Efikasi Famotidin Sebagai Pengobatan Dispepsia Fungsional Pada Remaja
TESIS
EFIKASI FAMOTIDIN SEBAGAI PENGOBATAN
DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA
IRFAN INDRA
087103023/ IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS
ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
(3)
i
EFIKASI FAMOTIDIN SEBAGAI PENGOBATAN
DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak)
dalam program Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi Kesehatan Anak-Spesialis pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
IRFAN INDRA
087103023/ IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
(4)
ii
Judul Tesis
:
Efikasi famotidin sebagai pengobatan
dispepsia fungsional pada remaja
Nama Mahasiswa
:
Irfan Indra
Nomor Induk Mahasiswa :
087103023Program Magister
:
Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi
:
Ilmu Kesehatan Anak
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Supriatmo, SpA(K)
Anggota
Dr. Hj. Melda Deliana , SpA(K)
Ketua Program Magister
Ketua TKP-PPDS
(5)
iii
PERNYATAAN
EFIKASI FAMOTIDIN SEBAGAI PENGOBATAN DISPEPSIA
FUNGSIONAL PADA REMAJA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka
Medan, Agustus 2012
(6)
iv
Telah diuji pada
Tanggal: 14 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: dr. Supriatmo, Sp.A(K)
...
Anggota
:
1. dr. Hj. Melda deliana, Sp.A(K)
...
2. Prof. dr. H. Aznan lelo, PhD.SpFK
...
3. Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K)
...
4. dr. Hj. Sri Sofyani, Sp.A(K)
...
(7)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas
akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan
Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Pembimbing utama dr. Supriatmo, SpA(K) dan dr. Hj. Melda Deliana,
SpA(K) yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran
yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian
tesis ini.
2.
dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter Spesialis Anak FK-USU dan dr. Hj. Beby Syofiani, SpA sebagai
Sekretaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan tesis ini.
3.
Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. H. Syahril Pasaribu,
DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) dan Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis,
(8)
vi
DTM&H, SpA(K) selaku rektor Universitas Sumatera Utara tahun 1995
sampai 2010 serta Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD,KGEH selaku
dekan FK-USU yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di FK-USU.
4.
Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K) selaku Ketua Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan
penyelesaian tesis ini.
5.
Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan
pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
6.
Kepala
Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Kecamatan Lembah Surik Merapi Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara beserta para guru dan seluruh santriatas keramahtamahannya selama penelitian.
7.
Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah
membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian
tesis ini, Fadli, Wiji, Badai, Atahilah, Rizky, Ade Rahmad, Bang Syamsir
Alam, Desi, Fahmi. Terima kasih untuk kebersamaan kita dalam
menjalani pendidikan dan penelitian ini.
8.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan
tesis ini.
(9)
vii
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya Alm.
Suratman dan Hj Saniah, terima kasih atas pengertian, dukungan, do’a,
bantuan moril, materil yang diberikan dan memberi dorongan selama
menjalani pendidikan. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat
imbalan dari Allah SWT.
.Teristimewa untuk istri tercinta dr. Emilia Salfi dan putri saya Nasywa
Alya Sandra dan putra saya Fahrezi Ahmad Sauqi, terima kasih atas doa,
pengertian, dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan selama saya
menempuh pendidikan.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan, 7 Agustus 2012
(10)
viii
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing
ii
Lembar Pernyataan
iii
Lembar Penetapan Panitia Penguji
iv
Ucapan Termah Kasih
v
Daftar Isi
viii
Daftar Tabel
x
Daftar Gambar
xi
Daftar Singkatan
xii
Daftar Lambang
xiii
Abstrak
xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Rumusan Masalah
2
1.3. Hipotesis
2
1.4. Tujuan
2
1.5. Manfaat
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
4
2.2. Epidemiologi
5
2.3. Patofisilogis
6
2.3.1. Faktor Genetik
6
2.3.2. Faktor Psikososial
7
2.3.3. Pengaruh Flora Bakteri
7
2.3.4. Gangguan Motilitas dari Saluran Cerna
8
2.3.5. Hipersensitivitas Viseral
8
2.4. Manifestasi Klinis
9
2.5. Pemeriksaan
12
2.6. Penatalaksanaan
13
2.6.1. Nonfarmakologis
13
2.6.2. Farmakologis
14
2.7. Antagonis Reseptor H
2(AH
2)
14
2.7.1 Famotidin
14
2.8. Kerangka Konsep
16
BAB 3. METODE PENELITIAN
(11)
ix
3.2. Tempat dan Waktu
17
3.3. Populasi dan Sampel
17
3.4. Perkiraan Besar Sampel
17
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
18
3.6. Persetujuan /
Informed Consent
19
3.7. Etika Penelitian
19
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian
20
3.8.1. Cara Kerja
20
3.8.2. Alur Penelitian
22
3.9. Identifikasi Variabel
22
3.10. Definisi Operasional
23
3.11. Pengolahan dan Analisis Data
24
BAB 4. HASIL
25
BAB 5. PEMBAHASAN
31
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
36
Ringkasan
37
Daftar Pustaka
41
Lampiran
44
1.
Personil Penelitian
44
2. Jadwal Penelitian
44
3.
Perkiraan Biaya
44
4.
Lembar Penjelasan
45
5. Persetujuan Setelah Penjelasan
46
6. Kuesioner
47
7. Pemantauan makan obat dan catatan Harian Nyeri
48
8.
Persetujuan komite etik
50
9.
Persetujuan kepala Pondok Pesantren
51
10. Riwayat Hidup
52
(12)
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Alarm symptoms
sakit perut berulang karena kelainan organik11
Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian
27
Tabel 4.2.
Pengaruh pemberian famotidin pada frekuensi dan lama nyeri 28 dispepsia fungsional sebelum dan setelah pengobatanTabel 4.3.
Pengaruh pemberian Plasebo pada frekuensi dan lama nyeri 28 dispepsia fungsional sebelum dan setelah pengobatan.Tabel 4.4.
Perbedaan frekuensi nyeri sebelum dan setelah pengobatan 29(13)
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian
16
Gambar 3.1. Alur penelitian
22
Gambar 4.1. Profil penelitian
26
(14)
xii
DAFTAR SINGKATAN
Hp
:
Helicobacter pyloriRCT : Randomized Controll Trial
CI
:
confidence interval
IL
:
Interleukin
cm
: centi meter
FDA
:
Food and Drugs Administration
FK
: Fakultas Kedokteran
GERD
:
Gastroesophageal reflux disease
kg
: kilogram
m
: meter
mg
: milligram
OR
:
Odds ratio
PPI
:
Proton pump inhibitor
Reseptor AH2
: reseptor antihistamin golongan 2
SMA
: Sekolah Menengah Atas
SMP
: Sekolah Menengah Pertama
SPSS
:
Statistical Package for Social Science
USU
: Universitas Sumatera Utara
WHO
:
World Health Organization
BB
: Berat Badan
(15)
xiii
DAFTAR LAMBANG
α
:
Kesalahan tipe I
β
:
Kesalahan tipe II
n
:
Jumlah subyek / sampel
P
:
Proporsi
P
1:
Proporsi sembuh untuk kelompok I
P
2:
Proporsi sembuh untuk kelompok II
Q
:
1 – P
Q
1:
1 – P
1Q
2 :1 – P
2Zα
:
Deviat baku normal untuk α
Zβ
:
Dev
iat baku normal untuk β
P
:
Tingkat kemaknaan
X
2 :Kai kuadrat
˃
:
Lebih besar dari
˂
:
Lebih kecil dari
≥
:
Lebih besar dari/sama dengan
≤
:
Lebih kecil dari/sama dengan
(16)
xiv
Efikasi famotidin sebagai pengobatan dispepsia fungsional pada remaja
Irfan Indra, Melda Deliana, Supriatmo, Atan Baas Sinuhaji
Department Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara / RS H. Adam Malik, Medan
Abstrak
Latar belakang
Dispepsia fungsional merupakan suatu kelainan
gastrointestinal dengan prevalensi cukup tinggi.
Sejauh ini penelitian kasus
kontrol mengenai terapi dispepsia fungsional pada anak masih terbatas.
Famotidin sebagai reseptor AH2 lebih dipilih karena biaya yang lebih murah.
Tujuan
Meneliti manfaat famotidin sebagai pengobatan dispepsia fungsional
pada remaja.
Metode
Penelitian dilakukan secara acak tersamar ganda sejak Juni sampai
Agustus 2010. Sampel penelitian dibagi menjadi dua kelompok, satu
kelompok mendapat famotidin 20 mg dan plasebo dua kali perhari, diberikan
selama 14 hari. Dilakukan pemantauan frekuensi dan lama nyeri perut
selama 2 bulan. Pengolahan data dilakukan dengan SPSS 17.0 dengan
angka kemaknaan P<0.05.
Hasil
Tujuhpuluh lima penderita dispepsia fungsional diikutkan dalam
penelitian ini, dilakukan randomisasi sederhana dibagi menjadi dua
kelompok, setiap kelompok terdiri dari 38 orang kelompok famotidin dan 37
orang kelompok plasebo, tiga orang tidak menyelesaikan peneliotian.
Dijumpai perbedaan bermakna pada frekuensi terjadinya nyeri sebelum
pengobatan dan sesudah pengobatan dengan famotidin dibandingkan
dengan plasebo (67.6%:14.3%, P=0.0001).
Kesimpulan
Famotidin kelihatannya bermanfaat dalam mengurangi
frekuensi nyeri dispepsia fungsional pada remaja setelah pengobatan 14
hari.
(17)
xv
Efficacy of famotidine as a treatment for functional dyspepsia in
adolescent
Irfan Indra, Melda Deliana, Supriatmo, Atan Baas Sinuhaji
Department of Child Health, Medical School, University of Sumatra Utara,
H. Adam Malik General Hospital, Medan
Abstract
Background
Functional dyspepsia is a high prevalence rate gastrointestinal
disorder. Studies in children with functional dyspepsia were still limited. Due
to lower expenses, famotidine as an Antagonist H2 (AH2) receptor is
preferred.
Objective
To determine famotidine efficacy in treating adolescent functional
dyspepsia.
Methods
We conducted a double blind randomized controlled trial from May
until August 2010 and samples divided into famotidine and placebo group, in
which subjects were treated with 20 mg famotidine and placebo twice a day,
respectively, for a 14 days period. Duration and frequency of abdominal pain
were observed for two consecutive months. Data were statistically analyzed
using the SPSS version 17.0 with P<0.05.
Results
We enrolled seventy five samples with functional dyspepsia and
randomized into two groups of 38 subjects famotidine group and 37 subjects
plasebo group but 3 subjects discontinue the treatment. Pain frequency
significantly differed between famotidine and placebo subjects prior to and
post medication (67.6% and 14.3%, respectively, P=0.0001).
Conclusion
Famotidine is seen to be effective in reducing pain frequency in
functional dyspepsia adolescents after 14 days of treatment.
(18)
1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dispepsia fungsional merupakan suatu kelainan gastrointestinal dengan prevalensi cukup tinggi, ditandai dengan gejala yang berasal dari daerah perut bagian atas tanpa kelainan organik.1Dispepsia fungsional mempunyai gejala kompleks, meliputi rasa nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas, perut terasa penuh, cepat kenyang, perut kembung, sendawa dan mual.2-4
Dispepsia fungsional ditemukan sekitar 26% sampai 34% dari seluruh populasi. Dispepsia sering terjadi pada anak dengan keluhan nyeri perut yang kronik sebanyak 80% selama pemeriksaan.5 Penanganan secara farmakologi masih belum memuaskan, karena penyebab dispepsia fungsional tidak jelas. Beberapa penelitian uji klinis terapi farmakologi masih kontroversi, namun pengobatan secara empirik dengan anti sekretori atau prokinetik selama 2 sampai 4 minggu menjadi penanganan awal untuk dispepsia fungsional.6
Pemberian famotidin sebagai reseptor antagonis H2 (AH2) memiliki efikasi dalam mengurangi asam lambung dengan cara menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin.7 Sejauh ini penelitian kasus kontrol mengenai terapi dispepsia fungsional pada anak masih terbatas. Proton Pump Inhibitor (PPI), reseptor AH2 banyak diberikan pada pengobatan dispepsia.8
Penelitian metaanalisis RCT menyatakan bahwa reseptor AH2 lebih efektif dibandingkan plasebo pada pasien dispepsia fungsional. Data terbaru suatu
(19)
2
metaanalisis tidak menunjukan kelebihan omeprazol dibandingkan dengan reseptor AH2 pada pasien dispepsia fungsional, karena itu reseptor AH2 lebih dipilih karena biaya yang lebih murah.9
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan yaitu:
apakah pemberian famotidin efektif sebagai pengobatan dispepsia fungsional
pada remaja dibandingkan dengan plasebo?
1.3. Hipotesis
1.3.1. Pengobatan famotidin efektif dalam mengurangi frekuensi nyeri
perut pada remaja dengan dispepsia fungsional.
1.3.2. Pengobatan famotidin efektif dalam mengurangi lama nyeri perut pada
remaja dengan dispepsia fungsional.
1.4. Tujuan
1.
Untuk mengetahui efek pengobatan famotidin dalam mengurangi
frekuensi nyeri perut dispepsia fungsional pada remaja.
2.
Untuk mengetahui efek pengobatan famotidin dalam mengurangi
durasi atau lama nyeri perut dispepsia fungsional pada remaja.
(20)
3 1.5. Manfaat
1. Di bidang akademik/ ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti dalam hal pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.
2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan usaha pelayanan kesehatan remaja khususnya di bidang gastroentero-hepatologi anak dan memberikan alternatif pengobatan dispepsia fungsional pada remaja.
3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap bidang gastroentero-hepatologi anak, khususnya dalam pengembangan penelitian tentang dispepsia fungsional pada remaja.
(21)
4 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘pencernaan yang tidak baik’. Dispepsia mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas; meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), rasa penuh setelah makan.10
Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaan tidak ditemukan kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut seperti
chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy, sekitar 60% keluhan-keluhan tersebut tidak dapat dijelaskan, keadaan ini disebut fungsional, atau non-ulcer dyspepsia. Pasien dengan penyebab yang jelas tidak dimasukkan dalam kategori dispepsia fungsional.11
Menurut ROME III tahun 2006, dispepsia fungsional harus memenuhi semua kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan:12
- Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).
- Nyeri tidak hilang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.
- Tidak ditemukan kelainan organik.
(22)
5 2.2.Epidemiologi
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui. Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri perut setiap minggu dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter.13
Penelitian di Bangkok mendapatkan dispepsia fungsional sebesar 62% pada anak dan remaja berusia diatas 5 tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan.4 Data statistik kunjungan pasien baru rawat jalan poliklinik anak Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2009 didapati 11 kasus dispepsia dari 1.910 pasien baru, tahun 2010 didapati 12 kasus dispepsia dari 1.894 pasien baru, tahun 2011 didapati 24 kasus dispepsia dari 1.935 pasien baru. Dari data statistik tersebut dijumpai peningkatan angka kunjungan pasien dispepsia setiap tahun.14
Seiring dengan bertambah maju ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit saluran pencernaan yang disebabkan
Helicobacter pylori (Hp), maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Hp. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atas 4 tahun kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.15-17
(23)
6 2.3. Patofisiologi
2.3.1. Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi penderita gangguan gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat meyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem
reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang memengaruhi motilitas dari usus. 11
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal.11
2.3.2. Faktor Psikososial
Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosi labil memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini merupakan akibat dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanisme-neuroendokrin.11
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa anak-anak dengan gangguan fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan karena kecemasan pada diri mereka dan orang tua terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau kecemasan
(24)
7
dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.11,18
2.3.3. Pengaruh Flora Bakteri
Infeksi Hp menyebabkan dispepsia fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan kadar somatostatin.11,15,16
2.3.4. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan
Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti tahun 2000 menunjukkan keterlambatan esensial pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal.11
(25)
8 2.3.5. Hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus.6,11
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas duodenum.11
Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak yang terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit yang berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme sentral. Bagian kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam persepsi stimuli periperal. 6,11
(26)
9 2.4. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan/ gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni:17
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas) f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras
(borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
(27)
10
kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.19,20 Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel berikut.21
Tabel 2.1.Alarm symptoms sakit perut berulang karena kelainan organik.21 Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah) Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari Nyeri timbul tiba-tiba
Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia) Disertai perdarahan saluran cerna
Terdapat disuria
Berhubungan dengan menstruasi Terdapat gangguan tumbuh kembang
Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun Terjadi pada usia < 4 tahun
Terdapat organomegali
Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
(28)
11 2.5. Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian:10,22
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pancreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,
(29)
12 2.6. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Hp, Itoprid, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti adalah antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, reseptor AH2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.6,23 Penanganan dispepsia fungsional dapat dilakukan dengan non farmakologi dan farmakologi.
2.6.1. Non farmakologi
Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan
cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologi.Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.22,24
2.6.2. Farmakologis
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu :6,7,25,26 a. Antasida
(30)
13
c. Antagonis reseptor H2 d. PPI
e. Sitoprotektif
f. Golongan prokinetik
g. Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti depresi dan cemas)
2.7. Reseptor Antagonis H2 (AH2)
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan ini adalah famotidin, ranitidin, simetidin dan nizatidin.7 Obat cepat diserap setelah pemberian per oral. Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan konsentrasi.27
Penghambat reseptor AH2 secara kompetitif manghambat aksi histamin pada reseptor histamine H2 pada sel parietal lambung. Sel parietal memiliki reseptor untuk histamin, asetilkolin dan gastrin, yang semuanya dapat merangsang sekresi asam hidroklorida ke dalam lumen gaster.7,27
Penghambat reseptor H2 menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin. Efek penghambat reseptor H2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan konsentrasi.7,27
Reseptor AH2 kecil pengaruhnya terhadap otot polos lambung dan tekanan sfingter esophagus yang lebih bawah. Sekresi gastrointestinal yang lain tidak banyak berkurang. Terdapat perbedaan potensial yang sangat jelas dari efikasinya dibanding obat lain dalam mengurangi sekresi asam.7
(31)
14
2.7.1 Famotidin
Famotidin merupakan antagonis reseptor H2 yang bersifat long-acting. Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan duapuluh lebih poten daripada simetidin. Famotidin cepat diserap dan mencapai kadar puncak di plasma kira- kira dalam 1 sampai 3 jam setelah penggunaan oral, masa paruh eleminasi 3 sampai 8 jam dan bioavaibilitas 40% sampai 50%. Metabolit utama adalah famotidin S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.7
Efek reseptor AH2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan konsentrasi. Famotidin diberikan dengan dosis 0.5 mg/kgBB/dosis dua kali sehari dengan dosis maksimal 40 mg/hari selama dua minggu.27
Efek samping famotidin biasa ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare.7
(32)
15 2.8. Kerangka Konseptual
: variabel yang diteliti
DISPEPSIA
DISPEPSIA ORGANIK
Faktor Genetik Faktor
Psikososial
Frekuensi Nyeri Lama/ Durasi
nyeri - Infeksi H. pylori
- Ulkus lambung - Ulkus duoedenum
Ulcus-like dyspepsia Dysmotility-like
dyspepsia Non specific dyspepsia
Pengobatan Famotidin
DISPEPSIA FUNGSIONAL (menurut kriteria
ROME III)
Hipersensitif Viseral
(33)
16 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Desain
Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda untuk melihat efek
pemberian famotidin dibandingkan dengan plasebo dalam pengobatan
dispepsia fungsional pada remaja.
3.2. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Kecamatan Lembah Surik Merapi Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara selama bulan Mei sampai Agustus 2010.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah remaja yang menderita dispepsia fungsional. Populasi terjangkau adalah populasi target yang menjalani pendidikan di Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Kecamatan Lembah Surik Merapi Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara selama bulan Mei sampai Agustus 2010. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji klinis untuk 2 proporsi kelompok independen, yaitu :28
n1 =n2 = (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2 )2
(34)
17
n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok A
n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok B
α = kesalahan tipe I = 0,05 (Tingkat kepercayaan 95%) Zα = 1,96
β = kesalahan tipe II = 0,2 (kekuatan penelitian 80%) Zβ = 0,842
P1 = proporsi kesembuhan di kelompok A = 0.727
Q1 = 1 – P1 = 0.3
P2 = proporsi kesembuhan di kelompok B = 0.45
Q2 = 1 – P2 = 0.55
P = P1+P2 = 0,575
2
Q = 1 – P = 0.425
Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 35 orang.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi
- usia 10 sampai 18 tahun.29
- Harus memenuhi semua kriteria dibawah ini yang dialami sekurang-kurangnya 1 kali seminggu selama minimal 2 bulan ini.
• Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang
(35)
18
• Nyeri tidak berkurang dengan defekasi atau tidak berhubungan
dengan suatu perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.
• Tidak ditemukan kelainan organik.
Kriteria eksklusi
- Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik.
- Menggunakan obat lain selama masa penelitian.
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan/ Informed Consent
Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu untuk pemberian famotidin pada penderita dispepsia fungsional.
3.7. Etika Penelitian
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.8.1. Cara Kerja
1. Pasien disurvei dahulu dengan kuesioner dan wawancara langsung.
2. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik dispepsia
fungsional (kriteria ROME III) dimasukkan ke dalam penelitian.
(36)
19
3. Pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengukuran
antropometri meliputi:
- Berat Badan (BB) dengan menggunakan timbangan
merk camry
dengan tingkat ketepatan 0.5 kg. Subjek ditimbang tanpa
menggunakan alas kaki dan hanya memakai pakaian sekolah saja .
- Tinggi Badan (TB) dengan menggunakan
microtoa
2 M yang terbuat
dari metal dengan tingkat ketepatan 0.5 cm. Subjek diukur pada posisi
tegak dengan muka menghadap kedepan, bokong dan tumit
menempel ke dinding, tanpa menggunakan alas kaki.
4. Sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang mendapat
Famotidin dan kelompok plasebo dan dilakukan randomisasi sederhana
dengan menggunakan tabel randomisasi.
5. Masing-masing kelompok dinilai frekuensi dan lama atau durasi nyeri
perut sebelum pemberian obat .
6. Kelompok pertama (A) mendapat Famotidin 20 mg dua kali sehari,
diberikan selama dua minggu.
7. Kelompok kedua (B) mendapat plasebo yang berisi
saccarum lactis
dua
kali sehari, diberikan selama dua minggu.
8. Selama makan obat (14 hari) kedua kelompok tetap dipantau setiap hari
dengan mengecek daftar pemantauan makan obat dan kemungkinan efek
(37)
20
samping yang timbul dan ditanda tangani oleh orang tua yang telah
dijelaskan kepada anak dan orang tua.
9. Famotidin dan plasebo dimasukkan ke dalam kapsul dengan warna yang
sama. Pasien dan peneliti tidak mengetahui obat yang diberikan.
10. Obat diberikan oleh anggota penelitian kepada sampel penelitian kedua
kelompok.
11. Obat diminum setengah jam sebelum makan dengan minum air putih.
12. Diberikan catatan nyeri perut selama dua bulan dan dijelaskan kepada
anak dan orang tua.
13. Masing-masing kelompok menulis catatan harian yang telah diberikan
untuk mencatat frekuensi, lama atau durasi nyeri perut per bulan selama
dua bulan.
14. Evaluasi dilakukan tiap bulan selama dua bulan untuk melihat frekuensi,
lama atau durasi sakit, serta evaluasi efek samping yang timbul dengan
catatan harian.
15. Bila timbul efek samping berupa sakit kepala, pusing, konstipasi dan
diare, hentikan obat jika timbul sakit kepala berikan analgetik
(parasetamol), jika terjadi diare beri oralit kemudian hubungi tempat
pelayanan kesehatan terdekat (Puskesmas) atau hubungi ke no telepon:
(061)77653834/ 081370387934 atas nama: dr. Irfan indra.
(38)
21
3.8.2. Alur Penelitian
3.9. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Kelompok obat Nominal
Variabel tergantung Skala
Frekuensi nyeri perut Ordinal Durasi nyeri perut Ordinal
3.10. Definisi Operasional
1. Dispepsia fungsional merupakan nyeri perut yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus) sesuai dengan kriteria ROME III tahun 2006.
famotidin 20 mg (14 hari)
plasebo (14 hari) Dispepsia fungsional
sesuai kriteria ROME III
Frekuensi dan lama nyeri perut
2 bulan (evaluasi) Frekuensi dan lama
nyeri perut
(39)
22
2. Famotidin tablet 40 mg produk kimia farma No. Reg: GKL9412413301A1, MD: PEB 10 ED: MEI 15, obat digerus dimasukan kedalam kapsul yang berisi famotidin 20 mg dan diberikan dua kali sehari setiap hari selama 14 hari .
3. Frekuensi nyeri dicatat sesuai dengan jumlah nyeri perut yang dialami dalam 2 bulan terakhir.
4. Durasi atau lama nyeri dicatat sesuai dengan waktu lama nyeri perut yang dialami dalam satuan menit.
5. Remaja menurut WHO usia 10 sampai 19 tahun.29
6. Evaluasi dilakukan penilaian terhadap frekuensi, dan lama nyeri sebelum pengobatan sebanyak satu kali dan sesudah pengobatan sebanyak dua kali (setiap bulan selama dua bulan).
7. Alarm symptoms adalah tanda-tanda peringatan sakit perut yang disebabkan oleh kelainan organik, seperti nyeri terlokalisir jauh dari umbilikus, nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah), nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari, nyeri timbul tiba-tiba, muntah berulang terutama muntah kehijauan, gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia), perdarahan saluran cerna, disuria, berhubungan dengan menstruasi, terdapat gangguan tumbuh kembang, gangguan sistemik (demam, nafsu makan berkurang), usia < 4 tahun, organomegali, terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi, kelainan perirektal (fisura, ulserasi).
(40)
23
8. Obat lain adalah obat-obatan yang dapat memengaruhi keadaan
kondisi saluran pencernaan seperti: antasida, NSAID, steroid,
antibiotik.
3.11. Pengolahan dan Analisis Data
Data dianalisis dengan uji kai-kuadrat untuk menilai perbedaan frekuensi dan lama nyeri antara pemberian famotidin dan plasebo pada pengobatan dispepsia fungsional. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 17.0 dengan tingkat kemaknaan P < 0.05, dan interval kepercayaan 95 %. Untuk menilai perbaikan keluhan frekuensi dan lama nyeri perut pada dispepsia fungsional dengan pemberian famotidin dan plasebo digunakan uji non parametrik marginal homogenity test.
(41)
24 BAB 4 HASIL
Penelitian dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah sederajat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Alyah sederajat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Kecamatan Lembah Surik Merapi Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara selama bulan Mei sampai Agustus 2010. Pada awal penelitian dilakukan skrining pada remaja dengan jumlah 473 remaja. Sebanyak 120 orang menderita sakit perut, namun hanya 75 orang yang memenuhi kriteria ROME III, 37 remaja tidak memenuhi kriteria ROME III dan 8 remaja menolak untuk mengikuti penelitian. Setelah dilakukan randomisasi terhadap 75 orang remaja yang menderita dispepsia fungsional menurut ROME III tahun 2006, selanjutnya dibagi atas dua kelompok yang terdiri dari 38 orang remaja mendapatkan famotidin dan 37 orang remaja mendapatkan plasebo. Pemberian famotidin dan plasebo dilakukan di Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru dengan persetujuan dari Kepala Pondok Pesantren Musthafawiyah dan dilakukan pengawasan oleh para guru. Selama pemantauan didapati 3 orang tidak dapat dinilai karena izin pulang kekampung, satu orang dari kelompok famotidin dan dua orang dari kelompok plasebo. Selama dilakukan penelitian tidak dijumpai efek samping terhadap pemberian famotidin dan plasebo.
(42)
25
Gambar 4.1 Profil Penelitian
473 remaja SLTP dan SLTA
75 remaja mengikuti penelitian
- 37 orang tidak memenuhi kriteria
8 orang menolak mengikuti
Famotidin n = 38
Plasebo n = 37
Mengikuti penelitian dan pemantauan bulan
pertama dan kedua n = 37
Mengikuti penelitian dan pemantauan bulan
pertama dan kedua n = 35
120 menderita sakit perut
1 orang tidak melanjutkan
2 orang tidak melanjutkan
(43)
26
Tabel 4.1. Karakteristik responden penelitian
Karakteristik Famotidin n = 37 Plasebo n = 35 Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki 22 (59.5) 21 (60.0) Perempuan 15 (40.5) 14 (40.0) Pendidikan, n (%)
SMP 27 (73.0) 22 (62.9)
SMA 10 (27.0) 13 (37.1)
Umur (tahun), rerata (SD) 15 (1.30) 15.3 (1.57) BB (kg), rerata (SD) 43 (5.65) 44.7 (6.76) TB (cm), rerata (SD) 150 (7.26) 152.3 (7.75) Gejala Sebelum Pengobatan, n (%)
Nafsu makan berkurang 8 (21.6) 8 (22.9)
Mual 14 (37.8) 15 (42.9)
Muntah 3 (8.1) 1 (2.9)
Perut Kembung 8 (21.6) 7 (20.0) Cepat Kenyang 4 (10.8) 4 (11.4)
Responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang mendapat famotidin sebanyak 37 orang dan kelompok yang mendapat plasebo sebanyak 35 orang. Pada kelompok yang mendapat famotidin, responden terbanyak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 59.5% dan begitu juga dengan kelompok plasebo terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 60%. Tingkat pendidikan responden terbanyak untuk kelompok yang mendapat famotidin dan plasebo yaitu SMP sebanyak masing-masing 73% dan 62.9%. Rata-rata usia, berat badan dan tinggi badan pada kedua kelompok tidak jauh berbeda. Gejala paling sering dialami oleh masing-masing kelompok adalah mual masing-masing 37.8% dan 42.9%.
