Analisis Efisiensi Produksi Tanaman Teh (Studi Kasus : PT Pekebunan Nusantara IV Sidamanaik Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun)

(1)

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TANAMAN TEH

(Studi Kasus : PT Pekebunan Nusantara IV Sidamanaik Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun)

Skripsi

Muhammad Fitra Amsuri Nasution

050304006

Sosial Ekonomi Pertanian / Agribisnis

Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Medan

2011


(2)

Sebagai salah satu syarat untuk sidang di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Diketahui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

(Ir. Diana Chalil. M.si, Ph.D)

NIP. 196703031998022001 NIP. 196411021989032001 (Dr. Ir. Tavi Supriana, MS)

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Medan 2011


(3)

ABSTRAK

M FITRA AMSURI NASUTION (050304006/Agribisnis) Judul Skripi ANALISIS EFESIENSI TANAMAN TEH DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA IV SIDAMANIK Dosen Pembimbing Ir. Diana Chalil, MSi, PhD dan Dr Ir Tavi Supriana, Ms.

Secara umum keuntungan perkebunan Sidamanik sangat dipengaruhi oleh biaya faktor-faktor produksi dan harga jual produksi daun teh kering. Dimana ketika biaya faktor-faktor produksi lebih tinggi dari pada pendapatan perusahaan, maka perusahaan mengalami kerugian didalam menjalankan usahanya. Kerugian perusahaan perkebunan teh berdampak pengkonversisan lahan teh menjadi lahan kelapa sawit di PTPN IV. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan konversi tanaman teh di PTPN IV, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha tanaman teh di PTPN IV Sidamanik dan untuk mengetahui tingkat efisiensi harga, efesiensi teknik dan efesiensi ekonomi faktor-faktor produksi di PTPN IV Sidamanik.

Secara umum faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi produksi daun teh kering adalah tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk urea, obat kleen up, obat repcord dan listrik. Perkembangan konversi luas areal tanaman teh di PTPN IV mengalami pengurangan lahan sebesar 44.35% dari tahun 1996 samapai tahun 2010. Secara umum penggunaan faktor-faktor produksi tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk urea, obat kleen up, obat repcord dan listrik tidak efisien secara efisiensi harga, efisiensi teknik dan efisiensi ekonomi. Penelitian ini masih terdapat kekurangan seihingga diusulkan untuk diadakan penelitian berikutnya dan kepada PT Perkebunan Nusantara IV sebaiknya melakukan upaya-upaya peningkatan efisiensi.


(4)

RIWAYAT HIDUP

M FITRA AMSURI NASUTION, lahir di Medan pada tanggal 28 Mei 1987 anak dari Bapak H. Ir. Amron Ch Nasution, MBA dan S. Br Karo. Penulis merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1993 masuk Sekolah Dasar Taman Asuhan Pematangsiantar, tamat tahun 1999.

2. Tahun 1999 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Pematangsiantar, tamat tahun 2002.

3. Tahun 2002 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri 2 Pematangsiantar tahun 2003 pindah ke Sekolah Lanjutan Atas Negeri 1 Medan tamat tahun 2005.

4. Tahun 2005 diterima di Departemen Agribisnis di Universitas Sumatera Utara Medan.


(5)

DAFTAR ISI

Hal ABSTRAK……… RIWAYAT HIDUP………. DAFTAR ISI……… PENDAHULUAN……… Latar Belakang………. Identifikasi Masalah………... Tujuan Penelitian……… Kegunaan Penelitian………... TINJAUAN PUSTAKA……….. Tinjauan Pustaka……….... Landasan Teori... Kerangka Pemikiran... Hipotesis Penelitian... METODOLOGI PENELITIAN... Metode Penentuan Daerah Penelitian... Metode Pengumpulan Data... Metode Analisis Data... Definisi dan Batasan Operasional... Definisi... Batasan Operasional... DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

USAHATANI... Deskripsi Daerah Penelitian... Letak Geografis... Keadaan Daerah... Luas Areal... Kesejahteraan Sosial... Struktur Organisasi... Karakteristik Usahatani... Produksi... i ii iii 1 1 4 4 4 5 5 6 12 15 16 16 16 17 23 23 23 24 24 24 25 25 25 25 28 28


(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN... Karakteristik Produksi... Perkembangan Konversi Tanaman Teh di PTP Nusantara IV... Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi daun teh kering... Efisiensi Harga... Efisiensi Teknik... Efisiensi Ekonomi... Upaya Peningkatan Efisiensi... KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA...

31 31 34 36 39 43 45 46 52 52 52 53


(7)

ABSTRAK

M FITRA AMSURI NASUTION (050304006/Agribisnis) Judul Skripi ANALISIS EFESIENSI TANAMAN TEH DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA IV SIDAMANIK Dosen Pembimbing Ir. Diana Chalil, MSi, PhD dan Dr Ir Tavi Supriana, Ms.

Secara umum keuntungan perkebunan Sidamanik sangat dipengaruhi oleh biaya faktor-faktor produksi dan harga jual produksi daun teh kering. Dimana ketika biaya faktor-faktor produksi lebih tinggi dari pada pendapatan perusahaan, maka perusahaan mengalami kerugian didalam menjalankan usahanya. Kerugian perusahaan perkebunan teh berdampak pengkonversisan lahan teh menjadi lahan kelapa sawit di PTPN IV. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan konversi tanaman teh di PTPN IV, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha tanaman teh di PTPN IV Sidamanik dan untuk mengetahui tingkat efisiensi harga, efesiensi teknik dan efesiensi ekonomi faktor-faktor produksi di PTPN IV Sidamanik.

Secara umum faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi produksi daun teh kering adalah tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk urea, obat kleen up, obat repcord dan listrik. Perkembangan konversi luas areal tanaman teh di PTPN IV mengalami pengurangan lahan sebesar 44.35% dari tahun 1996 samapai tahun 2010. Secara umum penggunaan faktor-faktor produksi tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk urea, obat kleen up, obat repcord dan listrik tidak efisien secara efisiensi harga, efisiensi teknik dan efisiensi ekonomi. Penelitian ini masih terdapat kekurangan seihingga diusulkan untuk diadakan penelitian berikutnya dan kepada PT Perkebunan Nusantara IV sebaiknya melakukan upaya-upaya peningkatan efisiensi.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkebunan merupakan sub sektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional dan perkebunan memiliki kontribusi besar dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, sub sektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika nasional dan global (Hasibuan, 2008).

Perubahan strategi nasional dan global mengisyaratkan pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan sekitarnya. Pembangunan perkebunan harus mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi perkebunan dan masyarakat sekitarnya selain itu juga mampu menjawab tantangan globalisasi (Hasibuan, 2008).

Industri perkebunan mulai berkembang di Nusantara dalam bentuk usaha-usaha perkebunan berskala besar sejak awal abad ke-19. Sejak saat itu hingga menjelang kemerdekaan Indonesia, para pelaku usaha dari Belanda, Inggris, Belgia, dll mulai membuka perkebunan karet, teh, kopi, tebu, kakao, kina dan beberapa jenis rempah-rempah lengkap dengan fasilitas pengolahannya terutama di pulau Jawa dan Sumatera. Sejalan dengan perkembangan waktu, perkebunan makin memodernisasikan dirinya dengan diterapkannya sistem manajemen yang lebih modern serta diaplikasikannya berbagai teknologi di bidang kulturteknis maupun pengolahan hasil (Anonimous, 2007).

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia mendorong dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan asing secara besar-besaran dan


(9)

melahirkan BUMN Perkebunan. Sejak masa itu hingga kini telah terjadi beberapa kali reorganisasi serta perubahan nama BUMN Perkebunan, mulai dari Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP), PT. Perkebunan (PTP) hingga PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Idonesia (PTRNI). Saat ini terdapat 14 PTPN (I s.d XIV) dan PT RNI, yang lokasi operasi dan kantor pusatnya tersebar mulai dari provinsi Aceh hingga Papua. Komoditi-komoditi yang diusahakan BUMN Perkebunan adalah kelapa sawit, gula, karet, teh, kopi, kakao, kina, beberapa macam tanaman rempah-rempah dan tanaman hortikultura serta hutan tanaman industri. Disamping itu beberapa perusahaan juga sudah mulai melakukan pengembangan industri hilir dan agrowisata (Anonimous, 2007).

PT Perkebunan Nusantara IV (Persero), Disingkat PTPN IV yang dibentuk berdasarkan PP No. 9 tahun 1996, tanggal 14 Februari 1996. Perusahaan yang berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini awalnya merupakan penggabungan kebun-kebun wilayah Sumatera Utara dari eks PTP VI, PTP VII dan PTP VIII. PTPN IV mengusahakan komoditi kelapa sawit, kakao dan teh. Tahun 2010 PTPN IV memiliki lahan kelapa sawit dan teh seluas 175.245 ha (Anonimous, 2008).

Namun selanjutnya, seiring dengan meningkatnya harga dan permintaan sawit. PTPN IV cenderung berkonsentrasi pada komoditi kelapa sawit dengan mengkonversi komoditi kakao dan teh. Pada tahun 2002 separuh lahan tanaman teh telah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit yaitu sekitar 8.000 ha tanaman teh diciutkan menjadi 4.000 ha. Alasan penciutan areal tanaman teh tersebut salah satunya mengenai untung rugi pembudidayaan tanaman teh. Kondisi ini juga diperjelas oleh perusahaan pada


(10)

laporan tahunan PTPN IV 2008 yang menerangkan bahwa komoditi teh yang dimiliki PTPN IV masih mengalami kerugian Rp 50 milyar (Anonimous, 2008).

Kerugian tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kerugian tersebut adalah tingginya biaya produksi perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel biaya produksi dan rencana kerja anggaran perusahaan olahan tanaman teh di PTP Nusantara IV .

Tabel 1. Biaya produksi dan rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) olahan tanaman teh di PT Perkebunan Nusantara IV

Uraian (Rp/Kg) 2005 2006 2007 2008

Biaya Produksi 9.248,05 10.143,19 10.435,02 12.518,21

RKAP 8.576,80 8.670,68 8.675,29 10.840,29

Jumlah -671,25 -1.472,51 -1.759,73 -1.677,92

Sumber: PTP Nusantara IV (Persero), 2008.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa perusahaan tidak dapat menekan biaya produksi yang setiap tahun cendrung meningkat. Biaya produksi yang melebihi rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP), yang telah disusun perusahaan. Namun demikian, belum diketahui penyebab tidak tercapainya RKAP. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dan solusinya diperlukan suatu analisis efisiensi produksi tanaman the di PTPN IV sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini.


