Gambaran Epidemiologi Filariasis di kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012

(1)

GAMBARAN EPIDEMIOLOGI FILARIASIS DI KOTA

TANGERANG SELATAN TAHUN 2008-2012

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Abdullah Hamdani Tadjoedin NIM: 109103000036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


(2)

ii


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahir Rohmaanir Rohiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pertama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta nikmat yang tiada hentinya kepada manusia. terutama nikmat akal yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Dengan nikmat-Nya manusia dapat bertakwa kepada-Nya.

Shalawat serta salam saya curahkan kepada makhluk termulia junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan ilmu dari Allah kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya dan umat-umatnya.

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang memberi nikmat iman, Islam dan sehat bagi penulis sampai skripsi selesai. Penulis telah dapat menyusun karya tulis yang merupakan syarat kelulusan Sarjana Kedokteran. Harapan dari penulis semoga karya tulis ini dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya setelah karya tulis ini dibukukan dan untuk referensi di Perpustakaan.

Dalam mengerjakan penulisan karya tulis ini sampai karya tulis ini dibukukan tidaklah mudah bagi penulis tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

Pertama Penulis ingin mendo’akan Umi (Almh) Hj. Suzie Fauziah Hanum Tadjoedin, SH atas kasih sayang dan keikhlasan do’a, tenaga, pikiran dan nasihat bagi penulis ketika Umi masih hidup. Semoga Umi mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT.

1. Prof. Dr. (hc). dr. H. M.K Tadjudin, Sp.And sebagai Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

vi 3. dr. H. Meizi Fachrizal Ahmad, M.Biomed dan Minsarnawati, SKM, M.Kes

sebagai dosen pembimbing, semoga dimudahkan urusannya.

4. Abah Nurul Iman Tadjoedin dan Bunda Etty Juhaeti Karel sebagai orang tua kandung. Skripsi ini tanda cinta, sayang dan terima kasih dari penulis untuk Abah dan Bunda. Penulis berterima kasih menjadi anak Abah dan Bunda atas kasih sayang dan ketulusan do’a, keikhlasan & kesabaran mendidik, merawat dan menasihati penulis dengan penuh pengorbanan selama ini.

5. Ama Prof. Dr. drg. Ette Soraya Syahnaz Tadjoedin, Sp.OD atas kasih sayang, keikhlasan setiap do’a, tenaga, pikiran, pengorbanan dan nasihat bagi penulis. Skripsi ini tanda cinta, sayang dan terima kasih dari penulis untuk Ama.

6. Adik saya Abdullah Hanif Tadjoedin untuk kebaikan kepada kakak. Semoga Hanif lancar sekolahnya dan berhasil dalam belajar.

7. Dety Rohayati Karel dan Rika Wardhani Karel untuk kasih sayang dan perhatian kepada penulis.

8. Kepala dan staff karyawan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberi izin penelitian kepada penulis.

9. Teman–teman Pendidikan Dokter 2009, Tarikh, Bayu, Siti, Ii, Najah, Zata.

10. Staff pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN SH Jakarta atas izin penelitian bagi penulis sehingga karya tulis ini selesai.

Akhir kata, penulis berharap ALLAH SWT memberikan kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini memberi manfaat.

Wabillahittaufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ciputat, 25 Agustus 2014


(7)

vii ABSTRAK

Abdullah Hamdani Tadjoedin Program Studi Pendidikan Dokter

Gambaran Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Filariasis atau penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit endemis di Indonesia. Kemenkes RI (2010) menyatakan dampak yang ditimbulkan penyakit ini adalah kerugian ekonomi negara mencapai 43 trilyun rupiah. Di Indonesia kejadian filariasis dari tahun 2000-2009 telah mencapai 11.914 kasus. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah endemis dengan 3,1% penduduk menderita filariasis. Kecamatan Ciputat merupakan salah satu wilayah di Kota Tangsel yang memiliki kasus filariasis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran epidemiologi filariasis di wilayah kerja Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012. Penelitian ini merupakan epidemiologi deskriptif dengan design cross sectional study untuk mendeskripsikan kejadian filariasis di Kota Tangerang Selatan menggunakan total sampling. Kejadian filariasis yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 sebanyak 20 orang (7 laki-laki dan 13 perempuan), sebanyak 7 orang kelompok usia 41-50 tahun (35%), diketahui 6 orang (30%) bertempat tinggal di Kelurahan Kampung Sawah, kejadian filariasis tertinggi pada tahun 2010 sebanyak 7 orang (35%). Kejadian filariasis dari tahun 2008-2010 cenderung meningkat dan cenderung menurun pada tahun 2011 dan tahun 2012. Oleh karena itu, disarankan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan beserta puskesmas di wilayah kerjanya melakukan program penyuluhan kepada masyarakat sebagai upaya pencegahan kejadian filariasis dan menghilangkan tempat hidup vektor filariasis

Kata kunci: Epidemiologi, Filariasis, Orang, Tempat, Waktu. Daftar Pustaka (2000-2013)


(8)

viii ABSTRACT

Abdullah Hamdani Tadjoedin Medical Student.

Description of Epidemiology Filariasis in South Area of Tangerang City at year 2008-2012.

Filariasis or elephanthiasis is one of the endemic disease in Indonesia. Report from Ministry of Health in Indonesia at 2010, filariasis can avoid the economy in Indonesia until 43 bilyon rupiah. Indonesia filariasis happened from 2000 until 2009 almost 11.914 cases. South Tangerang City is one of the endemic areas such as 3,1% people are infected filariasis. Subdistrict Ciputat is the one area in South Tangerang City with cases of filariasis. This research was conduct to determine epidemiology filariasis in South Tangerang City at year 2008-2012. This research is descriptive of epidemiology with cross sectional study design for decription about cases of filariasis are happened in South Tangerang City and counting the sample by total sampling. The sample collected from document in Institution of Health of South Tangerang City. Filariasis are happened in South Tangerang City from year 2008-2012 with 20 patients (7 men and 13 women), 7 patients are group of 41-50 years old (35%), 6 patients (30%) live in Sub Kampung Sawah and the higher with 7 patient (35%) at 2010. Filariasis are happened in Suth Tangerang City from 2008-2010 are grow up and are deficit at 2011 to 2012. Therefore, suggested outreach to South Tangerang City Institution of Health and Central of Public Health in working areas doing the promotion program to publics as an effort to prevent the next cases of filariasis and destroying the place alive/ breeding places of the vector of filariasis.

Key word: Epidemiology, Filariasis, People, Place and Time. Referention Source (2000-2013)


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pernyataan Keaslian Karya ... ii

Lembar Persetujuan Pembimbing ... iii

Lembar Pengesahan ... iv

Kata Pengantar ... v

Abstrak ... vii

Daftar Isi ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 4

1.4. Tujuan ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Segitiga Epidemiologi ... 5

2.2. Segitiga Distribusi Epidemiologi ... 6

2.2.1.Epidemiologi Berdasarkan Orang ... 7

2.2.2.Epidemiologi Berdasarkan Tempat ... 8

2.2.3.Epidemiologi Berdasarkan Waktu ... 9

2.3. Insidensi Kejadian Penyakit ... 10

2.4. Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) ... 11

2.4.1. Definisi ... 11

2.4.2. Etiologi ... 12

2.4.3. Patofisiologi ... 12

2.4.4. Gejala Klinis ... 13

2.4.5. Diagnosis ... 15

2.4.6. Pengobatan ... 16

2.5. Epidemiologi Filariasis ... 18

2.6. Penentuan Wilayah Endemis Filariasis ... 20

2.7. Pemberantasan Filariasis ... 20


(10)

x

2.8.1. Penanggulangan pada Penderita Filariasis ... 22

2.8.2. Penanggulangan Wabah Filariasis ... 22

2.9.Program Eliminasis Kaki Gajah ... 23

2.9.1. Justifikasi ... 23

2.9.2. Tujuan Program Eliminasi ... 25

2.9.3. Strategi Program Eliminasi ... 25

2.9.4. Kegiatan Pokok Program Eliminasi ... 25

2.10. Kerangka Teori ... 26

2.11. Kerangka Konsep ... 26

2.12. Definisi Operasional ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ... 28

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

3.4. Cara Kerja Penelitian ... 29

3.5. Manajemen Data ... 29

3.5.4. Analisis Data ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Epidemiologi Filariasis Berdasarkan Karakteristik Orang ... 31

4.2. Distribusi Epidemiologi Filariasis Berdasarkan Tempat ... 35

4.3. Distribusi Epidemiologi Filariasis Berdasarkan Waktu ... 38

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 41

5.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

Lampiran ... 46 Lampiran 1. Hasil Pengolahan Data


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis, biasa dikenal oleh masyarakat sebagai penyakit kaki gajah (elephantiasis), merupakan penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus. Filariasis terjadi disebabkan infeksi cacing Nematoda famili Filarioidea yang ditularkan melalui nyamuk. Meskipun tidak sering menyebabkan kematian, penyakit ini bersifat menahun (kronik) dan dapat menyebabkan cacat fisik permanen pada setiap penderitanya. Akibatnya, penderita tidak dapat bekerja secara produktif dan akan bergantung kepada orang lain dalam menjalankan aktivitasnya sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.1

Menurut Kemenkes RI (2010), jumlah penderita filariasis akan meningkat setiap tahun dan dampak jangka panjang yang timbul dari bertambahnya jumlah penderita diperkirakan akan menyebabkan kerugian ekonomi negara mencapai 43 trilyun rupiah.2

Filariasis menjadi satu masalah kesehatan di beberapa negara di dunia. Dyah, dkk (2007) melaporkan 60% atau 1,3 miliar penduduk di 83 negara di dunia yang mempunyai risiko tertular filariasis berada di Asia Tenggara. Lebih dari 120 juta penduduk terinfeksi filariasis dan 43 penduduk menunjukkan gejala klinis pembengkakan anggota gerak (Lymphoedema). Filariasis tersebar luas terutama di pedesaan dan dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan.3

