Manfaat Amitriptilin Dalam Pengobatan Dispepsia Fungsional Pada Remaja

(1)

1

MANFAAT AMITRIPTILIN DALAM PENGOBATAN DISPEPSIA

FUNGSIONAL PADA REMAJA

TESIS

INDRA MUSTAWA O87103031/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

2

MANFAAT AMITRIPTILIN DALAM PENGOBATAN DISPEPSIA

FUNGSIONAL PADA REMAJA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik(Anak) dalam Program Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi Kesehatan Anak-Spesialis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Indra Mustawa 067103002

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

3 Judul Tesis : Manfaat Amitriptilin dalam Pengobatan dispepsia

fungsional pada Remaja

Nama : Indra Mustawa

Nomor Induk Mahasiswa : 067103002

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Supriatmo SpA(K)

Anggota

Dr. Hakimi, SpA(K)

Ketua Program Studi Ketua TKP PPDS


(4)

4 Tanggal lulus: 16 Agustus 2012


(5)

5 PERNYATAAN

MANFAAT AMITRIPTILIN DALAM PENGOBATAN DISPEPSIA

FUNGSIONAL PADA REMAJA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Agustus 2012


(6)

6 Telah diuji pada

Tanggal: 16 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bistok Saing, SpA(K) ... Anggota : 1. Dr. Supriatmo, SpA(K) ... 2. Prof. Dr. H. Joesoef Simbolon, SpKJ(K-AR)... 3. Prof. Dr. Hj. Bidasari Lubis, SpA(K) ... 4. Dr. H. Hakimi, SpA(K) ...


(7)

7 UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama Dr. Supriatmo SpA(K), Dr. H. Hakimi, SpA(K), yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Dr. Muhammad Ali, SpA(K) yang telah sangat banyak membimbing serta membantu saya dalam menyelesaikan penelitian serta tesis ini


(8)

8 3. Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK- USU yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan periode 2006-2010, yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini

6. Prof.Dr. H. Chairuddin P Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara periode 2005-2010, dan Prof. Dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara periode 2010-2015 dan Dekan FK-USU yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis Anak di FK- USU

7. Para kepala sekolah dan guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), meliputi SMP Negeri Dobo, SMA Negeri 1 Dobo, SMA Negeri 2 Dobo yang telah memberikan izin dan fasilitas pada penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan baik. Sahabat saya Johan L Hakim S,Fadli S, Irfan Indra, Yulia Lukita Dewanti, Fellycia Tobing, Jeanida Mauliddina, Erlina Masniari Napitupulu,


(9)

9 Armila Ramadhani, dan Pranoto Trilaksono yang selama empat tahun bersama-sama dalam suka dan duka serta teman sejawat PPDS Departemen Ilmu Kesehatan Anak terutama Ade Rahmat, Muhammad Hatta, Wagito, Darmadi, Pranoto Trilaksono dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Teristimewa untuk isteri tercinta Rini Indahwati dan kedua ananda tersayang Ahmad Mawarid Al-Iman dan Rania Alisha, terima kasih atas doa, pengertian, dan dukungan selama penulis menyelesaikan pendidikan ini.

Teristimewa untuk orangtua yang tercinta, H. Tarmuzi Ahmad, dan Hj. Hanimah serta kakak-kakak dan adik yang selalu mendoakan, memberikan dukungan, dorongan, bantuan moril dan materil selama penulis mengikuti pendidikan ini. Terima kasih atas doa, pengertian, dan dukungan selama penulis menyelesaikan pendidikan ini, semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, Agustus 2012


(10)

10 DAFTAR ISI

Daftar Isi i

Daftar Tabel iii

Daftar Gambar iv

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 4

1.3. Hipotesis 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dispepsia 6

2.2. Epidemiologi 6

2.3. Patofisiologi 7

2.3.1. Faktor Genetik 7

2.3.2. Faktor Psikososial 8

2.3.3. Pengaruh Flora Bakteri 8

2.3.4. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan 9

2.3.5. Hipersensitivitas viseral 9

2.4. Klasifikasi 11

2.5. Pemeriksaan Penunjang 12

2.6. Penatalaksanaan 13

2.6.1. Non farmakologis 13

2.6.2. Farmakologis 13

2.7. Amitriptilin 16

2.8. Amitriptilin sebagai terapi dispepsia fungsional 17

2.9. Kerangka Konseptual 19

BAB 3. METODOLOGI

3.1. Desain 21

3.2. Tempat dan Waktu 21

3.3. Populasi dan sampeL 21

3.4. Perkiraan Besar Sampel 21

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 22

3.6. Persetujuan/Informed consent 23

3.7. Etika Penelitian 23

3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 24


(11)

12 DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Karakteristik responden penelitian 29 Tabel 4.2. Frekuensi dispepsia sebelum dan

setelah pengobatan 2 bulan 30 Tabel 4.3. Durasi dispepsia sebelum dan

setelah pengobatan 2 bulan 31

Tabel 4.4. Perbandingan hasil penggunaan amitriptilin 32 dan plasebo setelah 2 bulan


(12)

13 DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Mekanisme dispepsia akibat stres 11

Gambar 2.2. Rumus bangun amitriptilin 17

Gambar 2.3. Kerangka konseptual 20

Gambar 3.1. Alur Penelitian 25

Gambar 4.1. Profil penelitian 28 iii


(13)

14 DAFTAR SINGKATAN

AAN : American Academy of Neurology

bb : berat badan

cm : centi meter

CGRP : calcitonin gene-related peptide CI : confident interval

dkk : dan kawan – kawan DO : drop out

FHM : Familial Hemiplegic Migraine HT : Hyroxytryptamine

IHS : International Headache Society IK : Interval Kepercayaan

kg : kilogram

mg : milligram

mm : milimeter

MSG : Mono Sodium Glutamat

MIDAS : Migraine Disability Assessment Scale

PedMIDAS : Pediatric Migraine Disability Assessment Scale SD : Standard Deviasi

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama SMU : Sekolah Menengah Umum TNC : Trigeminal Nerve Cortex USU : Universitas Sumatra Utara US : United State

VIP : Vasoactive Intestinal Peptide WHO : World Health Organization


(14)

15

DAFTAR LAMBANG

α : Kesalahan tipe I β : Kesalahan tipe II

n : Jumlah subjek / sampel P : Proporsi

P1 : Proporsi sembuh untuk kelompok I P2 : Proporsi sembuh untuk kelompok II Q : 1 – P

Q1 : 1 – P1 Q2 : 1 – P2

zα : Deviat baku normal untuk α zβ : Deviat baku normal untuk β P : Tingkat kemaknaan

X2 : Kai kuadrat > : Lebih besar dari < : Lebih kecil dari

≥ : Lebih besar dari ≤ : Lebih kecil dari


(15)

16 ABSTRAK

Latar belakang: Migren merupakan penyebab tersering nyeri kepala berulang pada anak dan remaja. Efikasi amitriptilin sebagai terapi preventif nyeri kepala migren telah luas berkembang pada dewasa, sedangkan pemakaiannya pada anak dan remaja masih memiliki keterbatasan data.

Tujuan: Menilai efikasi amitriptilin sebagai terapi preventif serangan nyeri kepala migren pada remaja.

Metode: Suatu penelitian uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan di Medan, Sumatera Utara antara bulan Juli hingga Oktober 2009. Penderita yang memenuhi kriteria migren sesuai dengan The International Headache Society (IHS) dimasukkan dalam penelitian. Partisipan dibagi atas dua grup yaitu grup amitriptilin yang mendapat 10 mg amitriptilin atau grup plasebo selama 3 bulan. Frekuensi nyeri kepala dinilai dalam hari per bulan, durasi dinilai dalam jam dan disabilitas fungsi dinilai dengan menggunakan Pediatric Migraine Disability Assessment Scale (PedMIDAS). Efikasi pengobatan dinilai sebelum, selama dan setelah pengobatan.

Hasil: Sebanyak 98 orang remaja mengikuti penelitian dengan rentang usia 12 hingga 19 tahun (rerata 14.69 tahun), dan dibagi atas dua kelompok. Dibandingkan sebelum pengobatan, terdapat perbedaan yang bermakna pada frekuensi nyeri kepala dan skor PedMIDAS pada kelompok amitriptilin (P=0.001, IK 95% (2.023;2.937) dan P=0.001, IK 95% (7.664;9.756), tetapi tidak pada kelompok plasebo. (P>0.05). Terdapat perbedaan yang bermakna pada frekuensi, durasi dan disabilitas fungsi pada kelompok amitriptilin dibandingkan plasebo setelah 3 bulan.( P< 0.05).

