Perbandingan Omeprazol dan Ranitidin dalam Pengobatan Dispepsia Fungsional pada Remaja

(1)

TESIS

PERBANDINGAN OMEPRAZOL DAN RANITIDIN DALAM PENGOBATAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA

FADLI SYAHPUTRA 087103018/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

PERBANDINGAN OMEPRAZOL DAN RANITIDIN DALAM PENGOBATAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) dalam program Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi Kesehatan Anak-Spesialis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

FADLI SYAHPUTRA

087103018/ IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012

Judul : Perbandingan omeprazol dan ranitidin dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja


(3)

Nama Mahasiswa : Fadli Syahputra Nomor Induk Mahasiswa : 087103018 Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Supriatmo, SpA(K)

Anggota

Dr. H. Hakimi, SpA(K)

Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS

dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) dr. H. Zainuddin Amir, SpP(K)

Tanggal lulus : 13 Agustus 2012 PERNYATAAN


(4)

PERBANDINGAN OMEPRAZOL DAN RANITIDIN DALAM PENGOBATAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Agustus 2012


(5)

Tanggal : 13 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Supriatmo, SpA(K) ... Anggota : 1. dr. Hakimi, SpA(K) ...

2. Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, SpFk ... 3. dr. Lily Irsa, SpA(K) ... 4. dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) ...


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Pembimbing utama dr. Supriatmo, SpA(K) dan dr. Hakimi, SpA(K) yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK-USU dan dr. Hj. Beby Syofiani, SpA sebagai Sekretaris Program Studi yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. Atan Baas Sinuhaji, SpA(K) selaku Ketua Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik yang telah memberikan bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini.

5. Rektor USU Prof. Dr. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) dan Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K)


(7)

selaku rektor Universitas Sumatera Utara tahun 1995 sampai 2010 serta Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD,KGEH selaku dekan FK-USU yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di FK-USU.

6. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

7. Kepala Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Kecamatan Lembah Surik Merapi Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara beserta para guru dan seluruh santri atas keramahtamahannya selama penelitian dan telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini, Wiji, Badai, Rizky, Ade Rahmad, Johan, dan Irfan. Terima kasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan dan penelitian ini.

9. Seluruh teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya H.Bachtiar Fajar dan Hj Yuslinur, terima kasih atas pengertian, dukungan, do’a, bantuan moril, materil yang diberikan dan memberi dorongan selama menjalani pendidikan. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT. .

Teristimewa untuk istri tercinta dr. Hotma Nauli Hutagalung dan putra saya Nafis Bayu Syabri serta putri saya Farah Fawnia Syabrina,


(8)

terima kasih atas doa, pengertian, dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan selama saya menempuh pendidikan.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, Agustus 2012


(9)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan Tesis iii

Lembar Pernyataan iv Ucapan Terima Kasih vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xi Daftar Gambar xii

Daftar Singkatan dan Lambang xiii Abstrak xiv

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis 1.4 Tujuan Penelitian ... 2

1.5 Manfaat Penelitian ... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ... 3

2.2 Epidemologi ... 4

2.3 Manifestasi klinis ... 5

2.4 Pemerikssaan ... 6

2.5 Penatalaksanaan ... 7

2.5.1 Proton pump inhibitor……….10

2.5.2 Antaginis reseptor H2……….13

2.6 Kerangka Konseptual ... 15

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Desain ... 16

3.2 Tempat dan Waktu ... 16

3.3 Populasi dan Sampel ... 16

3.4 Besar Sampel... 16

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 17

3.5.1. Kriteria Inklusi ... 17

3.5.2. Kriteria Eksklusi ... 18

3.6 Persetujuan / Informed consent ... 18

3.7 Etika Penelitian ... 18

3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian ... 19

3.8.1. Cara kerja………...19

3.8.2. Alur Penelitian………20

3.9 Identifikasi Variabel ... 20

3.10 Definisi Operasional ... 21


(10)

BAB 4. HASIL ... 23

BAB 5. PEMBAHASAN...26

BAB 6. KESIMPULAN dan SARAN...29

6.1. Kesimpulan………...29

6.2. Saran………..29

BAB 7. RINGKASAN………...30

Daftar Pustaka...32 Lampiran

1. Naskah Penjelasan kepada orangtua

2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 3. Kuisioner dan efek samping obat

4. Lembar Catatan harian nyeri 5. Komite etik

6. Riwayat Hidup


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Tabel 4.2. Perbedaan frekuensi dan durasi sakit perut setelah mendapat pengobatan


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tatalaksana dispepsia fungsional

Gambar 2.2. kerangka konseptual Gambar 3.1. Alur penelitian


(13)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

AH2 : Antagonis reseptor H2

PPI : Proton Pump Inhibitor

PGE1 : Misoprostol

PGE2 : Enprostil

SD : Sekolah Dasar

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkap Pertama

≥ : Lebih dari atau sama dengan

≤ : Kurang dari atau sama dengan

> : Lebih besar dari

< : Lebih kecil dari

zα : Deviat baku normal untuk α

zβ : Deviat baku normal untuk β

n : Jumlah subjek / sampel

α : Kesalahan tipe I

β : Kesalahan tipe II

P : Besarnya peluang untuk hasil yang diobservasi

bila hipotesis nol benar

IMT : Indeks Massa Tubuh

Kg : Kilo Gram

CM : Sentimeter

SD : Standar Deviasi


(14)

ABSTRAK

Latar Belakang Penelitian berdasarkan bukti klinis untuk menentukan tatalaksana yang rasional pada remaja dengan dispepsia fungsional masih sangat diperlukan. Proton Pump Inhibitors (PPI) dan Antagonis Reseptor H-2 (AH2) merupakan obat yang sering dipakai untuk pengobatan dispepsia fungsional.

Tujuan Untuk membandingkan omeperazol dan ranitidin dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

Metode Uji klinis acak tersamar tunggal dengan membandingkan efektifitas omeperazol 20 mg sekali sehari dengan ranitidin 150 mg dua kali sehari, diberikan selama 2 minggu.. Uji-t independen untuk menilai frekuensi, dan lama atau durasi sakit perut antara kedua kelompok. Uji Chi-square untuk menilai kekambuhan antara kedua kelompok dan dipantau selama 4 dan 8 minggu.

Hasil Sebanyak 84 orang (41 perempuan, 43 laki-laki), terdiri dari 42 orang pada kelompok omeprazol dan 42 orang pada kelompok ranitidin. Pada minggu keempat, didapati efektifitas pengobatan pada kelompok 1, 82% dan 79% pada kelompok 2 (p=0,90). Namun setelah pemantauan 8 minggu, 41% pada kelompok 1 tidak didapati gejala dan tanda, sedangkan pada kelompok 2 hanya 9,5% yang mengalami pengurangan gejala dan tanda (p<0,001).

