commit to user 110
tidak membuahkan hasil, bahkan ketika dulu Indonesia dipimpin oleh Megawati.
“Cuma gambaran orang-orang miskin kayak gitu, itu kan uda basi. Uda gitu tadi kan dia bilang buat apa janji, padahal kan pada masa pemilihan dia
juga ga jauh beda, malah dia ee.. sering apa, malah dia pernah berjualan pulau, jadi iklan itu menurut saya tidak tepat, yang ditahun ini dia akan
membuat perubahan padahal di tahun dia juga sama aja.”
2. Iklan Politik Televisi Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono Iklan
Positif Pembentukan Citra
Pada pemilu presiden tahun 2004, kemenangan pasangan SBY-JK merupakan hasil dari kekuatan “citra” yang dikemas secara apik oleh tim
komunikasi sehingga mampu mengalahkan pasangan Mega-Hasyim. Pada pemilu presiden tahun 2009. SBY bersama pasangan calon presidennya yang baru,
Boediono, kembali mengedepankan pencitraan positif figur kandidat. Citra adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman, citra
adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Menurut Akmad Danial 2009:232, iklan-iklan yang lebih “menjual” karakteristik personal atau kualitas yang ada pada kandidat, seperti latar belakang,
pengalaman, langkah atau prestasi yang dicapai sebelum pencalonan, karakter dan sebagainya terkadang dibuat secara artificial dan bahkan hanya menutupi track
record kandidat yang sebenarnya. hal ini dikarenakan realitas yang ditampilkan
dalam media adalah realitas yang sudah diseleksi—realitas tangan kedua Rakhmat, 2002: 224. Dalam artian apa yang ditampilkan dalam media telah
commit to user 111
melewati tahap seleksi atau gate keeping. Begitu juga dengan iklan politik yang disiarkan di media televisi.
Iklan politik SBY-Boediono memperlihatkan kualitas kandidat dengan penggambaran mengenai latar belakang kedua pasangan. Latar belakang yang
berasal dari keluarga sederhana menjadi pesan utama yang disampaikan untuk menimbulkan rasa kesamaan dengan latar belakang rakyat Indonesia pada
umumnya. Dengan begitu, menimbulkan citra bahwa SBY dan Boediono bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat kecil dan akan berjuang demi rakyat.
Seluruh partisipan dari ketiga kalangan umumnya memiliki pendapat iklan ini menarik dan hanya satu yang menjawab tidak menarik dari kalangan pelajar
SMA. Persepsi dari kalangan SMA iklan ini secara menarik memberikan informasi tentang latar belakang SBY dan Boediono, namun ada satu partisipan
menganggap konten yang diberikan kosong karena tidak adanya visi dan misi yang disampaikan. Sedangakan kalangan mahasiswa berpendapat tidak adanya
visi dan misi tidak mengurangi daya tarik iklan, karena informasi latar belakang kandidat juga penting untuk mengetahui pribadi kandidat walaupun ada salah satu
kandidat yang menganggap informasi yang diberikan subyektif, hanya tentang sisi positif saja. Dari kalangan pekerja, persepsi yang timbul beragam antara lain
informasi yang diberikan kurang, memperlihatkan kepribadian kandidat yang baik dan informasi yang kurang meyakinkan membuat orang percaya karena terlihat
hanya sebagai sampul saja. Iklan politik di media televisi memiliki kemampuan menggabungkan
pesan verbal dan nonverbal dalam format audio-visual. Melalui televisi, apa
commit to user 112
yang ingin disampaikan oleh kandidat politik dapat tersimulasikan dalam rangkaian gambar dan audio. Setiap individu yang melihat iklan akan
menginterpretasikan iklan tersebut sesuai dengan pandangan mereka sehingga menimbulkan emosi tertentu. Pandangan tersebut adalah persepsi. Menurut
Lazarfeld et al dalam Brader, 2006, semua jenis propaganda pada dasarnya adalah permainan emosi publik. Baden dalam Brader, 2006 menambahkan
bahwa iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibanding intelektual. Dan dalam masyarakat Asia, seperti
dikemukakan oleh Kaid 2006: 451, iklan dengan nuansa emosional yang menggunakan bahasa dan gambar yang membangkitkan perasaan atau emosi
tertentu, seperti rasa gembira, patriotisme, kemarahan atau kebanggaan lebih disukai dan efektif.