Kesimpulan: Amitriptilin efektif sebagai terapi preventif serangan nyeri kepala migren pada remaja setelah pengobatan selama 3 bulan.


(16)

17 ABSTRACT

Background: Migraine is a cause of recurrent headache in childhood. The efficacy of amitriptyline is well known as a prophylactic treatment in adults, whereas in children and adolescents do not have sufficient data.

Objective: To determine the efficacy of amitriptyline as the prophylactic treatment of migraine in adolescents.

Methods: We conduct a single-blind randomized controlled trial in Medan, North Sumatra, from July until October 2009. Participants eligible for migraine according to International Headache Society criteria were included in the study. They were divided into two groups, each group was given 10 mg of amitriptyline or placebo for 3 months. Headache frequency was measured in headache days per month, duration was measured in hours and functional disability was measured by Pediatric Migraine Disability Assessment Scale (PedMIDAS). The efficacy was measured before, during and after intervention.

Results: A total of 98 patients, ranging in age from 12 until19 years (mean age 14.69 years) were enrolled to the study, and divided into amitriptyline and placebo groups. Compared to baseline, there were significant difference on headache frequency and PedMIDAS score in amitriptyline group (P=0.001, 95%CI (2.023;2.937) and P=0.001, 95%CI (7.664;9.756), but not in placebo group (P>0.05). There were significant differences on frequency, duration, and functional disability in amitriptyline groups compared to placebo after 3 months of treatment (P< 0.05).

Conclusion: Amitriptyline appears to be effective in prophylactic treatment of migraine in adolescent after 3 months of intervention.

Key words: Amitriptyline, prophylaxis, migraine, adolescents


(17)

19 BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kejadian dispepsia cukup sering dijumpai dokter dalam menjalankan profesinya sehari-hari. Angka kejadian dispepsia di masyarakat masih tinggi dan banyak didapatkan pada usia muda. Di Amerika Serikat kejadian dispepsia 26% sampai 34% dari seluruh penduduk.1,2

Dispepsia biasanya ditujukan untuk kumpulan gejala klinis berupa rasa tidak nyaman atau nyeri pada epigastrium setelah makan, umumnya karena terganggunya daya atau fungsi pencernaan dengan disertai keluhan lain seperti perasaan panas di dada (heart burn), regurgitasi, kembung (flatulensi), disertai suara usus yang keras (borborigmi), perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa keluhan lainnya. 3-7

Dispepsia dibagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia nonorganik atau fungsional. Dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sedangkan dispepsia fungsional merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.8-10

Menurut ROME III, dispepsia fungsional harus memenuhi semua kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan.11,12

- Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).


(18)

20 - Nyeri tidak berkurang dengan defekasi atau tidak berhubungan

dengan suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.

- Tidak ada bukti adanya proses inflamasi, kelainan anatomis, kelainan metabolik atau neoplasma.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya dispepsia, yaitu pengeluaran asam lambung berlebih, pertahanan dinding lambung yang lemah, infeksi Helicobacter pylori, gangguan gerakan saluran pencernaan dan gangguan kecemasan. 13-15

Walaupun sering dianggap dapat sembuh sendiri, namun dispepsia fungsional dilaporkan berhubungan dengan gangguan kecemasan dan depresi, dapat diikuti nyeri kepala, dan anggota tubuh lainnya. Hal ini menyebabkan anak dirawat atau mendapat pelayanan kesehatan, gangguan tidur, serta meningkatnya secara signifikan jumlah ketidakhadiran di sekolah.2,16

Salah satu faktor yang berperan dalam dispepsia fungsional adalah pola makan. Selain jenis –jenis makanan yang dikonsumsi, ketidakteraturan makan, pola makan yang buruk, tergesa – gesa dan jadwal yang tidak teratur dan tindakan remaja putri seperti memanipulasi jadwal makan sehingga terjadi waktu jeda yang panjang antara jadwal makan dapat menyebabkan dispepsia. Pada usia remaja sering terjadi gangguan seperti anoreksia nervosa. 17


(19)

21 Telah banyak studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologis, tetapi belum ada yang memuaskan.16,18,19 Salah satu terapi farmakologis yang dapat diberikan adalah golongan antidepresi seperti amitriptilin. Amitriptilin dosis kecil disarankan sebagai terapi alternatif untuk pasien dispepsia fungsional karena efek menyeluruh pada sumbu otak-usus yang dapat menurunkan hipersensitivitas viseral,menurunkan nyeri viseral dan memperbaiki motilitas saluran cerna. 20-22

Suatu meta analisis dari beberapa penelitian, pemberian Tricyclic antidepressants (TCA) bermanfaat pada penderita dispepsia fungsional. Penelitian pada dewasa yang mengevaluasi manfaat amtriptilin pada penderita dispepsia fungsional dimana pada penelitian ini pasien yang mengalami kegagalan terapi dengan famotidin selama 4 minggu kemudian diterapi dengan amitriptilin selama 4 minggu. Pada studi ini amitriptilin sangat efektif dalam mengobati dispepsia fungsional.20

Amitriptilin adalah golongan obat antidepresi yang relatif terjangkau masyarakat, tersedia di pasaran dan sering digunakan oleh dokter. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian uji klinik untuk melihat manfaat amitriptilin pada remaja yang mengalami dispepsia fungsional.


(20)

22 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan yaitu: apakah pemberian amitriptilin bermanfaat sebagai pengobatan dispepsia fungsional pada remaja dibandingkan dengan plasebo?

1.3. Hipotesis

Pengobatan dengan menggunakan amitriptilin bermanfaat dalam mengurangi frekuensi dan durasi atau lama sakit perut pada remaja dengan dispepsia fungsional.

1.4. Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui manfaat amitriptilin sebagai pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi dispepsia fungsional pada remaja di lokasi penelitian

2. Untuk mengetahui efek pengobatan amitriptilin dalam mengurangi frekuensi dan lamanya sakit perut yang terjadi

1.5. Manfaat

1. Di bidang akademik/ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti dalam hal pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.


(21)

23 2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan usaha pelayanan

kesehatan remaja khususnya di bidang gastroentero-hepatologi anak dan memberikan alternatif pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap bidang gastroentero-hepatologi anak, khususnya dalam pengembangan penelitian tentang dispepsia fungsional pada remaja.


(22)

24 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dispepsia

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys berarti sulit dan pepse berarti pencernaan. Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh setelah makan.4-6

Dispepsia fungsional adalah .bagian dari gangguan pencernaan fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi. Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaaan tidak ditemukannya kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut (seperti chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy).4-6

2.2. Epidemiologi

Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui. Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter.1,2. Rerksppaphol mengemukakan pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang


(23)

25 mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35% peradangan mukosa. 4

Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum yang disebabkan Helicobacter pylori, maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi H. pylori dengan yang tidak. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak. 23 – 25

2.3. Patofisiologi 2.3.1. Faktor Genetik

Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus. 5,13

Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang


(24)

26 menarik. Pada pasien gangguan gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal.5,13

2.3.2. Faktor Psikososial

Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosional yang labil memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini akibat dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanisme-neuroendokrin.13,26,27

Pada beberapa literatur menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan oleh karena kecemasan pada diri mereka dan orang tuanya terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa pada stres atau kecemasan dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.26,27

2.3.3. Pengaruh Flora Bakteri

Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin.13,26,27

2.3.4. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan

Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol


(25)

27 yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti pada tahun 2000 menunjukkan keterlambatan esensial dari pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal.13,26,27

2.3.5. Hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus. 13,26,28

Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas duodenum. 13,26,28

Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak yang terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme


(26)

28 sentral. Bagian kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi stimuli periperal. 13,26,28


(27)

29 2.4. Klasifikasi

Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau keluhan:

a. Postprandial Distress Syndrome 8,11

- Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi makanan porsi biasa paling sedikit beberapa kali selama seminggu. - Cepat terasa penuh perut sehingga tidak dapat mernghabiskan

makanan dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama seminggu.

b. Epigastric Pain Syndrome 8,11

- Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium dengan tingkat keparahan sedang yang dialami minimal sekali seminggu.

- Nyeri interimiten.

- Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus.

- Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu.

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi)29,30

Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai


(28)

30 penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa seperti adanya alarm symtoms, maka penderita harus menjalani pemeriksaan .29,30

Tabel 2.1. Alarm symptoms sakit perut berulang disebabkan kelainan organik31. Nyeri terlokalisir,jauh dari umbilikus

- Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah) - Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari - Nyeri timbul tiba-tiba

- Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan - Disertai gangguan motilitas(diare, obstipasi, inkontinensia) - Disertai perdarahan saluran cerna

- Terdapat disuria

- Berhubungan dengan menstruasi - Terdapat gangguan tumbuh kembang

- Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun - Terjadi pada usia < 4 tahun

- Terdapat organomegali

- Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi - Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

2.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian 31

1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika


(29)

31 ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).

2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.

3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,

selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.

4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.

2.6. Penatalaksanaan

2.6.1. Non farmakologis

Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil


(30)

32 rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.2,9,13

2.6.2. Farmakologis

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu 6,7,13 1. Antasida

Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.

2. Antikolinergik

3. Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.


(31)

33 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin.

5. Proton pump inhibitor (PPI )

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

6. Sitoprotektif

Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.

Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.

7. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.


(32)

34 Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti amitriptilin.

Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, antagonis reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.6,7,13

2.7. Amitriptilin

Amitriptilin merupakan obat golongan TCA dan derivat dari dibenzocycloheptadiene dengan berat molekul 313.87, dan umum dipakai

sebagai anti depresi selain itu juga berguna dalam pengobatan nyeri neuropatik kronis.32 – 34

Gambar 2.2. Rumus bangun Amitriptilin


(33)

35 Amitriptilin bekerja dengan mempengaruhi aktivitas neurotransmiter monoamin, termasuk norepinefrin dan serotonin. Amitriptilin bekerja dengan cara menghambat reuptake neurotransmiter norepinefrin dan serotonin dari celah sinaps. Kerja TCA lebih luas dibandingkan SSRI, karena SSRI hanya mempengaruhi serotonin dan tidak norepinefrin. Amitriptilin juga berefek menekan anti muskarinik. 32,35

Obat golongan TCA seperti amitriptilin, nortriptilin dan desipramin luas dipakai pada anak.Obat ini diabsorbsi baik per oral, dengan kadar maksimum dalam serum tercapai dalam 2 hingga 8 jam dengan waktu paruh rata-rata 20 jam. Tempat biotransformasi utama di hati. Diekskresi ke dalam urin dalam bentuk metabolit.32,35

Amitriptilin tidak boleh diberikan bersamaan dengan monoamine oxidase inhibitors. Hiperpiretik, kejang dan kematian pernah dilaporkan

setelah pemberian kedua obat ini. Pemberian bersamaan cisapride berpotensi terjadi pemanjangan interval QT dan risiko aritmia. Obat ini juga menghambat kerja anti hipertensi guanethidine, meningkatkan respon terhadap alkohol, barbiturate dan obat anti depresi lainnya. Delirium pernah dilaporkan setelah pemberian amitriptilin dan disulfiram.32,35

Efek samping amitriptilin berupa mengantuk, peningkatan berat badan, gejala antikolinergik seperti mulut kering, mata kering, lightheadedness, konstipasi, aritmia jantung.32,35


(34)

36 2.8. Amitriptilin sebagai terapi dispepsia fungsional

Patofisiologi dispepsia fungsional sangat heterogen. Saat ini belum ada terapi yang memuaskan dalam pengobatan dispepsia fungsional. Faktor biopsikososial merupakan salah satu faktor yang berperan sehingga timbul gejala dispepsia fungsional. Faktor biopsikososial adalah faktor biologis dan faktor lingkungan berinteraksi untuk menghasilkan sindrom klinis dan penyakit.14,36

Elemen kunci untuk memahami patofisiologi gangguan gastrointestinal fungsional adalah berkaitan dengan disfungsi dari sistem sumbu otak-usus yang melibatkan sistem komunikasi pusat dan saraf enterik. Efek dari interaksi ini berdampak pada gejala perilaku sakit, dan kemanjuran pengobatan. Dengan demikian terjadi perubahan motilitas, hipersensitivitas dan inflamasi mukosa usus. Dalam hal ini, obat-obatan psikoaktif dapat digunakan, terutama untuk pasien dengan gejala berat. 21,22

Salah satu terapi alternatif adalah golongan TCA seperti amitriptilin. Amitriptilin secara teoritis menguntungkan karena efek menyeluruh mereka pada sumbu otak-usus, baik di pusat dan di usus. Amitriptilin juga sering digunakan pada sindrom nyeri kronis somatik seperti migrain dan fibromyalgia, dan penggunaannya dalam pengobatan gangguan gastrointestinal fungsional telah meningkat.33,34

Amitriptilin bekerja pada berbagai daerah di saluran pencernaan dan otak. Amitriptilin menurunkan hipersensitivitas viseral dengan menurunkan rangsangan saraf sensorik askending dari perifer atau dengan meniadakan efek peningkatan mediator inflamasi lainnya melalui reseptor 5HT. Amitriptilin dapat memfasilitasi atau meningkatkan efek dari inhibisi desending modulasi nyeri sentral, opioid, serotonergik, atau noradrenergik. Amitriptilin bekerja pada area yang memproses nyeri pada otak sehingga menurunkan nyeri viseral dan kemungkinan juga persepsi nyeri. Karena efek-efek terhadap


(35)

37 motilitas dan sekresi, amitriptilin dapat mengurangi gejala gangguan saluran cerna.21,22

Amitriptilin bila digunakan pada dosis penuh dapat mengobati gangguan kejiwaan, dan karena itu dapat mengobati gangguan kejiwaan bersamaan pada pasien dengan dispepsia fungsional dan dapat mengobati stres yang berhubungan dengan eksaserbasi gejala dispepsia fungsional yang berhubungan dengan kecemasan sekunder dengan efek ansiolitik. 21,22

Amitriptilin dosis rendah telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif untuk pasien dengan dispepsia fungsional karena amitriptilin mengurangi sensitivitas dari saraf perifer, meningkatkan ambang dan toleransi nyeri, dan bersifat antikolinegik. Amitriptilin memiliki sifat antinociceptive, efek analgesik perifer pada tingkat mekanoreseptor viseral dan serat saraf aferen. Amitriptilin juga dapat mempengaruhi motilitas gastrointestinal dan sekresi berdasarkan efek serotonergik, noradrenergik, atau antikolinergik.21,22

Amitriptilin memiliki potensi untuk mengurangi gejala dispepsia fungsional karena meningkatkan ketersediaan 5-HT (pro-motilitas) tidak hanya di tingkat sistem saraf pusat, tetapi juga di tingkat enterik.34 Reseptor kappa-opioid agonis berguna untuk dispepsia fungsional karena efek antinociceptive, efek antikolinergik, perlambatan transit gastrointestinal, relaksasi fundus, efek sedasi dan analgesik.12,29

Amitriptilin biasanya diberikan pada malam hari karena mengambil efek sedasi, dimana dosis yang diberikan antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb/hari. Manfaat amitriptilin untuk pengobatan dispepsia fungsional mulai terlihat setelah 2 minggu terapi. Pada penelitian selama 12 minggu usia 7 - 18 tahun, 84% dari pasien mengalami penurunan nyeri, depresi, gelisah, dan gangguan somatik lain.35,37


(36)

38 2.9. Kerangka Konseptual

: variabel yang diteliti

Psikososial/Stres Genetik

Psikososial/Stres Gangguan motilitas saluran Hipersensitivitas Viseral Pengaruh flora bakteri Peripheral Hyperalgesia Central Hyperalgesia Peningkatan sensitivitas mekanoreseptor dan kemoreseptor Penurunan inhibisi efferent mengurangi persepsi nyeri Dispepsia fungsional (rome III)

Frekuensi dan durasi sakit perut Pengobatan (Amitriptilin) Genetik Psikososial/Stres Gangguan motilitas saluran Hipersensitivitas Viseral Pengaruh flora bakteri Genetik Psikososial/Stres Peripheral Hyperalgesia Central Hyperalgesia Gangguan motilitas saluran Hipersensitivitas Viseral Pengaruh flora bakteri Genetik Psikososial/Stres Peningkatan sensitivitas mekanoreseptor dan kemoreseptor Penurunan inhibisi efferent mengurangi persepsi nyeri Dispepsia fungsional (rome III) Pengobatan (Amitriptilin) Peripheral Hyperalgesia Central Hyperalgesia Gangguan motilitas saluran Hipersensitivitas Viseral Pengaruh flora bakteri Genetik Psikososial/Stres Peningkatan sensitivitas mekanoreseptor dan kemoreseptor Penurunan inhibisi efferent mengurangi persepsi nyeri Dispepsia fungsional (rome III) Pengobatan (Amitriptilin) Peripheral Hyperalgesia Central Hyperalgesia Gangguan motilitas saluran Hipersensitivitas Viseral Pengaruh flora bakteri Genetik Psikososial/Stres