Kesimpulan Omeprazol lebih efektif dibandingkan ranitidin dalam mengurangi frekuensi, durasi dan kekambuhan sakit perut yang disebabkan dispepsia fungsional pada remaja.


(15)

ABSTRACT

Background Functional dyspepsia is caused by heterogeneous pathogenetic factors. There is still need for an evidence-based comparison of clinical management strategies to provide the rationale treatment for adolescent with functional dyspepsia. Proton pump inhibitors (PPI) and H2-receptor antagonists are widely used in this condition.

Objective To compare omeprazole and ranitidine for the treatment of functional dyspepsia in adolescents.

Methods We conducted a randomized, single blind, controlled trial of adolescents with functional dyspepsia. Participants were randomly assigned to receive omeprazole 20 mg once daily or ranitidine 150 mg twice daily for 2 weeks. Chi-square test was used for evaluating the recurrency (the proportion of patients without symptoms or with marked improvement) after 4 and 8 weeks.

Results Of 84 patients (41 girls, 43 boys), 42 patients received omeprazole and placebo and 42 patients received ranitidine. At week 4, the efficacy was 82% in group omeprazole and 79% group ranitidine (P=0.90). But after 8 weeks, 41% group I were symptoms free or had marked improvement, compared to 9.5% in group II (P<0.001). Adverse event was not found in both groups.

Conclusion Omeprazole was significantly more effective than ranitidine for the treatment of adolescent with functional dyspepsia.


(16)

ABSTRAK

Latar Belakang Penelitian berdasarkan bukti klinis untuk menentukan tatalaksana yang rasional pada remaja dengan dispepsia fungsional masih sangat diperlukan. Proton Pump Inhibitors (PPI) dan Antagonis Reseptor H-2 (AH2) merupakan obat yang sering dipakai untuk pengobatan dispepsia fungsional.

Tujuan Untuk membandingkan omeperazol dan ranitidin dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

Metode Uji klinis acak tersamar tunggal dengan membandingkan efektifitas omeperazol 20 mg sekali sehari dengan ranitidin 150 mg dua kali sehari, diberikan selama 2 minggu.. Uji-t independen untuk menilai frekuensi, dan lama atau durasi sakit perut antara kedua kelompok. Uji Chi-square untuk menilai kekambuhan antara kedua kelompok dan dipantau selama 4 dan 8 minggu.

Hasil Sebanyak 84 orang (41 perempuan, 43 laki-laki), terdiri dari 42 orang pada kelompok omeprazol dan 42 orang pada kelompok ranitidin. Pada minggu keempat, didapati efektifitas pengobatan pada kelompok 1, 82% dan 79% pada kelompok 2 (p=0,90). Namun setelah pemantauan 8 minggu, 41% pada kelompok 1 tidak didapati gejala dan tanda, sedangkan pada kelompok 2 hanya 9,5% yang mengalami pengurangan gejala dan tanda (p<0,001).

Kesimpulan Omeprazol lebih efektif dibandingkan ranitidin dalam mengurangi frekuensi, durasi dan kekambuhan sakit perut yang disebabkan dispepsia fungsional pada remaja.


(17)

ABSTRACT

Background Functional dyspepsia is caused by heterogeneous pathogenetic factors. There is still need for an evidence-based comparison of clinical management strategies to provide the rationale treatment for adolescent with functional dyspepsia. Proton pump inhibitors (PPI) and H2-receptor antagonists are widely used in this condition.

Objective To compare omeprazole and ranitidine for the treatment of functional dyspepsia in adolescents.

Methods We conducted a randomized, single blind, controlled trial of adolescents with functional dyspepsia. Participants were randomly assigned to receive omeprazole 20 mg once daily or ranitidine 150 mg twice daily for 2 weeks. Chi-square test was used for evaluating the recurrency (the proportion of patients without symptoms or with marked improvement) after 4 and 8 weeks.

Results Of 84 patients (41 girls, 43 boys), 42 patients received omeprazole and placebo and 42 patients received ranitidine. At week 4, the efficacy was 82% in group omeprazole and 79% group ranitidine (P=0.90). But after 8 weeks, 41% group I were symptoms free or had marked improvement, compared to 9.5% in group II (P<0.001). Adverse event was not found in both groups.

Conclusion Omeprazole was significantly more effective than ranitidine for the treatment of adolescent with functional dyspepsia.


(18)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dispepsia merupakan keadaaan klinis yang umum dijumpai berhubungan dengan gejala yang kompleks pada perut bagian atas, meliputi rasa sakit atau tidak nyaman di bagian tengah atas, perut terasa penuh, cepat kenyang, perut kembung, bersendawa, dan mual.1 Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya, dan dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, yaitu dispepsia tanpa kelainan organik yang merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.1,2

Telah banyak studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologis 3. Suatu uji klinis telah mengemukakan manfaat terapi antagonis reseptor H2 (AH2) ranitidin secara bermakna menurunkan frekuensi dan beratnya gejala dispepsia4. Pemberian proton pump inhibitor (PPI) omeprazol dilaporkan memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan ranitidin dalam mengurangi sekresi asam lambung dan pengobatan ulkus saluran cerna.5


(19)

1.2. Rumusan Masalah

Apakah omperazol lebih baik daripada ranitidin dalam mengurangi frekuensi dan durasi atau lama sakit perut pada remaja dengan dispepsia fungsional ?

1.3. Hipotesis

Omeprazol lebih baik daripada ranitidin dalam mengurangi frekuensi dan durasi atau lama sakit perut pada remaja dengan dispepsia fungsional.

1.4. Tujuan

Mengetahui perbandingan omeprazol dan ranitidin sebagai pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

1.5. Manfaat

1. Di bidang akademik/ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti dalam hal pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan usaha pelayanan kesehatan remaja khususnya di bidang gastroentero-hepatologi anak dan memberikan alternatif pengobatan dispepsia fungsional pada remaja. 3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap

bidang gastroentero-hepatologi anak, khususnya dalam pengembangan penelitian tentang dispepsia fungsional pada remaja.


(20)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys = sulit dan pepse = pencernaan). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.2 Oleh karena dispepsia fungsional pada anak belum memiliki definisi secara jelas, pada tahun 1999 Childhood Functional Gastrointestinal Disorders (ROME II) mengadopsi kriteria diagnostik pada dewasa untuk diterapkan pada anak, yang kemudian mengalami beberapa perubahan pada tahun 2006 menjadi ROME III.6-8

Menurut ROME III, dispepsia fungsional harus memenuhi semua kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan .7,8

- Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).

