1
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit  TB  tuberkulosis  telah  menjadi  masalah  global  selama kurang  lebih  dua  puluh  satu  tahun  atau  sejak  tahun  1993  WHO,  2013.
Penyakit ini telah menyebabkan kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara di seluruh dunia Chin, 2009. TB menjadi penyebab kematian
kedua  tertinggi  di  dunia  diantara  penyakit  menular  setelah  HIV.  WHO mengestimasikan pada tahun 2012 jumlah kasus baru TB mencapai 8.6 juta
namun  hanya  5.7  juta  kasus  baru  yang  berhasil  tercatat  atau  diobati  pada program  TB  nasional.  Artinya  masih  ada  3  juta  kasus  TB  lagi  yang  harus
ditemukan  WHO,  2013.  Sementara  itu,  menurut  estimasi  proporsi  kasus baru TB, penyumbang terbesar kasus baru TB atau 40 dari seluruh kasus di
wilayah  WHO  adalah  Asia  Tenggara  WHO,  2012.  Berdasarkan  laporan MDGs  Asia  Pasifik  201112,  Indonesia  menempati  urutan  ke-5  yang
memiliki kasus TB terbanyak diantara negara-negara Asia Tenggara. Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
364MENKESSKV2009, penyakit TB merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.  Beban TB di Indonesia masih
sangat  tinggi  mengingat  setiap  tahun  masih  ada  450.000  kasus  baru. Penurunan insiden di Indonesia belum signifikan namun jumlah kasus yang
ternotifikasi telah mengalami kenaikan. Perkiraan insiden pada tahun 2011
2
adalah  sebesar  450.000  kasus.  Sedangkan  kasus  yang  ternotifikasi  oleh program sebesar 321.308 kasus. Sehingga terdapat kesenjangan gap sebesar
128.629 kasus Kementerian Kesehatan RI, 2013. Penghitungan kasus baru TB  yang  ternotifikasi  atau  Case  Notification  Rate  CNR  digunakan  untuk
melihat tren penemuan kasus TB di suatu wilayah Kementerian Kesehatan RI, 2011. CNR mulai disosialisasikan ke daerah sejak dikeluarkannya buku
pedoman nasional pengendalian TB tahun 2011 oleh Kementerian Kesehatan RI.  CNR  digunakan  karena  CDR  Case  Detection  Rate  dianggap  kurang
sensitif untuk melihat kejadian TB di masyarakat. Kejadian  TB  di  masyarakat  dapat  diketahui  dengan  baik  dengan
melakukan  studi  epidemiologi  terutama  epidemiologi  deskriptif.  Studi  ini merupakan langkah awal untuk mengetahui adanya besar masalah kesehatan
di  suatu  wilayah.  Walaupun  suatu  deskripsi  epidemiologi  itu  sederhana tidaklah  berarti  tidak  memberikan  arti  yang  penting.  Deskripsi  yang  tepat
tidak  hanya  berguna  untuk  menggambarkan  besarnya  masalah  tetapi  juga memberikan  gambaran  tentang  aspek-aspek  tambahan  pengetahuan  yang
berkaitan dengan deskripsi itu Bustan, 2006. Keterangan  kapan,  dan  dimana  pada  epidemiologi  deskriptif
semakin tergambarkan dengan menggunakan analisis spasial. Analisis spasial adalah satu bidang utama di mana sistem informasi geografis dan penelitian
kesehatan  digabungkan  melalui  studi  epidemiologi  lingkungan  Gatrell Loytonen,  2003.  GIS  merupakan  alat  yang  baik  untuk  meningkatkan
pemahaman  data  melalui  visualisasi  dan  analisis,  dan  penggunaannya
3
meningkat  di  kalangan  professional  kesehatan  masyarakat  untuk  membuat perencanaan, monitoring dan surveilan. Menampilkan data dalam bentuk peta
mampu memberikan wawasan yang lebih daripada bentuk tabel dengan data yang  sama,  menampilkan  penilaian  yang  cepat  pada  trend  dan  hubungan