Frekuensi dan durasi sakit perut Peningkatan sensitivitas mekanoreseptor dan kemoreseptor Penurunan inhibisi efferent mengurangi persepsi nyeri Dispepsia fungsional (rome III) Pengobatan (Amitriptilin) Peripheral Hyperalgesia Central Hyperalgesia Gangguan motilitas saluran Hipersensitivitas Viseral Pengaruh flora bakteri Genetik Psikososial/Stres


(37)

39 BAB 3. METODOLOGI

3.1. Desain

Uji klinis acak tersamar tunggal untuk membandingkan manfaat amitriptilin dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Dobo Kabupaten Kepulauan Aru Propinsi Maluku selama bulan Januari 2011 – Maret 2011.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah remaja yang menderita dispepsia fungsional. Populasi terjangkau adalah populasi target yang menjalani pendidikan SMP dan SMA di Dobo, Propinsi Maluku selama bulan Januari 2011 – Maret 2011. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji klinis untuk 2 proporsi kelompok independen : 38


(38)

40 n1 = n2 = (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2 )2

(P1 – P2)2

n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok kontrol

n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok eksperimental α = kesalahan tipe I = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%)  Zα = 1,96 β = kesalahan tipe II = 0,2 (power 80%)  Zβ = 0,842

P1 = proporsi kesembuhan di kelompok kontrol = 0,4 Q1 = 1 – P1 = 0,6

P2 = proporsi kesembuhan di kelompok eksperimental = 0,7 Q2 = 1 – P2 = 0,3

P = P1+P2 = 0,45 2

Q = 1 – P = 0,55

Dengan menggunakan rumus di atas didapat besar sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 42 orang. Koreksi besar sampel untuk antisipasi drop out yaitu n = n / (1-f) → 47 orang.

f= perkiraan proporsi drop out = 10% (0.1)

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi

- usia 12 sampai 18 tahun.

- Harus memenuhi semua kriteria dibawah ini yang dialami sekurang-kurangnya 1 kali seminggu selama minimal 2 bulan ini.

• Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).


(39)

41 • Nyeri tidak berkurang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.

• Tidak ada bukti adanya proses inflamasi, kelainan anatomis, kelainan metabolik, atau neoplasma

• Tidak sedang makan obat-obatan yang dapat mempengaruhi gastrointestinal

• Orang tua bersedia mengisi informed consent. Kriteria Eksklusi

- Anak menolak minum obat

- Dijumpai pada saat anamnesis : penurunan berat badan, gagal tumbuh, muntah, diare kronis, demam yang tidak diketahui penyebabnya, dan feses abnormal.

- Dijumpai pada saat pemeriksaan fisik kelainan seperti pembesaran organ hepatomegali dan splenomegali, .

- Pada wanita dijumpai nyeri perut karena haid.

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan/Informed Consent

Semua subyek penelitian diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu untuk pemberian amitriptilin.


(40)

42 3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian

3.8.1. Cara Kerja

1. Pasien disurvei dulu dengan kuisioner dan wawancara langsung.

2. Pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan.

3. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik dispepsia fungsional (kriteria ROME III) dimasukkan ke dalam penelitian.

4. Sampel dibagi menjadi dua kelompok dengan cara randomisasi sederhana yaitu kelompok yang mendapat amitriptilin dan kelompok plasebo.

5. Masing-masing kelompok dinilai frekuensi dan lama atau durasi sakit sebelum pemberian obat .

6. Kelompok pertama (A) mendapat amitriptilin 10 mg satu kali perhari (bila berat badan < 35 kg), 20 mg perhari ( bila berat badan > 35 kg) dosis tunggal saat malam hari, diberikan selama empat minggu.

7. Kelompok kedua (B) mendapat plasebo satu kali perhari saat malam hari, diberikan selama empat minggu.

8. amitriptilin dan plasebo dimasukkan ke dalam kapsul dengan warna yang sama. Pasien tidak mengetahui obat yang diberikan.


(41)

43 9. Bila sakit perut masih berlanjut pasien dibolehkan meminum obat

parasetamol 500 mg setiap 8 jam.

10. Dipantau setiap bulan selama dua bulan untuk menilai adanya sakit perut berulang, frekuensi dan lama atau durasi sakit perut.

11. Masing-masing sampel menulis catatan harian yang telah diberikan untuk mencatat frekuensi dan lama atau durasi sakit perut tiap hari selama dua bulan.

12. Evaluasi dilakukan tiap bulan selama dua bulan untuk melihat frekuensi dan lama atau durasi sakit perut, serta evaluasi efek samping yang timbul dengan catatan harian.


(42)

44 3.8.2. Alur Penelitian

Populasi

Gambar 3.1. Alur Penelitian

3.9. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Kelompok obat (plasebo dan amitriptilin) Nominal

Variabel tergantung Skala

Frekuensi Numerik

Durasi Nominal

Amitriptilin n = 47 (28 hari)

Frekuensi,dan durasi sakit perut 2 bulan

(evaluasi) Frekuensi, dan

durasi sakit perut

Randomisasi

Plasebo n = 47 (28 hari) Dispepsia fungsional


(43)

45 3.10. Definisi Operasional

1. Dispepsia fungsional merupakan nyeri perut yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus) sesuai dengan kriteria ROME III .

2. Remaja adalah usia 12 sampai 18 tahun.

3. Amitriptilin merupakan obat golongan TCA dan diberikan sekali sehari setiap hari selama 28 hari pada malam hari.

4. Plasebo berisi saccarum lactis satu kali perhari, diberikan selama 28 hari pada malam hari

5. Frekuensi sakit perut dicatat sesuai dengan jumlah sakit perut yang dialami selama 1 hari.

6. Durasi atau lama sakit dicatat sesuai dengan waktu lama sakit perut yang dialami dalam satuan menit.

7. Evaluasi dilakukan penilaian terhadap frekuensi, dan lama atau durasi sakit sebelum pengobatan sebanyak satu kali dan sesudah pengobatan sebanyak dua kali (tiap bulan selama dua bulan)

3.11. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 17.0 dengan tingkat kemaknaan p < 0.05, dan interval kepercayaan 95 %. uji-t independen, t dependen dan uji chi square untuk menilai frekuensi, dan lama atau durasi sakit perut .


(44)

46 BAB 4. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di kelurahan Siwalima kecamatan Pulau Pulau Aru, kabupaten Kepulauan Aru. Telah diperiksa sebanyak 380 pelajar dari tiga sekolah menengah, dan dijumpai sebanyak 105 penderita dispepsia fungsional, 17 diantaranya menolak ikut dalam penelitian ini, dan sisanya 88 anak diikutkan dalam penelitian. Kemudian secara randomisasi sederhana dibagi dua kelompok yaitu masing-masing terdiri dari 43 penderita yang mendapat pengobatan amitriptilin dan 45 mendapat plasebo.