- Nyeri tidak berkurang dengan defekasi / tidak berhubungan dengan suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses. - Tidak ada bukti adanya proses inflamasi, kelainan anatomis, kelainan


(21)

2.2.Epidemiologi

Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui. Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13 sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan diri ke dokter tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya.9,10 Suatu penelitian di Bangkok terhadap anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan/atau mual setidaknya dalam waktu satu bulan, didapatkan dispepsia fungsional sebesar 62%.11 Sedangkan penelitian di Yunani mendapatkan angka kejadian dispepsia fungsional pada anak mencapai 70%.12

Ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran sangat pesat perkembangannya, terutama endoskopi dapat mengetahui bahwa penyakit gastroduodenum disebabkan Helicobacter pylori yang merupakan salah satu penyebab dispesia2, maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi H. pylori dengan yang tidak.13,14 Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.15


(22)

2.3. Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan / gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni :16

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia) a. Nyeri epigastrium terlokalisasi

b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antacid c. Nyeri saat lapar

d. Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)

a. Mudah kenyang

b. Perut cepat terasa penuh saat makan c. Mual

d. Muntah

e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas) f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas) Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat


(23)

memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).17 Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.18

2.4. Pemeriksaan

Pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian.19

1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap, pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).

2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.


(24)

3. Endoskopi biasa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostic sekaligus terapeutik.

4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.

2.5. Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan dispepsia fungsional, diperlukan beberapa langkah pendekatan seperti terlihat pada gambar 2.1.20 Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu :21,22

1. Antasida

Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.


(25)

Gambar 2.1. Tatalaksana dispepsia fungsional .

2. Antikolinergik

Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan

Dispepsia fungsional

Tenangkan pasien dan beri penjelasan, ubah gaya hidup

Uji Helicobacter pylori

Eradikasi PPI atau AH2 dosis rendah

PPI atau AH2 sesuai kebutuhan Prokinetik


(26)

sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.

3. Antagonis reseptor H2 (AH2)

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin.

4. Proton pump inhibitor (PPI)

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

5. Sitoprotektif

Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.


(27)

Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung.

7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.

Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Helicobacter pylori, itoprid, PPI, dan terapi psikologi.23 Pengobatan yang belum didukung bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, AH2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.24

2.5.1. Proton pump inhibitor (PPI)

Sejak diperkenalkan pada akhir tahun 1980-an, agen penghambat asam yang ampuh ini secara cepat memegang peranan penting sebagai terapi gangguan asam lambung.24 Terdapat lima jenis PPI yang tersedia untuk kepentingan klinis: omeprazol, lansoprazol, rabeprazol, pantoprazol, dan esomeprazol.25 Proton pump inhibitor (PPI) tersedia dalam bentuk tidak aktif yang akan berubah menjadi aktif dalam lingkungan asam.23,24 Untuk


(28)

melindungi obat dari destruksi yang cepat di dalam lumen lambung, sediaan oral diformulasikan untuk lepas lambat sehingga resisten terhadap asam, dalam bentuk enteric- coated capsule atau formulasi tablet.24

Oleh karena semua PPI memiliki efikasi dan kerja yang sama, pada makalah ini hanya akan dibahas tentang omeprazol yang merupakan sediaan yang pertama sekali digunakan di praktek klinis.25 Omeprazol bekerja spesifik sebagai penghambat pompa asam di sel parietal, basa lemah dikonsentrasikan dan diubah menjadi bentuk aktif dalam lingkungan asam pada kanalikuli intraselular melalui penghambat enzim H+/K+-ATPase, yang sangat reaktif berikatan dengan kelompok sulphydryl pada Na+/K+-ATPase.22 Sifatnya yang irreversibel ini menginaktifkan enzim sehingga terjadi penghambatan sekresi asam, dimana dosis tunggal 20 mg mampu mengurangi 90% asam lambung selama 24 jam.26 Studi di Australia mendapatkan omeprazol lebih baik dibandingkan plasebo dalam mengatasi dispepsia fungsional pada dosis standar 20 mg dan dosis rendah 10 mg.26

Dosis per oral omeprazol diberikan satu kali sehari, efektif menghambat sekresi asam lambung siang dan malam hari dengan efek maksimal yang diterima dalam empat hari pengobatan. Absorpsi omeprazol terletak di usus halus dan biasanya lengkap dalam 3-6 jam. Bioavailabilitas sistemik omeprazol dosis tunggal oral berkisar 35%. Bioavailabilitas meningkat menjadi sekitar 60% bila dosis ulangan diberikan.27


(29)

Waktu paruh eliminasi plasma omeprazol lebih pendek dari satu jam dan tidak ada perubahan waktu paruh pada pengobatan jangka panjang. Omeprazol dimetabolisme sistem sitokrom P450 (CYP), terutama di hati. Bagian terbesar metabolisme tergantung ekspresi polimorfikal bentuk spesifik CYP2C19 (S-mephenytoin hydroxylase), bertanggung jawab terhadap pembentukan hydroxyomeprazole. Tidak ada hasil metabolisme yang ditemukan mempunyai efek pada sekresi asam lambung. Hampir 80% hasil metabolisme pemberian dosis oral diekskresikan di urin dan sebagian ditemukan di feses secara primer berasal dari sekresi empedu.27

Omeprazol diindikasikan untuk pengobatan refluks esofagus, ulkus duodenal, ulkus lambung, NSAID yang berhubungan dengan erosi lambung dan ulkus duodenal, dispepsia, sindroma Zollinger Ellison, dan pengobatan ulkus peptik.Omeprazol dianjurkan untuk diberikan pada pagi hari dan ditelan atau diminum dengan setengah gelas air. Untuk pasien dengan kesulitan menelan, kapsul dapat dibuka dan ditelan langsung dengan setengah gelas cairan atau setelah pencampuran berisi campuran seperti jus.5,27

Proton pump inhibitor (PPI) umumnya aman digunakan.24 Efek samping yang dapat timbul namun sangat jarang adalah mual, sakit kepala, diare, konstipasi dan ruam.22 Beberapa teori menyebutkan terjadinya penurunan absorpsi vitamin B12 namun sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya defisiensi mineral pada penggunaan PPI.24 Studi multisenter menunjukkan bahwa pantoprazol memiliki efikasi, keamanan, dan ditoleransi dengan lebih baik dibandingkan plasebo.25


(30)

Asam lambung yang menurun dapat mempengaruhi absorpsi beberapa obat yang bioavailabilitasnya dipengaruhi oleh keasaman di dalam lambung, seperti ketokonazol dan digoksin. Omeprazol dapat menghambat metabolisme coumadin, diazepam, dan fenitoin. Esomeprazol dapat menurunkan metabolisme diazepam. Lansoprazol dapat meningkatkan klirens teofilin. Sedangkan rabeprazol dan pantoprazol tidak memiliki interaksi obat yang signifikan.24

2.5.2.Antagonis reseptor H2 (AH2)

Antagonis reseptor H2 (AH2) secara kompetitif manghambat aksi histamin pada reseptor histamin H2 pada sel parietal lambung. Sel parietal memiliki reseptor untuk histamin, asetilkolin dan gastrin, yang semuanya itu dapat merangsang sekresi asam hidroklorida ke dalam lumen gaster. Antagonis reseptor H2 (AH2) menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin. Obat yang termasuk golongan ini adalah ranitidin, cimetidin, famotidin dan lain-lain. Obat cepat diserap setelah pemberian per oral. Efek penghambat reseptor H2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan konsentrasi.21,22