Fisher  Myers, 2011. Sistem  pencatatan  dan  pelaporan  program  TB  nasional
dikembangkan  mengacu  pedoman  internasional  dari  WHO  dengan  TB.03 sebagai  register  utama  yang  dikelola  oleh  wasor  kabupatenkota  sebagai
penanggung jawab. Meskipun pencatatan dan pelaporan dari tingkat fasilitas pelayanan kesehatan ke pusat telah semakin membaik, rekapitulasi data tahun
2009  masih  menunjukkan  beberapa  permasalahan.  Permasalahan  tersebut meliputi  ketepatan  waktu  pelaporan,  kelengkapan  data,  akurasi  data
misalnya  tidak  mengikuti  kaidah  dalam  penutupan  data,  registrasi  ganda serta  kemampuan  untuk  memilah  berdasarkan  jenis  fasilitas  pelayanan
kesehatan. Selain itu, analisis data dan indikator program di beberapa daerah juga masih lemah. Meskipun berbagai perbaikan sistem telah mulai diujicoba,
yaitu penyempurnaan TB elektronik, pengisian  dan distribusi data berbasis web,  otomatisasi  software,  akan  tetapi  inovasi  ini  masih  membutuhkan
investasi waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar sebelum dapat diterapkan secara optimal Kementerian Kesehatan RI, 2011.
Data  sementara  tahun  2012  sampai  dengan  triwulan  4  per  11 Februari  2013  tercatat  bahwa  angka  notifikasi  kasus  CNR  semua  kasus
baru  TB  sebesar  132  per  100.000  penduduk  Kementerian  Kesehatan  RI,
4
2013. Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi dengan CNR melebihi angka nasional yakni sebesar 286.4 per 100.000 penduduk pada tahun 2012
Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012. Pada tahun yang sama wilayah di Provinsi  Banten  yang  memiliki  CNR  TB  tertinggi  adalah  Kota  Tangerang
Selatan yakni sebesar 1.644 per 100.000 penduduk. CNR tersebut sangat jauh lebih besar dibanding wilayah lainnya di Provinsi Banten yang hanya berkisar
antara  61-118  per  100.000  penduduk  Dinas  Kesehatan  Provinsi  Banten, 2012.
Perbedaan  yang  jauh  ini  sangat  menarik  untuk  diteliti.  Setelah dilakukan studi pendahuluan di Kota Tangerang Selatan yakni melihat kasus
TB yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Hasilnya diketahui bahwa CNR TB di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 adalah
sebesar 107.5 per 100.000 penduduk. Perbedaan ini disebabkan jumlah kasus TB yang berbeda antara yang terlaporkan di Dinas Kesehatan Provinsi Banten
dengan  yang  terlaporkan  di  Dinas  Kesehatan  Kota  Tangerang  Selatan.  Di Dinas Kesehatan Provinsi Banten jumlah kasus baru TB di Kota Tangerang
Selatan sebanyak 22.478 kasus. Sedangkan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan melaporkan kasus baru TB sebanyak 1.511 kasus. Perbedaan ini dapat
menyebabkan  kesalahan  pada  interpretasi  permasalahan  TB  di  Kota Tangerang Selatan.
Berdasarkan  hasil  studi  pendahuluan  ditemukan  pula  beberapa permasalahan  yang  menyebabkan  laporan  TB  dari  Dinas  Kesehatan  Kota
Tangerang Selatan menjadi kurang valid. Hal ini disebabkan karena jumlah
5
kasus TB yang diolah adalah semua kasus TB yang terlaporkan dari semua fasyankes di Kota Tangerang Selatan. Padahal tidak semua kasus TB  yang
terlaporkan berdomisili di Kota Tangerang Selatan.  Oleh sebab itu, peneliti tertarik  melakukan  penelitian  epidemiologi  spasial  TB  di  Kota  Tengerang
Selatan tahun 2009-2013.
1.2 Rumusan Masalah