(44)
27
Tabel 4.2.Pengaruh pemberian famotidin pada frekuensi dan lama nyeri dispepsia fungsional sebelum dan setelah pengobatan.
Waktu pemeriksaan
Frekuensi nyeri Lama nyeri 1x /minggu ≥ 2x /minggu 1-2x
/4minggu < 10 menit 10-30 menit > 30 menit Sebelum pengobatan 19 (51.4) 18 (48.6) 0 (0) 16 (43.2) 12 (32.4) 9 (24.3) 1 bulan pengobatan 15 (40.5) 4 (10.8) 18 (48.6) 18 (48.6) 12 (32.4) 7 (18.9)
P = 0.003 P = 0.157
2 bulan pengobatan 10 (27.0) 2 (5.4) 25 (67.6) 18 (48.6) 11 (29.7) 8 (21.6)
P = 0.0001 P = 0.590
Berdasarkan frekuensi nyeri dispepsia fungsional terdapat perbedaan bermakna pada sebelum dan sesudah pemberian famotidin selama 1 bulan dan 2 bulan (P = 0.003 dan P = 0.0001), namun pada pemberian famotidin setelah 1 bulan dan 2 bulan tidak terdapat perbedaan bermakna berdasarkan lama nyeri dispepsia fungsional (P = 0.157 dan P= 0.590).
Tabel 4.3. Pengaruh pemberian Plasebo pada frekuensi dan lama nyeri dispepsia fungsional sebelum dan setelah pengobatan.
Waktu pemeriksaan
Frekuensi nyeri Lama nyeri 1x /minggu ≥2x /minggu 1-2x
/4minggu < 10 menit 10-30 menit > 30 menit Sebelum pengobatan 20 (57.1) 15 (42.9) 0 (0) 14 (40.0) 10 (28.0) 11 (31.4) 1 bulan pengobatan 14 (40.0) 17 (48.6) 4 (11.4) 12 (34.3) 14 (40.0) 9 (25.7)
P = 0.041 P = 1
2 bulan pengobatan 18 (51.4) 12 (34.3) 5 (14.3) 12 (34.3) 13 (37.1) 10 (28.6)
P = 0.194 P = 0.869
Pada pemberian plasebo tidak terdapat perbedaan bermakna antara sebelum dan setelah pengobatan 1 bulan dan 2 bulan berdasarkan frekuensi nyeri
(45)
28
dan lama nyeri dispepsia fungsional. Namun perbedaan hanya terdapat pada frekuensi nyeri sebelum dan setelah pengobatan 1 bulan pengobatan (P=0.041). Tabel 4.4. Perbedaan frekuensi nyeri sebelum dan setelah pengobatan
Frekuensi Nyeri Famotidin, n (%) Plasebo, n (%) P Sebelum Pengobatan
1x/minggu 19 (51.4) 20 (57.1) 0.622
≥ 2x/minggu 18 (48.6) 15 (42.9)
Setelah 1 bulan pengobatan
1x/minggu 15 (40.5) 14 (40.0) 0.0001
≥ 2x/minggu 4 (10.8) 17 (48.6)
1-2x/4 minggu 18 (48.6) 4 (11.4) Setelah 2 bulan pengobatan
1x/minggu 10 (27.0) 18 (51.4) 0.0001
≥ 2x/minggu 2 (5.4) 12 (34.3)
1-2x/4 minggu 25 (67.6) 5 (14.3)
Pada awal penelitian semua responden pada kedua kelompok merupakan penderita dispepsia fungsional. Setelah dilakukan pengobatan dengan famotidin dan plasebo, diamati setelah satu bulan dan dua bulan maka didapati perbedaan bermakna terhadap frekuensi nyeri pada kelompok yang mendapatkan famotidin dan kelompok yang mendapatkan plasebo (P<0.05). Tabel diatas juga dapat dilihat setelah dua bulan pengobatan, frekuensi nyeri 1 sampai 2 kali setiap bulan pada kelompok famotidin sebanyak 67.6% dibandingkan dengan yang mendapatkan plasebo sebanyak 14.3%.
(46)
29
Tabel 4.5. Perbedaan lama nyeri sebelum dan setelah pengobatan.
Lama Nyeri Famotidin, n (%) Plasebo, n (%) P Sebelum Pengobatan
< 10 menit 16 (43.2) 14 (40.0) 0.795 10-30 menit 12 (32.4) 10 (28.0)
> 30 menit 9 (24.3) 11 (31.4) Setelah 1 bulan pengobatan
< 10 menit 18 (48.6) 12 (34.3) 0.461 10-30 menit 12 (32.4) 14 (40.0)
> 30 menit 7 (18.9) 9 (25.7) Setelah 2 bulan pengobatan
< 10 menit 18 (48.6) 12 (34.3) 0.464 10-30 menit 11 (29.7) 13 (37.1)
> 30 menit 8 (21.6) 10 (28.6)
Analisa terhadap lama nyeri yang terjadi pada kelompok yang mendapatkan famotidin dan kelompok yang mendapatkan plasebo setelah 1 bulan pengobatan ternyata tidak ada perbedaan bermakna yang terjadi pada kedua kelompok terhadap lama nyeri (P = 0.461). Begitu juga setelah 2 bulan pengobatan tidak dijumpai perbedaan bermakna terhadap lama nyeri (P = 0.464).
(47)
30 BAB 5 PEMBAHASAN
Studi kami dilaksanakan di sebuah pesantren dengan tingkat pendidikan setara dengan SMP dan SMA dengan rentang umur yang hampir sama mendapatkan hasil usia penderita dispepsia fungsional berkisar dari 10 sampai 18 tahun, dengan rerata usia 15 ± 1.30 tahun menggunakan famotidin dan 15.26 ± 1.57 tahun menggunakan plasebo.