Antagonis reseptor H2 (AH2) mengurangi sekresi asam hanya dengan berkompetisi dengan reseptor histamin pada sel parietal, sedangkan reseptor lain yang dipengaruhi endokrin (gastrin) dan neuroendokrin (stimulasi vagal) tidak dipengaruhi. Sehingga AH2 tidak menghambat sekresi asam secara total. Kemampuan AH2 untuk menghambat semua fase sekresi asam dinilai


(31)

sebagai keterlibatan histamine sebagai zat perantara akhir bagi sekresi asam.28

Beberapa AH2 berbeda dalam kekuatan relatif dan sifat farmakokinetiknya dalam menghambat sekresi asam. Ia juga berbeda kualitatif dengan memperhatikan kerja yang tidak berhubungan dengan reseptor H2. Misalnya cimetidin bermakna menghambat sistem metabolis obat oksidatif P-450, sementara ranitidin tidak.Ranitidin dalam dosis terapi yang biasa tidak terlihat menghambat jalur metabolism obat oksidatif yang dikatalis sitokrom P-450. Obat ini dapat ditoleransi baik dan efek sampingnya sangat sedikit. Efek yang tersering dilaporkan adalah diare serta mual dan muntah.29


(32)

2.6. Kerangka Konseptual

: variabel yang diteliti

Gambar 2.2. Kerangka Konseptual

BAB 3. METODE PENELITIAN DISPEPSIA

DISPEPSIA ORGANIK

DISPEPSIA FUNGSIONAL (menurut

kriteria ROME III) Pengobatan

(Omeprazol dan Ranitidin

Faktor Lingkungan Faktor Psikologis

Frekuensi nyeri

Lama / durasi nyeri - Infeksi H. pylori

- Ulkus lambung - Ulkus duoedenum

Ulcus-like dyspepsia

Dysmotility-like dyspepsia


(33)

3.1. Desain

Uji klinis acak tersamar tunggal untuk membandingkan manfaat omeprazol dan ranitidin dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Pesantren Al-Musthafawiyah, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara mulai Mei sampai Juni 2010.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah remaja yang menderita dispepsia fungsional. Populasi terjangkau adalah populasi target yang menjalani pendidikan di Pesantren Al-Musthafawiyah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara selama Mei dan Juni 2010. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria.

3.4. Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis terhadap dua proporsi independen, yaitu :30

n1 =n2 = (Zα √2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2 )2 (P1 – P2)2

n1 = jumlah subek dalam kelompok omeprazol (kelompok A)

n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok ranitidin (kelompok B) α = kesalahan tipe I = 0,05 (Tingkat kepercayaan 95%)  Zα = 1,96


(34)

β = kesalahan tipe II = 0,2 (kekuatan penelitian 80%)  Zβ = 0,842 P1 = proporsi kesembuhan kelompok omeprazol = 0,7

Q1 = 1 – P1 = 0,5

P2 = proporsi kesembuhan kelompok ranitidin = 0,45 Q2 = 1 – P2 = 0,2

P = P1+P2 = 0,6 2

Q = 1 – P = 0,4

Dengan menggunakan rumus di atas didapat besar sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 35 orang. Koreksi besar sampel untuk antisipasi drop out (f = 10%), yaitu n = n / (1-f) → 40 orang.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi

- usia 12 sampai 17 tahun.

- Memenuhi semua kriteria dibawah ini yang dialami sekurang-kurangnya 1 kali seminggu selama minimal 2 bulan.

• Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus). • Nyeri tidak berkurang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.


(35)

• Tidak ada bukti adanya proses inflamasi, kelainan anatomis, kelainan metabolik, atau neoplasma

- Orang tua bersedia mengisi informed consent. Kriteria eksklusi

- Anak menolak minum obat

- Dijumpai pada saat anamnesis : penurunan berat badan, gagal tumbuh, muntah, diare kronis, demam yang tidak diketahui penyebabnya, dan feses abnormal.

- Dijumpai pada saat pemeriksaan fisik kelainan seperti pembesaran organ hepatomegali dan splenomegali, .

- Pada wanita dijumpai nyeri perut karena haid.

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan/Informed Consent

Subjek penelitian diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu untuk pemberian omeprazol dan ranitidin.

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.8.1. Cara Kerja


(36)

2. Subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan.

3. Subjek yang memenuhi kriteria dimasukkan ke dalam penelitian.

4. Sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok 1 (omeprazol) dan kelompok 2 (ranitidin) dengan dilakukan randomisasi sederhana,dengan menggunakan tabel angka random. Masing-masing kelompok dinilai frekuensi dan lama atau durasi sakit sebelum pemberian obat .

5. Kelompok 1 mendapat omeprazol 20 mg satu kali perhari diberikan selama dua minggu.

6. Kelompok kedua mendapat ranitidin 150 mg dua kali perhari saat pagi dan sore hari, diberikan selama dua minggu.

7. Omeprazol dan ranitidin dimasukkan ke dalam kapsul dengan warna yang sama. Pasien tidak mengetahui obat yang diberikan.

8. Masing-masing subyek menulis catatan harian yang telah diberikan untuk mencatat frekuensi, lama sakit perut, dan efek samping yang timbul tiap bulan selama dua bulan. Evaluasi catatan harian dilakukan tiap bulan.


(37)

3.8.2. Alur Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian

3.9. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Kelompok obat (omeprazol dan ranitidin) Nominal

Variabel tergantung Skala

Frekuensi Numerik

Durasi Numerik

Kambuh Nominal

omeprazol 20 mg (14 hari)

Ranitidin 150 mg (14 hari) Dispepsia fungsional

Frekuensi,dan durasi sakit perut 2 bulan

(evaluasi) Frekuensi, dan

durasi sakit perut


(38)

Variabel perancu Skala

Usia Numerik

Jenis kelamin Nominal

Berat badan Numerik

Tinggi badan Numerik

Status nutrisi Numerik

3.10. Definisi Operasional

1. Dispepsia fungsional merupakan nyeri perut yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus) sesuai dengan kriteria ROME III .

2. Remaja adalah usia 12 sampai 17 tahun.

3. Omeprazol merupakan obat yang berupa kapsul lepas lambat yang berisi Omeprazol 20 mg dan diberikan sekali sehari setiap hari selama 14 hari pada pagi hari.

4. Ranitidin merupakan obat yang berupa kapsul lepas lambat yang berisi ranitidin 150 mg dan diberikan dua kali sehari setiap hari selama 14 hari.

