BAB I PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Perusahaan
Pada zaman penjajahan kolonial Belanda, tepatnya sebelum terjadi Perang Dunia II di Wilayah Yogyakarta terdapat kurang lebih 17 pabrik gula yaitu PG
Randugunting, PG Tanjung Tirto, PG Kedaton Pieret, PG Wonocatur, PG Padokan, PG Bantul, PG Barongan, PG Sewu Galur, PG Gondanglipuro, PG Pundong, PG
Gesikan, PG Rewulu, PG Demakijo, PG Cebongan, PG Beran, PG Medari, dan PG Sendangpitu. Pada awalnya pabrik gula tersebut dikuasai Pemerintah Belanda,
sekitar tahun 1942 Belanda mundur, pabrik gula tersebut dikuasai oleh Pemerintah Jepang. Tetapi Pemerintah Jepang tidak menguasai sepenuhnya pabrik-pabrik
tersebut karena pada saat masih dalam situasi perang. Pemerintah Jepang tidak dapat mengusahakan produktifitas pabrik sepenuhnya. Hanya sekitar 12 pabrik saja
yang berproduksi dengan baik, sedangkan yang tidak dapat beroperasi karena lahan tebu digusur menjadi tanaman palawija yang digunakan untuk mencukupi
kebutuhan pangan tentara Jepang. Sesudah 17 Agustus 1945 Pemerintah Indonesia mengambil alih pabrik-
pabrik tersebut dan dihancurkan, hingga 1950 seluruh pabrik gula tinggal sisa dan puing-puing saja. Setelah keadaan Pemerintah Indonesia pulih membaik, maka Sri
Sultan Hamengkubuwono IX memprakarsai pembangunan pabik gula di Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka disusunlah Panitia Pendiri Pabrik Gula PPPG,
kemudian dibentuk Badan Pelaksanaan Perusahaan Perkebunan BPPP, dan disempurnakan menjadi Yayasan Kredit Indonesia YAKTI.
Pabrik Gula Madukismo mulai dibangun pada tanggal 14 Juni 1955 di daerah pabrik gula Padokan sekitar 5 km selatan Yogyakarta dengan berbentuk
Perseroan Terbatas PT, dengan nama PT Madubaru. Peralatan mesin-mesin pabrik serta teknisi untuk pemasangannya berasal dari Jerman Timur sebagai
kontraktor utama. Pabrik ini mulai berproduksi 1958 setelah diresmikan oleh Presiden Soekarno dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
IX. Karena mesin-mesin yang ada belum dapat dengan lancar, maka tebu yang telah digiling diolah di Pabrik Gula Gondang Baru Klaten. Untuk mengatasi hal tersebut
maka beberapa mesin disempurnakan dan tenaga kerja ditambah serta dilatih, sehingga pabrik dapat beroperasi dengan baik dan lancar dalam produksi gula. PT
Madubaru berubah menjadi Perusahaan Negara PN setelah pada tahun 1962 Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih semua perusahaan yang ada di
Indonesia. Untuk memimpin pabrik-pabrik gula pemerintah membentu badan- badan yang diberi nama Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara
BPUPPN yang bertanggungjawab mengurus seluruh pabrik gula. Pada tanggal 12 Maret 1962 terjadi serah terima Pabrik Gula Madukismo
dengan Pemerintah RI yang dilakukan Sri Sultan Hamenkubuwono IX dengan Presiden Direktur. Kejadian tersebut tidak berlangsung lama, sekitar awal
September 1968 pabrik-pabrik menarik diri, maka status pabrik menjadi Perseroan Terbatas PT yang disebut PT Madubaru, yang membawahi pabrik gula dan
spirtus. Pada tahun 1962 dengan persetujuan Sri Sultan Hamengkubuwono selaku
pemilik saham terbesar PT Madubaru, Pemerintah RI dalam hal ini Departemen Pertanian dan Keuangan kembali mengelola perusahaan tersebut yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk mengelola adalah PT Rajawali Nusantara Indonesia. Berdasarkan atas kontrak manajemen yang ditandatangani pada tanggal 4 Maret 1984 oleh
Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia yaitu Muhammad Yusuf dan Sri Sultan Hamengkubuwoo IX selaku pemegang saham terbesar. Kepemilikan saham
Pabrik Gula dan Spirtus Madukismo yaitu 26 dimiliki oleh Pemerintahan RI dan 74 milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Kontrak manajemen berlaku selama 10 tahun, sehingga PT Rajawali Nusantara Indonesia telah menandatangani kontrak sebanyak dua kali yang
berakhir pada tanggal 31 Maret 2004.
1.2 Tujuan, Visi dan Misi Perusahaan