Suatu studi yang berbasis sekolah di Italia didapatkan prevalensi anak yang menderita dispepsia fungsional dengan rerata usia 52 bulan, dan prevalensi di Amerika Utara berkisar antara 12.5% dan 15% dengan usia 4 sampai 18 tahun.8 Studi lain mendapatkan 30 anak dengan dispepsia fungsional berusia 8 sampai 17 tahun (rata-rata 11,4 tahun) dengan perempuan 19 orang dan laki-laki 11 orang.30
Penelitian ini didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak pada kedua kelompok baik yang mendapatkan famotidin maupun plasebo. Penelitian di India menyatakan mayoritas penelitian berbasis populasi tidak menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin pada prevalensi dispepsia fungsional. Sebagian kecil penelitian dipopulasi yang berbeda mendapatkan perempuan lebih banyak menderita dispepsia fungsional.31
Keluhan paling banyak ditemukan pada anak usia 4 sampai 14 tahun adalah nyeri perut berulang, mewakili dari kelompok yang heterogen. Keluhan ini mencakup kelainan organik maupun kelainan nonorganik. Banyak sekali anak dengan penyakit ini mengeluhkan perasaan tidak nyaman yang berlokasi di perut bagian atas dan keluhan-keluhan dispepsia seperti yang dikenal pada orang dewasa. Bila keluhan ini
(48)
31
tidak dapat dijelaskan secara struktural, biokimia dan histologi maka di pertimbangkan menderita dispepsia fungsional.32
Kepustakaan terbaru menunjukkan walaupun banyak ditemukan dispepsia pada orang dewasa, namun terbatas sekali data dispepsia pada anak. Spiroglou mendapatkan lebih dari 50% pasien menderita dispepsia fungsional dengan gejala yang sering dialami mual, muntah, cepat kenyang, terbangun tidur, dan sendawa. Hyams pada suatu penelitian prospektif menemukan setelah dilakukan esofagosgastroduodenoskopi dan biopsi, 35 dari 56 pasien (62.5%) menderita dispepsia fungsional.32
Studi di Kansas City mendapatkan pasien dispepsia fungsional seluruhnya mengeluhkan nyeri perut. Penggunakan definisi dispepsia fungsional adalah nyeri perut bagian atas yang menetap atau berulang atau rasa tidak nyaman sesuai dengan kriteria diagnosis yang telah ditetapkan, mendapatkan dari 30 orang anak mengeluhkan mual 63%, cepat kenyang 37%, rasa penuh 27%, perut kembung 10%.30
Kriteria ROME III pada anak untuk dIspepsia fungsional telah mengeliminasi penggunaan endoskopi dan merekomendasikan hanya pendekatan keluhan dengan tidak adanya alarm symptoms, maka dispepsia fungsional secara positif dapat didiagnosis pada anak jika pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.33
Penelitian ini menggunakan alarm symptoms untuk menyingkirkan keluhan nyeri perut akibat kelainan organik. Kami menemukan 42 orang remaja dengan keluhan nyeri perut berulang disertai adanya alarm symptoms.
(49)
32
Menurut konsensus Rome III mengenai nyeri perut bagian atas, perut bagian atas merujuk pada daerah di antara umbilikus dan bagian bawah tulang sternum yang dibatasi oleh garis midklavikula. Nyeri merujuk pada suatu sensasi yang tidak menyenangkan bersifat subjektif.1
Banyak penelitian menggunakan dosis standar AH2 dengan lama pengobatan kurang dari 8 minggu. Diperlukan penelitian yang lebih besar untuk mengevaluasi dosis reseptor AH2 yang lebih tinggi dan lama pemberian yang mungkin diperlukan untuk menentukan efek yang tepat dari reseptor AH2 terhadap dispepsia fungsional.25
Suatu systematic review pada orang dewasa, Double-Blind, RCT Placebo-Controlled Crossover didapatkan perbaikan yang signifikan famotidin 20 mg selama 4 minggu dibanding plasebo pada kelompok yang diamati (p=0.007).6 Penelitian di Iran membandingkan efektifitas simetidin, ranitidin, famotidin dan omeprazol mendapatkan perbaikan keluhan nyeri perut masing-masing 45.9%, 65.9%, 66.7% dan 73.1%.34
Pada penelitian ini, kami menilai efek famotidin terhadap perbaikan frekuensi dan lama nyeri perut pada dispepsia fungsional sebelum pengobatan, 1 bulan setelah pengobatan dan 2 bulan setelah pengobatan pada usia 10 sampai 18 tahun. Pada awal penelitian semua sampel mengalami nyeri perut bagian atas sekurang-kurangnya 1 kali/ minggu selama minimal 2 bulan sesuai dengan kriteria ROME III untuk diagnosis dispepsia fungsional.
Pengamatan setelah 1 bulan pengobatan menunjukkan perbedaan bermakna terhadap frekuensi nyeri 1 sampai 2 kali/4 minggu dari kedua kelompok
(50)
33
dimana pada kelompok yang mendapat famotidin sebanyak 18 orang (48.6%), sedangkan pada kelompok plasebo 4 orang (11.4%), dengan nilai kemaknaan P< 0.05. Setelah pengamatan 2 bulan frekuensi nyeri 1 sampai 2 kali/ bulan didapatkan pada kelompok yang mendapat famotidin sebanyak 25 orang (67.6%) dan pada kelompok yang mendapat plasebo 5 orang (14.3%) dengan nilai P < 0.05.
Studi di Kansas city mendapatkan dari 30 orang anak 37% mengeluhkan nyeri antara 3 sampai 4 bulan, 26% mengeluhkan nyeri perut 4 sampai 11 bulan, dan sisanya mengeluhkan lebih dari 11 bulan. Pasien juga melaporkan lama nyeri perut kurang dari 1 jam sebanyak 48% pasien, 1 sampai 4 jam sebanyak 26%, hampir sepanjang hari 19%, dan 1 hari atau lebih sebanyak 7%. Seluruh pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi pengurangan asam yang telah diberikan.30
Uji klinis yang dilakukan pada orang dewasa nyata menunjukkan efikasi dari antagonis reseptor histamin-2 (simetidin, ranitidin, famotidin) untuk perbaikan keluhan dispepsia dan gastroesophageal reflux.32
Penelitian See, memasukkan 25 anak pada suatu uji klinis acak tersamar ganda terhadap famotidin untuk dispepsia dan nyeri perut. Dilakukan penilaian menyeluruh dan penilaian kuantitatif nyeri sebelum dan sesudah masa pengobatan dan didapatkan keuntungan atau kelebihan yang nyata famotidin dibandingkan plasebo (68.% vs 12%).27
Penelitian ini lama nyeri diamati pada kelompok yang mendapat famotidin maupun plasebo menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada 1 bulan pengobatan dengan lama nyeri < 10 menit, 10 sampai 30 menit dan > 30 menit pada
(51)
34
kelompok yang mendapat famotidin (48.6%, 32.4%,18.9%) dan kelompok yang mendapat plasebo (34.3%, 40.0%, 25.7%) dengan nilai P=0.461. Pengamatan setelah pengobatan 2 bulan juga tidak menunjukkan perbedaan bermakna terhadap lama nyeri pada kelompok yang mendapat famotidin (48.6%, 29.7%, 21.6%) dan kelompok yang mendapat plasebo (34.3%, 37.1%, dan 28.9%) dengan nilai P=0.464.
(52)
35 BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Famotidin (67.6%) lebih efektif dalam mengurangi frekuensi nyeri dispepsia fungsional pada remaja setelah pengobatan 14 hari dibandingkan dengan plasebo (14.3%) dengan P=0.0001. Pengobatan dengan famotidin (21.6%) tidak menunjukkan perbedaan bermakna terhadap durasi nyeri penderita dispepsia fungsional pada remaja dibandingkan plasebo (28.6%) dengan nilai P= 0.464.
Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi dosis golongan reseptor AH2 dan lama pemberian pada pengobatan dispepsia fungsional pada anak untuk mendapatkan efek yang diharapkan. Pendekatan penanganan yang baik tampaknya menjadi pertimbangan terhadap faktor fisiologi dan psikologi yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia fungsional.
(53)
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Geeraerts B, Tack J. Functional dyspepsia: past, present, and future. J Gastroenterol. 2008;43:251-5.