(11)

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:

1. Bagaimana perkembangan konversi tanaman teh di PT. Perkebunan Nusantara IV? 2. Faktor – faktor yang mempengaruhi produksi usaha tanaman teh di PTPN IV

Sidamanik?

3. Bagaimana efisiensi input (harga), efisiensi teknik dan efisiensi ekonomi usaha tanaman teh di PTPN IV Sidamanik?

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan konversi tanaman teh di PT. Perkebunan Nusantara IV.

2. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi produksi usaha tanaman teh di PTPN IV Sidamanik.

3. Untuk menganalisis efisiensi input (harga), efesiensi teknik dan efesiensi ekonomi usaha tanaman teh di PTPN IV Sidamanik.

1.4Kegunaan Penelitiana.

1. Sebagai bahan informasi bagi PT Perkenunan Nusantara IV.

2. Sebagai bahan referensi atau sumber informasi ilmiah bagi PT Perkebunan Nusantara IV dan bagi peneliti selanjutnya.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

Tanaman teh merupakan tanaman tahunan yang menghasilkan daun sebagai hasil produksinya. Tanaman ini dapat tumbuh subur dan berkembang baik di daerah dengan ketinggian 200-2.000 meter diatas permukaan laut. Semakin tinggi letak daerahnya maka semakin baik mutu teh yang dihasilkan. Tanaman ini dapat tumbuh dengan tinggi 6-9 meter. Akan tetapi ketinggian tanaman teh dipertahankan hanya sekitar 1 meter. Hal ini bertujuan agar tanaman teh dapat dirawat dan dipanen menjadi lebih mudah. Tanaman ini dapat hidup dan memproduksi daun teh lebih dari 40 tahun lamanya. Pada umumnya tanaman ini dapat mulai dipetik atau diproduksi daunnya setelah berumur 5 tahun. Tanaman teh dapat memproduksi hasil yang maksimal selama 40 tahun (Spillane, 1992).

Daun teh yang diproduksi dari tanaman ini merupakan pucuk muda dari tanaman teh ini sendiri. Proses pemanenan pucuk muda umumnya dilakukan dengan pemetikan, dimana pucuk teh yang dipetik merupakan kuncup, daun dan ranting mudanya. Dikarenakan pucuk muda memiliki usia yang singkat untuk dipanen, maka pemetikan mempunyai aturan tersendiri untuk menjaga agar produksi teh tetap tinggi. Pemetikan yang tidak teratur menyebabkan tanaman teh cepat tinggi, bidang petik tidak rata dan jumlah petikan tidak banyak. Akibatnya tentu saja akan berpengaruh pada tingkat ekonomisnya (Tim penulis Penebar Swadaya, 1993).


(13)

Pucuk teh yang baru dipetik belum bisa dikatakan siap dikonsumsi atau diperdagangkan, melainkan harus melaui suatu proses pengolahan. Pada umumnya pucuk teh yang belum melalui proses pengolahan disebut sebagai daun teh basah. Daun teh basah yang mengalami suatu proses pengolahan akan menjadi hasil yang lebih baik dalam bentuk daun teh kering. Daun teh kering yang telah diolah merupakan proses produksi yang telah dapat dikonsumsi dan diperdagangkan. Proses produksi daun teh kering ini diharapakan dapat memberikan hasil seduhan teh yang memiliki aroma yang harum, rasanya enak dan warnanya menarik (Tim penulis Penebar Swadaya, 1993).

Hasil produksi yang maksimal, dapat diperoleh dengan melakukan pemeliharaan dan perawatan tanaman yang baik. Pencapain hasil produksi tanaman teh yang maksimal yang pernah dicapai adalah 2800-3000 kg/ha daun teh kering. Di Indonesia produksi rata-rata teh yang diperoleh adalah sekitar 2300-2500 kg/ha daun teh kering (Setiawati dan Nasikun, 1991).

2.2. Landasan Teori

Faktor-faktor produksi yang tersusun dalam suatu kombinasi disebut sebagai usahatani. Pemanfaatan faktor-faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja, modal dan keahlian harus digunakan secara efesien dan semaksimal mungkin. Pemanfaatan faktor-faktor produksi ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dari usaha taninya yang sangat menunjang bagi tingkat pendapatan petani itu sendiri. Ketersedian akan sarana, atau faktor produksi atau input dalam usaha tani belum menunjukkan produktivitas yang diperoleh petani itu tinggi. Dalam hal ini peranan petani dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi sangat berperan penting. Petani harus mampu


(14)

memanfaatkan faktor produksi dan kesempatan yang ada seefisien mungkin (Mosher, 1987).

Efisiensi merupakan suatu cara yang digunakan dalam proses produksi dengan menghasilkan output yang maksimal dengan menekan pengeluaran produksi serendah-rendahnya terutama bahan baku atau dapat menghasilkan output produksi yang maksimal dengan sumberdaya yang terbatas. Dalam kaitannya dengan konsep efisiensi ini, dikenal adanya konsep efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price efficiency atau allocative efficiency), dan efisiensi ekonomi (ecomomic efficiency) (Doll, 1984).

Efisiensi teknik (technical efficiency) adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara produksi sebernarnya dengan produksi maksimum. Efisiensi harga (price efficiency or allovcative efficiency) adalah kemampuan untuk menggunakan input secara optimal dan proporsi pada tingkat harga input tertentu. Efisiensi ekonomi (economice efficiency) adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara keuntungan yang sebenarnya dengan keuntungan maksimum. Secara matematik, hubungan antara efisiensi teknik, efisiensi harga dengan efisiensi ekonomi adalah efisiensi ekonomi (EE) = efisiensi teknik (ET) x efisiensi harga (EH) (Soekartawi, 1994).

Dalam pencapaian efesiensi teknis, harus dapat mengalokasiakan faktor produksi sedemikian rupa sehingga produksi yang tinggi dapat dicapai. Bila petani atau perusahaan mendapatkan keuntungan yang besar dari usahataninya, misalnya karena pengaruh harga, maka hal ini dapat dikatakan mengalokasikan faktor produksinya secara efisiensi harga (price efficiency). Contohnya saja, hal ini dapat dilakukan dengan


(15)

cara membeli faktor produksi dengan harga yang murah lalu menjual hasil produksi pada saat harga reltif tinggi. efisiensi teknik dan efisiensi harga dapat dilakukan secara bersamaan dengan cara jika perusahaan atau petani mampu meningkatkan produksinya dengan tinggi dengan harga faktor produksi yang dapat ditekan tapi mampu menjual hasil produksinya dengan harga tinggi. Situasi demikian sering disebut dengan efisiensi ekonomi. Dengan kata lain, petani atau perusahaan mampu menjalankan efisiensi teknik, efisiensi harga dan efisiensi ekonomi secara bersamaan (Soekartawi, 1994).

Dalam menganalisa efisiensi, maka variable baru yang harus dipertimbangkan dalam model analisanya adalah variable harga. ”Oleh karena itu ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum analisa efesiensi ini dilakukan, yaitu:

a. Tingkat transformasi antara input dan output dalam fungsi produksi; dan

b. Perbandingan (nisbah) antara harga input dengan harga output sebagai upaya untuk mencapai indicator efisiensi”

Dengam pengertian yang seperti ini, maka produktivitas usaha pertanian semakin tinggi bila produsen mengalokasikan faktor produksi secara efisiensi teknis dan efisiensi harga yang efisien (Soekartawi, 1994).

Dalam usahatani, petani atau perusahaan akan mengeluarkan biaya produksi yang besarnya, biaya produksi tersebut tergantung kepada komponen biaya yang dikeluarkan petani atau perusahaan seperti harga input produksi, upah tenaga kerja dan besarnya produksi usahatani. Oleh karenanya, dalam menghitung tingkat efisiensi suatu usaha sangat diperlukan data mengenai biaya-biaya produksi suatu usaha dan tingkat produktivitas usahanya. (Soekartawi, 1995).


(16)

Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang perkaitan diantara tingkat produksi sesuatu barang dengan jumlah input produksi yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi barang tersebut. Dalam analisis tersebut dimisalkan bahwa 1 input produksi seperti tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya sedangkan faktor-faktor produksi lainnya seperti modal, tanah dan teknologi dianggap tidak mengalami perubahan (Sukirno, 2000).

Hasil lebih yang semakin berkurang (law of diminishing return) merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari teori produksi. Hukum tersebut menjelaskan sifat pokok dari perkaitan diantra tingkat produksi dan input produksi yang digunakan untuk mewujudkan produksi tersebut. Law of diminishing return menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya terus menerus ditambah sebanyak 1 unit, pada mulanya produksi total akan semkin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negative dan ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya ia mencapai tingkat yang maksimum kemudian menurun (Sukirno, 2000).

Dengan demikian pada hakekatnya law of diminishing return menyatakan bahwa perkaitan diantara tingkat produksi dan jumlah satu input produksi yang digunakan dapat dibedakan dalam tiga tahap yaitu:

a. Tahap pertama : produksi total mengalami pertambahan yang semakin cepat, b. Tahap kedua : produksi total pertambahannya semakin lama semakin kecil, dan c. Tahap ketiga : produksi total semakin lama semakin berkurang


(17)

TP

Input Produksi

(ii) Produksi marginal dan produksi rata-rata

MP dan AP

AP MP

Input Produksi

Tahap I

Input Produksi Tahap II

Tahap III Input Produksi

Gambar 1. Kurva Total Produksi, Produksi Rata-Rata dan Produksi Marginal

Gambar 1 menunjukkan hubungan diantara jumlah produksi dan jumlah input produksi yang digunakan untuk menghasilkan produksi tersebut. Bentuk total produksi cekung keatas apabila input produksi masih digunakan sedikit (tahap 1) ini berarti input produksi adalah masih kekurangan dibandingkan dengan input produksi lainnya yang dianggap tetap jumlahnya (Salvatore, 2001).

Dalam keadan yang seperti itu produksi marginal bertambah tinggi dan sifat ini dapat dilihat pada kurva MP (yaitu kurva produksi marginal). Selanjutnya pertambahan penggunaan input produksi tidak akan menambah produksi total secepat seperti

TP


(18)

sebelumnya. Keadaan ini digambarkan oleh (i) kurva produksi marginal yang terus menurun, dab (ii) kurva total produksi yang mulai cembung keatas. Sebelum input produksi digunakan pada tahap kedua, produksi marginal adalah lebih tinggi daripada produksi rata-rata. Maka kurva produksi rata-rata bertambah tinggi. Pada saat input produksi bertambah ke tahap II kurva marginal produksi memotong kurva produksi rata-rata. Sesudah perpotongan tersebut kurva produksi rata-rata menurun ke bawah yang menggambarkan bahwa produksi rata-rata semakin bertambah sedikit. Perpotongan diantara kurva MP dan kurva AP adalah menggambarkan permulaan dari tahap kedua. Pada keadaan ini produksi rata-rata mencapai tingkat yang paling tinggi. Pada tahap kedua, penggunaan input produksi dikatakan efisien dikarenakan jumlah input produksi yang digunakan sesuai dengan hasil produksi yang maksimal (Sukirno, 2000).