Indonesia termasuk salah satu negara endemis filariasis. Menurut Depkes RI (2009), dari tahun 2000-2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 kabupaten/kota di Indonesia. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasisdari kabupaten/kota ditindak lanjuti dengan survei endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 diketahui 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non endemis.4


(12)

2

Provinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten tahun 2007, persentase filariasis terdeteksi dengan gejala (DG) di 4 kabupaten yaitu Pandeglang (0,05%); Lebak (0,05%); Tangerang (0,13%); Serang (0,03%). Secara keseluruhan prevalensi filariasis di Provinsi Banten 0,06% sedangkan rata-rata nasional 0,11%.5 Berdasarkan laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan tahun 2009, diketahui 3,1% penduduk di Kota Tangerang Selatan menderita filariasis.6

Dari laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2009), tahun 2002-2009 terdapat empat kecamatan dengan penderita filariasis yaitu di Ciputat (10 orang), Pondok Aren (15 orang), Setu (6 orang) dan Pamulang (16 orang). Salah satu penyebabnya adalah terdapatnya rawa yang merupakan habitat perkembangbiakan nyamuk perantara filariasis.7

Menurut laporan Depkes RI (2008), Kota Tangerang Selatan termasuk daerah endemis filariasis. Penentuan endemisitas dengan perhitungan microfilarial rate ≥ 1% di satu kota dan pengobatan massal. Penghitungan dengan membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah penduduk yang diperiksa dikalikan 100%.8

Menurut ilmu epidemiologi penyakit menular, penyakit terjadi karena adanya interaksi antara agen, host (pejamu) dan lingkungan yang diperantarai oleh vektor. Bila faktor lingkungan membantu perkembangbiakan vektor, suatu penyakit akan mudah terjadi.9 Demikian pula dalam epidemiologi filariasis terdapat interaksi antara agen, pejamu dan lingkungan. Manusia sebagai pejamu merupakan tempat berkembang biak agen (Cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori) yang ditemukan di Indonesia merupakan penyebab filariasis.10

Penularan filariasis tergolong lambat dan hampir sepanjang tahun didapatkan penderita di berbagai daerah. Gejala dan tanda yang timbul pada penderita membutuhkan waktu hingga beberapa tahun. Filariasis terjadi tidak dipengaruhi keadaan musim di suatu daerah.11


(13)

3

Lingkungan tempat tinggal masyarakat berpengaruh terhadap penularan filariasis pada suatu wilayah. Karena merupakan tempat kelangsungan hidup pejamu yang akan berinteraksi dengan agen penyebab penyakit.10 Lingkungan yang berupa dataran rendah, rawa dan sawah merupakan tempat paling banyak ditemukannya cacing penular filariasis.11

Lingkungan tersebut sangat mendukung kejadian filariasis yang ditularkan oleh vektor nyamuk. Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan program intervensi filariasis kepada masyarakat.

Intervensi filariasis dilakukan dengan pengobatan massal kepada masyarakat terutama penderita. Pengobatan juga dilakukan untuk mencegah infeksi filariasis pada masyarakat yang masih sehat. Program pengobatan massal yang dilakukan dari tahun 2005-2009 baru mencapai 28%-59,48%.11 Target pengobatan massal yang harus dicapai untuk memutus rantai penularan adalah sebesar 85%. Hal ini tentunya masih jauh dari tujuan.

Oleh karena itu, penting untuk dilakukan analisis kejadian filariasis pada masyarakat di Kota Tangerang Selatan berdasarkan distribusi orang, tempat dan waktu.

Berdasarkan masalah yang tertulis pada latar belakang, penulis akan meneliti tentang gambaran distribusi epidemiologi filariasis di Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012.

1.2 Rumusan Masalah

Didapatkan penderita filariasis setiap tahun. Dampak jangka panjang dari penyakit ini akan menimbulkan cacat fisik permanen yang bersifat menahun pada setiap penderitanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan terhadap penyebaran filariasis di Kota Tangerang Selatan 2008-2012. Sehingga dapat dilakukan intervensi dari penyakit.


(14)

4

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian filariasis berdasarkan orang (usia, jenis kelamin) di Kota Tangerang Selatan

2. Bagaimana gambaran kejadian filariasis berdasarkan tempat (puskesmas, kelurahan) di Kota Tangerang Selatan

3. Bagaimana gambaran kejadian filariasis berdasarkan waktu (tahun) di Kota Tangerang Selatan

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran distribusi epidemiologi filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran distribusi kejadian filariasis berdasarkan orang (usia dan jenis kelamin) di Kota Tangerang Selatan 2008-2012 2. Mengetahui gambaran distribusi kejadian filariasis berdasarkan tempat (puskesmas, kelurahan) di Kota Tangerang Selatan 2008-2012 3. Mengetahui gambaran distribusi kejadian filariasis berdasarkan

waktu (tahun) di Kota Tangerang Selatan 2008-2012

4. Mengetahui tren filariasis di Kota Tangerang Selatan 2008-2012

1.5 Manfaat Penelitian

1. Pengetahuan peneliti tentang gambaran distribusi kejadian filariasis berdasarkan orang, tempat dan waktu.

2. Informasi kepada masyarakat tentang gambaran distribusi kejadian filariasisberdasarkan orang, tempat dan waktu.

3. Informasi kepada institusi kesehatan tentang gambaran distribusi kejadian filariasis di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012, sebagai upaya dilaksanakannya pencegahan sedini mungkin.

4. Sebagai referensi penelitian bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.


(15)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Segitiga Epidemiologi

Distribusi atau penyebaran penyakit (transmission of disease) umumnya terjadi pada penyakit infeksi yang menular sehingga penyakit ini disebut communicable disease. Penyakit terjadi disebabkan oleh transmisi agen infeksi dari satu orang ke orang lain.12

Berdasarkan hukum kesetimbangan John Gordon (Model Gordon) kesehatan individu digambarkan dalam keseimbangan Host-Agent-Environment.10 Ketiga komponen ini saling berinteraksi sehingga terjadi keadaan sehat ataupun sakit pada setiap individu.

Gambar 2.1 Segitiga Konsep Epidemiologi Penyakit

Selain dari ketiga komponen yaitu Host-Agent-Environment, penyebaran (epidemiologi) penyakit yang ditemukan pada suatu komunitas atau masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa keadaan tertentu lainnya.13 Beberapa keadaan tertentu tersebut cukup banyak contohnya. Secara ringkas keadaan-keadaan tersebut diantaranya adalah orang, tempat dan waktu.


(16)

6

2.2 Segitiga Distribusi Epidemiologi

Pada setiap kelompok penduduk, setiap individu dari kelompok penduduk tersebut memiliki risiko yang berbeda terhadap setiap penyakit tertentu. Individu yang mempunyai risiko terpapar terhadap suatu penyakit yang sama, tidak semua dari individu tersebut akan menderita penyakit yang sama pada tempat dan waktu tertentu.Kondisi pada individu ini dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab.14

Berbagai faktor penyebab kejadian penyakit tersebut, dapat diketahui oleh peneliti melalui pengamatan. Dari pengamatan yang dilakukan peneliti akan memperoleh keterangan lebih lengkap mengenai penyebab kejadian penyakit tersebut. Pengamatan dilakukan kepada individu dan lingkungan tempat tinggal. Jika berbagai penyebab kondisi ini sudah diketahui, keterangan yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui epidemiologi.

Dalam epidemiologi, gambaran kejadian penyakit dinilai dari tiga karakteristik utama yaitu orang, tempat dan waktu. Ketiga karakteristik ini sangat erat hubungannya satu dengan yang lainnya sehingga ketiga karakteristik ini harus diamati secara bersamaan maupun secara terpisah.15

Dalam penerapannya, ketiga karakteristik ini harus digunakan setepat mungkin. Karena keterangan yang diperoleh dari ketiga karakteristik tersebut dapat membantu untuk fokus melakukan penilaian yang lebih terarah dalam mencari penybab penyakit dan menentukan diagnosis. Selain itu, keterangan dari ketiga karakteristik tersebut dapat mengarahkan program pencegahan dan penilaian hasil program kesehatan.15

Ketiga karakteristik dalam epidemiologi yaitu orang, tempat dan waktu merupakan faktor-faktor yang selalu tercantum dalam setiap kegiatan untuk menilai epidemiologi dan merupakan dasar pokok epidemiologi deskriptif.14 Ketiga karakteristik yaitu orang, tempat dan waktu akan dijelaskan pada paragraf di bawah ini.