Gambar 4.1. Profil penelitian

380 children

105 functional dyspepsia

17

n

Amitriptilin Plasebo n = 43 n = 45

frekuensi dan durasi nyeri perut

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Penelitian 88 anak diikutkan dalam penelitian


(45)

47

Karakteristik Responden Amitriptilin

n = 43

Plasebo

n = 45 p

Jenis Kelamin, n (%)

Laki-laki 11 (25.6) 8 (17.8) 0.529 Perempuan 32 (74.4) 37 (82.2)

Umur, tahun, mean (SD) 14.72 (1.24) 14.91 (1.36) 0.496 Berat Badan, kg, mean (SD) 41.3 (5.28) 42.56 (6.08) 0.306 Tinggi Badan, cm, mean (SD) 148.7 (6.77) 150.91 (5.40) 0.093 Penghasilan Orangtua

< Rp. 500 ribu 12 (27.9) 7 (15.6) 0.326 Rp. 500 ribu – 1 juta 24 (55.8) 31 (68.9)

> Rp 1 juta 7 (16.3) 7 (15.6) Pendidikan Orangtua

SD 3 (7) 2 (4.4) 0.985

SMP 10 (23.3) 10 (22.2)

SMA 22 (51.2) 24 (53.4)

Sarjana 8 (18.5) 9 (20)

Dari karakteristik sampel masing-masing kelompok sebelum intervensi (tabel 4.1), tampak bahwa terdapat mayoritas remaja perempuan mengalami dispepsia fungsional, 74.4% pada kelompok yang mendapat amitriptilin dan 82.2% pada kelompok plasebo. Prevalensi remaja usia 12 sampai 18 tahun pada penelitian ini 27.6%. Rerata umur pada kedua kelompok tidak jauh berbeda, 14.72 tahun dan 14.91 tahun pada masing-masing kelompok penerima amitriptilin dan plasebo. Begitu pula untuk rerata berat badan dan tinggi badan yaitu 41.3 kg dan 148.7 cm pada kelompok yang menerima amitriptilin dan 42.56 kg dan 150.91 cm pada kelompok yang mendapatkan plasebo. Penghasilan orangtua pada kedua kelompok sebagian besar dengan penghasilan antara Rp. 500.000 sampai Rp 1.000.000, 55.8% pada


(46)

48 anak-anak yang memperoleh amitriptilin dan 68.9% pada anak-anak yang mendapatkan plasebo. Selanjutnya, kebanyakan kedua kelompok memiliki orangtua yang berpendidikan SMA lebih dari 50%.

Tabel 4.2. Perbandingan frekuensi dispepsia sebelum dan setelah pengobatan 2 bulan

Frekuensi Dispepsia Sebelum Sesudah 95%CI P Mean (SD)

Amitriptilin 8,7(3.55) 2.6(2.40) 4.88-7.17 0.0001 Plasebo 6.0(2.04) 2.5(2.26) 2.82-4.25 0.0001

Pada tabel 4.2 tampak penurunan frekuensi dispepsia yang signifikan setelah pengobatan selama 2 bulan. Data ini diolah dengan menggunakan analisa statistika uji T dependent, didapatkan hasil penurunan frekuensi dispepsia pada kelompok Amitriptilin yaitu dari 8.7 (SD 3.55) kali per bulan menjadi 2.6 (SD 2.40) kali per bulan (p = 0.0001; 95%CI 4.88-7.17) sedangkan pada kelompok plasebo juga terdapat perbedaan bermakna yaitu dari 6.0 (SD 2.04) kali per bulan menjadi 2.5 (SD 2.26) per bulan (p = 0.0001; 95%CI 2.82-4.25).

Tabel 4.3. Perbandingan durasi dispepsia sebelum dan setelah pengobatan Amitritptilin selama 2 bulan

Durasi Dispepsia Sebelum terapi (n %) Sesudah terapi (n %) p

< 10 menit 18 (41.9) 28 (65.1)

10-30 menit 22 (51.2) 14 (32.6) 0.019 30-60 menit 3 (7) 1 (2.2)


(47)

49 Tabel 4.4. Perbandingan durasi dispepsia sebelum dan setelah pemberian plasebo selama 2 bulan

Durasi dispepsia sebelum terapi (n%) sesudah terapi(n%) p

< 10 menit 15 (33.3) 31 (68.9)

10-30 menit 23 (51.1) 12 (26.7) 0.001 30-60 menit 6 (13.3) 4 (4.4)

> 60 menit 1 (2.2) 0 (0)

Tabel ini menggunakan analisa statistika dengan chi square dengan tabel 4x4. Pada tabel ini durasi dispepsia sebelum dan setelah pemberian Amitriptilin selama 2 bulan tampak mengalami penurunan yang signifikan (p=0.019; 95% CI: 0.024 – 0.03). Sebelum pemberian Amitriptilin, sebagian besar responden mengalami dispepsia selama 10 – 30 menit yaitu sebanyak 22 orang (51.2%). Namun, setelah pengobatan selama 2 bulan, kebanyakan responden yaitu sebanyak 28 anak (65.1%) mengalami dispepsia hanya kurang dari 10 menit. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada kelompok responden yang memperoleh plasebo, terdapat perbedaan yang bermakna durasi dispepsia antara sebelum dan setelah pemberian plasebo. Sebelum pemberian plasebo, sebanyak 15 anak (51.1%) menderita dispepsia selama kurang dari 10 – 30 menit, setelah pemberian plasebo, sebagian besar responden sebanyak 31 orang (68.9%) mengalami dispepsia kurang dari 10 menit.


(48)

50 Tabel 4.5. Perbandingan hasil penggunaan Amitriptilin dan plasebo setelah 2 bulan

Parameter Amitriptilin

n = 43

Plasebo

n = 45 95%CI P

Frekuensi, Mean (SD)

Sebelum 8.7 (3.55) 6.07 (2.04) 1.392 – 3.870 0.0001 Bulan 1 3.88 (2.657) 2.49 (2.09) 0.385 – 2.404 0.007 Bulan 2 2.67 (2.40) 2.53 (2.26) -0.84 – 1.129 0.777 Durasi, n (%)

Sebelum: < 10 menit 18 (41.9) 15 (33.3) 0.562 10 – 30 menit 22 (51.2) 23 (51.1)

30 – 60 menit 3 (7) 6 (13.3) > 60 menit 0 (0) 1 (2.2)

Bulan 1: < 10 menit 26 (60.5) 28 (62.2) 0.941 10 – 30 menit 15 (34.9) 14 (31.3)

30 – 60 menit 2 (4.7) 3 (6.7) > 60 menit

Bulan 2: < 10 menit 28 (65.1) 31 (68.9) 0.728 10 – 30 menit 14 (32.6) 12 (26.7)

30 – 60 menit 1 (2.3) 2 (4.4) > 60 menit

Tabel 4.5. menyajikan perbandingan hasil pemberian amitriptilin dan plasebo dengan melihat perbedaan frekuensi dan durasi dispepsia untuk masing-masing perlakuan dengan pengamatan selama 2 bulan. Perbedaan frekuensi amitriptilin dibandingkan dengan plasebo menggunakan analisa statistika independent t test. Parameter yang memiliki perbedaan yang signifikan

adalah frekuensi dispepsia sebelum pengobatan (p=0.0001; 95%CI: 1.392– 3.87) dan setelah pengobatan selama 1 bulan (p=0.007; 95%CI: 0.385-2.404). Perbedaan durasi dispepsia antara kelompok amitriptilin dan plasebo


(49)

51 menggunakan analisa statistika uji chi square, didapatkan hasil tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk parameter durasi dispepsia dari kedua kelompok responden setelah pengobatan 1 bulan (p=0.941) dan 2 bulan (p=0.728).


(50)

52 BAB 5. PEMBAHASAN

Dispepsia fungsional pada anak dan remaja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar. Pengobatan yang diberikan pada dewasa belum tentu sesuai untuk anak dan remaja.Suatu penelitian didapatkan prevalensi dispepsia bervariasi antara 3,5% dan 27%.26 . Penelitian di Rusia pada 449 siswa usia 14 sampai 17 tahun ternyata remaja perempuan lebih banyak menderita dispepsia fungsional dibandingkan remaja laki – laki yaitu 27% dan 16%.39

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi pada remaja usia 12 sampai 18 tahun masih cukup tinggi, yaitu sebesar 27.6%, dengan usia rata-rata 14.7 tahun pada kelompok amitriptilin dan 14.9 tahun pada kelompok plasebo. Penelitian ini juga didapatkan lebih tinggi kejadian dispepsia pada remaja perempuan (78,4%) dibandingkan remaja laki-laki (21,6%). Remaja terutama remaja perempuan sering terlalu ketat dalam pengaturan pola makan untuk menjaga penampilannya karena rasa cemas akan bentuk tubuhnya. 17

Penelitian ini menggunakan kriteria Rome III dalam menegakkan diagnosis dispepsia fungsional. Kriteria Rome III mulai dipublikasikan pada bulan april 2006 dan merupakan kriteria terbaru yang berhubungan dengan gangguan gastrointestinal fungsional. Berdasarkan kriteria Rome III, dispepsia fungsional dibagi dua kategori berdasarkan gejalanya yaitu postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome.12

Penelitian di Malaysia melaporkan, kejadian sakit perut berulang lebih sering dijumpai secara bermakna pada anak sekolah di daerah pedesaan dibanding perkotaan dan dengan tingkat pendidikan orang tua yang rendah.40 Pada penelitian ini dilakukan didaerah pedesaan, dimana didapati pendapatan rata-rata orang tua termasuk golongan berpendapatan rendah


(51)

53 Penelitian ini bertujuan untuk melihat manfaat amitriptilin sebagai pengobatan dispepsia fungsional pada remaja khususnya dalam mengurangi frekuensi dan durasi yang terjadi. Amitriptilin merupakan obat golongan TCA dan derivat dari dibenzocycloheptadiene dengan berat molekul 313.87, dan umum dipakai sebagai anti depresi.24-26 Amitriptilin bekerja dengan mempengaruhi aktivitas neurotransmiter monoamin, termasuk norepinefrin dan serotonin, dengan cara menghambat reuptake neurotransmiter norepinefrin dan serotonin dari celah sinaps. Amitriptilin juga berefek menekan anti muskarinik. 17,25,27.

Amitriptilin dosis rendah telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif untuk pasien dengan dispepsia fungsional. Dosis pada anak antara 0,1 mg/kgbb sampai 0,5 mg/kgbb/hari sedangkan dosis untuk remaja antara 10 sampai 20 mg/hari. Amitriptilin mulai menimbulkan respon terapi setelah 2 sampai 4 minggu. Amitriptilin bersifat analgesik, mengurangi sensitivitas dari saraf perifer, meningkatkan ambang dan toleransi nyeri, dan bersifat antikolinegik.35

Pada penelitian ini dosis amitriptilin yang digunakan 10 mg sekali sehari untuk remaja yang berat badan kurang dari 35 kg dan 20 mg untuk remaja yang berat badannya lebih dari 35 kg sekali sehari selama 4 minggu. Amitriptilin dimakan pada malam hari karena efek mengantuk setelah penggunaan obat.2

Uji klinis manfaat TCA juga telah diteliti di California pada anak – anak dan remaja, dimana pada studi ini Manfaat terapi amitriptilin secara bermakna menurunkan frekuensi dan beratnya sakit perut berulang.41 Penelitian di Amerika Serikat pada 90 anak usia 8-17 tahun yang menderita gangguan gastrointenstinal fungsional ditemukan amitriptilin dan plasebo memberikan respon terapi yang baik, namun tidak ada perbedaan yang bermakna antara amitriptilin dan plasebo setelah diterapi selama 4 minggu.2


(52)

54 Penelitian ini menunjukkan amitriptilin dan plasebo sama baiknya dalam pengobatan dispepsia fungsional, dimana baik amitriptilin dan plasebo menurunkan frekuensi dan durasi pasien dispepsia fungsional pada remaja, tapi tidak ada perbedaan yang bermakna baik frekuensi (P=0.777 95%CI[-0,846 - 1.129]) maupun durasi (P=0.728 95%CI[0,719 - 0.736]) setelah pengobatan antara amitriptilin dan plasebo.

Efek palsebo dapat menstimulasi kondisi gastrointestinal pada anak. Untuk memperjelas pengaruh plasebo diperlukan studi baru mengenai efek placebo pada anak dengan gangguan pencernaan fungsional. Beberapa penelitian telah dipublikasikan mengenai efek plasebo dalam pengobatan migrain pada anak, kondisi yang juga menganut model biopsikososial.2

Beberapa studi menunjukkan efek plasebo lebih tinggi pada anak-anak muda dan perempuan. Sebuah studi pada pasien dewasa dengan Iritable bowel syndrome (IBS) menunjukkan bahwa tingkat kecemasan berkorelasi dengan efek analgesia pada plasebo. Studi yang membandingkan efek plasebo pada orang dewasa dan studi migrain pada anak-anak menunjukkan efek plasebo yang lebih besar pada anak dibandingkan orang dewasa . Sebuah meta-analisis meninjau efek plasebo dari beberapa uji klinis untuk IBS pada orang dewasa menemukan sebuah respon plasebo rata-rata 40% dengan kisaran 16% -71%. Tingginya efek plasebo mungkin karena tingginya kepercayaan dan harapan dari subyek dan orang tua kepada dokter dan hubungan antara subyek dan dokter selama penelitian.2

Penelitian ini masih dijumpai beberapa keterbatasan antara lain kurangnya pengawasan terhadap kepatuhan penderita memakan obat yang telah diberikan. Pemantauan hanya dilakukan pada jumlah obat yang diberikan kepada penderita, hal ini ditunjukan dengan tidak adanya obat yang dikembalikan oleh penderita selama penelitian ini dilaksanakan. Beberapa


(53)

55 aspek penilaian seperti frekuensi dan durasi sangat subjektif dari setiap penderita.


(54)

56 BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Amitriptilin dan plasebo sama baiknya dalam pengurangan frekuensi ( p = 0.0001; 95%CI 4.88-7.17 ; p = 0.0001; 95%CI 2.82-4.25) dan durasi (p=0.019; 95% CI: 0.024 – 0.03) dalam pengobatan dispepsia fungsional. Pengobatan dengan amitriptilin tidak menunjukkan perbedaan bermakna terhadap frekuensi (P=0.777 95%CI[-0,846 - 1.129]) maupun durasi (P=0.728

95%CI[0,719 - 0.736]) pada penderita dispepsia fungsional remaja

dibandingkan plasebo.

6.2 Saran

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut terutama mengenai manfaat plasebo dalam pengobatan dispepsia fungsional serta skrining yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak ketidakhadiran anak di sekolah karena dispepsia fungsional.


(55)

57 RINGKASAN

Dispepsia fungsional sering terjadi pada remaja. Absensi sekolah dan rendahnya kualitas hidup berhubungan dengan beratnya gejala yang timbul. Telah banyak studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologis. Amitriptilin diduga merupakan salah satu terapi dalam pengobatan dispepsia fungsional.

. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah amitriptilin bermanfaat sebagai terapi dispepsia fungsional pada remaja. Uji klinis acak tersamar tunggal ini dilakukan pada 3 sekolah SMP dan SMA di Dobo, kabupaten Kepulauan aru, provinsi Maluku yang dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2011.

Populasi penelitian adalah remaja usia 12 sampai 18 tahun yang menderita dispepsia fungsional menurut kriteria Rome III dan sesuai kriteria inklusi. Sampel penelitian ditentukan secara randomisasi. Remaja dimasukkan ke dalam satu dari dua kelompok perlakuan yaitu kelompok amitriptilin dan plasebo. Masing-masing kelompok diberikan obat satu kali perhari dalam bentuk kapsul yang sama selama 4 minggu. Plasebo yang diberikan mengandung sakarum laktis

Selama periode penelitian terdapat 88 remaja, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 43 orang pada kelompok amitriptilin dan 45 orang kelompok plasebo. Setelah dua bulan penelitian didapatkan hasil amitriptilin dan plasebo sama baiknya dalam mengurangi frekuensi dan durasi nyeri, namun tidak ada perbedaan yang bermakna antara amitriptilin dan plasebo dalam mengurangi frekuensi dan durasi nyeri.


(56)

58 SUMMARY

functional dyspepsia is common among adolescents. School absenteeism and lower quality of life are indicately associated with the severity of symptoms.Have been many studies regarding the treatment of functional dyspepsia among the cognitive behavioral therapy, diet and pharmacological therapy. Amitriptyline is assumed to be one of alternative treatments in functional dyspepsia.

This study is to determine the efficacy of Amitriptyline as a therapy for functional dyspepsia in adolescents. Single blind randomized controlled trial was carried out in three junior and senior high schools in Dobo,Aru islands, Maluku, from January until March 2011. The population of the research includes adolescents ages 12 to 18 years old who are suffering from functional dyspepsia according to inclusión criteria of Rome III criteria. Samples was taken by randomily. Adolescents were divided into two groups, the Amitriptyline group, and placebo group. Both group was administered medication once daily for four weeks. Placebo and Amitriptyline were administered in the form a capsul, placebo contains saccarum lactis.

During the period research, 88 adolescents were divided into two groups where by 43 children were given amitriptyline, and 45 were given placebo. After two months, amitriptyline and placebo equally well in reducing the frequency and duration in the treatment of functional dyspepsia in adolescents, but amitriptyline is not more effective than placebo as the treatment of functional dyspepsia among adolescents.


(57)

59 DAFTAR PUSTAKA

1. Parkman HP. Motility and functional disorders of the stomach: Diagnosis and management of functional dyspepsia and gastroparesis. Practical gastroenterology. 2006; 23 – 48.