5. Frekuensi sakit dicatat sesuai dengan jumlah sakit perut yang dialami selama penilaian awal dan pemantauan.

6. Durasi atau lama sakit dicatat sesuai dengan waktu lama sakit perut yang dialami dalam satuan menit yang dialami selama penilaian awal dan pemantauan


(39)

7. Evaluasi dilakukan penilaian terhadap frekuensi, dan lama atau durasi sakit sebelum pengobatan sebanyak satu kali dan sesudah pengobatan sebanyak dua kali (tiap bulan selama dua bulan)

3.11. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan perangkat komputer dengan tingkat kemaknaan P < 0.05. Data nominal disajikan dalam jumlah dan persentase. Data numerik disajikan dalam rerata dan standar deviasi (SD). Uji-t independen untuk menilai frekuensi, dan lama atau durasi sakit perut antara kedua kelompok. Uji Chi-square untuk menilai kesembuhan antara kedua kelompok. Pada penelitian ini dilakukan analisis intention to treat.


(40)

BAB 4. HASIL

4.1. HASIL

Penelitian dilakukan di Pesantren Al-Musthafawiyah, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara mulai Mei sampai Juni 2010. Sebanyak 92 siswa berusia 12 sampai 17 tahun dijumpai dengan dispepsia fungsional namun hanya 84 siswa yang memenuhi kriteria (gambar 4.1.).

Gambar 4.1. Profil Penelitian

Populasi Target 92 orang

8 orang dieksklusikan : - 2 menderita haid - 1 hepatosplenomegali

5 l k liti 84 Siswa memenuhi kriteria

Kelompok 1 (42 orang) Kelompok 2 (42 orang)

Drop Out (3 orang) Drop Out (2 orang)


(41)

Seluruh siswa mengikuti penelitian dan dipantau saat minggu keempat dan kedelapan. Karakteristik dasar subjek penelitian seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian (n=84)

Variabel Omeprazol Ranitidin

Usia (Tahun) 15,40 (0,99) 14,9 (1,46)

Jenis Kelamin

- Laki-laki, n (%) 22 (52,4) 21 (50)

- Perempuan, n (%) 21 (50) 20 (47,6)

Berat badan (Kg)/SD 46,9 (7,01) 47,2 (8,73)

Tinggi Badan (Cm)/SD 150,8 (5,71) 150,5 (6,87)

IMT (Kg/m2)/SD 20,6 (2,98) 20,7 (3,00)

Frekuensi sakit sebelum

perlakuan (kali)/SD 7,2 (2,72) 7,5 (2,57)

Durasi sakit sebelum

perlakuan (menit)/SD 7,7 (3,12) 7,8 (3,37)

Perbandingan frekuensi dan durasi kedua kelompok pengobatan seperti terlihat pada tabel 2.


(42)

Tabel 2. Perbedaan Frekuensi dan durasi sakit perut setelah mendapat pengobatan

Variabel

Omeperazol ( n = 42)

Ranitidin (n = 42)

Nilai p

Frekuensi sakit setelah 1 bulan (kali)

1,4 (0,77) 3,5 (2,54) 0,0001

Frekuensi sakit setelah 2 bulan (kali)

1,2 (0,85) 2,4 (1,44) 0,0001

Durasi sakit setelah 1 bulan (menit)

1,0 (0,98) 2,9 (2,45) 0,075

Durasi sakit setelah 2 bulan (menit)

1,4 (0,81) 2,4 (2,11) 0,048

Dari tabel 2 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada frekuensi dan durasi sakit perut pada pemantauan minggu keempat dan kedelapan.


(43)

Tabel 3. Perbandingan omeprazol dan ranitidin terhadap kekambuhan Variabel Kambuh

n(%)

Tidak kambuh n (%)

P

Minggu keempat Kelompok 1 (Omeprazol)

8 (19,1) 34(81.9) 0.90

Kelompok 2 (Ranitidin)

9 (21,5) 33(78,5)

Minggu kedelapan Kelompok 1 (Omeprazol)

25 (59,5) 17(40,5) 0,0001

Kelompok 2 (Ranitidin)

38 (90,5) 4 (9,5)

Pada minggu keempat tidak dijumpai perbedaan bermakna antara kedua kelompok pengobatan,namun pada minggu kedelapan kelompok omeprazol lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan kelompok ranitidin. Secara statistik kelompok 1 lebih baik dalam kesembuhan dan mencegah kekambuhan. Tidak dijumpai efek samping pengobatan pada kedua kelompok.


(44)

BAB 5. PEMBAHASAN

Sampai saat ini patofisiologi dispepsia fungsional masih belum dapat ditentukan,1 namun sekitar 40% penderita dispepsia fungsional mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung.13 Akan tetapi masih menjadi perdebatan apakah suatu gejala yang spesifik berhubungan dengan keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan apakah perubahan waktu pengosongan lambung dapat memprediksi adanya perbaikan gejala pada dispepsia fungsional.13

Penelitian ini dilakukan pada anak pelajar yang tinggal diasrama sekolah,kita ketahui bahwa pelajar yang tinggal diasrama sekolah sering mengeluh masalah kebiasaan makan yang tidak teratur sehingga dapat menyebabkan sakit perut yang diakibatkan sering terlambat makan.

Beberapa uji klinis random dari AH2 pada pengobatan dispepsia fungsional memberikan hasil yang bermakna,5 namun beberapa penelitian lainnya menyatakan AH2 tidak lebih baik daripada plasebo.1 Penelitian lainnya di Jerman dengan studi multisenter menyatakan omeprazol lebih baik dibandingkan ranitidin dan plasebo setelah pengobatan dispepsia fungsional selama dua minggu.9 Penelitian lainnya di beberapa negara seperti Denmark dan Swedia memberikan hasil yang sama.10


(45)

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna, dimana omeprazol lebih baik dalam menurunkan frekuensi dan durasi nyeri perut pada remaja dengan dispepsia fungsional. Setelah minggu kedelapan pengobatan 41% dari penderita yang mendapat pengobatan omeprazol dan 9,5% dari penderita yang mendapat pengobatan ranitidin,tidak pernah mengalami nyeri perut kembali (P<0,001).

Hasil ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya bahwa pengobatan dengan omeprazol pada dispepsia fungsional dapat menurunkan gejala nyeri perut dan lebih mencegah terjadinya kekambuhan. Omeprazol juga efektif mengurangi beberapa gejala gastrointestinal seperti nyeri ulu hati,rasa terbakar, dan regurgitasi dalam jangka panjang.14,15

Omeprazol umumnya aman digunakan. Efek samping yang dapat timbul namun sangat jarang adalah mual, sakit kepala, diare, konstipasi, dan ruam. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa proton pump inhibitor (omeprazol, lansoprazol, pantoprazol) memiliki efikasi, keamanan, dan toleransi yang baik.16,17

Namun Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2010 memberikan peringatan tentang kemungkinan meningkatnya risiko fraktur pada penggunaan PPI dosis tinggi atau jangka panjang.31 Pada penelitian ini, kami tidak menjumpai efek samping penggunaan omeprazol dan ranitidin dalam mengobati dispepsia fungsional pada remaja.


