, dapat menerima kekurangan orang lain, berwatak tenang, fleksibel, dan bertanggung jawab dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Memandang tiap orang secara sama dan dapat menghormati orang lain tanpa pandang bulu.

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Esteem

Ghufron 2010 menyatakan harga diri Self esteem dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungan dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor internal seperti jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik individu dan faktor eksternal seperti lingkungan sosial, sekolah, dan keluarga. Beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain : 1. Faktor jenis kelamin Menurut Ancok dkk, 1988 wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu, kepercayaan diri yang kurang mampu, atau meraasa harus dilindungi. Hal ini mungkin terjadi kkarena peran orang tua dan harapaan-harapan masyarakat yang berbeda-beda baik pada pria maupun pada wanita. Pendapat tersebut sama dengan penelitian dari Coopersmith 1967 yang membuktikan bahwa harga diri wanita lebih rendah daripada harga diri pria. 2. Inteligensi Intelegensi sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional individu sangat erat berkaitan dengan prestasi karena pengukuran intelegensi selalu berdasarkaan kemampuan akademis. Menurut, Coopersmith 1967 individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang rendah. Selanjutnya, dikatakan individu dengan harga diri yang tinggi memiliki skor intelegensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik, dan selalu berusaha keras. 3. Kondisi Fisik Coopersmith 1967 menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. 4. Lingkungan Keluarga Peran keluarga sangat menentukan bagi perkembangan harga diri anak. Dalam keluarga, seorang anak untuk pertama kalinya mengenal orang tua yang mendidik dan membesarkankannya serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih besar. Keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar untuk mencapai perkembangan harga diri anak yang baik. Coopersmith 1967 berpendapat bahwa perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif, dan mendidik yang demokratis akan membuat anak mendapat harga diri yang tinggi. Berkenaan dengan hal tersebut Savary 1994 sependapat bahwa keluarga berperan dalam menentukan perkembangan harga diri anak. Orang tua yang sering memberikan hukuman dan larangan tanpa alasan dapat menyebabkan anak merasa tidak berharga. 5. Lingkungan Sosial Klass dan Hodge 1978 berpendapat bahwa pembentukan harga diri dimulai d ari seseorang yang menyadari dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya. Sementara menurut Coopersmith 1967 ada beberapa ubahan dalam harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi, dan mekanisme pertahanan diri. kesuksesan tersebut dapat timbul melalui pengalaman dalam lingkungan, kesuksesan dalam bidang tertentu, kompetisi dan nilai kebaikan. Selanjutnya, Branden 1981 menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri dalam lingkungan pekerjaan adalah sejumlah dimensi pekerjaan seperti kepuasan kerja, penghasilan, penghargaan orang lain, dan kenaikan jabatan atau pangkat.