Pada tahap ketiga dimana kurva MP memotong sumbu datar dan sesudahnya kurva tersebut dibawah sumbu datar. Keadaan ini menggambarkan bahwa produksi marginal mencapai angka negative. Kurva total produksi (TP) mulai menurun pada tingkat ini, yang menggambarkan bahwa produksi total semakin berkurang apabila lebih banyak input produksi yang digunakan. Keadaan pada tahap ketiga ini menggambarkan bahwa input produksi yang digunakan adalah jauh melebihi daripada yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan produksi tersebut secara efesien (Sukirno, 2000).


(19)

2.3. Kerangka Pemikiran

Usahatani dilakukan secara efektif dan efesien yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang maximum pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki sebaik-baiknya, dan dapat memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki menghasilkan keluaran yang melebihi masukan sehingga dapat dikatakan efisien.

Pekebunan teh diartikan sebagai suatu usahatani yang dapat memberikan keuntungan dimasa yang akan datang. Dari segi pengelola, pengelolaan usahatani teh pada dasarnya terdiri dari penggunaan sumber daya dan faktor-faktor produksi yang terdiri dari modal, tenaga kerja, bahan baku dan teknologi. Faktor-faktor produksi pada pengelolaan tanaman teh terdiri dari tenaga kerja, pupuk, obat-obatan, bahan bakar dan pelumas serta listrik dan air. Input produksi akan berpengaruh pada proses produksi dan juga dapat mempengaruhi tingkat biaya produksi dan mempengaruhi keberhasilan usaha tani.

Efisiensi teknik harus diterapakan sebaik mungkin agar biaya faktor-faktor produksi dalam proses produksinya dapat ditekan seminimal mungkin. Sehingga output yang dihasilkan tidak memerlukan biaya yang tinggi. Adanya analisis efisiensi teknik, memberikan solusi yang tepat dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi yang lebih berguna.

Perkebunan memperoleh penerimaan usahatani dari hasil penjualan output tanaman teh. Penerimaan usahatani diperoleh dari hasil perkalian antara produksi usahtani dan harga jual pada saat itu yang dinilai dengan rupiah. Untuk mengetahui pendapatan bersih maka perlu diketahui biaya produksi. Pendapatan produksi didapat


(20)

setelah mengurangkan dengan biaya produksi. Hal ini merupakan penerapan efisiensi harga. Dari perbandingan antara penerimaan dan biaya produksi, dapat dilihat apakah efisiensi harga dalam usahatani teh tersebut sudah baik atau tidak. Dalam kondisi ini, maka efisiensi ekonomi dapat kita hitung dengan mengalikan efisiensi teknik dan efisiensi harga agar mengetahui perbandingan antara keuntungan sebernarnya dengan keuntungan maksimum dari pengelolaan usahatani teh.

Dengan menekan biaya produksi sekecil-kecilya untuk medapatkan keuntungan sebesar-besarnya, maka perkebunan telah melakukan perinsip efisiensi. Melalui uji efesiensi ekonomis maka dapat dianalisa besaran tingkat efisiensi biaya produksi pada produksi usahatani tanaman teh.


(21)

Gambar 2. Skema Kerangka Penelitian. Keterangan: : Mempengaruhi. Proses Produksi Biaya Penerimaan Analisis Efisiensi harga Analisis Efisiensi Ekonomis Analisis Efisiensi Input

• Tenaga kerja • Pupuk • Obat-obatan • Bahan bakar • Listrik

Output

Efisien Tidak Efisien

Efisien Efisien Tidak Efisien Tidak Efisien Upaya Peningkatan Efisiensi Upaya Peningkat an Efisiensi


(22)

Hipotesis Penelitian

Tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk Urea, Pupuk NPK Mutiar 25-7-7, obat Repcord, Obat Kleenup, cangkang dan listrik berpengaruh terhadap tingkat hasil produksi daun teh kering di PT Perkebunan Nusantara IV Sidamanik.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive, yaitu Perkebunan PTP Nusantara IV Sidamanik kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun. Dengan pertimbangan bahwa Pekebunan Sidamanik merupakan perkebunan teh yang memiliki luas lahan yang paling luas dari perkebunan teh lainnya yang terdapat di PT Perkenunan Nusantara IV.

Dari data yang diperoleh dari PTP Nusantra IV, luas lahan perkebunan teh Sidamanik adalah 2.027,92 Ha, pekebunan teh Bah Butong adalah 1.599,64 dan perkebunan teh Tobasari adalah 1.083,52.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada respmden, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti kantor PT. Perkebunan Nusantara IV Sidamanik. Data –data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:

- Data produksi daun teh kering perkebunan Sidamanik (tahun 2007-2009).

- Data tenaga kerja perkebunan Sidamanik (tahun 2007-2009).

- Data pupuk dan obat-obatan di perkebunan Sidamanik (tahun 2007-2009).

- Data tenaga listrik yang digunakan di perkebunan Sidamanik (tahun 2007-2009). Data yang dikumpulkan adalah data time series. Data yang digunakan adalah data bulanan dari tahun 2007 sampai tahun 2009.


(24)

Tabel 2. Metode Pengumpulan Data

No Jenis Data Sumber Data Metode Pengumpulan Data

Observasi Wawancara Lain-Lain 1 Penentuan

daerah penelitian

Kantor PTPN IV Sidamanik

√ 2 Karakteristik

usahatani sampel

Responden (data primer)

3 Data produksi daun teh kering. Kantor PTPN IV Sidamanik √ √

4 Data tenaga kerja

Kantor PTPN IV Sidamanik 5 Data pupuk

dan obat-obatan.

Kantor PTPN IV Sidamanik

√ √

6 Data bahan bakar dan

listrik.

Kantor PTPN IV Sidamanik

√ √

3.3. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan terlebih dahulu ditabulasi dan selanjutnya dianalisis.

Identifikasai masalah, 1 dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan melihat luas lahan tanaman teh yang masih dipertahankan di PT Perkebunan Nusantara IV.

Identifikasi masalah 2, untuk melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi daun teh kering digunakan metode deskriptif.

Identifikasi masalah 3, tingkat efisiensi harga merupakan suatu upaya dimana nilai produksi marginal untuk suatu input harus sama dengan harga input tersebut


(25)

EH = xi

x P NPM

=

i x

x y

P PM P

= 1 Dimana:

EH = Tingkat efisiensi input/harga PMx = Produk marginal input Xi Kg/ha.

Py = Harga rata-rata daun teh kering Kg/ha.

Pxi = Harga rata-rata input Xi Kg/Ha.

Jika (NPMx / Px) > 1; artinya penggunaan input X belum efisien. Untuk mencapai

efisien, input x harus ditambah dan;

Jika (NPMx / Px) < 1; artinya penggunaan input X tidak efisien. Untuk menjadi efisien,

maka penggunaan input x perlu dikurangi.

Produksi marginal (PM) diperoleh dari penamaan fungsi produksi total. Produksi marginal dianalisis dengan menggunakan regresi yang diturunkan dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least square/OLS). Ada beberapa tahapan kerja dalam mengaplikasikan metode OLS yang dapat dilihat dalam bagan berikut :


(26)

Gambar 2. Bagan tahapan metode OLS.

1. menentukan variabel terikat dan bebas yang sudah ditentukan sebelumnya yaitu tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk Urea, obat Kleen up ,obat Repcord dan listrik, dimana nilai-nilai parameter tersebut selnajutnya akan diduga, adapun fungsinya menjadi:

1. Penentuan fungsi umum

4. Uji asumsi klasik 3. Spesifikasi model

(Uji Linieritas)

4a. Autokolinieritas

4b. Multikolinieritas 2. Membersihkan data

dari outlier

5. uji Estimasi regresi (metode enter)

6. Interpretasi hasil

7. Fungsi produksi daun teh kering


(27)

Y = f (X1, X2,X, X4, X5, X6 β, µ)

Dimana :

Y = produksi daun teh kering (kg/ha) X1 = tenaga kerja tanaman (orang/ha)

X2 = tenaga kerja pabrik (orang/ha)

X3 = pupuk Urea (Kg/ha)

X4 = obat kleen up (liter/ha)

X5 = obatrepcord (liter/ha)

X6 =listrik (kwh/ha)

X7 = Cangkang (kg/ha)

X8 = Pupuk NPK Mutiara 25-7-7 (kg/ha)

β = Koefesien Regresi µ = Random Eror

2. Data dibersihkan dari outlier dengan menggunakan scatter plot untuk memperkecil varians data sehingga tidak menggangu hasil estimasi akhir.

3. Melakukan uji spesifikasi model dengan menggunakan uji linieritas dengan melihat nilai F sehingga didapat model yang digunakan bersifat linier atau tidak. Kriteria yang digunakan adalah bila Fhitung > Ftabel bentuk hubungan linier.

4. Untuk memperoleh model regresi yang terbaik ada beberapa asumsi klasik yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut.


(28)

a. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas dimasksudkan untuk menhindari adanya hubungan yang linier antara variabel bebas. Menurut Gujarti (1994), Multikolinieritas dapat dideteksi dengan beberapa metode, diantaranya adalah dengan melihat:

• Jika nilai Tolenransi atau VIF (variance Inflation Factor) kurang dari 0,1 atau nilai VIF melebihi 10

• Terdapat koefesien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8 jika nilai F-hitung melebihi nilai F-tabel dari regresi antara variabel bebas (Sujianto,2009). b. Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel itu sendiri, pada pangamatan yang berbeda waktu dan individu. Uji autokorelasi dapat deperoleh dari dinilai Durbin-Watson.

5. Selanjutnya dilakukan estimasi pada model dengan metode enter sehingga didapat nilai R square dan nilai F.

Tingkat efisiensi teknik (ET) dianalisis dengan membandingkan besaran produksi dilapangan dengan besaran produksi yang dapat dicapai didaerah tersebut (Soekartawi, 1994) atau dapat dituliskan:

ET = Yi / ^ Yi

Dimana:

ET = Tingkat efisiensi teknik

Yi = Besarnya produksi (output) di daerah penelitian.

^


(29)

Jika efisiensi teknik (ET) tidak sama dengan 1 maka produksi tidak dikatakan efisien. Akan tetapi jika ET = 1 maka produksi dikatakan efisien.

Tingkat efisiensi ekonomi dianalisis dengan melakukan perkalian antara tingkat efisiensi teknik dengan tingkat efisiensi harga. Menurut Soekartawi, 1994 mencari nilai efesiensi ekonomi dapat dituliskan sebagai berikut:

Efisiensi ekonomi (EE) = efisiensi teknik (ET) x efisiensi harga (EH) Diamana :

EE = tingkat efisiensi ekonomi ET = tingkat efisiensi teknik EH = tingkat efisiensi harga

Jika hasil perkalian antara efisiensi teknik dengan efisiensi harga sama denga 1, maka efisiensi ekonomi bisa dikatakan efisien.


(30)

3.4. Definisi dan Batasan Operasional 3.4.1 Definisi

Untuk menjelaskan dan menghindari kesalah pahaman dalam penelitian ini maka dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

1. Produksi merupakan hasil pengolahan daun teh menjadi daun teh kering.

2. Rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) standar olah yang diberikan perusahaan untuk melakukan proses produksi.

3. Efisiensi merupakan proses produksi untuk menghasilkan daun teh kering semaksimal mungkin, dengan penggunaan tenaga kerja, pupuk, obat-obatan,bahan bakar dan pelumas serta listrik dan air seminimal mungkin.

4. Input (X) merupakn tenaga kerja, pupuk, obat-obatan, bahan bakar dan pelumas

listrik dan air.

5. Output (Y) merupakan daun teh kering.

3.4.2 Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah PT Perkebunan Nusantara IV Sidamanik, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun.

2. Proses perhitungan dan pengumpulan data yang diperoleh merupakan data tenaga kerja, penggunaan pupuk, penggunaan obat-obatan, pengunaan bahan bakar dan penggunaan listrik.

3. Data yang diperoleh nantinya hanya membuktikan pengefisenan faktor-faktor produksi tanaman teh baik secara efesiensi teknik, efesiensi haraga dan efesiensi ekonomi.


(31)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK USAHATANI

Deskripsi Daerah Penelitian.

Kebun Sidamanik adalah salah satu unit usaha di PTP. Nusantara IV (Persero) yang mengelola buda daya tanaman the. Pada tahun 1924, areal kebun teh ini mulai dibuka oleh Handles Vereniging Amsterdam (HVA) dan pada tahun 1926 didirikan pabrik pengolahan the oleh perusahaan yang sama dan sampai saat ini masih berdiri dan beroperasi.

Sejak berdirinya sampai sekarang pengelolaan kebun Sidamanik telah beberapa kali berpindah tangan, seiring dengan perjalanan sejarah bangsa dan negara Republik Indonesia. Berdasarkan kebijakan pemerintah tentang konsolidasi di lingkungan BUMN perkebunan, maka sejak tanggal 11 maret 1996 kebun Sidamanik dimiliki dan dikelola oleh PTP Nusantara IV (Persero).

Letak Geografis

Kabupaten / Propinsi : Simalungun / Sumatera Utara Kecamatan : Sidamanik / Habinsaran

Kota terdekat : Pematang Siantar dan Porsea (25 Km) Ketinggian Dpl : 862 m.

Suhu : Rata-rata 24o C


(32)

Keadaan Daerah a. Luas areal

Tahun 2010 perkebunan Sidamanik memiliki luas areal tanaman menghasilkan seluas 2.224,46 ha, dengan perincian:

Afdeling I : 527,11 ha Afdeling II : 529,68 ha Afdeling III : 490,42 ha Afdeling IV : 470,75 ha Afdeling V : 206,50 ha

Luas daerah pemukiman warga (Emplasment) seluas 115,76 ha, jalan dan jembatan 40,52 ha, jurang dan lain-lain 115,97 ha. Total luas secara keseluruhan adalah 2.496,71 ha. Tanaman teh yang ditanam diperkebunan Sidamanik adalah jenis tanaman teh hitam. b. Kesejahteraan Sosial

Seluruh karyawan mendapatkan sarana perumahan, listrik, air, poliklinik, peribadatan, tempat penitipan anak dan asuransi tenaga kerja. Di sektitar Kebun Sidamanik tersedia saran pendidikan mulai dari Tk Tunas Mekar, SD, SMP, Madrasah, SMA. Dari pemukiman ke jalan raya, perusahaan menyediaakan angkutan untuk yang bersekolah dan bertempat tinggal di luar perkebunan. Dan warga juga mendapat bantuan pemondokan bagi anak yang bersekolah.

Struktur Organisasi

Struktur organisasi mempunyai arti penting bagi sebuah organisasi atau perusahaan agar dapat menjalankan aktivitas operasi secara harmonis dan teratur sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Struktur organisasi didalamnya terdapat pemisahan


(33)

fungsi-fungsi dengan tepat sesuai dengan keguanaannya. Hal ini sangat penting dikarenakan dengan penggolongan fungsi-fungsi pekerjaan maka kegiatan produksi dapat dilakukan secara efesien dan efektif.

Untuk mendukung terciptnya stablitas kerja yang ideal guna menunjang nilai dan mutu produktivitas perusahaan, maka diperlukan sebuah manajemen agar dapat bersinergi dengan baik pada setiap organisasi perusahaan tepatnya pada tiap departemen yang ada pada setiap perusahaan. Semua ini merupakan faktor-faktor pendukung dalam menjalankan aktivitas perusahaan sehari-hari.

Adapun struktur organisasi yang ada ditubuh PT. Perkebunan Nusantara IV dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut:

A. Manager

Manager adalah pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan di perkebunan Sidamanik kepada Direksi.

B. Asisten Kepala

Asisten kepala bertugas mengkoordinir dari seluruh kegiatan bagian tanaman dan yang bertanggung jawab kepada manager. Asisten kepala membawahi 5 asisten afdeling (afdeling merupakan pembagian wilayah kerja untuk memudahkan pengawasan kerja). Dalam hal ini, bagian tanaman yang dimaksud merupakan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan penanaman, pemeliharaan, pemupukan dan pemanenan yang pada akhirnya akan menghasilkan pucuk segar daun teh yang akan diolah. Jumlah rata – rata tenaga kerja (karyawan) bagian tanaman dari tahun 2007 – 2009 sebanyak 1076 orang.


(34)

C. Kepala Dinas Pengolahan/Teknik

Kepala dinas pengolahan/teknik bertugas mengkoordinir seluruh kegiatan bagian pabrik yang bertanggung jawab kepada manager. Kepala dinas pengolahn/teknik membawahi seorang asisten pengolahan. Dalam hal ini, bagian pabrik yang dimaksud merupakan kegiatan pengolahan pucuk teh dan kegiatan perwatan mesin/instalasi pabrik. Jumlah rata – rata tenaga kerja pengolahan dan tenaga kerja (karyawan) teknik dari tahun 2007 – 2009 masing – masing sebanyak 234 orang dan 134 orang.

D. Kepala Tata Usaha

Kepala dinas tata usaha bertugas mengkoordinir seluruh kegiatan bagian administrasi yang bertanggung jawab kepada manager. Kepala tata usaha membawahi seorang asisten tata usaha. Dalam hal ini, bagian administrasi yang dimaksud merupakan kegiatan pembukuan dan laporan keuangan perkebunan. Jumlah rata – rata tenaga kerja administrasi dari tahun 2007 – 2009 sebanyak 70 orang.

E. Perwira Pengaman

Perwira pengaman bertugas untuk pengamanan perkebunan yang bertanggung jawab lansung kepada manager.


(35)

Gambar 3. Struktur Perusahaan Perkebunan Sidamanik.

Karakteristik Usatani Produksi

Perkebunan Sidamanik merupakan suatu usahatani yang mengelola pucuk daun teh menjadi produk teh hitam orthodox. Teh hitam orthodox adalah teh yang diolah melalui proses pelayuan sekitar 16 jam, penggulungan, fermentasi, pengeringan, sortasi hingga terbentuk teh jadi. Teh yang diproduksi perkebunan Sidamanik dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu teh pecah dan teh bubuk. Masing-masing golongan ini dibedakan dalam beberapa jenis teh sebagai berikut:

Ass afdeling I Ass Afdeling II Ass Afdeling III Ass Afdeling IV

Perwira Pengaman Kepala Tata Usaha Kepala Dinas Produksi/Teknik Asisten Kepala Asisten Tata Usaha Asisten Dinas Produksi/Teknik Karyawan Administrasi Karyawan Teknik Karyawan Pengolaha Karyawan Tanaman Meneger


(36)

a. Teh Pecah

- Broken Orange Pecco (BOP) merupakan jenis teh keriting dengan pototngan halus

dan teratur. Jenis ini banyak mengandung pucuk berwarna emas.

- Broken Pecco (BP) merupakan jenis teh yang lebih kasar dibanding BOP dan tidak

mengandung pucuk sama sekali.

- Boken Tea (BT) merupakan jenis teh yang tidak menggulung waktu digarap

sehingga teh ini dapat (pipih) seperti sisik dan potongan kecil. b. Teh Remukan

- Fanning (F) merupakn jenis teh yang asal dan bentuknya sama seperti BT, tetapi

potongannya jauh lebih kecil.

- Dust (D) atau debu teh yang merupakan jenis teh yang berbentuk seperti tepung. - Bohea atau bui (B) merupakan jenis teh buangan yang terdiri dari batang-batang teh. Dari kedua jenis teh diatas harus dibedakan lagi kedalam 3 jenis mutu. Mutu teh hitam yang ditunjukan untuk ekspor dan digolongkan kedalam 3 jenis yaitu:

c. Grade I (Mutu Ekspor) merupakan teh mutu I yang mempunyai kenampakan bentuk besa, kurang besar, atau kecil menurut jenisnya dengan persentase daun lebih banyak, berwarna kehitaman dan rata. Aromanya harum dan berasa kuat. Untuk jenis ini, pekebunan Sidamanik memproduksi 7 jenis mutu yaitu:

1. BOP I (Broken Orange Pecco I) 2. BOP (Broken Orange Pecco)

3. BOPF (Broken Orange Pecco Fanning) 4. BP (Broken Pecco)


(37)

5. BT (Broken Tea) 6. PF (Pecco Fanning) 7. D I (Dust I)

d. Garade II (Mutu Ekspor II) merupakan teh mutu II yang berpenamapakan bentuk besar, kurang besar dan kecil menurut jenisnya dengan persentase daun lebih sedikit, warna kemerah-merahan dan kurang rata. Air seduhannya berwarna kuning merah, beraroma kurang harum dan rasa kurang kuat. Dan untuk jenis mutu II perkebunan Sidamanik memproduksi 7 jenis mutu yaitu:

1. BP II (Broken Orange Pecco II) 2. BT II (Broken Tea II)

3. PF II (Pecco Fanning II) 4. D II (Dust II)

5. D III (Dust III) 6. BM (Broken Mix) 7. FANN II (Fanning II)

Grade III (Mutu Lokal) yaitu mutu III yang diperoleh dari hasil pengolahn yang berulang-ulang sehingga memperoleh hasil aroma yang tidak kuat dan rasanya kurang nikmat dan pada umumnya mutu III hanya dijual di dalam negeri saja. Jenis tersebut adalah RBO (Residu Blo Out).


(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Produksi

Sampai saat ini perkebunan Sidamanik masih mengelola budi daya teh sebagai hasil produksinya. Produksi daun teh yang dikelola berupa daun teh hitam orthodox. Dalam memproduksi daun teh hitam orthodox, luas lahan sangat berpengaruh terhadap hasil produksi perkebunan Sidamanik. Di perkebunan Sidamanik jumlah areal tanaman menghasilkan (TM) selalu berubah-ubah, hal ini disebabkan luas areal tanaman menghasilkan dipergunakan untuk perawatan luas areal tanaman belum menghasilkan (TBM). Hal ini bertujuan untuk peningkatan produkstivitas tanaman untuk tahun kedepannya. Berikut table areal perkebunan Sidamanik:

Tebel 3. Luas Areal Perkebunan Sidamanik 2007-2009

Uraian /Tahun 2007 2008 2009

Areal Tanaman Mengahsilkan (Ha) 2224.46 2027.92 1557.86 Areal tanaman belum menghasilkan (Ha) 0 122.55 290.07

Jumalah areal tanaman (Ha) 2224.46 2150.47 1848.03 Jalan, areal pemukiman dan areal lain-lain 272.25 346.24 395.04

Total seluruh areal pekebunan 2496.71 2496.71 2242.97 Sumber: PT Perkebunan Nusantara IV Sidamanik, 2010.

Dari tabel 3 dapat dilihat areal tanaman menghasilkan semakin berkurang dari tahun 2007 sampai 2009. Pada tahun 2008 tanaman mengahsilkan mengalami pengurangan luas lahan sebesar 8.83% atau 196.54 Ha. Pengurangan areal tanaman mengahasilkan ini disebabkan karena 122.55 Ha tanaman menghasilkan tersebut


(39)

ditanami kembali dengan tanaman teh yang baru. Sedangkan 73.99 Ha areal tanaman menghasilkan digunakan untuk membangun pemukiman warga, jalan dan areal lainnya.

Pada tahun 2009 areal tanaman menghasilkan mengalami pengurangan luas lahan sebesar 29.96% dari tahun 2007. Hal ini disebabkan karena 290.07 Ha tanaman menghasilkan ditanami kembali dengan tanaman teh yang baru. Sedangkan 48.8 Ha areal tanaman menghasilkan digunakan untuk membangun pemukiman, jalan dan areal lainnya. Dan pada tahun 2009 ini perkebunan Sidamanik memberikan 327.73 areal tanaman menghasilkannya kepada perkebunan Bah Butong. Perpindahan areal ini dikarenakan perkebunan Bah Butong juga mengalami pengurangan areal tanaman teh. Yang mana areal tanaman teh tersebut diserahkan kepada perkebunan Bah Birong Ulu untuk ditanami tanaman kelapa sawit. Sehingga untuk membantu produksi perkebunan teh Bah Butong maka perkbunan Sidamanik memberikan areal tanaman tehnya kepada perkebunan Bah Butong agar produksi perkbunan Bah Butong tidak mengalami pengurangan yang tajam.

Pengurangan areal tanaman menghasilkan akan berpengaruh terhadap jumlah produksi usaha teh. Semakin berkurang areal tanaman menghasilkan maka jumlah produksi akan berkurang juga. Tanaman teh yang tidak produktif secara maksimal akan ditanami ulang dengan tanaman yang baru. Yang mana tanaman yang baru ini merupakan tanaman yang unggul yang tahan terhadap hama dan penyakit serta memiliki produksi daun teh yang lebih baik dari pada tanaman yang lama.

Tanaman teh yang baru ditanam tidak dapat langsung untuk dipanen. Pada usia 5 tahun tanaman teh sudah dapat dipanen, tapi pada usia ini tanaman teh tidak memproduksi hasil yang maksimal. Tanaman teh dapat dipanen secara normal pada usia


(40)

tanaman 10 tahun. Oleh karena itu, dalam jangka panjang penanaman ulang tanaman teh akan berdampak positif kepada produksi nantinya. Semakin luas areal tanaman menghasilkan, maka produksi daun yang dihasilkan semakin besar. Sehingga semakin banyak produksi daun basah yang dapat diolah maka semakin banyak hasil produksi daun teh kering yang diperoleh oleh perkebunan.

Perkebunan Sidamanik memiliki pabrik yang mampu mengolah daun teh basah sebesar 90 ton. Akan tetapi perkebunan Sidamanik hanya mampu memperoduksi daun teh basah rata-rata sebesar 50,811 ton/hari dari tahun 2007-2011. Untuk mengolah daun teh basah menjadi daun teh kering diperlukan waktu pengolahan selama 24 jam. Oleh karena itu, di perkebunan Sidamanik pengolahan dilakukan setiap hari kecuali hari minggu dan libur.

Untuk memperoleh jumlah produksi daun teh kering, perkebunan Sidamanik menggunakan nilai randemen sebagai standar operasional pekerjaan. randemen adalah persentase perbandingan antara jumlah daun teh kering yang dihasilkan dengan jumlah daun teh basah yang diolah. Nilai randemen merupakan target olah yang harus dicapai oleh perkebunan.

Pada tahun 2007 nilai randemen perkebunan yang harus dicapai adalah 21,99%. Berarti pada tahun 2007 perbandingan antara jumlah daun teh kering yang diterima oleh perusahaan dengan jumlah daun teh basah yang diolah harus berbanding 21,99%. Pada tahun 2008 randemen yang harus dicapai adalah 22,01% dan pada tahun 2009 nilai

randemen yang harus dicapai adalah 22,05%. Jika perkebunan dapat mencapai nilai

randemen yang ditargetkan maka proses produksi berjalan dengan standar operasional pekerjaan yang telah direncanakan.


(41)

5.2. Perkembangan konversi tanaman teh di PTP Nusantara IV

PT Perkebunan Nusantara IV pada awalnya memproduksi tiga jenis komoditi. Ketiga komoditi ini yaitu tanaman kelapa sawit, tanaman teh dan tanaman kakao. Akan tetapi saat ini PTPN IV hanya memproduksi 2 jenis komoditi saja yaitu tanaman teh dan tanaman kelapa sawit. Sedangkan tanaman kakao sudah dikonversi seluruhnya menjadi tanaman kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan kebijakan yang dilakukan perusahaan. Dalam kebijakan ini, bukan hanya kakao saja yang dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit akan tetapi tanaman teh juga dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit. Alasan utaman pengkonversian ini disebabkan komoditi tersebut mengalami kerugian.

Pada umumnya kerugian ini lebih disebabkan harga input produksi yang terus meningkat sehingga biaya pokok produksi terus meningkat dan disisi lain harga jual relatif tetap rendah, maka dalam empat belas tahun terkhir komoditi teh memberi sumbangan kerugian bagi perusahaan. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah melakukan konversi tanaman teh dengan tanaman kelapa sawit pada lahan yang sesuai untuk kelapa sawit. Areal kebun teh dengan ketinggian dibawah 800 m dpl akan dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Proses konversi dari kebun teh menjadi kebun kelapa sawit telah dilakukan sejak tahun 1996 sampai tahun 2009 ini sehingga luas lahan teh semakin berkurang di PT. Perkebunan Nusantara IV. Hal ini dapat dilihat dari Tabel areal perkebunan teh yang dionversi di PTPN IV:


(42)

Tabel 4. Areal Perkebunan Teh di PTPN IV Dari Tahun 1996-2010

Nama kebun

Luas areal kebun teh (Ha)

Tahun 1996 Tahun 2010

Sidamanik

1967.45 1848.03

Bah Butong 1892.07 1226.04

Tobasari 1151.85 1201.90

Marjandi 1177.08 - Bah Birong Ulu 1295.92 - Sibosur 200 -

Total 7684.37 4275.97

Sumber: PT Perkebunan Nusantara IV Sidamanik, 2010.

Dari tabel 5 diatas dapat dilihat bahawa areal perkebunan teh sudah mengalami penyusutan seluas 3408.4 atau berkurang sebanyak 44.35%. Pada umumnya pengurangan areal ini disebabkan pengkonversian areal teh menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi untuk perkebunan sibosur, perkebunan tersebut berkurang bukan karena di konversi melainkan perkebunan tersebut telah dipindah tangan kan ke perusahaan lain. Baik pengelolaan maupun proses produksinya sudah dijalankan perusahaan lain.

Dan untuk perkebunan Bah Birong Ulu dan perkebunan Marjandi seluruh areal perkebunan tersebut yang dulunya ditanami tanaman teh telah dikonversi seluruh nya menjadi tanaman kelapa sawit. Yang mana perkebunan itu hanya menghasilkan buah kelapa sawit saja dan buah tersebut akan di kirim ke perkebunan lain untuk diolah lebih lanjut.

Perkebunan Bah Butong juga terkena dampak kebijkan pengkonversian ini. Akan tetapi hal ini sedikit berbeda dengan perkebunan Marjandi dan Bah Birong Ulu dikarenakan areal perkebunan seluas 666.03 yang dulunya dikelola oleh Bah Butong


(43)

telah berpindah tangan ke perkebunan Bah Birong Ulu. Semenjak areal tersebut telah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit. Perpindahan ini dikarenakan sebagian areal Bah Butong tersebut layak untuk dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit dan areal tersebut berbatasan dengan perkebunan Bah Birong Ulu. Dengan berpindahnya areal tersebut akan mempermudah proses produksinya kedepan.

Pada lahan areal teh yang dipertahankan, harus dilakukan langkah untuk mengefisiensikan biaya produksi dan memperbaiki harga jual komoditi teh hitam. Dengan tingginya biaya produksi akan berdampak kepada pendapatan yang menurun apabila tidak diikutin dengan penetapan harga yang tepat.

5.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi daun teh kering di PT Perkebunan Nusantar IV Sidamanik.

Perkebunan teh merupakan usaha padat karya, yang artinnya dalam mengelola dan memproduksi usahanya diperlukan banyak tenaga kerja. Di perkebunan teh tenaga kerja dibagi atas empat bagian yaitu tenaga kerja tanaman, tenaga kerja teknik, tenaga kerja pabrik dan tenaga kerja administrasi. Dalam penelitian ini untuk faktor produksi tenaga kerja diambil dua sampel yaitu tenaga kerja pabrik dan tenaga kerja tanaman. Tenaga kerja pabrik merupakn tenaga kerja yang langsung berhubungan dengan pengolahan daun teh, tenaga kerja pebrik dikategorikan kedalam biaya tetap (fixed cost). Dikarenakan semua tenga kerja pabrik merupakan tenaga kerja tetap. Dan jika ada perubahan jumlah tenaga kerja biasanya dalam jangka panjang seperti pension tahunan. Tenaga kerja tanaman dikategorikan variabel cost. Hal ini disebabkan jumlah tenaga kerja tanaman yang selalu berubah-ubah atau tidak tetap setiap bulannya (jangka


(44)

pendek). Perubahan tenaga kerja tanaman ini disebabkan adanya tenaga kerja tidak tetap seperti buruh harian lepas.

Faktor lainnya yang memberi pengaruh pada produksi teh adalah pupuk. Pupuk merupakan komponen yang sangat penting bagi tanaman teh. Karena dengan penggunaan pupuk yang baik dan efesien maka tanaman teh dapat memproduksi pucuk daun teh yang lebih baik dan berkualitas. Penggunaan pupuk sangat ditentukan oleh kebutuhan tanaman itu sendiri. Seperti usia tanaman teh dan juga iklim. Dengan pengaruh tersebut maka penggunaan pupuk tidak dapat dipastikan setiap bulannya. Sehingga penggunaan pupuk bisa berubah-ubah. Berdasarkan kondisi ini, pupuk dimasukkan kedalam variabel cost.

Perkebunan Sidamanik menggunakan beberapa jenis pupuk, diantaranya adalah pupuk Urea, MOP/KCL, TSP, NPK Mutiara 25-7-7,Kisrite, Baytolan dan lainnya. Penelitian ini mengambil sampel pupuk Urea. Karena pupuk urea mengguanakan biaya yang paling besar dibandingkan pupuk lainnya. Dan pupuk Urea yang rutin digunakan setiap bulannya.

Dalam merawat tanaman teh, peran dari obat – obatan sangat penting. Dimana obat – obatan akan membuat tanaman terhindar dari hama dan penyakit. Sehingga hasil produksi tanaman tersebut dapat terjaga dengan baik. Baik dari segi kualitas dan kuantitas. Untuk menghindari penyakit tanaman teh, perkebunan menggunakan obat-obatan herbisida yang berupa Kleen Up, Round up, Lindomi dan lainnya. Dan untuk menghindari hama tanaman teh perkebunan menggunakan insektisida yang berupa Meothrin, Repcord, Matador dan lainnya. Dari kedua jenis obat – obatan tersebut, penelitian ini mengambil salah satu sampel dari kedua jenis obat – obatan. Yaitu Kleen


(45)

Up dan Repcord. Hal ini disebabkan penggunaan Kleen up dan Repcord lebih dominan dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Dalam hal ini obat-obatan merupakan variabel cost dikarenakan kebutuhan tanaman akan obat-obatan selalu berubah-ubah. Sehinggga penggunaan obat-obatan tidak tetap.

Listrik merupakan variabel cost, dikarenakan penggunaan berubah-ubah. Tergantung kepada pucuk daun teh yang dihasilkan setiap bulannya. Semakin banyak pucuk daun teh yang diproduksi maka semakin besar jumlah tenaga listrik yang digunakan dan begitu juga sebaliknya. Semakain sedikit produksi pucuk daun teh, maka semakin sedikit pula tenaga listrik yang digunakan. Dalam pengolahan pucuk daun teh penggunaan listrik menggunakan biaya yang tinggi.

Dari tinjauan pusataka diketahui bahwa variabel-variabel yang dapat mempengaruhi produksi daun teh kering adalah tenaga kerja tanaman X1, tenaga kerja

pabrik X2, pupuk Urea X3, obat Kleen Up X4, obat Repcord X5 dan Listrik X6, obat

NPK Mutiara 25-7-7 X7, Cangkang X8.. dari variabel-variabel bebas tersebut akan

dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap produksi daun teh kering sebagai variabel terikat (dependen). Dengan metode enter SPSS 15, variabel pupuk NPK Mutiara 25-7-7 dan bahan bakar cangkang dikeluarkan dari estimasi. Pupuk NPK Mutiara 25-7-7 dikeluarkan dari estimasi dikarenakan pupuk NPK Mutiara 25-7-7 tidak digunakan secara merata pada tahun 2009. Ditahun 2009 pupuk ini tidak digunakan lagi, sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap produksi daun teh kering pada tahun 2009. Sedangkan bahan bakar cangkang dikeluarkan dari estimasi dikarenakan cangkang memiliki hubungan yang nyata terhadap bahan bakar listrik. Sehingga bahan bakar cangkang dapat diganti oleh bahan bakar listrik.


(46)

Sehingga kajian lebih lanjut ditentukan bahwa variabel bebas yang digunakan hanya tenaga kerja tanaman X1, tenaga kerja pabrik X2, pupuk Urea X3, obat Kleen Up

X4, obat Repcord X5, Listrik X6. Dengan begitu menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi daun teh kering di perkebunan Sidamanik adalah tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk Urea, obat Kleen Up, obat Repcord dan listrik. Setelah melihat F hit diketahui bahwa variabel bersifat linier.

Setelah menentukan faktor-faktor produksi yang langsung mempengaruhi hasil produksi daun teh kering di perkebunan Sidamanik, maka diambil data bulanan selama tiga tahun. (dari tahun 2007-2009) lalu diolah menggunakan metode regresi linier berganda. Semua data tersebut dikonversi kedalam satuan per Ha. Berdasarkan persamaan data-data tersebut maka dapat diteliti indentifikasi masalah 2.

5.2.2 Efisiensi harga

Sebelum melakukan estimasi maka dilakukan pengujian terlebih dahulu untuk memenuhi asumsi regresi linier berganda yaitu:

a. Uji Linieritas

Untuk pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi produksi daun teh kering didapat Fhitung= 45,69 > Ftabel=2,77, sehingga persamaan yang digunakan adalah linier (dapat

dilihat pada lampiran 3). b. Uji Multikolinieritas

Setelah melihat table Coefficient terdapat nilai VIF untuk masing-masing variable mempunyai nilai < 10 dan nilai Tolerace > 0,1 sehingga diperoleh kesimpulan bahwa gejala multikolinieritas tidak terdapat dalam persamaan ini (dapat dilihat pada lampiran 3).


(47)

c. Uji Autokorelasi

Untuk mengasumsikan uji autokorelasi dapat menggunakan statistic d Durbin-Watson. Dari model summaryb dapat diperoleh nilai durbin-watson 2,104. Dengan menguji nilai durbin-watson 2,104 kedalam statistik d durbin-watson maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa data variabel bebas tidak memiliki autokorelasi (dapat dilihat pada lampiran 3).

Maka setelah dilakukan pengujian asumsi regresi linier berganda didapatkan hasil akhir dari estimasi faktor-faktor yangmempengaruhi produksi daun teh kering sebagai berikut:

Y = 35,771 – 181,317 X1 + 245,566 X2 – 0,186 X3 + 2,755 X4 + 153,475 X5 + 1,235 X6

^

Y = – 181,317 + 245,566 – 0,186 + 2,755 + 153,475 + 1,235 R2 = 0.920 Fhitung= 45,69

Dari model dihasilkan nilai koefesien determinasi sebesar 0,92. Hal ini menunjukkan bahwa 92% variasi variabel produksi daun teh kering telah dapat dijelaskan oleh variabel tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk urea, obat kleen up, obat repcord dan listrik. Dari persamaan diatas, maka nilai efesiensi harga pada setiap variabel bebas dapat dihitung :


(48)

Tabel 5. Efisiensi Harga Faktor – Faktor Produksi.

Faktor Produksi Efesiensi Harga Kesimpulan

Tenaga kerja tanaman -1.31 Tidak efesien

Tenaga kerja pabrik 3.06 Belum efesien

Pupuk Urea -2.66 Tidak efesien

Obat Kleen Up 0.003 Tidak efesien

Obat Repcord 2.29 Belum efesien

Listrik 0.68 Tidak efesien

Efesiensi harga tenaga kerja tanaman (X1) sebesar -1,31 < 1, penggunaan input

tenaga kerja tanaman tidak efesien maka input tenaga kerja tanaman perlu dikurangi untuk mencapai nilai efesien. Tenaga kerja tanaman diperkebunan teh Sidamanik memang cukup banyak. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya produksi tenaga kerja tanaman dibandingkan produksi yang dihasilkan dan harga jual yang rendah. Pengurangan tenaga kerja tanaman saat ini sudah dilakukan oleh perkbunan Sidamanik. Hal ini bertujuan untuk menekan biaya produksi tanaman yang tinggi.

Efesiensi harga tenaga kerja pabrik (X2) sebesar 3,06 > 1, penggunaan input tenaga

kerja pabrik belum efesien maka input tenaga kerja pabrik perlu ditambah untuk mencapai nilai efesien. Dalam hal ini perkebunan Sidamanik sudah melakukan penambahan tenaga kerja pabrik dengan menggunakan tenaga kerja upah. Yang mana tenaga kerja upah diletakkan dibagian-bagian pengolahan pabrik yang sistem kerjanya tidak memiliki tanggung jawab yang besar seperti pada proses pelayuan daun teh dan pada proses pengangkutan daun teh basah ke pabrik olahan.


(49)

Efesiensi harga pupuk Urea (X3) sebesar -2,66 < 1, penggunaan input pupuk Urea

tidak efesien maka penggunaan input pupuk Urea perlu dikurangi untuk mencapai nilai efesien. Pupuk urea yang digunakan selama ini memang berlebih hal ini dikarenakan tanaman teh yang ada diperkebunan Sidamanik merupakan tanaman yang memiliki usia yang sudah cukup tua. Yanga mana tanaman-tanaman teh yang tua ini sudah bisa untuk di tanam ulang kembali dengan tanaman yang baru. Dengan usia tanaman yang tua ini kebutuhan akan pupuk menjadi lebih banyak. Akan tetapi perkebunan sendiri sudah melakukan penanaman ulang tanaman yang baru secara bertahap. Untuk kedepannya perkebunan Sidamanik juga sudah melakukan pengurangan pupuk secara bertahap juga.