2. Hunt RH, Fallone C, Zanten SV. Etiologi of dyspepsia: implications for empirical therapy. Can J Gastroenterol. 2002; 16(9):635-41.
3. Ghosal UC, Singh R, Chang F, Wong BCY, Kachington U. Epidemiology of uninvestigated and functional dyspepsia in Asia:fast and fiction. J Neurogastroenterol Motil. 2011;17:235-44.
4. Rerksuppaphol L, Rerksuppaphol S. Functional dyspepsia in children. JMHS. 2007;14(2):78-89.
5. Perez ME, Youssef NN. Dyspepsia in childhood and adolescence : insight and treatment considerations. Curr Gastroenterol Rep. 2007;9(6):447-55. 6. Passos MC, Duro D, Fregni F. CNS or classic drug for the treatment of
pain in functional dyspepsia ? a systematic review and meta-analysis of the literature. Pain Physician. 2008; 11(5):597-609.
7. McQuad KR. Drugs used in the treatment of gastrointestinal disease. Dalam: Katzung BG, penyunting. Basic and clinical pharmacology. Edisi ke-10. San Fransisco: Mc Graw Hill, 2006.h. 1009-17.
8. Rasquin A, Lorenzo CD, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, dkk. Childhood functional gastrointestinal disorders : Child/Adolescent. Gastroenterology. 2006;130:1527-37.
9. Dickerson LM, King DE. Evaluation and management of nonulcer dyspepsia. AAFP. 2004;70(1):107-13.
10. Kalantar JS, Talley NJ. Towards a diagnosis of functional dyspepsia. Medicine Today. 2007;8(12):45-50.
11. Dobrek L, Thor PJ. Pathophysiological concepts of functional dyspepsia and irritable bowel syndrome future pharmacotherapy. Drug Reseach. 2009;66: 447 – 460.
12. Drossman D. Rome III : The new criteria. Chin J Dig Dis. 2006; 7:181-5. 13. AAP Subcommittee and NASPGHAN Committee on Chronic Abdominal
Pain. Chronic abdominal pain in children : A technical report of the American Academy of Pediatrics and the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2005;40:249-61.
14. Data kunjungan rawat jalan poli anak Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2011.
15. Talley NJ, Janssens J, Lauritsen K, Racz I. Eradication of Helycobacter pylori in functional dyspepsia : randomized double blind placebo controlled trial with 12 months’s follow up. BMJ. 1999;318:833-7.
16. Laine L, Schoenfeld P, Fennerty MB. Therapy for Helicobacter pylori in patients with nonulcer dyspepsia : a meta-analysis of randomized controlled trials. Ann Intern Med. 2001;134:361-9.
17. Miele E, Simeone D, Marino A, reco L, Aurichio R, Novek SJ, dkk. Functional gastrointestinal in children: an Italian prospective survey. Pediatrics. 2004;114:73-8.
31 41
(54)
39
18. Plunkett A, Beattie RM. Recurrent abdominal pain in children. J R Soc Med. 2005;98:101-6.
19. Clouse RE, Mayer EA, Aziz Q, Drossman DA, Dumitrascu DL, Monnikes H, dkk. Functional abdominal pain syndrome. Gastroenterology. 2006;130(5):1492-7.
20. Drossman DA. Functional abdominal pain syndrome.
21. Boediarso A. Sakit perut pada anak. Dalam: Juffrie M, Sunarto SS, Oswari H, dkk, Penyunting. Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI, 2010.h.149-65.
22. Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J Gastroenterol. 2005;100:2324-37.
23. Holtmann G, Talley NJ, Liebregts T, Adam B, Parow C. A placebo-controlled trial of itopride in functional dyspepsia. N Engl J Med. 2006;354(8):832-40.
24. Ringel Y. Functional dyspepsia. Diunduh dari : http://www. med.unc.edu/medicine/fgidc/collateral/functional_dyspepsia_06132005.pdf. [diakses Mei 2010]
25. Monkemuller A, Malfertheiner P. Drug treatment of functional dyspepsia. World J Gastroenterol. 2006;12(17):2694-700.
26. Rensburg C, Bergover P, Enns R, Dattani ID, Maritz JF, Carro PG, dkk. Efficacy and safety of pantoprazole 20 mg once daily treatment in patients with ulcer-like functional dyspepsia. Cur Med Res Opin. 2008;24(7):2009-16.
27. See MC, Birnbaum AH, Schechter CB, Goldenberg MM, Benkov KJ.
Double blind, placebo-controlled trial of famotidine in children with
abdominal pain and dyspepsia. Dig Dis Sci. 2001;46(5):985-92.
28. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, 2008.h.302-30.
29. World Health Organization. Young people’s health – a challenger for society: report of a study group on young people and health for all by the year 2000. Technical report Series. 1986:731: 1-120.
30. Friesen CA, Lin Z. Hyman PE, Andre L, Welchert E, Schurman JV, et al. Electrogastrography in pediatric functional dyspepsia: relationship to gastric emptying and symptom severity. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;42:265-9.
31. Kumar A, Patel J, Sawant P. Epidemiology of functional dyspepsia. JAPI. 2012;60:9-12.
32. Spiroglou K, Paroutoglou G, Nikolaides N, Xinias I, Giouleme O, Arsos G, dkk. Dyspepsia in childhood. Clinical manifestation and management. Annals of gastroenterology. 2004;17(2):173-80.
33. Tam YH, Chan KW, To KF, Cheung ST, Mou JW, Pang KK, dkk. Impact of pediatric ROME III criteria of functional dyspepsia on the diagnostic yield of
(55)
40
upper endoscopy and predictors for a positive endoscopic finding. J Pediatr Gastroenterol. 2011; 52(4):387-91.
34. Dehgani SM, Imanieh MH, Oboodi R, Haghigat M. The comparative study of the effectiveness of cimetidine, ranitidine, and omeprazole in treatment of children with dyspepsia. ISRN Pediatric. 2011:1-5.
(56)
41 LAMPIRAN
1. Personil Penelitian 1. Ketua Penelitian
Nama : dr. Irfan Indra
Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU 2. Supervisor
1. Prof.dr.Atan Baas Sinuhaji,SpAK 2. Dr. Supriatmo, SpAK
3. Dr. Hj. Melda Deliana, SpAK 3. Anggota penelitian
1. dr. Fadli Syaputra
2. dr. Ade Rachmat Yudhianto 3. dr. Badai Buana Nasution 4. dr. Wiji Joko Pranoto
2. Jadwal Penelitian
Kegiatan/ Waktu Mei 2010 Juni-Agustus 2010 September 2010 Oktober 2010 Persiapan Pelaksanaan Penyusunan Laporan Pengiriman Laporan
3. Perkiraan biaya
1. Penyediaan obat-obatan : Rp. 4.000.000 2. Akomodasi dan Transportasi : Rp. 4.000.000
3. Penyusunan dan penggandaan hasil : Rp. 3.000.000 4. Seminar hasil penelitian
Jumlah : Rp. 13.000.000
: Rp. 2.000.000
(57)
42 Yth Bapak/ Ibu……
1. Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri (dengan menunjukkan surat tugas
dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU). Nama saya
dokter………., bertugas di divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Saat ini, kami sedang melaksanakan penelitian tentang efek pengobatan famotidin pada remaja yang menderita sakit dispepsia fungsional.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, anak Bapak/ Ibu menderita sakit dispepsia fungsional yang dapat berdampak pada jumlah ketidak hadiran di sekolah.