2.2.4 Karakteristik Individu Berdasarkan Harga Diri Self Esteem yang dimiliki

Minchinton 1993 menjelaskan sekurang-kurangnya terdapat beberapa karakteristik individu ditinjau dari tinggi rendahnya atau positif negatifnya self esteem , yaitu: a. Karakteristik individu dengan self esteem tinggi 1 Seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi, ia akan memiliki ciri-ciri seperti: dapat menerima dan mengapresiasikan dirinya sendiri dalam kondisi apapun, merasa nyaman dengan keadaan dirinya, berprasangka baik terhadap dirinya sendiri, jika tidak bagi orang lain, setidaknya bagi dirinya sendiri serta memiliki kontrol emosi yang baik dan terbebas dari perasaan yang tidak menyenangkan, kemarahan, ketakutan, kesedihan dan rasa bersalah. 2 Seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi memiliki suatu keyakinan bahwa ia memiliki rasa bertanggung jawab dan merasa mampu mengontrol setiap bagian kehidupannya. 3 Tingginya self esteem dapat terlihat dari bagaimana cara seseorang dalam bentuk rasa penghormatan, toleransi, kerja sama dan saling memiliki antara satu dengan yang lain. 4 Seseorang dengan self esteem yang tinggi dapat merancang, merencanakan, dan merealisasikan segala sesuatu yang diharapkan atau menjadi tujuan hidupnya secara optimal. b. Karakteristik individu dengan self esteem yang rendah 1 Seseorang dengan self esteem yang rendah meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan instrinsik yang kecil, meragukan kemampuan dirinya, merasa bahwa keberhasilan yang diperolehnya merupakan sebuah prestasinya, selalu takut untuk mencoba segala sesuatu dan memiliki kontrol emosi yang buruk, merasa tidak bahagia, tertekan serta merasa bahwa dirinya tidak berarti atau sia-sia. 2 Seseorang dengan self esteem yang rendah merasa bahwa kehidupan ini berada di luar kontrol dan tanggung jawab dirinya dan berjalan begitu saja, terkadang merasa lemah dan merasa di bawah kontrol atau kendali orang lain. 3 Seseorang yang memiliki self esteem yang rendah tidak dapat merasakan arti pentingnya hubungan interpersonal, bersikap tidak toleran, kurang dapat bekerja sama, dan kurang rasa memiliki antara satu sama lainnya. 4 Seseorang dengan self esteem yang rendah juga kurang dapat merancang, merencanakan, dan merealisasikan segala sesuatu yang diharapkan atau menjadi tujuan hidupnya secara optimal. Menurut Minchinton 1995 Individu dengan self esteem yang tinggi akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan mereka, karena mereka dapat mengekspresikan diri dengan baik dalam lingkungan dimana mereka berada. Lain halnya dengan individu yang memiliki self esteem rendah, mereka dikatakan kurang dapat mengekspresikan diri dengan baik dan sangat tergantung dengan lingkungan mereka. Kebanyakan dari mereka merasa takut akan mengalami kegagalan dalam mengadakan hubungan sosial dengan orang lain dalam lingkungan mereka karenanya secara pasif selalu mengikuti apa yang ada dalam lingkungan. Leary, Schreindorfer, Haupu, 1995 dalam Baron, 2003 memiliki self esteem yang tinggi berarti seseorang menyukai dirinya. Dalam banyak hal, self esteem yang tinggi memiliki akibat yang positif pula, sebaliknya self esteem yang rendah memiliki pengaruh negatif dalam diri, misalnya, evaluasi diri negatif menyebabkan kurangnya kemampuan sosial seseorang Olmsted et al., 1991, rasa kesepian McWhirter, 1997, depresi Jex, Cvetanovski, Allen, 1994, dan prestasi yang buruk yang diikuti dengan kegagalan Tafordi Vu, 1997. Dalam Byrne 2003, siswa yang dengan tidak realistik positif dengan kemampuan mereka, memperoleh nilai lebih tinggi dibanding siswa yang realistik atau tidak realistik negatif. Menurut Dodgson Wood, 1998 dalam Baron, 2003 mereka dengan self esteem yang tinggi dapat mengingat kejadian yang menyenangkan lebih akurat yang nantinya dapat membantu mereka dalam menghasilkan evaluasi diri positif. Sebaliknya mereka dengan self esteem yang rendah mengingat kejadian yang tidak menyenangkan lebih akurat, dengan begitu akan menghasilkan evaluasi diri negatif pula Story, 1998. Dalam hal yang sama, mereka dengan self esteem yang rendah akan fokus pada kelemahan mereka ketika merekan mengalami kegagalan, sedangkan mereka dengan self esteem yang tinggi akan fokus pada kekuatan mereka ketika mengalami kegagalan. Branden, 1987 mengemukakan ciri-ciri orang yang memiliki harga diri tinggi yaitu : 1. Mampu menanggulangi kesengsaraan dan kemalangan hidup, lebih tabah dan ulet, lebih mampu melawan suatu kekalahan, kegagalan, dan keputuasaan. 2. Cenderung lebih berambisi 3. Memiliki kemungkinan untuk lebih kreatif dalam pekerjaan dan sebagai sarana untuk menjadi lebih berhasil 4. Memiliki kemungkinan lebih dalam dan besar dalam membina hubungan interpersonal tampak dan tampak gembira dalam menghadapi realitas. Berne dan Savary 1994 menyebutkan bahwa orang yang memiliki harga diri yang sehat adalah orang yang mengenal dirinya sendiri dengan segala keterbatasannya, merasa tidak malu atas keterbatasan yang dimiliki, memandang keterbatasan sebagai suatu realitas, dan menjadikan keterbatasan itu sebagai tantangan untuk berkembang. Ia juga menyebutkan bahwa harga diri yang sehat adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri berharga, berkemampuan, penuh kasih sayang yang memiliki bakat-bakat pribadi yang khas serta kepribadian yang berharga dalam hubungannya dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang merasa rendah diri, memiliki gambaran negatif pada diri, sedikit mengenal dirinya sehingga menghalangi kemampuan untuk menjalin hubungan, merasa tidak terancam, dan berhasil. Rasa rendah diri dan gambaran diri yang negative tercermin pada orang-orang yang rendah kemampuan sendiri. Frey dan Carlock 1984 mengemukakan bahwa individu dengan harga diri yang tinggi mempunyai ciri-ciri diantaranya mampu menghargai dan menghormati dirinya sendiri, cenderung tidak menjadi perfect, mengenali keterbatasannya, dan berharap untuk tumbuh. Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah mempunyai ciri-ciri cenderung menolak dirinya dan cenderung tidak puas. Menurut Ghufron 2010 bahwa harga diri dapat menimbulkan dampak pada diri seseorang dan lingkungannya. Individu dengaan harga diri yang tinggi cenderung membawa dampak yang positif. Tidak saja untuk dirinya, tetapi juga orang lain yang ada di lingkungannya. Sementara, individu dengan harga diri yang rendah cenderung menimbulkan dampak kurang menguntungkan bagi perkembangan potensinya.