Iklan semacam itulah yang dibuat oleh SBY dan Boediono dalam iklan politik versi “Pemerintahan Bersih Untuk Rakyat”. Secara verbal rangkaian
informasi melalui narasi mengenai perjalanan karier SBY dan Boediono, dari awal mula semasa kecil, membentuk persepsi para partisipan seolah menjadi
mengenal sosok pribadi kandidat dan perasaan emosional memiliki satu kesamaan sebagai rakyat biasa. Dan dari pengamatan penulis, partisipan
perempuan menyukai jenis iklan semacam ini. Alfiana, mengatakan:
“Iklan ini nunjukkannya yang lucu gitu, tentang sejarah mereka berdua. Sejarah mereka berdua tu juga dari rakyat biasa, jadi rakyat tu oh jadi mereka
juga uda pernah merasakan penderitaan yang sama, jadi dari bawah bener- bener bukan dari yang anak proklamator atau apa lah anak penggede, mereka
bener-bener dari bawah, mereka berusaha hingga akhirnya seperti sekarang.”
Di antara tiga calon presiden yang maju bertarung dalam Pemilu Presiden 2009, Susilo Bambang Yudhoyono adalah satu-satunya calon yang
commit to user 113
tidak membawa embel-embel nama besar keluarga. Kedua calon lainnya, Muhammad Jusuf Kalla, menyandang nama besar ayahnya, Hadji Kalla,
seorang saudagar sukses. Sedangkan Megawati Soekarnoputri merupakan putri dari Ir. Soekarno, sang proklamator dan Presiden RI yang pertama.
Menindaklanjuti tentang informasi latar belakang SBY-Boediono, peneliti kemudian bertanya, apakah Alfi mempercayai dengan pesan yang
disampaikan dari iklan tersebut? Ia menjawab:
“Saya si percaya dengan apa yang disampaikan di iklan itu, percayanya tu mereka tu bener-bener mengabdi untuk rakyat karena SBY tu kan awalnya dari
TNI, dia membela demi segenap tumpah tanah air gitu ya kemudian kalau pak Boediono kan jadi guru, seorang dosen mengajar, itu kan juga mengabdi
kepada bangsa .”
Persepsi yang tak lebih serupa juga diutarakan oleh Iin, penggambaran SBY dan Boediono pada iklan membuatnya percaya dengan tagline yang
mereka usung yaitu “Pemerintahan Yang Bersih Untuk Rakyat”. Bahwa SBY dan Boediono akan mengabdi kepada rakyat dan tidak memperkaya diri.
Berbeda dengan partisipan perempuan, partisipan pria menanggapi iklan politik SBY-Boediono dengan lebih kritis dan beragam. Diptanta
misalnya, ia menilai bahwa iklan yang hanya menonjolkan pencitraan pribadi kandidat merupakan iklan yang tidak berbobot karena ketidakadaan informasi
visi dan misi dari kandidat. Diptanta mengatakan:
“Kalau liat dari iklannya. Menurut saya ya temanya kosong kurang berisi. Ya kalau mega tadi kan berisi iklannya, banyak isinya. Kalau ini kosong, cuma
satu intinya dari rakyat untuk rakyat gitu saja, enggak ada kedepannya bagaimana. Kalau mega kan ada prospeknya begini-begini-begini.”
Dengan kata lain, di iklan politik Megawati informasi yang diberikan cukup lengkap, antara lain mengenai permasalahan kemiskinan yang dihadapi
commit to user 114
oleh negara Indonesia, sekilas latar belakang Megawati dan prabowo, dan upaya dari Megawati-Prabowo untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Sedangkan iklan SBY-Boediono kurang menerangkan apa yang menjadi visi dan misi mereka dalam membangun negeri. Dari informasi sebelumnya,
Diptanta mengaku bahwa ia mendukung SBY terpilih sebagai presiden, oleh kemudian penulis menanyakan apakah iklan SBY yang menurut Diptanta
kosong ini berpengaruh mengubah minatnya kepada SBY? Diptanta kemudian memberikan pernyataan berikut ini.
“Kalau dari iklannya sih ga minat tapi kan udah suka dulu sama orangnya dulu jadi tetap minat.”
Penilaian Diptanta tentang tanpa visi misi iklan menjadi tidak berbobot sangat berbeda dengan pandangan Farah, dari kalangan wanita, tidak adanya
visi dan misi yang disampaikan, hanya informasi latar belakang kandidat, tidak mengurangi daya tarik iklan ini. Bagi Farah, informasi yang terfokus
pada latar belakang sosok pribadi kandidat justru merupakan suatu awal yang baik untuk memperkenalkan diri kandidat terhadap masyarakat. Lebih jelas
Farah mengatakan:
“Menurut saya ini bagus ya jadi masyarakat tu melihat dulu bagaimana sih, siapa sih mereka, jadinya kan ohh.. seperti ini, seperti ini. Tentu kalau
mereka sudah mengenal, kita sudah mengenal, barulah mereka menurut saya memberikan program visi misi mereka.