(46)

Penelitian yang dilakukan di Kolumbia memperlihatkan bahwa pemakaian jangka panjang PPI pada anak dapat bermanfaat dan aman dikonsumsi terus-menerus bahkan hingga penggunaan selama sebelas tahun.32 Suatu meta-analisis menyatakan omeprazol lebih efektif daripada plasebo dalam mengobati dispepsia fungsional, baik dengan dosis standar 20 mg maupun dosis rendah 10 mg.33 Pada penelitian ini, dosis omeprazol yang digunakan adalah 20 mg perhari selama dua minggu dan ranitidin 100 mg dua kali sehari selama dua minggu.

Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak. 15 Pada penelitian ini yang dijadikan subjek adalah remaja yang berusia antara 12 tahun sampai 17 tahun dimana penyebab terbanyak dari dispepsia fungsional.

Keterbatasan dari penelitian ini adalah diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan hanya berdasarkan wawancara dan pemeriksaan fisik berdasarkan kriteria Rome III, dan tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti endoskopi untuk menyingkirkan kelainan organik pada saluran cerna. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat pengobatan dispepsia fungsional pada remaja yang mencakup efektifitas, biaya dan kualitas hidup.


(47)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dijumpai perbedaan yang signifikan antara frekuensi, durasi dan kekambuhan pada nyeri perut oleh karena dispepsia fungsional setelah pemberian obat omeprazol dan ranitidin. Omeprazol lebih efektif dibandingkan ranitidin dalam mengurangi frekuensi, durasi dan kekambuhan nyeri perut yang disebabkan dispepsia fungsional pada remaja.

6.2. Saran

1. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebaiknya omeprazol lebih dianjurkan sebagai lini pertama dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.

2. Remaja sebaiknya dapat memperhatikan pola hidup sehat seperti makan tepat pada waktunya agar terhindar dari sakit perut yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari terutama sekolah.

3. Diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih lengkap disertakan dengan pemeriksaan penunjang seperti endoskopi dalam menegakkan diagnosis dispepsia fungsional pada remaja.


(48)

BAB 7. RINGKASAN

Dispepsia fungsional, yaitu dispepsia tanpa kelainan organik yang merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan criteria ROME III. Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu : antasida, antikolinergik, AH2, PPI, sitoprotektif, golongan prokinetik, psikoterapi, dan antidepresi. Pemberian PPI (omeprazol) dilaporkan memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan ranitidin dalam mengurangi sekresi asam lambung dan pengobatan ulkus saluran cerna. Pada penelitian ini menunjukkan omeprazol lebih baik dalam menurunkan frekuensi, durasi, dan kekambuhan sakit perut pada remaja dengan dispepsia fungsional. Setelah minggu kedelapan pengobatan, 41% dari penderita yang mendapat pengobatan omeprazol dan 9,5% dari penderita yang mendapat pengobatan ranitidin, tidak pernah mengalami nyeri perut kembali (P<0,001). Keterbatasan penelitian adalah diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan hanya berdasarkan wawancara dan pemeriksaan fisik berdasarkan kriteria Rome III, dan tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti endoskopi untuk menyingkirkan kelainan organik pada saluran cerna. Sebagai kesimpulan, omeprazol lebih efektif dibandingkan ranitidin dalam mengurangi frekuensi, durasi dan kekambuhan nyeri perut yang disebabkan dispepsia fungsional pada remaja.


(49)

SUMMARY

Functional dyspepsia is a dysfunction of gastrointestinal tract without any organic disorders. The diagnosis is established based on ROME III criteria. Several drugs are used to treat functional dyspepsia such as antacids, anticholinergics, AH2, PPI, citoprotective, prokinetic group, psychotherapy, and antidepressants. Omeprazole is reported to have better efficacy than ranitidine in reducing gastric acid secretion and treatment of gastrointestinal ulcers. This study showed that omeprazole was better in reducing frequency, duration, and recurrence of abdominal pain in adolescents suffered from functional dyspepsia. After eight weeks of treatment, 41% of patients who received omeprazole and 9.5% of patients received ranitidine, reported never having abdominal pain again (P <0.001). The limitation in this study was the diagnosis of functional dyspepsia was made only based on an interview and physical examination (Rome III criteria), and no examinations such as endoscopy was done to rule out organic causes of the gastrointestinal tract. As conclusion, omeprazole is more effective than ranitidine in reducing frequency, duration and recurrence of abdominal pain due to functional dyspepsia in adolescents.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ringel Y. Functional dyspepsia. Diunduh dari : http://www. med.unc.edu/medicine/fgidc/collateral/functional_dyspepsia_06132005 .pdf. [diakses Mei 2010].

2. Torpy JM, Lynm CS, Glass RM. Dyspepsia. JAMA. 2006; 295(13):1612-25

3. Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J Gastroenterol. 2005;100:2324-37.

4. Monkemuller A, Malfertheiner P. Drug treatment of functional dyspepsia. World J Gastroenterol. 2006; 12(17):2694-700.

5. Maton PN, Orlando R, Joelsson B. Efficacy of omeprazole versus ranitidine for symptomatic reatment of poorly responsive acid reflux disease, a prospective, controlled trial. Aliment Pharmacol Ther. 1999; 13:819-26.

6. Rasquin A, Lorenzo CD, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, dkk. Childhood functional gastrointestinal disorders : Child/Adolescent. Gastroenterology. 2006; 130:1527-37.

7. Drossman D. Rome III : The new criteria. Chinese Journal of Digestive Diseases. 2006; 7:181-5.

8. Drossman D. The launching of Rome III. Diunduh dari : http://www.romecriteria.org/pdfs/launch.pdf [diakses Mei 2010].

9. Melzer J, Rosch W, Reichling J, Brignolis R, Saller R. Meta-analysis: phytotheraphy of functional dyspepsia with the herbal drug preparation STW 5 (Iberogast). Alliment Pharmacol Ther. 2004; 20:1279-87.

10. AAP Subcommittee and MASPGHAN Committee on Chronic Abdominal Pain. Chronic abdominal pain in children : A technical report of the American Academy of Pediatrics and the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2005; 40:249-61.

11. Rerksuppaphol L, Rerksuppaphol S. Functional dyspepsia in children. Journal of medicine and health sciences. 2007; 14(2):78-89.

12. Spiroglou K, Paroutoglou G, Nikolaides N, Xinias I, Giouleme O, Arsos G, dkk. Dyspepsia in childhood: Clinical manifestations and management. Annals of Gastroenterology. 2004; 17(2): 173-80.


(51)

13. Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J Gastroenterol. 2005; 100:2324-37.