2. Saps M, Youssef N dkk. Multicenter, randomized, placebo – controlled trial of amitriptyline in children with functional gastrointestinal disorders. Gastroenterology. 2009; 137: 1261 – 1269.

3. Akamizu T,Iwakura H. Ghrelin and Functional Dyspepsia. International Journal of Peptides.2010;10:1-6.

4. Rerksuppaphol L. Functional dyspepsia in children. Journal of Medicine.2007;14:78-90.

5. Drug V,Stanciu C.Functional dyspepsia:recent advances(progresses) in pathophysiology and treatment.2007;2:311-314.

6. Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J Gastroenterol. 2005;100:2324-37.

7. Baker G,Fraser RJ.Subtypes of functional dyspepsia.world Journal of Gastroenterology.2006;7:2667-2671.

8. Geeraerts B. Functional dyspepsia: Past,present,and future.J Gastroenterol.2008;43:251-255.

9. Allescher HD. Functional dyspepsia – A multicausal disease and its therapy. Elseiver. 2006;13: 2 – 11.

10. Saad RJ,Chey WD.Review article:Current and emerging therapies for functional dyspepsia. Aliment Pharmacol ther.2006;24:475-492.

11. Rome III Diagnostic criteria for functional gastrointestinal disorders. Diunduh dari : http://www.romecriteria.org/pdfs/launch.pdf [diakses Mei 2010].

12. Drossman D. Rome III : The new criteria. Chinese Journal of Digestive Diseases. 2006; 7:181-5.


(58)

60 13. Dobrek L, Thor PJ. Pathophysiological concepts of functional

dyspepsia and irritable bowel syndrome future pharmacotherapy. Drug Reseach. 2009; 66; 447 – 460.

14. Wilhelm I. Somatization, sensitization, and functional dyspepsia. Scandinavian Journal of Psychology. 2002; 43: 177 – 180.

15. Plunkett A, Beattie RM. Recurrent abdominal pain in children. J R Soc Med. 2005;98:101-6.

16. Jones M,Crowell D.Functional gastrointestinal disorders:An update for the Psychiatrist.Psychosomatis.2007;48:93-102.

17. Sayogo S.Gizi remaja putri.Jakarta:Yayasan pengembangan medik Indonesia, 2006.h 42 – 47.

18. Monkemuller K. Drug treatment of functional dyspepsia.World J Gastroenterol.2006;7:2694-2700.

19. Bursch B.Psychological/Cognitive behavior treatment of childhood functional abdominal pain and irritable bowel syndrome.J Pediatr Gastroenterol Nutr.2008;47:706-708.

20. Otaka M, Odasima M. New strategy of therapy for functional dyspepsia using famotidin mosapride and amitriptyline.World J Gastroenterol.2005: 21; 42 – 46.

21. Syed IM, Thiwan, MD, Douglas A, Drossman, MD. Treatment of functional GI disorders with psychotropic medicines: A review of evidence with a practical approach. J Gastroenterology & Hepatology. 2006;2: 678 – 687.

22. Kevin W,Olden.The use of antidepressants in functional gastrointestinal disorders:New uses for old drugs.CNS Spectrums.2005;10:891-896.

23. AAP Subcommittee and MASPGHAN Committee on Chronic Abdominal Pain. Chronic abdominal pain in children : A technical report of the American Academy of Pediatrics and the North American


(59)

61 Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2005;40:249-61.

24. Talley NJ, Janssens J, Lauritsen K, Racz I. Eradication of Helycobacter pylori in functional dyspepsia : randomized double blind placebo controlled trial with 12 months’s follow up. BMJ. 1999;318:833-7.

25. Laine L, Schoenfeld P, Fennerty MB. Therapy for Helicobacter pylori in patients with nonulcer dyspepsia : a meta-analysis of randomized controlled trials. Ann Intern Med. 2001;134:361-9.

26. Rasquin A, Lorenzo CD, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A,. Childhood functional gastrointestinal disorders : Child/Adolescent. Gastroenterology. 2006; 130:1527-37.

27. Rok Son Choung, Talley NJ.Novel mechanism in functional dyspepsia.World J Gastroenterol.2006;7:673-677.

28. Miranda A.Early life events and the development of visceral hyperalgesia. World J Gastroenterol.2006;7:682-685.

29. Chitkara DK, Delgado-aros S, Bredenoord AJ, Cremonini F, Youssef ME, Freese D, dkk. Functional dyspepsia, upper gastrointestinal symptoms, and transit in children. J Pediatr. 2003;143:609-13.

30. Clouse RE, Mayer EA, Aziz Q, Drossman DA, Dumitrascu DL, Monnikes H, dkk. Functional abdominal pain syndrome. Gastroenterology. 2006;130(5):1492-7.

31. Boediarso A. Sakit Perut pada Anak. Dalam : Juffrie M, Soenarto SS,

Oswari H, dkk, Penyunting. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI, 2010. h.149-65.

32. Purwanto Harjasaputra SL, Budipranoto G. Data obat di Indonesia. 2002. Edisi 10: 308 – 311.


(60)

62

33. Yanagida KM,Narita M.Usefulness of antidepressants for improving the

neuropathic pain like stase an pain induced anxiety through actions at different brain sites.Neuropsychopharmacology.2008;33:1952-1965.

34. Adam B,Gorelick.Differential effects of amitriptyline on perception of

somatic and visceral stimulation in healthy human.The American Physiological Society.1998;193-198.

35. Elavil(Amitriptyline)diunduhdarihttp://www.psychatlanta.com/document

s/elavil.pdf [ diakses februari 2010].

36. Gallagher RM,Verma S.Biopsychosocial factor in pain medicine. Diunduhdarihttp://www.med.unc.edu/medicine/fgidc/collateral/functiona ldyspepsi6132005.pdf.[ diakses januari 2008].

37. Saps M, Lorenzo CD. Pharmacotherapy for functional gastrointestinal disorders in children. Journal of pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2009;48: 101 – 103.

38. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, 2008. h. 302-30.

39. Reshetnikov OV, Kurilovich SA. Prevalence of dyspepsia and irritable bowel syndrome among adolescents of Novosibirsk, western Siberia. International journal of circumpolar health. 2001;60:253-257.

40. Boey CC. An epidemiological survey of recurrent abdominal pain in a rural Malay school. J Paediatr Child Health. 2000;36: 114-116.

41. Bahar RJ, Collins BS. Double-blind placebo-controlled trial of amitriptyline for the treatment of irritable bowel syndrome in adolescents. J pediatr.2008;152:683-689.


(61)

63 LAMPIRAN

1. Surat Pernyataan Kesediaan Yth Bapak/ Ibu……

1. Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri (dengan menunjukkan surat tugas dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU). Nama saya dokter Indra Mustawa , bertugas di divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Saat ini, kami sedang melaksanakan penelitian tentang efek pengobatan amitriptilin pada remaja yang menderita dispepsia fungsional.

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, anak Bapak / Ibu menderita dispepsia fungsional yang dapat berdampak pada jumlah ketidak hadiran di sekolah.

3. Untuk itu, kami berencana untuk mengobati anak Bapak / Ibu dengan memberikan obat amitriptilin/plasebo. Dari penelitian didapatkan bahwa pemberian amitriptilin selama 4 minggu akan memberikan efek yang baik dalam mengurangi jumlah dan beratnya gejala nyeri perut yang terjadi. Hanya saja penelitian tersebut dilaksanakan di luar negeri. Saat ini saya mencoba untuk melakukan penelitian ini 4. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat

badan, pemberian catatan harian nyeri dan kuisoner untuk mengetahui anak yang menderita nyeri perut. Pada anak yang menderita sakit perut, akan diberikan obat selama 4 minggu, obat dimakan pada malam hari satu kali sehari. Pemantauan ulangan dilakukan setiap bulan sampai bulan kedua dan dilakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan kuisoner dibandingkan dengan pengukuran sebelum diberi obat.

5. Jika Bapak / Ibu bersedia agar anaknya diobati dengan obat tersebut, maka kami mengharapkan Bapak / Ibu menandatangani lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).

6. Bapak/ Ibu serta putri anda bebas menolak ikut atau mengundurkan diri dalam penelitian ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara rahasia, sehingga tidak memungkinkan orang lain mengetahui data penderita. Semua biaya penelitian akan ditanggung oleh peneliti.


(62)

64 7. Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian Bapak / Ibu, kami ucapkan

terima kasih.

2. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur ... tahun L / P Alamat : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pengobatan dyspepsia fungsional terhadap anak saya :

Nama : ... Umur ... tahun Alamat Rumah : ... Alamat Sekolah : ...

yang tujuan, sifat, dan perlunya pengobatan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

... , ... 2011

Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan dr.Indra Mustawa ………


(63)

65 . ... ... 3. Kuisoner

1. Data Pribadi

Nama: ... Tanggal pemeriksaan: ... Alamat :... Tempat/tanggal lahir: ... Jenis kelamin :

Anak ke….dari ……jumlah saudara. ...

Pendidikan orang tua :………. Pekerjaan orang tua :………. Berat badan: ...kg Tinggi badan: ...cm

Status nutrisi : Obese / Overweight / Normoweight / Mild malnutrition / Moderate malnutrition / Severe malnutrition

Saat ini duduk di kelas: ...

Absensi di sekolah oleh karena sakit perut dalam 2 bulan terakhir :……….

2. Data Sakit perut (dispepsia fungsional)

Ya tidak 1. Apakah sakit perut ≥ 1 kali seminggu dalam 2 bulan ( ) ( ) Jika ya, serangan sakit perut dalam 2 bulan terakhir ...kali Berapa jumlah sakit perut dalam 1 minggu ... kali

2. Apakah sakit perut mengganggu aktifitas ( ) ( ) Jika ya, saat serangan sakit perut : a. masih dapat berjalan

b. mengambil posisi duduk c. mengambil posisi tidur

d. disertai menangis dan menjerit 3. Apakah sakit perut berada didaerah : (bisa > dari 1 jawaban)

a. Sekitar pusat

b. Ulu hati dan perut bagian atas c. Perut bagian bawah


(64)

66 4. Apakah sakit perut disertai : (bisa > 1 jawaban)

a. mual b. muntah c. nyeri dada

d. nyeri ulu hati / perut bagian atas e. nafsu makan berkurang

d. sakit perut berhubungan dengan makanan e. terbangun tengah malam

f. nyeri perut pada pagi hari

5. Berapa lama sakit perut berlangsung (dalam menit) a. <10

b. 10-30 c. 30-60 d. >60

Ya tidak 6. Apakah sakit perut pada waktu haid ( ) ( ) 7. Apakah sakit perut menjalar ( ) ( ) 8. Apakah diantara episode sakit perut terdapat

Masa bebas gejala ( ) ( ) 9. Apakah didapati mencret ( ) ( ) 10. Apakah sakit perut disertai demam ( ) ( ) 11. Apakah sulit buang air besar ( ) ( ) 12. Apakah didapatinya rasa nyeri buang air kecil ( ) ( ) 13. Apakah sakit perut disertai buang besar berdarah ( ) ( )


(65)

67 4. Catatan Harian Nyeri

NAMA : ALAMAT :

USIA : SEKOLAH/KELAS :

BB/TB : J.KELAMIN :

BULAN :

TANGGAL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

SAKIT PERUT NILAI (PRS) LAMA SAKIT (MENIT) MINUM OBAT/TIDAK ABSEN

SEKOLAH/TDK

TANGGAL 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 SAKIT PERUT

NILAI (PRS) LAMA SAKIT (MENIT) MINUM OBAT/TIDAK ABSEN


(66)

68 5.Tabel angka random


(1)

63

LAMPIRAN

1. Surat Pernyataan Kesediaan

Yth Bapak/ Ibu……

1. Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri (dengan menunjukkan surat tugas dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU). Nama saya dokter Indra Mustawa , bertugas di divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Saat ini, kami sedang melaksanakan penelitian tentang efek pengobatan amitriptilin pada remaja yang menderita dispepsia fungsional.

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, anak Bapak / Ibu menderita dispepsia fungsional yang dapat berdampak pada jumlah ketidak hadiran di sekolah.

3. Untuk itu, kami berencana untuk mengobati anak Bapak / Ibu dengan memberikan obat amitriptilin/plasebo. Dari penelitian didapatkan bahwa pemberian amitriptilin selama 4 minggu akan memberikan efek yang baik dalam mengurangi jumlah dan beratnya gejala nyeri perut yang terjadi. Hanya saja penelitian tersebut dilaksanakan di luar negeri. Saat ini saya mencoba untuk melakukan penelitian ini 4. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat

badan, pemberian catatan harian nyeri dan kuisoner untuk mengetahui anak yang menderita nyeri perut. Pada anak yang menderita sakit perut, akan diberikan obat selama 4 minggu, obat dimakan pada malam hari satu kali sehari. Pemantauan ulangan dilakukan setiap bulan sampai bulan kedua dan dilakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan kuisoner dibandingkan dengan pengukuran sebelum diberi obat.

5. Jika Bapak / Ibu bersedia agar anaknya diobati dengan obat tersebut, maka kami mengharapkan Bapak / Ibu menandatangani lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).

6. Bapak/ Ibu serta putri anda bebas menolak ikut atau mengundurkan diri dalam penelitian ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara rahasia, sehingga tidak memungkinkan orang lain mengetahui data penderita. Semua biaya penelitian akan ditanggung oleh peneliti.


(2)

64

7. Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian Bapak / Ibu, kami ucapkan

terima kasih.

2. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur ... tahun L / P

Alamat : ...

dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pengobatan dyspepsia fungsional terhadap anak saya :

Nama : ... Umur ... tahun

Alamat Rumah : ...

Alamat Sekolah : ...

yang tujuan, sifat, dan perlunya pengobatan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

... , ... 2011

Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan

dr.Indra Mustawa ………


(3)

65

. ... ...

3. Kuisoner

1. Data Pribadi

Nama: ... Tanggal pemeriksaan: ... Alamat :... Tempat/tanggal lahir: ... Jenis kelamin :

Anak ke….dari ……jumlah saudara. ...

Pendidikan orang tua :………. Pekerjaan orang tua :………. Berat badan: ...kg Tinggi badan: ...cm

Status nutrisi : Obese / Overweight / Normoweight / Mild malnutrition / Moderate malnutrition / Severe malnutrition

Saat ini duduk di kelas: ...

Absensi di sekolah oleh karena sakit perut dalam 2 bulan terakhir :……….

2. Data Sakit perut (dispepsia fungsional)

Ya tidak 1. Apakah sakit perut ≥ 1 kali seminggu dalam 2 bulan ( ) ( ) Jika ya, serangan sakit perut dalam 2 bulan terakhir ...kali Berapa jumlah sakit perut dalam 1 minggu ... kali

2. Apakah sakit perut mengganggu aktifitas ( ) ( ) Jika ya, saat serangan sakit perut : a. masih dapat berjalan

b. mengambil posisi duduk c. mengambil posisi tidur

d. disertai menangis dan menjerit 3. Apakah sakit perut berada didaerah : (bisa > dari 1 jawaban)

a. Sekitar pusat

b. Ulu hati dan perut bagian atas c. Perut bagian bawah


(4)

66

4. Apakah sakit perut disertai : (bisa > 1 jawaban)

a. mual b. muntah c. nyeri dada

d. nyeri ulu hati / perut bagian atas e. nafsu makan berkurang

d. sakit perut berhubungan dengan makanan e. terbangun tengah malam

f. nyeri perut pada pagi hari

5. Berapa lama sakit perut berlangsung (dalam menit) a. <10

b. 10-30 c. 30-60 d. >60

Ya tidak 6. Apakah sakit perut pada waktu haid ( ) ( ) 7. Apakah sakit perut menjalar ( ) ( ) 8. Apakah diantara episode sakit perut terdapat

Masa bebas gejala ( ) ( ) 9. Apakah didapati mencret ( ) ( ) 10. Apakah sakit perut disertai demam ( ) ( ) 11. Apakah sulit buang air besar ( ) ( ) 12. Apakah didapatinya rasa nyeri buang air kecil ( ) ( ) 13. Apakah sakit perut disertai buang besar berdarah ( ) ( )


(5)

67

4. Catatan Harian Nyeri

NAMA : ALAMAT :

USIA : SEKOLAH/KELAS :

BB/TB : J.KELAMIN :

BULAN :

TANGGAL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

SAKIT PERUT NILAI (PRS)

LAMA SAKIT (MENIT)

MINUM OBAT/TIDAK

ABSEN

SEKOLAH/TDK

TANGGAL 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 SAKIT PERUT

NILAI (PRS)

LAMA SAKIT (MENIT)

MINUM OBAT/TIDAK

ABSEN


(6)

68