”
Lain lagi dengan pandangan miftah, dari kalangan pekerja, bagi dia semua iklan politik itu sama saja. Dalam artian, apa yang ditampilkan dan
disampaikan dalam iklan tidak bisa sepenuhnya dipercayai sebagai representasi bagaimana kandidat tersebut di realita. Miftah mengatakan:
commit to user 115
“Sama saja ya sebenarnya, kalau iklan kayaknya ga ada bedanya. Kurang..kurang meyakinkan. Bisa saja itu cuma iklan, iklan kan tidak langsung
melihat orangnya atau melihat bagaimana dia bekerja. Ya..kelihatannya cuma sebagai sampul saja. Jadi tidak sepenuh bisa membuat orang yang melihat itu
bisa percaya .”
Sejalan dengan pendapat Miftah, Listiyo berpendapat bahwa iklan yang hanya memperlihatkan sisi-sisi kebaikan kandidat saja bersifat kurang
netral. Setiap orang pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan. Jika hanya sisi positif yang yang diperlihatkan maka pertimbangan-pertimbangan pemilih
menjadi tidak objektif. Namun Listiyo memaklumi dengan adanya iklan politik pencitraan, menurut dia politik selalu berhubungan dengan kekuasaan,
dan kekuasaan bisa didapat melalui imej yang bagus. Oleh karena itu, tak heran bila SBY dan Boediono membuat iklan politik tentang pencitraan diri
yang baik sebagai strategi kampanye.
“... Kalau di iklan ini jelas yang dipertunjukan adalah kebaikan sisi-sisi positif dari kedua calon pasangan pak SBY dan Boediono. Kan setiap
pasangan memiliki kekurangan dan kelebihan, menurut saya ya..kenapa sisi negatif juga tidak dipertunjukkan agar bisa menjadi bahan pertimbangan-
pertimbangan dalam masyarakat. Tapi dalam hal ini, pertanyaan itu bisa saya maklumi soalnya ini adalah politik. Lagi-lagi kita bicara tentang politik. Nah,
politik itu kalau kekuasaan menurut saya berasal dari imej yang bagus. dalam hal ini mereka menumbuhkan sebuah imej, sebuah figur yang bagus. dan
mengapa mereka mengiklankan ini, menurut saya itu salah satu strategi tim kampanye mereka.”
Lebih lanjut, penulis menanyakan apakah Listiyo setuju dengan iklan semacam ini? Ia menyatakan kurang setuju, karena menurut dia yang perlu
untuk diketahui dari seorang calon pemimpin itu adalah moralnya. Dengan hanya menunjukkan kebaikan, masyarakat tidak bisa menyimpulkan moral
seperti apa yang dimiliki oleh SBY dan Boediono. Kurangnya keterbukaan
commit to user 116
atau transparansi mengenai kandidat dalam iklan kampanye semacam ini, Listiyo anggap kurang cocok dilakukan di negara demokrasi.
“Kalau menurut saya sendiri kurang setuju, soalnya kalau menurut saya pemimpin itu yang penting adalah moral. Moral itu bisa dinilai dari
keburukan dan kebaikan seorang pemimpin. Disini cuma ada kebaikan, lalu moral macam apa yang bisa disimpulkan oleh masyarakat kepada pak SBY dan
Pak Boediono. Kalau dalam negara demokrasi si menurut saya iklan ini kurang mengena.”
Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual yang didalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, bentuk, warna, dan
komposisi. Ia dikelompokan dalam komunikasi non verbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan dan ucapan. Upaya memberdayakan
simbol-simbol visual berangkat dari kenyataan bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas, bahkan istimewa, untuk menimbulkan efek
tertentu pada pengamatnya. Pada pesan non verbal iklan politik SBY-Boediono, Miftah, dari
kalangan pekerja menganggap visualisasi yang diberikan tidak menarik. Kandidat menurut Miftah seharusnya juga memberikan perhatian tentang
gambaran masyarakat sekarang ini, tidak hanya menunjukkan kehidupan pribadi Kandidat saja.
“Kalau secara gambar, saya rasa kurang menarik. Karena dia.. apa ya, didalam iklan itu hanya memeperlihatkan semasa hidupnya saja dari dia
berangkat sampai dia menjadi presiden. Seharusnya kan selain itu dia juga menceritakan bagaimana kondisi si indonesia itu sekarang ini. Seperti yang di
iklan megawati tadi, lebih baik saya rasa.”
Pesan non verbal lain yang ditangkap oleh partisipan adalah mengenai
figur SBY dan Boediono. Luluk, dari kalangan mahasiswa, menangkap bahwa figur seorang tentara memberikan kesan SBY sebagai orang yang tegas,
commit to user 117
berwibawa dan memiliki displin tinggi. Sedangkan figur guru yang merupakan pendidik anak bangsa mengesankan Boediono dapat mengayomi rakyat
dengan baik.
“Ya kalau SBY kan dari tentara, ya otomatis orangnya tegas, berwibawa trus displin. Trus kalau boediono lebih mengayomi, bersifat
mendidik jadinya sebagai guru kan lebih mengayomi rakyatnya.”
3. Iklan Jusuf Kalla dan Wiranto Iklan Positif Testimonial Kepositifan