(17)

7

2.2.1 Epidemiologi Berdasarkan Orang

Perbedaan sifat atau karakteristik orang secara tidak langsung dapat meberikan perbedaan pada risiko terpapar penyakit. Karena kejadian penyakit dapat terjadi hanya pada kelompok usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan keadaan sosio-ekonomi.14

Usia merupakan salah satu karakteristik dari orang yang cukup penting untuk mengetahui kejadian penyakit pada orang. Perbedaan usia berhubungan dengan daya tahan tubuh. Sebagai contoh pada anak mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuh belum sempurna. Pada orang dewasa muda, kegiatan yang aktif dan konsumsi makanan yang memenuhi gizi dapat menjaga kesehatan. Orang usia lanjut mudah terserang penyakit karena fungsi daya tahan tubuh mulai berkurang.15

Penyakit dapat terjadi karena perbedaan jenis kelamin karena adanya perbedaan bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh kejadian tumor prostat hanya diderita oleh kelompok laki-laki dan kejadian kanker rahim hanya diderita oleh kelompok perempuan.16

Penyakit yang terjadi karena pengaruh agama contohnya Agama Islam melarang pemeluknya meminum minuman beralkohol karena menyebabkan kelainan pada hati. Pemeluk Agama Islam juga dilarang memakan daging babi karena daging babi mengandung cacing pita.14

Penyakit yang terjadi karena pekerjaan contohnya pada pekerja tambang lebih berisiko terkena penyakit silikosis. Pada pekerja yang bekerja di pabrik kapas akan menghirup kapas yang merupakan risiko terkena penyakit bisinosis.15

Keadaan sosio-ekonomi mempengaruhi kesehatan masyarakat, contohnya masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah lebih banyak menderita gizi buruk dan masyarakat dengan sosio-ekonomi tinggi lebih banyak menderita penyakit kardiovaskuler.16


(18)

8

2.2.2 Epidemiologi Berdasarkan Tempat

Epidemiologi yang terjadi berdasarkan tempat dibedakan menjadi penyebaran hanya pada satu wilayah (desa dan kota), penyebaran beberapa wilayah (kelurahan dan kecamatan), penyebaran satu negara (nasional) namun tergantung keadaan geografis dan luasnya suatu negara, penyebaran beberapa negara (regional) karena negara tersebut berdekatan dengan negara yang terjangkit suatu penyakit dan penyebaran banyak negara (internasional).17

Pola penyebaran penyakit dapat berubah dari satu wilayah ke beberapa wilayah dan dari satu negara ke beberapa dan banyak negara. Perubahan pola penyebaran penyakit tersebut perlu menjadi perhatian utama para ahli epidemiologi.15

Lingkungan dapat memberikan pengaruh terhadap sekitar tempat hidup organism sehingga memungkinkan penularan penyakit. Faktor lingkungan mencakup aspek biologis, fisik, sosial dan budaya. Lingkungan dapat berada di dalam pejamu atau di luar pejamu.14

Distribusi dan penyebaran penyakit di suatu daerah dapat digambarkan dengan Peta Epidemiologi. Dalam peta epidemiologi digambarkan daerah yang berwarna merah merupakan daerah frekuensi tinggi suatu penyakit, daerah warna hijau dengan frekuensi sedang dan daerah warna biru dengan frekuensi rendah.17

Contoh penyakit yang penyebarannya disebabkan kondisi lingkungan atau tempat, kejadian demam tifoid terjadi pada lingkungan yang berdekatan dengan pusat umum pembuangan sampah. Tempat tersebut merupakan tempat hidup lalat yang bila hinggap di sampah kemudian hinggap pada makanan di rumah akan menyebabkan demam tifoid pada orang yang memakan makanan tersebut.18


(19)

9

2.2.3 Epidemiologi Berdasarkan Waktu

Epidemiologi berdasarkan waktu secara umum dibedakan menjadi penyebaran satu saat contohnya pada wabah penyakit menular terjadi onset penyakit yang lambat, masa inkubasi yang panjang, episode penyakit majemuk, waktu muncul penyakit tidak jelas dan hilangnya penyakit dalam waktu lama.14

Penyebaran menurut satu kurun waktu digunakan untuk mencari penyebab suatu penyakit. Contohnya pada penelitian Aycock dan Luther disimpulkan bahwa penyakit poliomyelitis pada anak terjadi setelah anak mengalami tonsilektomi. Penyebaran siklis digunakan bila frekuensi penyakit naik atau turun sesuai siklus contohnya menurut keadaan cuaca. Penyebaran sekuler digunakan bila perubahan yang dialami misalnya lebih dari 10 tahun.15

Waktu dapat mempengaruhi masa inkubasi, harapan hidup pejamu atau agen dan durasi perjalanan penyakit. Waktu berkaitan dengan lama individu terinfeksi penyakit sampai kondisi yang akan membantu proses kesembuhan penyakit atau menyebabkan kematian pada individu yang menderita.16

Satu kejadian penyakit yang dipengaruhi oleh waktu adalah penyakit demam berdarah. Demam berdarah umumnya sering terjadi pada waktu peralihan musim dari musim penghujan ke musim kemarau, di Indonesia pada bulan Maret sampai April.19

Bila masalah kesehatan (penyakit) yang terjadi di suatu wilayah diderita oleh banyak orang dan frekuensinya menetap dalam waktu yang lama, kondisi seperti ini bisa disebut sebagai kondisi endemis.


(20)

10

2.3 Insiden Kejadian Penyakit

Dalam mendeskripsikan kejadian penyakit, dikenal istilah insidensi. Insidensi digunakan sebagai alat ukur kasus baru penyakit yang terjadi dalam satu populasi. Istilah insidensi terkadang digunakan secara bergantian dengan istilah angka insiden.14

Definisi dari insiden adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam suatu periode waktu dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode waktu tertentu.16 Insidensi merupakan nilai yang sangat berguna dalam epidemiologi deskriptif untuk menentukan kelompok penduduk yang menderita dan yang berisiko.14

Perhitungan angka insidensi digunakan untuk mengetahui kasus baru penyakit berdasarkan perjalanan waktu, yaitu hubungan antara orang-tahun. Faktor orang-tahun yang digunakan seperti usia, jenis kelamin tentunya bervariasi dalam satu periode waktu.16

Rumus Perhitungan Angka Insiden:

x = jumble orang dale suatu populace yang ditetapkan menu rut orang tempt dan waktu, yang baru sakit karena sebab tertentu.

y = jumlah orang dalam populasi tersebut yang mempunyai risiko penyakit tersebut selama interval waktu tertentu.

k = nilai yang digunakan mulai dari 100, 1.000, 10.000, 1.000.000.

Untuk menentukan angka insidensi suatu penyakit, perlu dilakukan obsesrvasi terhadap satu populasi agar dapat dipastikan keluasan kasus baru penyakit yang terjadi. Inti dari insidensi, jika ada dugaan KLB (kejadian luar biasa), dapat mengonfirmasi suatu diagnosis penyakit atau menetapkan sumber terjadinya peristiwa, jika berasal dari sumber nonpatogen.15


(21)

11

Informasi yang memadai berdasarkan ilmu biomedis harus tersedia untuk mengevaluasi status kesehatan individu di dalam kelompok populasi yang berisiko. Informasi dapat berasal dari laporan individu, dokter dan catatan medis di rumah sakit atau puskesmas. Pemeriksaan klinis dibutuhkan untuk membuktikan terjadinya KLB.14

Insidensi dinyatakan sebagai suatu perubahan per unit waktu. Waktu awitan ditemukannya KLB sangat penting dalam penentuan insidensi. Langkah pertama adalah menetapkan diagnosis dan diagnosis banding penyakit. Namun, penentuan insidensi akan sulit diukur tanpa adanya waktu awitan penyakit. Pada kejadian penyakit yang waktu awitannya sulit ditentukan, maka kejadian objektif paling awal yang dibuktikan dapat dijadikan sebagai waktu awitan.15

Dapat disimpulkan angka insidensi adalah estimasi yang tepat terhadap risiko atau kemungkinan kejadian suatu penyakit dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan populasi yang berisiko.

Oleh karena itu, satu populasi harus diikuti perkembangannya selama satu periode waktu untuk menentukan tahapan penyakit yang sedang terjadi dalam populasi dan mengukur angka kejadian kasus baru untuk memudahkan pembuatan pernyataan mengenai kemungkinan risiko anggota populasi.16

Dengan diketahuinya insiden suatu penyakit, maka dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan program pencegahan dan penanggulangan penyakit serta sasaran utama dalam program tersebut.

2.4 Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) 2.4.1 Definisi

Filariasis (penyakit kaki gajah/ elephantiasis) merupakan penyakit infeksi menular kronik yang banyak ditemukan di wilayah beriklim tropis di seluruh dunia. Penyakit ini dapat menyebabkan cacat fisik seumur hidup berupa pembesaran lengan, payudara (perempuan), buar zakar dan tungkai. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar


(22)

12

getah bening manusia. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut atau kronik.19

2.4.2 Etiologi

Filariasis atau penyakit kaki gajah disebabkan oleh berbagai jenis cacing Nematoda dari famili Filariodiea yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ditularkan melalui perantara yaitu nyamuk Culex quiquefactus. Anak cacing atau mikrofilaria dapat hidup di aliran darah tepi manusia. Mikrofilaria umumnya dapat ditemukan dalam darah tepi manusia pada malam hari.20

Filariasis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:

1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi

3. Brugia timori 20 2.4.3 Patofisiologi

Penyakit berawal dari gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk menggigit manusia, larva stadium 3 akan keluar dari probosis nyamuk dan menembus kulit manusia yang menjadi tempat gigitan nyamuk kemudian bergerak menuju aliran kelenjar getah bening (limfe) manusia.20

Larva stadium 3 Brugia malayi dan Brugia timori berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu 3-6 bulan, sedangkan larva stadium 3 Wuchereria bancrofti berkembang dalam waktu 6-12 bulan.21

Infeksi filariasis umumnya disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Ketiga spesies ini bersifat nocturnal periodicity karena mikrofilaria berada di aliran darah tepi pada malam hari (pukul 21:00-02:00). Namun ada spesies yang bersifat diurnal periodicity bila mikrofilaria di aliran darah tepi selama 24 jam dan terjadi peningkatan pada siang atau malam hari.22


(23)

13

Seseorang dapat terinfeksi filariasis bila digigit oleh nyamuk infektif yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk infektif akan mendapat mikrofilaria ketika menghisap darah penderita filariasis yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria.22 Kemudian nyamuk mulai menghisap darah orang yang sehat dan mikrofilaria masuk ke aliran darah orang yang sehat.23

Dibawah ini adalah gambar penularan cacing filariasis yang ditularkan oleh vektor nyamuk dan siklus hidup cacing filariasis di dalam tubuh manusia sampai terjadi infeksi filariasis.

Gambar 2.2. Siklus hidup Wuchereria bancrofti

2.4.4 Gejala Klinis

Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik sangat bervariasi. Dalam perjalanan penyakitnya, filariasis diawali dengan radang saluran getah bening berulang dan


(24)

14

berakhir dengan terjadinya gejala obstruksi menahun (kronis).23 Perjalanan penyakit dari satu stadium ke stadium berikutnya dapat diketahui dalam keterangan berikut ini:

1. Masa Prepaten

Periode larva infektif yang menginvasi manusia sampai terjadi mikrofilaremia dalam waktu antara 3-7 bulan. Namun, hanya sebagian dari penduduk di daerah endemik yang mengalami mikrofilaremik dan tidak semua kelompok penderita yang menderita mikrofilaremik menunjukkan gejala klinis.

Dapat dikatakan bahwa kelompok yang tidak menunjukkan gejala klinis sebagai kelompok asimptomatik amikrofilaremik dan asimptomatik mikrofilaremik.24

2. Masa Inkubasi

Masa berkembangnya larva infektif di dalam tubuh manusia sampai terjadinya gejala klinis dalam waktu antara 8-12 bulan setelah orang mengalami gigitan pertama dari nyamuk vektor.23 3. Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut yang terjadi adalah radang pada saluran getah bening (limfadenitis dan limfangitis) disertai demam yang dapat mencapai suhu 40,6 0C, menggigil, nyeri kepala, mual, muntah. Kelenjar limfe yang terkena unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofilaremik atau mikrofilaremik.22

Filariasis bancrofti sering menyerang saluran getah bening alat kelamin laki-laki kemudian mengakibatkan orchitis, epididymitis atau funiculitis serta hidrokel yang di dalam cairan hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria. Saluran getah bening inguinal dan femoral dapat terkena dan menunjukkan gejala klinis pembengkakan dari tungkai atas sampai kaki. Dapat terbentuk abses yang bila pecah akan membentuk ulkus (landai).23


(25)

15

Gejala klinis akut dapat sembuh spontan dalam 3-15 hari namun pada beberapa kasus terjadi kekambuhan yang tidak teratur selama beberapa minggu sebelum keluhan membaik.12 Filariasis jarang terjadi pada orang usia di bawah 20 tahun karena gejala klinis yang timbul setelah beberapa tahun dari mulai infeksi pertama.23

4. Gejala Klinis Kronik

Gejala klinis kronik filariasis terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Pada stadium ini mikrofilaria jarang ditemukan, tetapi gejala limfangitis mulai dapat terjadi. Gejala klinis kronik akan menyebabkan kecacatan yang dapat mengganggu aktivitas penderita.24

Wuchereria bancrofti dan Brugia timori akan memberikan gejala klinis berbeda. Limfaedema yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti terjadi pada payudara, tungkai atas, tungkai bawah dan skrotum. Limfaedema yang disebabkan oleh Brugia timori hanya terjadi pada lengan bawah dan tungkai bawah.25

2.4.5 Diagnosis

Penegakkan diagnosis untuk memastikan individu menderita penyakit kaki gajah (filariasis) terdiri dari beberapa macam tipe diagnosis. Tentunya dilakukan pemeriksaan untuk menentukan diagnosis banding jika ada penyakit lain. Diagnosis yang dilakukan meliputi cara-cara berikut.

1. Diagnosis Klinik

Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan kronik (Acute and Chronic Disease Rate).


(26)

16

Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan riwayat mengalami limfadenopati regional, limfadenitis berulang serta gejala menahun.24 2. Diagnosis Parasitologik

Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan menemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari yaitu 30 menit setelah pemberian dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria yang terdeteksi secara morfologis dapat ditentukan spesies cacing filaria.26

Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada stadium prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala kronik, occult filariasis, deteksi antibodi dan atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.25

Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi akut dan infeksi kronik. Deteksi antigen diantaranya deteksi metabolit, sekresi dan ekskresi parasit dapat menunjang diagnosis parasitologik.24 3. Diagnosis Epidemiologik

Endemisitas filariasis pada suatu daerah diketahui dengan menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis untuk menentukan daerah yang termasuk endemis filariasis dapat dilakukan melalui penemuan penderita elefantiasis. Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis dari 1000 penduduk yang ada, diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 penderita yang mikrofilaremik.25

2.4.6 Pengobatan Filariasis

Pengobatan filariasis dilakukan dengan pemberian obat Dietilkarbamasin yang merupakan satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini aman dan tidak


(27)

17

menyebabkan resistensi obat, tetapi memberikan efek samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simptomatik. Namun, Dietilkarbamasin tidak dapat digunakan kepada penderita sebagai kemoprofilaksis.26

Pengobatan filariasis bertujuan untuk mengurangi kecacatan pada setiap penderita agar penderita mampu merawat diri secara mandiri. Pengobatan (tatalaksana) kasus klinis kronis filariasis dilakukan sejak tahun 2005-2009.27

Pada tahun 2005 kasus klinis kronis filariasis yang ditangani sebanyak 21% dan 3 tahun kemudian tepatnya pada tahun 2008, kasus klinis kronis filariasis meningkat menjadi 40%. Diharapkan pada tahun-tahun berikutnya kasus klinis kronis filariasis yang diobati meningkat sesuai yang ditargetkan yaitu mencapai 90%.28

Grafik 2.1. Realisasi Tatalaksana Kasus Klinis Kronis Filariasis Tahun 2005 - 2009


(28)

18

2.5 Epidemiologi Filariasis

Filariasis tersebar luas hampir di semua propinsi di Indonesia. Pada tahun 2000 ada 6.233 kasus kronis filariasis dari 26 propinsi di Indonesia. Pada tahun 2005, tercatat 8.243 penduduk mengalami kasus kronis filariasis di 33 propinsi di Indonesia. Sampai tahun 2009 tercatat sudah terjadi 11.914 kasus kronis filariasis yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia.25

Peningkatan jumlah kasus yang terjadi disebabkan bertambahnya jumlah kasus baru dan laporan baru kasus lama. Gambaran distribusi filariasis di Indonesia tahun 2000-2009 dapat dilihat pada Grafik 2.2:

Grafik 2.2. Distribusi Kasus Filariasis di Indonesia Tahun 2000-2009

Pada tahun 2009 dilaporkan 3 (tiga) propinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730 orang), dan Papua (1.158 orang). Tiga propinsi kasus terendah filariasis ada di Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang) dan Sulawesi Utara (30 orang).26

Distribusi kasus filariasis yang terjadi di Indonesia pada tahun 2009 tercatat dalam bentuk grafik yang berisi jumlah kasus per-provinsi dari 33 propinsi di Indonesia. Gambaran distribusi kasus filariasis per-propinsi di Indonesia tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik berikut ini:


(29)

19

Grafik 2.3. Distribusi Kasus Filariasis Per-Provinsi Tahun 2009

Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis yang disebabkan oleh nyamuk infektif. Namun pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang dapat terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Orang yang terinfeksi filariasis namun belum menunjukkan gejala klinis umumnya sudah mengalami gangguan di dalam tubuhnya.26

Orang-orang dapat tertular filariasis disebabkan pekerjaan dan kebiasaan, contohnya orang yang bekerja di kebun pada malam hari, orang yang pergi keluar rumah pada malam hari dan kebiasaan ketika tidur perlu diperhatikan, karena kebiasaan tersebut berhubungan dengan intensitas kontak dengan vektor.26

Kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal dapat mempengaruhi distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularan filariasis. Daerah endemis filariasis umumnya sekitar hutan rawa, sungai-sungai yang ditumbuhi tanaman air, dan genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Culex quinquefasciatus.27

Sebagai upaya program eliminasi penyakit kaki gajah (filariasis), maka harus dilaksanakan tatalaksana kasus klinis kaki gajah (filariasis) kepada semua penderita, dengan tujuan mencegah atau mengurangi kecacatan pada penderita sehingga penderita mampu merawat diri secara mandiri.28


(30)

20

Setiap penderita akan dibuatkan rekam medis sebagai catatan (dokumen) di Puskesmas, kemudian setiap penderita akan dikunjungi oleh petugas kesehatan minimal 7 kali dalam waktu 1 tahun.28

2.6 Penentuan Wilayah Endemis Filariasis

Suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis bila di wilayah tersebut sedang dilakukan program pengobatan massal filariasis saat dilakukan survei evaluasi oleh Dinas Kesehatan Propinsi. Kegiatan lain yang dapat dilakukan adalah survei populasi kepada penduduk yang beruasia lebih dari 2 tahun. Kegiatan survei dilaksanakan 11 bulan setelah pengobatan massal tahun ke-2 dan tahun ke-4.27

2.7 Pemberantasan Filariasis

Pemberantasan filariasis ditujukan sebagai langkah awal pemutusan rantai penularan. Pemberantasan yang dilakukan yaitu dengan pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmisi. Pemberantasan filariasis yang dilaksanakan oleh Puskesmas di Indonesia bertujuan untuk:26

1. Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%. 2. Menurunkan nf rate menjadi < 5%.

3. Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR). 4. Kegiatan pemberantasan nyamuk yang terdiri dari:

a. Pemberantasan nyamuk dewasa Anopheles: residual indoor spraying Aedes: aerial spraying

b. Pemberantasan jentik nyamuk Anopheles: Abate 1%

Culex: minyak tanah

Mansonia: memusnahkan tanaman air tempat perindukan nyamuk. c. Mencegah gigitan nyamuk26


(31)

21

Pemberantasan kasus filariasis yang dilakukan diantaranya meliputi bagaimana cara pencegahan, penanganan pada penderita dan penanggulangan wabah. Penjelasan tentang bagaimana pemberantasan kasus filariasis berguna untuk menambah wawasan masyarakat umum.

2.8 Pencegahan Filariasis

1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan pengendalian vektor (nyamuk).16

2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan manusia sebagai umpan; mengidentifikasi waktu dan tempat nyamuk menggigit dan tempat perkembangbiakan nyamuk.

Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah, tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur menggunakan kelambu serta menggunakan obat gosok anti nyamuk pada tubuh, membersihkan tempat perkembangbiakan nyamuk seperti tempat penampungan air dan pemberantasan larva dengan larvasida.28 3. Pengendalian vektor jangka panjang dibutuhkan perubahan konstruksi

rumah dan termasuk pemasangan kawat kassa serta pengendalian lingkungan dengan melakukan pemusnahan tempat perkembangbiakan nyamuk.29

4. Pengobatan dengan menggunakan obat Diethylcarbamazine citrate (DEC); Pengobatan ini lebih efektif dengan dosis 25-50 mg/kgBB setiap bulan selama 1-2 tahun atau konsumsi garam yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g garam) selama 6 bulan sampai 2 tahun. Obat diberikan per-oral setelah makan malam.27

5. Pada daerah endemis filariasis namun tidak endemis onchorciasis, WHO menyarankan dilakukan pengobatan massal menggunakan dosis tunggal sekali setahun selama 4-6 tahun yaitu kombinasi DEC 6 mg/kgBB dan Albendazole 400 mg. Pada daerah yang endemis onchorciasis maka


(32)

22

dianjurkan pemberian Ivermectin dikombinasi dengan Albendazole 400 mg.28 Namun, penggunaan obat DEC dan Albendazole tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh wanita dalam masa kehamilan dan anak-anak usia kurang dari 2 tahun.28

2.8.1 Penanganan pada Penderita Filariasis dan Lingkungan Sekitar

1. Masyarakat perlu melapor kepada sarana kesehatan tentang daerah endemis suatu penyakit menular. Laporan dari masyarakat tentang informasi ditemukan mikrofilaria memberikan gambaran luasnya trasmisi filariasis di suatu daerah.

2. Perlindungan penderita dari gigitan nyamuk penular penyakit.

3. Pengobatan dengan obat diethylcarbamazine citrate (DEC) dan Ivermectin yang memberikan hasil sebagian atau seluruh mikrofilaria hilang dari darah, namun tidak membunuh semua cacing dewasa. Mikrofilaria dapat muncul kembali setelah pengobatan. Dengan demikian, pengobatan harus diulangi dalam waktu satu tahun.27

2.8.2 Penanggulangan Wabah Filariasis

Pengendalian vektor penular agen filaariasis adalah upaya paling utama penanggulangan filariasis. Pada daerah endemis dibutuhkan pengetahuan bionomik dari vektor nyamuk, insidensi penyakit serta faktor lingkungan yang berperan dalam penularan.28

Pengendalian vektor yang belum maksimal ternyata masih mampu mengurangi insidensi dan penyebaran wabah filariasis, walaupun hasil yang diperoleh dalam waktu lama karena masa inkubasi yang panjang.28


(33)

23

2.9 Program Eliminasi Kaki Gajah

Sehubungan dengan dilaporkannya kejadian filariasis setiap tahun maka Kemenkes RI melaksanakan kegitan yang bertujuan untuk memusnahkan parasit yang menjadi penular filariasis pada masyarakat. Kegiatan tersebut dikenal dengan Program Eliminasi Kaki Gajah.25

Diharapkan dengan adanya Program Eliminasi Kaki Gajah ini dapat mengurangi angka kejadian filariasis pada masyarakat khusunya di Negara Indonesia dan di daerah-daerah endemis filariasis. Adapun langkah-langkah dari Program Eliminasi Kaki Gajah yang terdapat di dalam Rencana Aksi Program Eliminasi Filariasis Tahun 2010-2014 sebagai berikut ini:

1. Justifikasi

Program eliminasi Filariasis direncanakan sampai tahun 2014 sesuai dasar justifikasi diantaranya:

Pertama, melaksanakan survei dasar kemudian POMP filariasis kepada penduduk yang tinggal di daerah endemis dengan indikasi angka mikrofilaria lebih dari 1% setiap tahun minimal selama 5 tahun sebagai upaya pencegahan. Karena diketahui penyebaran filariasis terjadi di 337 kabupaten/kota sampai bulan Januari 2010.28

Kedua, pemberian POMP filariasis kepada minimal 85% penduduk yang berisiko tertular di daerah yang teridentifikasi endemis. POMP berdasarkan prioritas wilayah menuju eliminasi filariasis tahun 2020.16 Ketiga, penatalaksanaan kasus klinis baik melalui basis rumah sakit maupun komunitas (community home based care).

Rencana Program tersebut ditetapkan setelah dikaji efektivitasnya. Contohnya efektifitas POMP filariasis untuk pengobatan filariasis yang disebabkan Brugia malayi di Bangka dan Belitung tahun 2005-2009. Dan penanganan filariasis Wuchereria bancrofti di Bogor tahun 2006.28


(34)

24

Grafik 2.4. Angka Kejadian Filariasis Pasca POMP Filariasis di Daerah Endemis Infeksi Brugia Tahun 2006

Program POMP Filariasis yang dilakukan telah menunjukkan hasil yang efektif. Program POMP filariasis yang dilaksanakan tersebut menunjukkan hasil penurunan kejadian penularan filariasis. Hasil POMP filariasis tersebut dapat dilihat pada gambar 2.7 di bawah ini:

Grafik 2.5. Penurunan Angka Parasitologi Pasca POMP Filariasis di Daerah Endemis Infeksi Bancrofti Tahun 2009


(35)

25

2. Tujuan Program Eliminasi Filariasis Tahun 2010-2014

1. Program dilakukan lima tahun pertama mulai dari tahun 2010-2014. 2. Semua kabupaten/kota endemis di wilayah Indonesia Timur telah

melakukan POMP filariasis pada tahun 2014. 3. Program selesai dilaksanakan pada tahun 2020.28

3. Strategi Program Eliminasi Filariasis Tahun 2010-2014

Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun diantaranya: 1. Meningkatkan peran kepala daerah beserta para anggota

2. Sosialisasi kepada masyarakat dan rencana pelaksaan program 3. Memastikan jumlah dan pembagian obat serta dana operasional 4. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis, sistem pengawasan dan

pelaksanaan pengobatan dan pengaman kejadian pasca pengobatan. 5. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.2

4. Kegiatan Pokok Program Eliminasi Filariasis 1. Meningkatkan promosi

2. Mengembangkan sumberdaya manusia yang tertular filariasis 3. Menyempurnakan tata organisasi

4. Meningkatkan kemitraan 5. Meningkatkan advokasi 6. Memberdayakan masyarakat 7. Memperluas jangkauan program


(36)

26

2.10 Kerangka Teori

Kerangka Teori Penelitian

2.11 Kerangka Konsep


(37)

27

2.12 Definisi Operasional

Tabel 2.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Skala Hasil ukur 1. Epidemiologi

Filariasis

Penyebaran kejadian filariasis dalam suatu penduduk tertentu yang tercatat dalam laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012 Data sekunder Data sekunder

Nominal Kasus filariasis

2. Usia Hidup responden yang dihitung dalam tahun sejak lahir sampai waktu penelitian Data sekunder Data sekunder

Nominal Menurut WHO: 1. Muda (15-49

tahun)

2. Orang tua (50 tahun ke atas)

3. Jenis kelamin Status gender seseorang

Data sekunder

Data sekunder

Nominal 1. Laki-laki 2. Perempuan

4. Tempat Tempat tercatat kasus filariasis

Data sekunder

Data sekunder

Nominal Puskesmas

5. Waktu Rentang waktu yang terdiri dari bulan dan tahun

Data sekunder

Data sekunder


(38)

28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi deskriptif dengan metode cross sectional study tentang gambaran epidemiologi filariasis di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012 dengan variabel orang, tempat dan waktu.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dan Puskesmas Kampung Sawah, Ciputat.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Desember 2013

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus filariasis di Kota Tangerang Selatan yang tercatat di laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012.

3.3.2 Jumlah Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh kasus filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 sehingga penelitian ini adalah total sampling.

3.3.3 Cara Pengambilan Sampel

Sampel kasus diambil dari laporan kasus filariasis tahun 2008-2012 di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (data sekunder).


(39)

29

3.4 CARA KERJA PENELITIAN 3.4.1 Etika Penelitian

Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mendapatkan persetujuan untuk melakukan penelitian di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.

3.4.2 Alur Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian

3.5 Managemen Data 3.5.1 Jenis Data

Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh oleh peneliti dari laporan kesehatan di Dinas Kesehatan Kota


(40)

30

3.5.2 Tekhnik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara:

1. Pengumpulan data dilakukan saat kegiatan penelitian pada bulan September-Oktober 2013.

2. Data diperoleh dari laporan kejadian filariasis di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Kampung Sawah, Kelurahan Sawah Baru.

3. Wawancara dengan Staff Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Kampung Sawah dan Kelurahan Sawah Baru. 3.5.3 Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul didiolah dan dianalisis lalu dibahas secara deskriptif dalam laporan hasil penelitian

3.5.4 Analisa Data

Analisa univariat dengan menampilkan tabel gambaran frekuensi insiden filariasis berdasarkan variabel yang terdiri dari variabel orang (usia, jenis kelamin), tempat (puskesmas, kelurahan) dan waktu (tahun). 3.5.5 Penyajian Data

Data-data hasil penelitian yang diolah ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk tabel, grafik dan gambaran.


(41)

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Karakteristik Orang Distribusi epidemiologi filariasis berdasarkan karakteristik orang, dapat berupa usia dan jenis kelamin. Berdasarkan epidemiologi, filariasis lebih sering terjadi pada orang-orang usia dewasa. Salah satu penyebabnya adalah infeksi filariasis yang bersifat menahun.

Kejadian filariasis terjadi pada laki-laki dan perempuan disebabkan kegiatan yang dilakukan pada malam hari. Karena aktivitas nyamuk vektor filariasis umumnya pada malam hari (nokturna).

1.1 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Usia di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Distribusi epidemiologi filariasis berdasarkan usia di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012 dapat dilihat pada tabel 4.1:

Tabel 4.1 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Usia di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Usia Frekuensi Persentase (%)

11-20 1 5

21-30 1 5

31-40 2 10

41-50 7 35

51-60 3 15

61-70 5 25

71-80 1 5

Total 20 100


(42)

32

Berdasarkan tabel 4.1, diketahui distribusi epidemiologi filariasis menurut kelompok usia yang paling tinggi adalah kelompok usia 41-50 tahun yaitu 7 orang.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Rika dan Yenni di Kemelak Baturaja, Sumatera Selatan (2007), dari 965 sampel, didapatkan 256 orang (26,7%) positif filariasis yaitu kelompok usia 31-46 tahun.9 Menurut Astri MIP (2007) dalam penelitian Ismed (2010), dari pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada 79 orang yang diduga terinfeksi filariasis di Desa Sambirejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, didapatkan hasil positif berupa mikrofilaria dalam aliran darah 6 orang pada kelompok usia 41-50 tahun.29 Dalam penelitian Nasrin di Kabupaten Bangka Barat (2008), dari 32 penderita filariasis, diketahui 10 orang penderita dari kelompok usia 51-60 tahun.30

Faktor usia mempengaruhi timbulnya gejala klinis filariasis. Pada beberapa kasus, gejala klinis filariasis pada penderita timbul setelah beberapa tahun. Menurut Suharto (2007), filariasis jarang diderita oleh orang usia kurang dari 20 tahun karena gejala penyakit bersifat kronis misalnya pembesaran pada lengan dan tungkai penderita akan timbul 10-15 tahun setelah keluhan pertama.31 Menurut Soedarmo (2008) dalam penelitian Hermanda (2011), menyatakan mikrofilaria filariasis bertahan di tubuh manusia selama 5-10 tahun kemudian baru menimbulkan gejala klinis.32 Menurut Taniawati dan Agnes (2008) dalam penelitian Santoso (2010), menyatakan bahwa gejala klinis filariasis baru timbul setelah 10-15 tahun setelah penderita terinfeksi, sehingga penderita filariasis lebih banyak didapatkan pada kelompok usia dewasa.33


(43)

33

1.2 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Jenis Kelamin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Distribusi epidemiologi filariasis berdasarkan perbedaan jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012 pada tabel 4.2:

Tabel 4.2. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Jenis Kelamin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012 Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 7 35

Perempuan 13 65

Total 20 100

Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013

Berdasarkan tabel 4.2 distribusi penderita filariasis menurut jenis kelamin, menunjukkan bahwa dari 20 orang yang diketahui menderita filariasis di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008-2012, 13 orang diantaranya adalah perempuan.

Filariasis banyak dialami oleh kelompok perempuan di Kota Tangerang Selatan. Trend ini sama dengan yang terjadi di beberapa kota di Indonesia. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2004), didapatkan 103 orang penderita filariasis kronik, 58 orang perempuan dan 45 orang laki-laki.34 Dalam penelitian Reyke dan Sumarni di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo (2006), didapatkan dari 70 orang penderita filariasis, 36 orang perempuan dan 34 orang laki-laki.35

Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Nola Riftiana di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (2010), bahwa dari 34 orang penderita filariasis yang didapat, diketahui 20 orang adalah perempuan dan 14 orang laki-laki.36 Penelitian Dorsina Fransisca dan Ika Setyorini di Kecamatan Sirimau, Ambon (2012), dari 40 orang penderita filariasis, 21 orang perempuan dan 19 orang laki-laki.37


(44)

34

Banyaknya kejadian filariasis pada kelompok perempuan di suatu wilayah, dimungkinkan karena kegiatan yang dilakukan oleh perempuan di luar rumah pada malam hari tanpa menggunakan pakaian lengan panjang dan krim anti nyamuk. Menurut Komariah dan Seftiani (2009), menyatakan kegiatan yang dilakukan oleh perempuan di luar rumah pada malam hari merupakan penyebab penularan filariasis.38

Menurut Herry Wibowo dan Yenni Djuardi dalam Santoso (2010), menyatakan bahwa filariasis lebih sering pada perempuan karena kegiatan yang dilakukan di luar rumah pada malam hari, contohnya pergi ke suatu tempat tanpa menggunakan pakaian lengan panjang.33 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yohannie dan Raini di Desa Nanjung, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung (2011), menyatakan hal yang dapat menyebabkan kejadian filariasis dapat lebih banyak diderita oleh perempuan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perempuan di luar rumah pada malam hari, yaitu pergi ke luar rumah tanpa menggunakan krim anti nyamuk (repellent).39

Dalam penelitian Kadarusman (2003), menyatakan kejadian filariasis ada hubungannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh perempuan di luar rumah pada malam hari tanpa menggunakan krim anti nyamuk.40 Dalam penelitian Marwan di Lebak, Banten (2003), menyatakan karena perempuan rutin memeriksakan diri ke puskesmas, sehingga kejadian filariasis yang terdata lebih banyak perempuan.10

Filariasis umumnya lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan karena pekerjaan fisik yang berat yang memudahkan laki-laki mendapat infeksi. Namun, tidak selalu setiap kejadian filariasis lebih banyak dialami oleh laki-laki. Karena pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila tergigit oleh nyamuk infektif filariasis (mengandung larva stadium 3).39


(45)

35

Pada daerah endemis filariasis tidak semua penduduk di daerah endemis tersebut terinfeksi filariasis. Penduduk yang datang sebagai transmigran dari daerah non endemis ke daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi lebih besar dibandingkan penduduk asli.27

2. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Tempat di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tentang penderita filariasis yang berobat ke Puskesmas di Kota Tangerang Selatan, maka dapat diketahui distribusi epidemiologi filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 sebagai berikut :

Tabel 4.3 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Puskesmas Tempat Berobat di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Puskesmas Frekuensi Persentase

Bakti Jaya 1 5

Benda Baru 1 5

Jurang Mangu 2 10

Kampung Sawah 6 30

Pamulang 3 15

Pondok Aren 1 5

Pondok Kacang Timur 3 15

Rawa Buntu 1 5

Serpong 1 5

Situ Gintung 1 5

Total 20 100


(46)

36

Pada tabel di atas terlihat bahwa dari total 20 kejadian filariasis yang dilaporkan terjadi di Kota Tangerang Selatan, diketahui kejadian filariasis tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah yaitu 6.

Demikian pula jika dikelompokkan berdasarkan kelurahan atau tempat tinggal penderita, dapat diketahui distribusi epidemiologi filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 pada tabel berikut ini :

Tabel 4.4 Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Kelurahan Tempat Tinggal di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Kelurahan Frekuensi Persentase

Bakti Jaya 1 5

Benda Baru 1 5

Jurang Mangu Barat 2 10

Pamulang Barat 1 5

Pamulang Timur 1 5

Pondok Aren 1 5

Pondok Cabe Ilir 1 5

Pondok Kacang Barat 1 5

Pondok Kacang Timur 2 10

Rawa Buntu 1 5

Sawah Baru 5 25

Sawah Lama 1 5

Serpong 1 5

Serua 1 5

Total 20 100


(47)

37

Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa kejadian filariasis terbanyak berada di Kelurahan Sawah Baru yaitu sebanyak 5 dari 20.

Kejadian penyakit di suatu wilayah mungkin dapat disebabkan oleh kondisi wilayah itu sendiri. Contohnya keadaan geografis wilayah seperti curah hujan dan kelembaban udara. Menurut Nur Nasry Noor (2008), menyatakan curah hujan dan kelembaban udara di suatu wilayah sesuai untuk berkembang biaknya binatang yang dapat menjadi vektor penyakit.13

Selain karena kondisi wilayah, sarana kesehatan yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal penduduk mungkin dapat menjadi penyebab kejadian penyakit di wilayah tersebut. Komariah dan Seftiani (2009), menyatakan bahwa selain keadaan geografis, kejadian penyakit di suatu wilayah kemungkinan dapat disebabkan karena jarak sarana kesehatan yang cukup jauh dari tempat tinggal penduduk.39

Penderita filariasis terbanyak didapatkan di wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah, yaitu di kelurahan Sawah Baru. Berdasarkan hasil wawancara dengan Staf Puskesmas Kampung Sawah, diketahui bahwa di lingkungan Kampung Sawah sejak dulu hingga tahun 2009 masih ditemukan rawa-rawa dan persawahan.

Berdasarkan profil Kelurahan Sawah Baru, diketahui bahwa Kelurahan Sawah Baru memiliki lahan sawah seluas 25 Ha (hektare) dan lahan daratan seluas 35 Ha (hektare). Luasnya lahan sawah tersebut memungkinkan terjadinya kasus filariasis di Kelurahan tersebut. Kemudian, jarak yang cukup jauh dari Kelurahan Sawah Baru ke Puskesmas Kampung Sawah sehingga penduduk yang bertempat tinggal di Kelurahan Sawah Baru tidak rutin untuk memeriksakan kesehatan ke Puskesmas Kampung Sawah.

Rawa-rawa dan persawahan merupakan habitat yang sesuai bagi nyamuk vektor filariasis. Dalam penelitian Soeyoko (2008), diketahui


(48)

38

bahwa salah satu penyebab kejadian filariasis pada suatu wilayah adalah terdapatnya rawa-rawa dan persawahan di wilayah tersebut.41

Menurut Soedomo (1990) dalam penelitian Made Agus (2009), menyatakan kondisi lingkungan yang mendukung terjadinya penularan filariasis adalah lingkungan berupa rawa-rawa dan persawahan.42 Sesuai pernyataan sebelumnya, rawa-rawa dan persawahan kemungkinan menjadi habitat nyamuk vektor filariasis.

3. Distribusi Epidemiologi Filariasis berdasarkan Waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012

Distribusi epidemiologi filariasis di Kota Tangerang Selatan tahun 2008-2012 dapat dilihat pada tabel 4.4:

Tabel 4.4 Distribusi Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Tahun Frekuensi Persentase

2008 2 10

2009 3 15

2010 7 35

2011 5 25

2012 3 15

Total 20 100

Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa selama 5 tahun (2008-2012) kejadian filariasis paling tinggi tahun 2010, setelah itu tahun 2012 kejadian filariasis cenderung turun. Hal ini dimungkinkan karena Program Pengobatan Massal oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.


(49)

39

Gambar 4.1 Grafik Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012

Dibawah ini adalah tabel jumlah penduduk di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012, tabel 4.5.

Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Kota Tangerang Selatan 2008-2012 Tahun Laki-laki Perempuan Frekuensi

2008 532.670 518.704 1.051.374

2009 609.540 593.559 1.203.099

2010 652.581 638.041 1.290.322

2011 684.155 671.771 1.355.926

2012 708.767 696.403 1.405.170

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan, 2013

Berdasarkan gambar 4.1 dan tabel 4.5, dapat disimpulkan bahwa menurunnya angka kejadian filariasis karena keberhasilan Program Pengobatan Massal Filariasis di Kota Tangerang Selatan.

Berdasarkan wawancara dengan Staf Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, diketahui bahwa Program Pengobatan Massal Filariasis sudah dilakukan lima kali setiap tahun, mulai tahun 2009-2013.

Pengobatan massal yang dilakukan tahun 2009 mencapai 90%. Pada tahun 2010, cakupan pengobatan massal mencapai 89%. Pada tahun 2011 cakupan pengobatan massal 90%. Namun, pengobatan massal tahun 2012 mengalami penurunan, karena hanya mencapai cakupan 89%. Tahun 2013 program pengobatan massal memenuhi cakupan 90,67%.

0 1 2 3 4 5 6 7 8

2008 2009 2010 2011 2012

Distribusi Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012


(50)

40

Pengobatan Massal yang dilakukan tersebut sudah memenuhi ketentuan Program POMP Filariasis dengan target yang harus dicapai untuk memutus rantai penularan minimal pencapaian sebesar 85%.43

Gambaran pencapaian Program Pengobatan Massal filariasis yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Selama 5 tahun (2009-2013) dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Gambar 4.2 Grafik Pencapaian Program Pengobatan Massal Filariasis, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2009-2013)

Sumber : Laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2013

Staf Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menyatakan penyebab dari kejadian filariasis di Kota Tangerang Selatan cenderung naik dari tahun 2008-2010 dan cenderung turun dari tahun 2010-2012 karena adanya kasus baru filariasis yang baru dilaporkan.

Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI (2013), diketahui kejadian filariasis di Indonesia tahun 2008 yaitu sebanyak 11.699 kasus. Sampai tahun 2011 kejadian filariasis cenderung naik mencapai 12.066 kasus. Tahun 2012 kejadian filariasis cenderung turun menjadi 11.903 kasus.44 Kejadian filariasis yang cenderung turun dari tahun 2011 ke tahun 2012 merupakan keberhasilan pencapaian Program Pengobatan Massal Filariasis yang dilakukan selama 5 tahun (2008-2012) di Indonesia.

88% 89% 89% 90% 90% 91% 91% 92%

2009 2010 2011 2012 2013

POMP Filariasis


(51)

41

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Distribusi penderita filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 berdasarkan usia diketahui bahwa kelompok usia 41-50 tahun lebih banyak dibanding kelompok usia lain.

2. Distribusi penderita filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa perempuan lebih banyak disbanding laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus pada perempuan sebanyak 13 orang.

3. Distribusi penderita filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2012 berdasarkan tempat diketahui bahwa Kelurahan Sawah Baru menjadi daerah dengan kasus filariasis terbanyak se-Kota Tangerang Selatan. 4. Kasus filariasis di Kota Tangerang Selatan dari tahun 2008-2010

cenderung naik, akan tetapi dari tahun 2010-2012 cenderung turun.

5.2 Saran

1. Diperlukan penyuluhan sedini mungkin kepada masyarakat sebagai upaya pencegahan kejadian penyakit.

2. Kepada perempuan agar menggunakan pakaian tertutup dan pada malam hari menggunakan obat pengusir nyamuk dan kelambu saat tidur.

3. Kepada Puskesmas Kampung Sawah agar melakukan pembersihan tempat hidup vektor.

4. Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan dapat melakukan survei lanjutan untuk mengetahui perkembangan filariasis lebih lanjut, agar dapat diketahui jumlah penderita filariasis.


(52)

42

DAFTAR PUSTAKA

1. Hanafiah W.S, Nanny K.O, Nurlaila Z., Duyeh S., Misyetti. Penelitian Dietil-Karbamazin Sebagai Sediaan Diagnostik Limfatik Filariasis Evaluasi Non-Klinis. Bandung: Badan Teknologi Nuklir Nasional, 2012.

2. Aditama T.Y. Rencana Nasional Program Eliminasi Filariasis di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Kemenkes RI, 2010.

3. Dyah, H.S, Didik T.S. Laporan Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis; Dinamika Filariasis di Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Veteriner,2007. 4. Kusriastuti. Program Penyehatan Masyarakat dengan Eliminasi Filariasis di

Indonesia 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal P2B2 Kemenkes RI, 2011.

5. Triono, Soendoro. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten Tahun 2007. Jakarta. Balitbangkes Depkes RI. 2008.

6. Nita, Gilik. Laporan Survei Jumlah Penderita Filariasis di Kota Tangerang Selatan tahun 2009. Tangsel: Dinas Kesehatan Kota Tangsel, 2010.

7. Retno, Maristi. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat Kelurahan Ciputat tentang Filariasis dan Cara Pencegahan. Jakarta:Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, 2012.

8. Depkes RI. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Direktorat Jenderal PP & PL, 2008.

9. Rika, Yenni,. Faktor Risiko Penyakit Filariasis pada Masyarakat di Indonesia. Palembang: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, 2007.

10. Marwan, Surachman P. Wilayah Rawan Filariasis di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Jakarta: Fakultas Matematika dan IPA UI, 2007.

11. Agus, Nurjana. Penanggulangan Filariasis di Indonesia di Donggala. Jakarta: Badan Litbangkes Depkes RI, 2009.

12. Ryadi, dkk. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika,2011. 13. Jalaludin. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene dan

Karakteristik Anak terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Biangmangat Kota Lhokseumawe. Medan: USU, 2009.


(53)

43

14. Noor, Nur Nasry. Epidemiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. 15. Azwar, Azrul. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Binarupa Aksara, 2004. 16. Munaya, Fauziah, dkk. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: EGC, 2004. 17. Buchari, Lapau. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: FK UI, 2009. 18. Widoyono, dkk. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasan.

Jakarta: Erlangga. 2005.

19. Candra, Aryu. Epidemiologi dan Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah. Semarang: FK Universitas Diponegoro, 2009.

20. Wahyuni, Dwi. Penelitian Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga dan Persepsi tentang Program Pemberantasan Filariasis di Kecamatan Patumbak, Medan Tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010. 21. Gandahusada, S. dkk. Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: FKUI,2004. 22. Nasronudin, dkk. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang.

Surabaya: FK UNAIR, 2007.

23. Depkes RI. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Direktorat Jenderal PP & PL, 2008.

24. Chin, James MD, MPH. Buku Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17, Cetakan ke-2. Editor Penterjemah: I Nyoman Kandun. Jakarta: CV. INFOMEDIKA, 2006.

25. Tri Yunis M, Supali T. Buletin Jendela Epidemiologi; Filariasis di Indonesia. Volume 1. Jakrata: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.

26. Endang Puji Astuti, dkk. Filariasis Penyakit Tropis yang Terabaikan di Jawa Barat. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2013.

27. Depkes RI. Epidemiologi Filariasis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta, 2006.

28. Hariyono, S. Penelitian Filariasis; Program Pendidikan Magister Ilmu Kedokteran Tropik. Surabaya: Universitas Airlangga, 2010.

29. Sawir, Ismed. Laporan Pembinaan dan Pemberdayaan Kelembagaan Sebagai Unsur Strategi Terpadu Pengendalian Populasi Nyamuk. Jakarta, Fakultas Matematika dan IPA Universitas Terbuka, 2010


(54)

44

30. Nasrin. Tesis: Faktor Lingkungan dan Perilaku Yang Berhubungan Dengan Filariasis di Kabupaten Bangka Barat Tahun 2008. Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,2008.

31. Suharto, dkk. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang. Surabaya. FK UNAIR, 2007.

32. Hermanda. Skripsi Faktor Risiko Filariasis. Jakarta: FK UPN Veteran, 2011. 33. Santoso. Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kasus Filariasis. Riset

Kesehatan Dasar Indonesia 2010.

34. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Pencapaian Program Kesehatan menuju Jawa Tengah Sehat. Jawa Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi, 2004. 35. Reyke Uloli, Sumarni. Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis.

Bone, Sulawesi Selatan: Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo. Berita Kedokteran Masyarakat vol. 24, No.1, Maret 2008.

36. Nola Riftiana. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2010.

37. Dorsina Fransisca, Ika Setyorini. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Filariasis di Kecamatan Sirimau, Ambon (2012). Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2012 38. Komariah, Seftiani. Pengendalian Vektor Filariasis. Palembang: Pasca

Sarjana Kesehatan Masyarakat STIKES Bina Husada, 2009.