3. Untuk itu, kami berencana untuk mengobati anak Bapak/ Ibu dengan memberikan obat famotidin. Dari penelitian didapatkan bahwa pemberian famotidin selama 2 minggu akan memberikan efek yang baik dalam mengurangi jumlah dan beratnya gejala nyeri perut yang terjadi. Hanya saja penelitian tersebut dilaksanakan di luar negeri. Saat ini saya mencoba untuk melakukan penelitian ini
4. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran tinggi badan, penimbangan berat badan, pemberian catatan harian nyeri dan kuesioner untuk mengetahui anak yang menderita nyeri perut. Pada anak yang menderita sakit perut, akan diberikan obat selama 2 minggu, obat dimakan dua kali sehari. Pemantauan ulangan dilakukan setiap bulan sampai bulan kedua.
5. Jika Bapak/ Ibu bersedia agar anaknya diobati dengan obat tersebut, maka kami mengharapkan Bapak/ Ibu menandatangani lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).
6. Bapak/ Ibu serta puta/putri anda bebas menolak ikut atau mengundurkan diri dalam penelitian ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara rahasia, sehingga tidak memungkinkan orang lain mengetahui data penderita. Semua biaya penelitian akan ditanggung oleh peneliti.
7. Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian Bapak/ Ibu, kami ucapkan terima kasih.
(58)
43
5. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :Nama : ... Umur ... tahun L / P Alamat : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan
PERSETUJUAN
untuk dilakukan pengobatan sakit perut berulang terhadap anak saya :
Nama : ...Umur ... tahun Alamat Rumah : ... Alamat Sekolah : ...
Tujuan, sifat, dan perlunya pengobatan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.
Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
... , ... 2010
Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan dr. ... ...
Saksi-saksi : Tanda tangan
1. ... ... 2. ... ...
6. Kuesioner
1. Data Pribadi
Nama: ... Tanggal pemeriksaan: ... Alamat :... Tempat/tanggal lahir: ... Jenis kelamin :
Anak ke….dari ……jumlah saudara. ...
Pendidikan orang tua :………. Pekerjaan orang tua :………. Berat badan: ...kg Tinggi badan: ...cm
(59)
44
Moderate malnutrition / Severe malnutrition Saat ini duduk di kelas: ...
2. Data Sakit perut (dispepsia fungsioanal)
Ya tidak 1. Apakah sakit perut dialami dalam 2 bulan terakhir ( ) ( ) Jika ya, serangan sakit perut terjadi : a. > 1 kali/hari
b. 1 kali/hari c. 3-4 kali/minggu d. 1-2 kali/bulan
2. Apakah sakit perut berada didaerah : (bisa > dari 1 jawaban) a. Sekitar pusat
b. Ulu hati dan perut bagian atas c. Perut bagian bawah
3. Apakah sakit perut disertai : (bisa > 1 jawaban) a. mual
b. muntah
c. nafsu makan berkurang d.perut kembung
e. cepat kenyang
4. Berapa lama sakit perut berlangsung (dalam menit) a. <10
b. 10-30 c. >30
ya tidak 5. Apakah sakit perut pada waktu haid ( ) ( ) 6. Apakah sakit perut menjalar ( ) ( ) 7. Apakah diantara episode sakit perut terdapat
Masa bebas gejala ( ) ( ) 8. Apakah didapati mencret ( ) ( ) 9. Apakah sakit perut disertai demam ( ) ( )
(60)
45
10. Apakah sulit buang air besar ( ) ( ) 11. Apakah didapatinya rasa nyeri buang air kecil ( ) ( ) 12. Apakah sakit perut disertai buang besar berdarah ( ) ( )
7. Pemantauan makan obat dan catatan harian
NAMA : SEKOLAH :
UMUR : KELAS :
JENIS KELAMIN : BULAN KE :
HARI KE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
TANGGAL
MINUM OBAT/TIDAK
P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P:
M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M:
EFEK SAMPING (SAKIT KEPALA, DIARE)
TANDA TANGAN ORANG TUA
Pemantauan Harian
NAMA : SEKOLAH :
UMUR : KELAS :
JENIS KELAMIN : BULAN KE :
(61)
46 TANGGAL
LAMA SAKIT (MENIT) FREKUENSI NYERI PERUT TANDA TANGAN ORANG TUA
HARI KE 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
TANGGAL LAMA SAKIT (MENIT) FREKUENSI NYERI PERUT TANDA TANGAN ORANG TUA
(62)
(63)
(64)
49 Lampiran 8
Riwayat Hidup
Nama Lengkap : dr. Irfan Indra
Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 26 Desember 1974
Alamat : Jln. Sisingamangaraja no: 25, Binjai, Indonesia Nama istri : dr. Emilia Salfi
Nama anak : Nasywa Alya Sandra Fahrezi Ahmad Sauqi
PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SD Muhammadiyah no 12 Medan, tamat tahun 1987
Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 16 Medani, tamat tahun 1990 Sekolah Menengah Umum : SMU Negeri 4 Medan, tamat tahun 1993 Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat
tahun 2000
Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, (tahun 2008 s/d sekarang)
Pendidikan Spesialis : Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU Medan (tahun 2008 s/d sekarang)
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Dokter PTT di Puskesmas Purwodadi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi (tahun 2001-2004)
2. Dokter PNS di Dinas Kesehatan Kota Binjai (tahun 2005-sekarang)
(65)
(1)
45
10. Apakah sulit buang air besar ( ) ( )
11. Apakah didapatinya rasa nyeri buang air kecil ( ) ( ) 12. Apakah sakit perut disertai buang besar berdarah ( ) ( )
7. Pemantauan makan obat dan catatan harian
NAMA : SEKOLAH :
UMUR : KELAS :
JENIS KELAMIN : BULAN KE :
HARI KE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
TANGGAL
MINUM OBAT/TIDAK
P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P: P:
M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M: M:
EFEK SAMPING (SAKIT KEPALA, DIARE) TANDA TANGAN ORANG TUA Pemantauan Harian
NAMA : SEKOLAH :
UMUR : KELAS :
JENIS KELAMIN : BULAN KE :
(2)
46 TANGGAL
LAMA SAKIT (MENIT) FREKUENSI NYERI PERUT TANDA TANGAN ORANG TUA
HARI KE 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
TANGGAL LAMA SAKIT (MENIT) FREKUENSI NYERI PERUT TANDA TANGAN ORANG TUA
(3)
(4)
(5)
49 Lampiran 8
Riwayat Hidup
Nama Lengkap : dr. Irfan Indra
Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 26 Desember 1974
Alamat : Jln. Sisingamangaraja no: 25, Binjai, Indonesia
Nama istri : dr. Emilia Salfi
Nama anak : Nasywa Alya Sandra
Fahrezi Ahmad Sauqi
PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SD Muhammadiyah no 12 Medan, tamat tahun 1987
Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 16 Medani, tamat tahun 1990 Sekolah Menengah Umum : SMU Negeri 4 Medan, tamat tahun 1993 Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat
tahun 2000
Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, (tahun 2008 s/d sekarang)
Pendidikan Spesialis : Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU Medan (tahun 2008 s/d sekarang)
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Dokter PTT di Puskesmas Purwodadi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi (tahun 2001-2004)
2. Dokter PNS di Dinas Kesehatan Kota Binjai (tahun 2005-sekarang)
(6)