2.4. Kerangka Berpikir

Optimisme adalah keyakinan bahwa harapan mengenai sesuatu yang baik pasti akan terjadi. Self esteem adalah kemampuan seseorang untuk menilai dan memberi penghargaan atas dirinya sendiri. Pada mahasiswa yang dinilai telah memiliki kematangan dalam berpikir dan mengambil keputusan mengenai kesuksesan karir masa depan diharapkan memiliki self esteem yang tinggi yang dapat mempengaruhi optimisme seseorang dalam meraih kesuksesan karir masa depan. Karena optimisme dianggap sebagai kunci utama dalam memotivasi untuk mengembangkan tujuan dan harapan karir masa depan. Dari beberapa penelitian yang telah ada orang yang self esteem-nya rendah adalah orang yang pesimis dan cenderung ragu-ragu terhadap karir masa depannya. Sebaliknya pada mereka yang memiliki self esteem yang tinggi adalah mereka yang optimis terhadap kesuksesan karir masa depannya. Dalam Seligman 2008, Pada tahun 1990, badan pembuat undang-undang di California mensponsori agar penghargaan diri self esteem diajarkan disekolah-sekolah dengan tujuan menjadi “vaksin” untuk melawan penyakit-penyakit sosial seperti kecanduan obat terlarang, keinginan bunuh diri, menggunakan kekayaan, kehamilan pada remaja, serta depresi menurut kajian Menuju Negara yang Bermartabat, 1990, dan melihat beberapa bukti bahwa anak-anak muda yang penghargaan dirinya tinggi menyebabkan tingkat keberhasilan akademisnya lebih baik, semakin populer, rendahnya kehamilan pada remaja, rendahnya ketergantungan pada kesejahteraan, seperti yang dilaporkan oleh berita di California. Seperti yang dinyatakan dalam teori Seligman 2008, bahwa teori gaya penjelasan untuk sukses mengatakan bahwa untuk memilih orang-orang yang akan berhasil dalam suatu pekerjaan yang menantang, seseorang harus memilihnya berdasarkan tiga faktor berikut ; bakat, motivasi, dan optimisme, ketiga faktor inilah yang menentukan kesuksesan. Maka seorang mahasiswa yang menginginkan kesuksesan dibidang karirnya kelak harus memiliki optimisme dalam dirinya, bahwa ia mampu dan memiliki kualitas yang layak untuk sukses di bidang karirnya. Hal itu juga menunjukkan bahwa optimis merupakan bagian aspek diri manusia yang penting bagi seseorang dalam menjalani kehidupan. Dikatakan juga oleh Seligman 2008 bahwa optimisme menyebabkan seseorang menilai lebih baik dan pesimisme membuat seseorang menilai lebih buruk. Menilai dengan baik membuat seseorang menjadi optimis dan menilai dengan buruk membuat orang menjadi pesimis. Berdasarkan teori dari Seligman tersebut disini penulis berasumsi bahwa hal tersebut menjelaskan bagaimana seseorang yang menilai dirinya dengan baik atau positif akan membuatnya menjadi optimis. Kemampuan dalam menilai diri ini adalah bagaimana seseorang memberi penghargaan atas dirinya sendiri, apakah evaluasi terhadap diri dinilai sebagai sesuatu yang positif atau negatif yang nantinya dapat membuatnya menjadi optimis atau malah sebaliknya pesimis. Sedangkan seseorang yang dapat menilai dirinya secara positif diasumsikan memiliki pemikiran yang lebih optimis dibandingkan seseorang yang menilai dirinya secara negatif. Asumsi penulis tersebut dapat digambarkan melalui bagan di bawah ini : Optimisme meraih kesuksesan karir mahasiswa yang rendah Optimisme meraih kesuksesan karir mahasiswa yang tinggi Self Esteem Rendah Tinggi 2.4. Hipotesis Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara self esteem dengan optimisme meraih kesuksesan karir masa depan. Ha: Ada hubungan yang signifikan antara hubungan self esteem dengan optimisme meraih kesuksesan karir masa depan.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

3.1.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Karena dalam pengolahan data peneliti menggunakan perhitungan statistik yang telah baku dan menampilkan hasil berupa angka-angka. Sedangkan metode penelitian ini adalah penelitian korelatif. Karena bertujuan untuk mencari apakah ada hubungan antara self esteem dengan optimisme meraih kesuksesan karir mahasiswa. Menurut Sevilla 1993 penelitian korelasi dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Melalui penelitian tersebut dapat memastikan berapa besar yang disebabkan oleh satu variabel dalam hubungan dengan variasi yang disebabkan oleh variabel lain. Pengukuran korelasi ini digunakan untuk menentukan besarnya arah hubungan. Penelitian korelasi tidak memerlukan sampel yang besar. Diasumsikan jika ada pertalian maka akan merupakan bukti bahwa sampel yang digunakan adalah mewakili populasi yang kita selidiki dan instrumen yang digunakan dapat dipercaya dan shahih. 3.2. Variabel-variabel Penelitian 3.2.1 Definisi Variable Variabel adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai, menurut Kerlinger 2000, variable adalah symbol atau lambang yang padanya kita letakkan bilangan atau nilai.