Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Balita

WHO-NCHS ditemukan 75 yang berstatus gizi baik, 16,66 berstatus gizi kurang dan 4,17 yang berstatus gizi buruk dan lebih.

5.3. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Balita

Berdasarkan tabulasi silang antara status gizi dengan praktek pemberian makan dapat diketahui bahwa dengan praktek pemberian makan yang baik terdapat 1,3 berstatus gizi gemuk, 1,3 yang beresiko gemuk,75,6 yang berstatus gizi normal, 12,9 berstatus gizi sangat kurus dan 8,9 berstatus gizi kurang, sedangkan dengan praktek pemberian makan yang sedang terdapat 59,8 berstatus gizi normal dan 41,1 berstatus gizi kurus, dan dari praktek pemberian makanan kurang terdapat 100 yang berstatus gizi kurus. Hal ini berarti praktek pemberian makan yang baik sangat mendukung tercapainya status gizi anak yang baik. Dan sebaliknya jika praktek pemberian makan pada anak kurang dapat menyebabkan status gizi anak tidak baik pula. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sarasani 2005 yang menyatakan bahwa anak yang mempunyai praktek pemberian makan yang baik lebih banyak berstatus gizi baik pula. Sulistijani 2001, mengemukakan seiring dengan bertambahnya usia anak ragam makanan yang diberikan harus bergizi lengkap dan seimbang yang mana penting untuk menunjang tumbuh kembang dan status gizi anak. Namun dalam penelitian dijumpai ibu yang telah menerapkan praktek pemberian makan baik mempunyai anak balita dengan status gizi sangat kurang sebanyak 10 orang 12,9, hal ini diasumsikan karena anak berada pada tahap umur pertumbuhan dan perkembangan pesat, terlebih dalam perkembangan psikomotorik, rasa ingin tau anak tinggi oleh karenanya anak mempunyai aktivitas yang banyak, pada hasil penelitian dijumpai anak yang mempunyai status gizi sangat kurang berada pada umur 12-34 bulan. Dari Universitas Sumatera Utara tabulasi silang dengan uji statistik Chi-square nilai p 0,1 0,022 artinya terdapat hubungan antara status gizi dengan praktek pemberian makan. Berdasarkan tabulasi silang antara status gizi dengan rangsangan psikososial dapat diketahui bahwa dari rangsangan psikososial yang baik terdapat 2,2 yang gemuk, 82,6 yang berstatus gizi normal, 8,6 berstatus gizi sangat kurus dan 6,6 berstatus gizi kurus. Sedangkan rangsangan psikososial sedang terdapat 2 beresiko gemuk dan 62 berstatus gizi normal, 12 berstatus gizi sangat kurus, 24 berstatus gizi kurus. Hal ini berarti rangsangan psikososial yang baik sangat mendukung tercapainya status gizi anak yang baik, dan sebaliknya jika rangsangan psikososial pada anak kurang dapat menyebabkan status gizi anak tidak baik pula. Namun pada penelitian, dijumpai ibu yang sudah memberikan rangsangan psikososial baik mempunyai anak balita berstatus gizi kurang dan sangat kurang, hal ini diasumsikan karna adanya penyakit infeksi yang semakin menambah buruk kondisi kesehatan anak sehingga pertumbuhan anak terganggu Hasil tabulasi silang dengan uji statistik Chi-square nilai p 0,1 0,079 artinya terdapat hubungan antara status gizi dengan rangsangan psikososial. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Engle dan Riccuti 1995 yang menyatakan rangsangan psikososial yang baik umumnya berkaitan erat dengan status gizi dan kesehatan yang baik pula, sehingga secara tidak langsung berpengaruh positif terhadap status gizi, pertumbuhan dan perkembangan. Engle 1997 juga menyatakan asuhan psikososial yang baik umumnya berkaitan erat dengan asuhan gizi dan kesehatan yang baik pula, sehingga secara tidak langsung berpengaruh positif terhadap status gizi, pertumbuhan dan perkembangan anak. Kondisi psikososial yang buruk dapat berpengaruh negatif terhadap penggunaan zat gizi di dalam tubuh, sebaliknya kondisi psikososial yang baik Universitas Sumatera Utara akan merangsang hormon pertumbuhan sekaligus merangsang anak untuk melatih organ-organ perkembangannya. Berdasarkan tabulasi silang antara status gizi dengan praktek kebersihanhigiene dan sanitasi lingkungan yang baik terdapat 1,8 yang gemuk, 77,3 yang berstatus gizi normal, 12,9 berstatus gizi sangat kurus dan 8,9 berstatus gizi kurang. Dari praktek kebersihanhigiene dan sanitasi lingkungan sedang terdapat 2,3 beresiko gemuk dan 65 berstatus gizi normal,13,9 berstatus gizi sangat kurus, 18,6 berstatus gizi kurus. Hasil tabulasi silang diatas dan analisa chi-square di dapat nilai p0,1 0,417 artinya tidak terdapat hubungan status gizi dengan praktek kebersihanhigiene dan sanitasi lingkungan Perangin-angin 2006 menyatakan praktek kebersihanhigiene dan sanitasi lingkungan yang baik tidak dapat menjamin status gizi anak baik. Kondisi lingkungan anak harus benar- benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang bermain anak, pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampahlimbah, kamar mandi dan kakus WCjamban dan halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare, cacingan, dll. Oleh karena itu penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak, sehingga dapat meningkatkan rasa aman bagi ibupengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan. Berdasarkan tabulasi silang antara status gizi dengan praktek kesehatan dapat diketahui bahwa praktek kesehatan yang baik sebesar 1,2 yang gemuk, 75,9 yang berstatus gizi Universitas Sumatera Utara normal, 10,8 berstatus gizi sangat kurus dan 12 berstatus gizi kurus. Sedangkan praktek kesehatan kategori sedang terdapat 7,7 beresiko gemuk dan 53,8 berstatus gizi normal, 7,7 berstatus gizi sangat kurus, 31 berstatus gizi kurus. Hasil tabulasi silang dan analisa chi-square di dapat nilai p0,1 0,039 artinya terdapat hubungan status gizi dengan praktek kesehatan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Sihombing 2005 di Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal pada anak batita menunjukkan juga bahwa anak yang berstatus gizi baik banyak ditemukan pada keluarga yang melakukan praktek kesehatan yang baik. Secara umum pola asuh ibu berada pada kategori baik mempunyai status gizi anak yang baik pula. Hal ini sesuai dengan penelitian Hafrida 2004 yang menyatakan bahwa ada kecendrungan dengan semakin baiknya pola asuh, maka proporsi status gizi baik juga semakin besar. Tetapi hasil secara statistic menunjukkan tidak ada hubungan antara pola asuh praktek kebersihanhigiene dan sanitasi lingkungan dengan status gizi. Ini menunjukkan bahwa status gizi bukan semata-mata disebabkan karena pola asuh saja melainkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Universitas Sumatera Utara

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan