Peranan ulama Islam Indonesia pada masa perang kemerdekaan ada dua macam :
2 Membina kader umat Islam, melalui pesantren dan aktif dalam pembinaan
masyarakat. Banyak santri tamatan pesantren kemudian melanjutkan pelajarannya ke Timur Tengah, dan sekemhalinya dari Timur Tengah. mereka
menjadi ulama besar dan pimpinan penjuangan. Di antaranya adalah : K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdul Halim, H. Agus Salim, dan K.H.
Abdul Wabab Hasbullah.
3 Turut benjuang secara flsik sebagai pemimpin perang.
Para pahlawan Islam yang telah berjuang melawan imperialis Portugis dan Belanda, seperti: Fatahillah, Sultan Baabullab, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol,
dan Habib Abdurrahman, adalah juga para ulama yang beriman dan bertakwa, yang berakhlak baik dan bermanfaat bagi orang banyak sehingga mereka menjadi
panutan umat.
Demikian juga pada masa penjajahan Jepang. banyak para ulama yang berperang memimpin bala tentara Islam melawan imperialis Jepang, demi
menegakkan martabat dan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Mereka ituu antara lain: Mohammad Daud Beureuh pemimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh
dan KH. Zaenal Mustafa pemimpin pesantren Sukamanah di Singaparna. Jawa Barat.
b. Peranan Organisasi dan Pondok Pesantren Pada Masa Perang Kemerdekaan
Sebelum abad ke-19, perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dipimpin oleh raja-raja Islam dan para ulama masih bersifat lokal, sehingga dapat dipatahkan
oleh kaum penjajah. Baru pada awal abad ke- 19, gerakan perlawanan terhadap kaum penjajah lebih terorganisasi. Semua berjuang bersama demi tercapainya
tujuan utama, kemerdekaan Indonesia.
Organisasi-organisasi tersebur antana lain:
1. Serikat Dagang IslamSerikat Islam
Serikat Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirta Adisuryo pada tahun 1905 di Kota Solo. Tujuan organisasi ini pada awalnya adalah
menggalang kekuatan para pedagang Islam melawan monopoli pedagang Cina yang mendapat perlakuan istimewa dari penjajahan Belanda dan memajukan
agama Islam. Selanjutnya atas usul Haji Omar Said Cokroaminoto pada tahun 1912 Serikat
Dagang Islam diubah menjadi Serikat Islam SI, bertujuan bukan hanya untuk memajukan para pedagang Islam, tetapi lebih luas lagi, yaitu untuk menghapus
penderitaan, penghinaan, dan ketidakadilan yang menimpa seluruh rakyat Indonesia akibat ulah pen- jajahan Belanda.
Gerakan Serikat Islam mendapat sambutan luar biasa. Dengan berbagai cara, pemerintahan Belanda berusaha mempersulit gerak Serikat Islam. Namun,
perkumpulan ini trus brkembang pesat. Dalam waktu singkat anggotanya mencapai hampir satu juta orang.
Pada tahun 1914 telah berdiri 56 perkumpulan lokal Serikat Islam yang telah resmi brrbentuk badan hukum yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia.
Untuk menyeragamkan gerak dan langkah, pada tanggal 18 Maret 1916 dibentuk wadah Serikat Islam Sentral, yang diketuai oleh Haji Omar Said
Cokroaminoto. Pada bulan Juni 1916 Serikat Islam mengadakan kongresnya yang pertama
yang dinamai Kongres Nasional Serikat Islam. Di dalam kongres itu dijelaskan bahwa istilah “Nasional” digunakan untuk mempertegas bahwa Serikat Islam
mencita-citakan adanya suatu “Nation” bagi rakyat Indonesia baca penduduk pribumi.
Dengan demikian, Serikat Islam merupakan organisasi yang secara tegas melakukan upaya-upaya nyata untuk mempersatukan rakyat Indonesia menjadi
satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Pada tahun 1923 Sentral Serikat Islam mengubah namanya menjadi Partai
Serikat Islam PSI. Kemudian ruang lingkup gerakannya pun diperluas, bukan hanya terbatas di dalam negeri saja, tetapi melebar ke manca negara dengan
jalan mencari hubungan sekaligus dukungan dan gerakan-gerakan Islam di Negara-negara lain di seluruh dunia. Gagasan gerakan Islam Internasional ini
dikemukakan oleh Kyai Haji Agus Salim, dengan nama pan-Islamisme.
2. Muhammadiyah
Organisasi Islam Muhammadiyah didirikan di kota Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912. Peranan Muhammadiyah pada masa
penjajahan Belanda lebih dititik beratkan pada usaha-usaha mencerdaskan rakyat Indonesia dan meningkatkan kesejanteraan mereka, yakni dengan
mendirikan sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah agama, rumah sakit, panti asuhan, rumah-rumah penampungan bagi warga miskin dan
perpustakaan-perpustakaan. Pada tahun 1925, tidak lama setelah pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan wafat,
Muhammadiyah sudah tersebar di semua kota besar di seluruh Indonesia serta berhasil membangun dan mengelola 1774 buah sekolah, 31 buah perpustakaan,
834 masjid, puluhan rumah sakit, panti asuhan, dan rumah-rumah penampungan bagi warga miskin.
3. Nahdlatul Ulama NU
NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam upaya pembentukan NU adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab
Hasbullah. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU banyak melakukan usaha untuk memajukan dan memperbanyak pesantren, madrasah serta pengajian-
pengajian dengan maksud memajukan Islam dan kaum Muslimin. Pada masa penjajahan Belanda, NU senantiasa berjuang menentang penjajah
dan pernah mengeluarkan pernyataan politik yang isinya : - Menolak kerja rodi yang dibebankan oleh penjajah kepada rakyat.
- Menolak rencana ordonansi peraturan pemerintah tentang perkawinan
tercatat. -
Menolak diadakannya Milisi wajib militer.