39. Yohannie, Raini. Penelitian Upaya Pencegahan Primer Filariasis di Kabupaten Bandung tahun 2010. Bandung: FK UNPAD, 2011.

40. Kadarusman. Penelitian Kejadian Penularan Filariasis di Kota Medan tahun 2003. Medan: FK USU, 2005

41. Soeyoko. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2010.

42. Made, Nurdjana. Aspek Epidemiologi Penanggulangan Filariasis di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Depkes RI, 2009.

43. Purwantyastuti, dkk. POMP Filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL, Depkes RI, 2010.


(55)

45

44. Hermawan, Budi. Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Jakarta, Ditjen P2PL Depkes RI, 2013.


(56)

Lampiran 1

DATA KASUS PENDERITA FILARIASIS DI WILAYAH KOTA TANGERANG SELATAN

No Nama Jenis

Kelamin Umur Alamat

Wilayah Puskesmas

Tahun di Temukan

1 Tn. Cuan Och L 49 Pamulang Barat Rt. 01/07 Kec. Pamulang

Pamulang

2009

2 Ny. Munah P 50 PamulangTimur Rt. 01/26 Kec. Pamulang 2010

3 Kaliman L 60 Jl. Cabe VI, Rt.05/11 Pd Cb Ilir 2012

4 Sani P 53 Benda Baru Rt. 03/05 Kec. Pamulang Benda Baru 2009 5 Tn. Atang L 48 Pdk. Aren Rt. 03/11 (Jakarta Selatan) Pondok Aren 2009 6 Ny. Rina P 40 Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat

Kampung Sawah

2010

7 Ny. Jenah P 70 Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat 2010

8 Tn. Markam

bin Neman L 48

Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat 2010

9 Sainih P 70 Kel. Sawah Baru 5/4 2010

10 Sida P 65 Kel. Sawah Lama Rt. 1/7 2010

11 Nn. Ade

Rahmawati P 19

Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat 2011

12 Tn. Aminah L 45 Pdk. Serut 2 Rt. 6/3 Pdk. Kacang Barat

Pdk. Kacang Timur

2010

13 Ny. Hj. Amnah P 62 Rt. 03/02 Pondok Kacang Timur 2011

14 Ny. Husnul P 37 Rt. 03/02 Pondok Kacang Timur 2011

15 Tn. Dani L 21 Perum LUK Rt. 05/7 Kel. Bakti Jaya Kec.

Setu Bakti Jaya 2011

16 Ny. Suryati P 65 Kel. Serpong Rt. 02/ 04 Kec. Serpong Serpong 1 2012

17 Ny.

Sudarwati P 54 Kp. Dadap Rt. 01/03 Kel. Rawa Buntu Rawa Buntu 2012

18 Udin L 45 Kel. Jurang Mangu Baratrua Rt. 004/ 02 Jurang

Mangu

2008

19 Nonon P 75 Kel. Jurang Mangu Barat 2008

20 Yanih P 40 Kp. Parung Benying Rw. 3 Serua Situ Gintung 2011

Mengetahui Kepala Seksi P2M

Dr. Muhamad Rusmin


(57)

Lampiran 2

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 11-20 1 4.0 5.0 5.0

21-30 1 4.0 5.0 10.0

31-40 2 8.0 10.0 20.0

41-50 7 28.0 35.0 55.0

51-60 3 12.0 15.0 70.0

61-70 5 20.0 25.0 95.0

71-80 1 4.0 5.0 100.0

Total 20 80.0 100.0

Missing System 5 20.0

Total 25 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 7 28.0 35.0 35.0

Perempuan 13 52.0 65.0 100.0

Total 20 80.0 100.0

Missing System 5 20.0

Total 25 100.0

Waktu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2008 2 10.0 10.0 10.0

2009 3 15.0 15.0 25.0

2010 8 40.0 40.0 65.0

2011 4 20.0 20.0 85.0

2012 3 15.0 15.0 100.0


(58)

Usia * Jenis Kelamin Crosstabulation

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

Usia 11-20 0 1 1

21-30 1 0 1

31-40 0 2 2

41-50 5 2 7

51-60 1 2 3

61-70 0 5 5

71-80 0 1 1

Total 7 13 20

Tempat * Waktu Crosstabulation

Waktu

Total

2008 2009 2010 2011 2012

Tempat Bakti Jaya 0 0 0 1 0 1

Benda Baru 0 1 0 0 0 1

Jurang Mangu 2 0 0 0 0 2

Kampung Sawah 0 0 5 1 0 6

Pamulang 0 1 1 0 1 3

Pondok Aren 0 1 0 0 0 1

Pondok Kacang 0 0 2 1 0 3

Rawa Buntu 0 0 0 0 1 1

Serpong 0 0 0 0 1 1

Situ Gintung 0 0 0 1 0 1


(59)

Lampiran

Peta Kota Tangerang Selatan tahun 2014


(1)

45

44.

Hermawan, Budi.

Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Tahun 2012.

Jakarta, Ditjen P2PL Depkes RI, 2013.


(2)

Lampiran 1

DATA KASUS PENDERITA FILARIASIS DI WILAYAH KOTA TANGERANG SELATAN

No

Nama

Jenis

Kelamin

Umur

Alamat

Wilayah

Puskesmas

Tahun di

Temukan

1

Tn. Cuan Och

L

49

Pamulang Barat

Rt. 01/07 Kec. Pamulang

Pamulang

2009

2

Ny. Munah

P

50

Pamulang

Timur

Rt. 01/26 Kec. Pamulang

2010

3

Kaliman

L

60

Jl. Cabe VI, Rt.05/11

Pd Cb Ilir

2012

4

Sani

P

53

Benda Baru

Rt. 03/05 Kec. Pamulang

Benda Baru

2009

5

Tn. Atang

L

48

Pdk. Aren

Rt. 03/11 (Jakarta Selatan)

Pondok Aren

2009

6

Ny. Rina

P

40

Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat

Kampung

Sawah

2010

7

Ny. Jenah

P

70

Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat

2010

8

Tn. Markam

bin Neman

L

48

Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat

2010

9

Sainih

P

70

Kel. Sawah Baru 5/4

2010

10

Sida

P

65

Kel. Sawah Lama Rt. 1/7

2010

11

Nn. Ade

Rahmawati

P

19

Kp. Serua Poncol, Kel. Sawah Baru RT.

02/RW 06 Kec. Ciputat

2011

12

Tn. Aminah

L

45

Pdk. Serut 2 Rt. 6/3

Pdk. Kacang Barat

Pdk. Kacang

Timur

2010

13

Ny. Hj. Amnah

P

62

Rt. 03/02

Pondok Kacang Timur

2011

14

Ny. Husnul

P

37

Rt. 03/02

Pondok Kacang Timur

2011

15

Tn. Dani

L

21

Perum LUK Rt. 05/7

Kel. Bakti Jaya

Kec.

Setu

Bakti Jaya

2011

16

Ny. Suryati

P

65

Kel. Serpong

Rt. 02/ 04 Kec. Serpong

Serpong 1

2012

17

Ny.

Sudarwati

P

54

Kp. Dadap Rt. 01/03

Kel. Rawa Buntu

Rawa Buntu

2012

18

Udin

L

45

Kel. Jurang Mangu Baratrua

Rt. 004/ 02

Jurang

Mangu

2008

19

Nonon

P

75

Kel. Jurang Mangu Barat

2008

20

Yanih

P

40

Kp. Parung Benying Rw. 3 Serua

Situ Gintung

2011

Mengetahui

Kepala Seksi P2M

Dr. Muhamad Rusmin


(3)

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 11-20 1 4.0 5.0 5.0

21-30 1 4.0 5.0 10.0

31-40 2 8.0 10.0 20.0

41-50 7 28.0 35.0 55.0

51-60 3 12.0 15.0 70.0

61-70 5 20.0 25.0 95.0

71-80 1 4.0 5.0 100.0

Total 20 80.0 100.0

Missing System 5 20.0

Total 25 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 7 28.0 35.0 35.0

Perempuan 13 52.0 65.0 100.0

Total 20 80.0 100.0

Missing System 5 20.0

Total 25 100.0

Waktu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2008 2 10.0 10.0 10.0

2009 3 15.0 15.0 25.0

2010 8 40.0 40.0 65.0

2011 4 20.0 20.0 85.0

2012 3 15.0 15.0 100.0


(4)

Usia * Jenis Kelamin Crosstabulation

Jenis Kelamin

Total

Laki-laki Perempuan

Usia 11-20 0 1 1

21-30 1 0 1

31-40 0 2 2

41-50 5 2 7

51-60 1 2 3

61-70 0 5 5

71-80 0 1 1

Total 7 13 20

Tempat * Waktu Crosstabulation

Waktu

Total

2008 2009 2010 2011 2012

Tempat Bakti Jaya 0 0 0 1 0 1

Benda Baru 0 1 0 0 0 1

Jurang Mangu 2 0 0 0 0 2

Kampung Sawah 0 0 5 1 0 6

Pamulang 0 1 1 0 1 3

Pondok Aren 0 1 0 0 0 1

Pondok Kacang 0 0 2 1 0 3

Rawa Buntu 0 0 0 0 1 1

Serpong 0 0 0 0 1 1

Situ Gintung 0 0 0 1 0 1


(5)

Lampiran

Peta Kota Tangerang Selatan tahun 2014


(6)

Lampiran

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Abdullah Hamdani Tadjoedin

Tempat, tanggal lahir

: Bogor, 3 Januari 1990

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Sempur No.23, Kelurahan Sempur,

KecamatanBogor Tengah, Kota Bogor

Pendidikan

1.

1994-1996

: TK Bina Insani Bogor

2.

1996-2002

: SD Bina Insani Bogor

3.

2002-2005

: SMP Bina Insani Bogor

4.

2005-2008

: SMA YPHB Bogor