14. Talley NJ, Janssens J, Lauritsen K, Racz I. Eradication of Helycobacter pylori in functional dyspepsia : randomized double blind placebo controlled trial with 12 months’s follow up. BMJ. 1999; 318:833-7.

15. Miele E, Simeone D, Marino A, reco L, Aurichio R, Novek SJ, Staiano A. Functional gastrointestinal in children: an Italian prospective survey. Pediatrics. 2004; 114:73-8.

16. Chitkara DK, Delgado-aros S, Bredenoord AJ, Cremonini F, Youssef ME, Freese D, dkk. Functional dyspepsia, upper gastrointestinal symptoms, and transit in children. J Pediatr. 2003; 143:609-13.

17. Clouse RE, Mayer EA, Aziz Q, Drossman DA, Dumitrascu DL, Monnikes H, dkk. Functional abdominal pain syndrome. Gastroenterology. 2006; 130(5):1492-7.

18. Drossman DA. Functional abdominal pain syndrome.

19. Kalantar JS, Talley NJ. Towards a diagnosis of functional dyspepsia. Medicine Today. 2007; 8(12):45-50.

20. Elliot T, Wong T. Refractory functional dyspepsia and nonerosive reflux

disease. Diunduh dari:

21. Richter JE, Campbell DR, Kahrilas PJ, Huang B, Fludas C. Lansoprazole compared with ranitidine for the treatment of nonerosive gastroesophageal reflux disease. Arch Intern Med. 2000; 160:1803-9. 22. McQuaid KR. Drugs used in the treatment of gastrointestinal disease.

Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-10. San Fransisco: Mc Graw Hill, h. 1009-17.

23. Holtmann G, Talley NJ, Liebregts T, Adam B, Parow C. A placebo-controlled trial of itopride in functional dyspepsia. N Engl J Med. 2006; 354:8:832-40.

24. Passos MC, Duro D, Fregni F. CNS or classic drug for the treatment of pain in functional dyspepsia ? a systematic review and meta-analysis of the literature. Pain Physician. 2008; 11(5):597-609.

25. Rensburg C, Bergover P, Enns R, Dattani ID, Maritz JF, Carro PG, dkk. Efficacy and safety of pantoprazole 20 mg once daily treatment in patients with ulcer-like functional dyspepsia. Cur Med Res Opin. 2008; 24(7):2009-16.


(52)

26. Talley NJ, Meineche-Schmidt V, Pare P, Duckworth M, Raisanen P, Pap A, dkk. Efficacy of omeprazole in functional dyspepsia: double-blind, randomized, placebo-controlled trials (the Bond and Opera studies). Alliment Pharmacol Ther. 1998; 12:1055-65.

27. Yeomans ND, Tulasai Z, Juhasz L, Racz I, Howard JM, Rensburg CJ, dkk. A comparison of omeprazole with ranitidinde for ulcers associated with nonsteroidal anti-inflammatory drugs. N Engl J Med. 1998; 338:719-26.

28. Dyal C. Garg, Donald J. Weidler, and Fred N. Eshelman. Ranitidine bioavailability and kinetics in normal male subjects. Clin Pharmacol ther.1983: 33(4):445-51

29. Moayyedi P, Soo S, Deeks J, Forman D, Harris A, Innes M dkk. Systematic review: antacids, H2-receptor antagonists, prokinetics,bismuth and sucralfate therapy for non-ulcer dyspepsia. Aliment Pharmacol Ther 2003; 17:1215–27

30. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, 2008. h.302-30.

31. AAFP. FDA issue warning about proton pump inhibitors. Diunduh dari :

2010].

32. Hassal E,Kerr W, El-Serag HB. Characteristics of children receiving proton pump inhibitors continusly for up to 11 years duration. J Pediatr.2007 ; 150:262-7.

33. Dobrilla G, Comberlato M, Steele A, Vallaperta P. Drug treatment of functional dyspepsia. A meta-analysis of randomized controlled trials. J Clin Gastroenterol 1989; 11:169-77.


(53)

Lampiran 1.

Naskah Penjelasan kepada Orangtua Yth Bapak/ Ibu……

1. Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri (dengan menunjukkan surat tugas dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU). Nama saya dr. Fadli Syahputra bertugas di divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Saat ini, kami sedang melaksanakan penelitian tentang efek pengobatan omeprazol dan ranitidin pada remaja yang menderita sakit perut berulang (dispepsia). 2. Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, anak Bapak / Ibu menderita sakit perut berulang

yang dapat berdampak pada jumlah ketidak hadiran di sekolah.

3. Untuk itu, kami berencana untuk mengobati anak Bapak / Ibu dengan memberikan obat omeprazol/ranitidin. Dari penelitian didapatkan bahwa pemberian omeprazol ataupun ranitidin selama 2 minggu akan memberikan efek yang baik dalam mengurangi jumlah dan beratnya gejala nyeri perut yang terjadi. Hanya saja penelitian tersebut dilaksanakan di luar negeri. Saat ini saya mencoba untuk melakukan penelitian ini

4. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat badan, pemberian catatan harian nyeri dan kuisoner untuk mengetahui anak yang menderita nyeri perut. Pada anak yang menderita sakit perut, akan diberikan obat selama 2 minggu, obat dimakan pada pagi dan sore hari (dua kali sehari). Pemantauan ulangan dilakukan setiap bulan sampai bulan ketiga dan dilakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan kuisoner dibandingkan dengan pengukuran sebelum diberi obat.

5. Jika Bapak / Ibu bersedia agar anaknya diobati dengan obat tersebut, maka kami mengharapkan Bapak / Ibu menandatangani lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).

6. Bapak/ Ibu serta putri anda bebas menolak ikut atau mengundurkan diri dalam penelitian ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara rahasia, sehingga tidak memungkinkan orang lain mengetahui data penderita. Semua biaya penelitian akan ditanggung oleh peneliti.

7. Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian Bapak / Ibu, kami ucapkan terima kasih.


(54)

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur ... tahun L / P Alamat : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pengobatan sakit perut berulang terhadap anak saya :

Nama : ... Umur ... tahun Alamat Rumah : ... Alamat Sekolah : ...

yang tujuan, sifat, dan perlunya pengobatan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

... , ... 2010

Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan dr. ... ...

Saksi-saksi : Tanda tangan

1. ... ... 2. ... ...


(55)

Lampiran 3. Kuisoner

1. Data Pribadi

Nama: ... Tanggal pemeriksaan: ... Alamat :... Tempat/tanggal lahir: ... Jenis kelamin :

Anak ke….dari ……jumlah saudara. ...

Pendidikan orang tua :………. Pekerjaan orang tua :………. Berat badan: ...kg Tinggi badan: ...cm

Status nutrisi : Obese / Overweight / Normoweight / Mild malnutrition / Moderate malnutrition / Severe malnutrition

Saat ini duduk di kelas: ...

Absensi di sekolah oleh karena sakit perut dalam 3 bulan terakhir :……….

2. Data Sakit perut (dispepsia fungsional)

Ya tidak

1. Apakah sakit perut > 1 serangan dalam 2 bulan ( ) ( ) Jika ya, serangan sakit perut terjadi : a. > 1 kali/hari

b. 1 kali/hari c. 3-4 kali/minggu d. 1-2 kali/bulan


(56)

2. Apakah sakit perut berada didaerah : (bisa > dari 1 jawaban) a. Sekitar pusat

b. Ulu hati dan perut bagian atas c. Perut bagian bawah

3. Apakah sakit perut mengganggu aktifitas ( ) ( ) Jika ya, saat serangan sakit perut : a. masih dapat berjalan

b. mengambil posisi duduk c. mengambil posisi tidur

d. disertai menangis dan menjerit

4. Apakah sakit perut disertai : (bisa > 1 jawaban) a. mual

b. muntah c. nyeri dada

d. nyeri ulu hati / perut bagian atas e. nafsu makan berkurang

d. sakit perut berhubungan dengan makanan e. terbangun tengah malam

f. nyeri perut pada pagi hari

5. Berapa lama sakit perut berlangsung (dalam menit) a. <5


(57)

b. 5-10 d. >10

Ya tidak

6. Apakah sakit perut pada waktu haid ( ) ( ) 7. Apakah sakit perut menjalar ( ) ( ) 8. Apakah diantara episode sakit perut terdapat

Masa bebas gejala ( ) ( ) 9. Apakah didapati mencret ( ) ( ) 10. Apakah sakit perut disertai demam ( ) ( ) 11. Apakah sulit buang air besar ( ) ( ) 12. Apakah sakit perut disertai buang besar berdarah ( ) ( )


(58)

Lampiran 4. Lembar Catatan Harian Nyeri

NAMA : ALAMAT :

USIA : SEKOLAH/KELAS :

BB/TB : J.KELAMIN :

BULAN :

TANGGAL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 SAKIT PERUT

NILAI (PRS)

LAMA SAKIT (MENIT)

MINUM OBAT/TIDAK

ABSEN


(59)

TANGGAL 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 SAKIT PERUT

NILAI (PRS)

LAMA SAKIT (MENIT)

MINUM OBAT/TIDAK

ABSEN


(60)

Lampiran 6.

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : dr. Fadli Syahputra

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 18 September 1973

Alamat : Jl. Tengah No.31 Medan, Sumatera Utara, Indonesia

PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Negeri No.060903 Medan , tamat tahun 1986

Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 2 Medan, tamat tahun 1989 Sekolah Menengah Umum : MAN 1 Medan, tamat tahun 1992

Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat tahun 2001

Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, tahun 2008 s/d sekarang

RIWAYAT PEKERJAAN :

1. PTT di Puskesmas Barus Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara ,tahun 2001 – 2003

2. PNS RSUD Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah 2005 - sekarang

PERTEMUAN ILMIAH / PELATIHAN

1. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKA ke 4 di Medan Sebagai peserta

2. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) di Manado sebagai peserta

PENELITIAN

1. Perbandingan omeprazol dan ranitidin dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja


(1)

Lampiran 3. Kuisoner

1. Data Pribadi

Nama: ... Tanggal pemeriksaan: ... Alamat :... Tempat/tanggal lahir: ...

Jenis kelamin :

Anak ke….dari ……jumlah saudara. ...

Pendidikan orang tua :……….

Pekerjaan orang tua :……….

Berat badan: ...kg Tinggi badan: ...cm

Status nutrisi : Obese / Overweight / Normoweight / Mild malnutrition / Moderate malnutrition / Severe malnutrition

Saat ini duduk di kelas: ...

Absensi di sekolah oleh karena sakit perut dalam 3 bulan terakhir :……….

2. Data Sakit perut (dispepsia fungsional)

Ya tidak 1. Apakah sakit perut > 1 serangan dalam 2 bulan ( ) ( )

Jika ya, serangan sakit perut terjadi : a. > 1 kali/hari b. 1 kali/hari

c. 3-4 kali/minggu d. 1-2 kali/bulan


(2)

2. Apakah sakit perut berada didaerah : (bisa > dari 1 jawaban)

a. Sekitar pusat

b. Ulu hati dan perut bagian atas

c. Perut bagian bawah

3. Apakah sakit perut mengganggu aktifitas ( ) ( )

Jika ya, saat serangan sakit perut : a. masih dapat berjalan b. mengambil posisi duduk c. mengambil posisi tidur

d. disertai menangis dan menjerit

4. Apakah sakit perut disertai : (bisa > 1 jawaban) a. mual

b. muntah c. nyeri dada

d. nyeri ulu hati / perut bagian atas e. nafsu makan berkurang

d. sakit perut berhubungan dengan makanan e. terbangun tengah malam

f. nyeri perut pada pagi hari

5. Berapa lama sakit perut berlangsung (dalam menit) a. <5


(3)

b. 5-10

d. >10

Ya tidak 6. Apakah sakit perut pada waktu haid ( ) ( ) 7. Apakah sakit perut menjalar ( ) ( )

8. Apakah diantara episode sakit perut terdapat

Masa bebas gejala ( ) ( )

9. Apakah didapati mencret ( ) ( )

10. Apakah sakit perut disertai demam ( ) ( )

11. Apakah sulit buang air besar ( ) ( )

12. Apakah sakit perut disertai buang besar berdarah ( ) ( )


(4)

Lampiran 4. Lembar Catatan Harian Nyeri

NAMA : ALAMAT :

USIA : SEKOLAH/KELAS :

BB/TB : J.KELAMIN :

BULAN :

TANGGAL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

SAKIT PERUT NILAI (PRS)

LAMA SAKIT (MENIT)

MINUM OBAT/TIDAK

ABSEN

SEKOLAH/TDK


(5)

TANGGAL 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 SAKIT PERUT

NILAI (PRS)

LAMA SAKIT (MENIT)

MINUM OBAT/TIDAK

ABSEN


(6)

Lampiran 6.

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : dr. Fadli Syahputra

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 18 September 1973

Alamat : Jl. Tengah No.31 Medan, Sumatera Utara, Indonesia

PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Negeri No.060903 Medan , tamat tahun 1986

Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 2 Medan, tamat tahun 1989 Sekolah Menengah Umum : MAN 1 Medan, tamat tahun 1992

Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat

tahun 2001

Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, tahun 2008 s/d sekarang

RIWAYAT PEKERJAAN :

1. PTT di Puskesmas Barus Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara ,tahun 2001 – 2003

2. PNS RSUD Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah 2005 - sekarang PERTEMUAN ILMIAH / PELATIHAN

1. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKA ke 4 di Medan Sebagai peserta

2. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) di Manado sebagai peserta

PENELITIAN

1. Perbandingan omeprazol dan ranitidin dalam pengobatan dispepsia fungsional pada remaja