Efesiensi harga obat Kleen Up (X4) sebesar 0,003 < 1, penggunaan input obat kleen

up tidak efesien maka penggunaan input obat Kleen Up perlu dikurangi untuk mencapai nilai efesien. Fungsi obat Kleen Up adalah untuk memberantas gulma dan alang-alang berdaun sempit. Dalam hal ini, perkebunan teh memiliki gulma dan alang-alang yang cukup lebat, sehingga penggunaan Kleen Up sangat diperlukan. Akan tetapi penggunaan obat Kleen Up juga memerlukan biaya yang cukup besar sehingga penggunaan obat ini perlu dikurangi. Di perkebunan Sidamanik sendiri penggunaan obat Kleen Up masih belum mengalami pengurangan dikarenakan penggunaan obat tergantung dengan kondisi dilapangan. Jika dilapangan gulma dan alang-alang masih banyak, maka penggunaan obat ini tidak dikurangi.

Efesiensi harga obat Repcord (X5) sebesar 2,29 > 1, penggunaan input obat repcord

belum efesien maka penggunaan input obat Repcord perlu ditambah untuk mencapai nilai efesien. Obat repcord berfungsi untuk mencegah penyakit tanaman, khususnya pada penyakit daun teh. Diperkebunan Sidamanik penggunaan obat repcord dilakukan


(50)

sesuai dengan kondisi dilapangan. Jika dilapangan tanaman terkena penyakit daun maka pada saat itu perkebunan menggunakan obat repcord. Berdasarkan analisis efesiesni harga,penggunaan obat repcord masih bisa ditamabah untuk mendapatkan hasil yang makasimal.

Efesiensi harga Listrik (X6) sebesar 0.68 < 1, penggunaan input listrik tidak efesien

maka penggunaan input listrik harus dikurangi untuk mencapai nilai efesien. Pengurangan penggunaan tenaga listrik diperkebunan Sidamanik terus dilakukan perkebunan. Perkebunan sendiri memiliki kebijakan penghematan terhadap penggunaan tenaga listrik. Salah satu solusinya, perkebunan memiliki pembangkit tenaga listrik tersendiri dalam menjalankan proses produksi di pabrik olahan.

5.2.3 Efesiensi Teknik

Efesiensi teknik merupakan perbandingan antara besarnya produksi dilapangan dengan besarnya produksi yang dapat dicapai di lapangan. Besaran produksi yang dapat dicapai dilapangan dapat diperoleh dari rencana kerja akhir perusahaan (RKAP). Rencana kerja akhir perusahaan merupakan target yang harus dicapai oleh perkebunan. Baik dalam output maupun input produksi.


(51)

Tabel 6. Efesiensi Teknik Faktor – Faktor Produksi.

Faktor Produksi Efesiensi Harga Kesimpulan

Tenaga kerja tanaman 1.086 Tidak efesien

Tenaga kerja pabrik 1.005 Tidak efesien

Pupuk Urea 0.064 Tidak efesien

Obat Kleen Up 0.14 Tidak efesien

Obat Repcord 0.024 Tidak efesien

Listrik 0.078 Tidak efesien

Dari data yang diperoleh, dapat dihitung nilai efisiensi teknik faktor-faktor produksi di perkebunan Sidamanik. Untuk efesiensi teknik tenaga kerja tanaman diperoleh hasil efisiensi teknik = 1,086. Hal ini menunjukkan bahwa efesiensi teknik tenaga kerja tanaman tidak efesien secara teknik. Dikarenakan nilai efesiensi teknik tanaman tenaga kerja ≠ 1. Tenaga kerja pabrik juga tidak mengalamai efesiensi teknik, dikarenakan nilai efesiensi teknik tenaga kerja pabarik adalah 1,005 ≠ 1.

Nilai efisiensi teknik pupuk Urea = 0,064 ≠ 1. Dalam hal ini pupuk Urea tidak mengalami efisiensi teknik. Sedangkan nilai efesiensi teknik obat KleenUp = 0,140, hal ini membuktikan obat KleenUp tidak mengalami efesiensi teknik. Dikarenakan nilai efesiensi teknik obat kleenUp ≠ 1.

Penggunaan obat Repcord juga tidak mengalami efesiensi teknik. Nilai efesiensi teknik obat Repcord = 0,024 ≠ 1. Nilai efesiensi teknik listrik adalah 0,078 ≠ 1,yang artinya input tenaga listrik tidak mengalame efesiensi teknik.


(52)

5.2.4 Efesiensi Ekonomi

Dengan memproleh nilai efesiensi harga dan efesiensi teknik maka dapat dihitung nilai efesiensi ekonomi pada setiap faktor-faktor produksi, sebagai berikut: Tabel 6. Efesiensi Teknik Faktor – Faktor Produksi.

Faktor Produksi Efesiensi Harga Kesimpulan

Tenaga kerja tanaman -1.42 Tidak efesien

Tenaga kerja pabrik 3.07 Tidak efesien

Pupuk Urea -0.17 Tidak efesien

Obat Kleen Up 0.0005 Tidak efesien

Obat Repcord 5.68 Tidak efesien

Listrik 0.05 Tidak efesien

- Nilai efesiensi ekonomi tenaga kerja tanaman adalah -1,42. Hal ini membuktikan input tenaga kerja tanaman tidak efesien dikarenakan nilai efesiensi ekonomi tenaga kerja tanaman ≠ 1.

- Nilai efesiensi ekonomi tenaga kerja pabrik adalah 3,07 ≠ 1. Hal ini membuktikan input tenaga kerja pabrik tidak efesien secara efesiensi ekonomi.

- Nilai efesiensi ekonomi pupuk Urea adalah -0,17 ≠ 1. Hal ini membuktikan input pupuk Urea tidak efesien secara efesiensi ekonomi.

- Nilai efesiensi ekonomi obat Kleen Up adalah 0,0005. Hal ini membuktikan input obat Kleen Up tidak efesien dikarenakan nilai efesiensi ekonomi obat Kleen Up ≠ 1.

- Nilai efesiensi ekonomi obat Repcord adalah 5,68 ≠ 1. Hal ini membuktikan bahwa input obat Repcord tidak efesien secara efesiensi ekonomi.


(53)

- Nilai efesiensi ekonomi input listrik adalah 0,05. Hal ini membuktikan input listrik tidak efesien dikarenakan nilai efesiensi ekonomi listrik ≠ 1.

5.2.5 Upaya peningkatan efesiensi

PT Perkebunan Nusantara IV Sidamanik telah mengalami kerugian dalam menjalankan usahanya. Salah satu penyebabnya adalah ketidak efesienan faktor-faktor produksi didalam mengolah produksi daun teh kering. Tentu saja ini membuat perusahaan menjadi merugi. Ketidak efesienan faktor-faktor produksi ini akan menimbulkan dampak yang negatif bagi pendapatan perusahaan. Salah satu dampaknya yaitu jika faktor produksi digunakan secara tidak tepat akan membuat proses produksi menjadi tidak baik. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini perkebunan Sidamanik melakukan berbagai kebijakan-kebijakan agar masalah ini tidak berlarut-larut, kebijakan itu berupa:

- Pengurangan tenaga kerja

Perkebunan teh merupakan usaha yang padat karya. Maksudnya adalah dalam mengolah usahanya diperlukan banyak tenaga kerja untuk melakukannya. Oleh karena itu, tenaga kerja merupakan salah satu input yang banyak mengeluarkan biaya produksi di perkebunan Sidamanik. Tingginya biaya produksi tenaga kerja tidak sebanding dengan output yang dihasilkan. Oleh sebab itu tenaga kerja harus disesuaikan lagi untuk menutupi kerugian. Salah satu kebijakan yang dilakukan perusahaan adalah dengan mengurangi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.

Pengurangan tenaga kerja tidak dilakukan dengan pemecatan tenaga kerja, melainkan memutasi tenaga kerja tersebut ke perkebunan lain yang masih dalam lingkup PTP Nusantara IV. Para tenaga kerja ini di mutasi ke perkebunan kelapa sawit


(54)

PTP Nusantara IV pada umumnya. Dan perkebunan itu sendiri tidak menerima tenaga kerja baru untuk sementara waktu sampai masalah ini dapat di selesaikan.

Dalam hal ini tenaga kerja yang paling banyak dibutuh kan adalah tenaga kerja bagian tanaman. Tenaga kerja bagian tanaman merupakan tenaga kerja bagian lapangan yang bertugas secara langsung didalam menanam, merawat dan memanen tanaman teh. Selama ini perkebunan teh di PTP Nusantara IV melakuakn pemanenan pucuk tanaman teh dengan cara memetik daun teh tersebut secara langsung. Karena ini lah diperlukan banyak tenaga kerja panen dalam melakukan usahanya.

Sejak tahun 2008 PTP N IV melakukan kebijakan baru dengan mengurangi tenaga kerja panen secara besar-besaran. Yang bertujuan untuk mengurangi input tenaga kerja, sehingga biaya tenaga kerja yang berlebih dapat diatasi. Dengan pengurangan tenaga kerja panen ini maka sistem pemanenan pucuk daun teh di PTP Nusantara IV pun berubah. Saat ini perkebunan-pekebunan teh di PTP Nusantara IV melakukan pemanenan dengan mekanisasi yaitu dengan mengunakan alat mesin gunting pangkas. Sistem perawatan tanaman juga dilakukan dengan mekanisasi.

Kebijakan mekanisasi ini memang tepat dalam mengurangi biaya input tenaga kerja. Akan tetapi keputusan ini menimbulkan masalah baru dalam memperoleh mutu tanaman teh. Masalah-masalah tersebut adalah:

- Pemanenan tanaman yang tidak baik.

Pada awalnya pemanenan dilakukan dengan tenaga manusia. Sehingga pucuk daun teh yang diambil dapat dipilih dengan baik oleh sipemetik. Sedangkan dengan menggunakan mesin, pucuk daun teh yang tidak seharusnya dipanen ikut terpanen. Hal ini menimbulkan dampak yang negatif dalam memperoleh mutu produksi.


(55)

- Sistem perawatan tanaman yang tidak baik

Dalam hal ini perwatan tanaman yang dimaksud adalah pemangkasan rutin tanaman. Pemangkasan tenaman teh bertujuan untuk menghasilkan produksi daun teh pada tanaman teh tersebut agar lebih maksimal. Sehingga dengan pemangkasan akan melahirkan cabang-cabang yang baru sehingga pucuk daun teh dapat diperoleh lebih maksimal lagi. Dulunya pemangkasan dilakukan dengan tenaga manusia, tapi saat ini pemangkasan dilakukan dengan mekanisasi. Perlakuan mekanisasi ini malah menimbulkan pemangkasan menjadi tidak baik. Karena mekanisasi pemangkasan hanya mampu memangkas pada daerah tanaman tertentu saja. Sehingga pemangkasan tanaman tidak maksimal.

- Sistem pengendalian hama dan penyakit tanaman.

Dalam hal ini, pengendalian hama dan penyakit tertentu dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja yang lebih banyak. Seperti yang terjadi diperkebunan, jika tanaman sudah terkena penyakit akar merah maka tanaman tersebut harus diatasi secepatnya dengan membongkar seluruh tanaman tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyakit akar merah tidak menular ke tanaman lainnya. Dengan sedikitnya tenaga kerja membongkar areal yang terkena hama dan penyakit menjadi terkendala.

Oleh karena itu, pengurangan tenaga kerja harus sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan dilapangan. Pengurangan tenaga kerja janganlah dilakukan dengan sembarangan. Maksudnya adalah tenaga kerja - tenaga kerja yang masih dibutuhkan dalam proses produksi sebaiknya jangan dikurangi agar tidak mempengaruhi proses produksi menjadi tidak baik.


(56)

- Penanaman bibit unggul

Perkebunan teh di PTP Nusantara IV merupakan perkebunan peninggalan penjajah belanda terdahulu. Dan sampai saat ini tanaman-tanaman teh yang ditinggalkan penjajah Belanda masih ada di perkbunan teh di Sidamanik dan tanaman itu masih diproduksi. Akan tetapi tanaman-tanaman yang berusia tua ini memerlukan perwatan yang ekstra sehingga biaya produksi untuk perawatan ini menjadi lebih besar.

Untuk mengatasi tingginya biaya produksi dibagian perawatan tanaman, PTP Nusantara IV melakukan kebijakan penanaman ulang tanaman-tanaman teh dengan bibit yang unggul. Hal ini bertujuan agar tanaman lebih kebal terhadap hama dan penyakit sehingga biaya perawatan untuk mengatasi masalah ini dapat di minimalkan. Sehingga biaya input perwatan dapat dikurangi. Dan dengan bibit yang lebih unggul diharapkan tanaman teh mampu memproduksi hasil yang lebih maksimal lagi dari tanaman yang sebelumnya. Sehingga hasil produksi dapat ditingkatkan.

- Menjaga mutu dan kualiatas tanaman teh

PT Perkebunan Nusantara IV sanagat mengutamakan kondisi mutu dan kualitas tanaman teh. Penjagaan mutu dan kualitas tanaman sangat penting dikarenakan akan meningkatkan harga jual output produksi menjadi lebih baik. Sehingga harga jual output akan semakin meningkat dan pendapatan perusahaan semakin tinggi.

Untuk menjaga mutu dan kualitas tanaman maka diperlukan perawatan tanaman yang tepat. Dalam arti penggunaan pupuk yang tepat, pemberantasana hama dan penyakit tanaman yang tepat dan pemanenan tanaman yang tepat.


(57)

- Peningkatan perawatan rutin pabrik yang terencana.

Dalam memproses barang setengah jadi menjadi barang jadi, peran pabrik sangatlah diperlukan. Untuk menjaga kualitas proses olahan maka perawatan rutin pabrik yang terencana terus dilakukan secara rutin. Dengan perwatan rutin pabrik yang terencana mesin-mesin olahan selalu dalam keadaan baik. Sehingga pengolahan daun teh tidak mengalami gangguan pada proses produksinya. Perawatan rutin pabrik yang terencana akan menghindari losis produksi. Losis produksi merupakan hilang atau rusaknya daun teh yang diolah ketika masih melalui proses produksi olahan. Sehingga ini akan berpengaruh terhadapa nilai randemen yang akan dicapai.

- Perencanaan pembangunan idustri hilir.

Salah satu kelemahan PTP N IV dalam memasarkan output produk daun teh kering adalah perusahaan tidak dapat menentukan harga jual daun teh kering. Yang mana harga jual daun teh kering sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Perkebunan menganggap tidak rasionalnya biaya pokok produksi dengan harga jual produksi.

Seluruh hasil output produksi daun teh kering dijual melalui ekspor. Hampir tidak ada hasil produksi daun teh kering PTP N IV dijual didalam negeri. Hal ini dikarenakan permintaan Negara-negara luar akan bubuk teh kering di Indonesia sangatlah tinggi. Negara-negara luar seperti Negara-negara Timur Tengah, Inggris, India dan lain-lain memiliki kebutuhan teh 2 kg/kapita. Karena dinegara-negara luar tersebut teh merupakan kebutuhan utama yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan di Indonesia sendiri kebutuhan teh hanya 3 gr/kapita. Di Indonesia kebutuhan akan teh hanya sebagai kebutuhan sekunder saja. Oleh karena itu permintaan akan teh di Indonesia sangat kecil, sehingga harga jual teh dalam negeri tidak terlalu


(58)

tinggi dibandingkan Negara luar. Kebutuhan teh dalam negeri pada umumnya dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan lain seperti perusahaan Teh Botol Sosro, Sari Wangi dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan waktu perkebunan-perkebunan teh di PTP N IV memiliki solusi dalam pemasaran outputnya. Dimana solusi ini merupakan penjulan output produksi didalam negeri.

Perkebunan Sidamanik tidak memiliki merek jual dalam menjual output produksinya. Sehingga ini merupakan kendala pemasaran yang di hadapi perkebunan-perkebunan teh di PTP N IV. Oleh sebab itu, dengan adanya industry hilir diharapakan akan meningkatkan penjualan produksi daun teh kering. Indusri hilir yang dimaksud yaitu hasil output produksi diolah kembali dengan bentuk pengepakan yang lebih menarik seperti pembutan teh celup atau rasa teh yang lebih difariasikan seperti teh yang memiliki rasa buah-buahan dan lain sebagainya. Sehingga perkebunan Sidamanik dapat mematenkan merek produksinya untuk dapat bersaing dipasar lokal. Dan perusahaan dapat menentukan harga jual yang lebih baik.


(59)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perkembangan konversi tanaman teh di PT Perkebunan Nusantara IV mengalami pengurangan lahan seluas 3408.4 Ha.

2. Secara umum faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi produksi daun teh kering adalah tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk Urea, obat Kleen Up, obat Repcord dan listrik.

3. Tingkat efesiensi harga, efesiensi teknik dan efesiensi ekonomi dari faktor-faktro produksi tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk Urea, obat Kleen Up, obat Repcord dan listrik tidak efesien.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: Kepada Perkebunan Sidamanik

Perkebunan Sidamanik hendaknya melakukan upaya-upaya peningkatan efesiensi seperti pengurangan tenaga kerja, penanaman bibit unggul, menjaga mutu dan kualitas tanaman, peningkatan perawatan rutin pabrik yang terencana dan perencanaan industri hilir.

Kepada peneliti selanjutnya:

Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti peningakatan harga jual output dan solusi peningkatan faktor-faktor produksi yang selama ini tidak efesi


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2007. Sejarah Badan Usaha Milik Negar. ---, 2008. Badan Usaha Milik Negara

---, 2008, Laporan keuangan 2008, PT.Perkebunan Nusantara IV . Medan. ---, 2010. Profil PT Perkebunan Nusantara IV Bambang dan Kartasapoetra, 1988, Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi.

Bina Aksara. Jakarta.

Doll, John P dan Orazem, 1984. Production Economics Theory With Application. John Wiley & Sons inc, New York.

Gujarti, Damodar. 1996. Ekonometrika Dasar.Erangga. Jakarta

Hasibuan, U, S., 2008. Peranan Perkebunan, http://www.kpbptpn.co.id

Mosher, A.T., 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna. Jakarta. Mubyarto, 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta.

Anonimous, 2008, Laporan keuangan 2008, PT.Perkebunan Nusantara IV . Medan. Salvatore, Dominick. 2001, Managerial Economics Dalam Pengantar Global,

Erlangga, Jakarta.

Setiawati dan Nasikun, 1991. The Kajian Sosial-Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Soekartawi, 1994. Teori Ekonomi Produksi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---, 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia, (UI – Pers) jakarta. Spillane, James, J., 1992. Komodity Teh Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius, Yogyakarta.

Sujianto, Agus Eko. 2009. Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0. Prestasi, Pustakaraya. Sukirnao, Sadono. 2000. Pengantar teori Mikroekonomi. Rajawali Pers, Jakarta. Tim Penulis Penebar Swadaya, 1993. Pembudidayaan dan Pengolahan Teh. Penebar


(61)

Verbeek, Marno. 2008. A Guide to Modern Econometrics 3rd Edition. RSM Erasmus University, Rotterdam.


(1)

- Penanaman bibit unggul

Perkebunan teh di PTP Nusantara IV merupakan perkebunan peninggalan penjajah belanda terdahulu. Dan sampai saat ini tanaman-tanaman teh yang ditinggalkan penjajah Belanda masih ada di perkbunan teh di Sidamanik dan tanaman itu masih diproduksi. Akan tetapi tanaman-tanaman yang berusia tua ini memerlukan perwatan yang ekstra sehingga biaya produksi untuk perawatan ini menjadi lebih besar.

Untuk mengatasi tingginya biaya produksi dibagian perawatan tanaman, PTP Nusantara IV melakukan kebijakan penanaman ulang tanaman-tanaman teh dengan bibit yang unggul. Hal ini bertujuan agar tanaman lebih kebal terhadap hama dan penyakit sehingga biaya perawatan untuk mengatasi masalah ini dapat di minimalkan. Sehingga biaya input perwatan dapat dikurangi. Dan dengan bibit yang lebih unggul diharapkan tanaman teh mampu memproduksi hasil yang lebih maksimal lagi dari tanaman yang sebelumnya. Sehingga hasil produksi dapat ditingkatkan.

- Menjaga mutu dan kualiatas tanaman teh

PT Perkebunan Nusantara IV sanagat mengutamakan kondisi mutu dan kualitas tanaman teh. Penjagaan mutu dan kualitas tanaman sangat penting dikarenakan akan meningkatkan harga jual output produksi menjadi lebih baik. Sehingga harga jual output akan semakin meningkat dan pendapatan perusahaan semakin tinggi.

Untuk menjaga mutu dan kualitas tanaman maka diperlukan perawatan tanaman yang tepat. Dalam arti penggunaan pupuk yang tepat, pemberantasana hama dan penyakit tanaman yang tepat dan pemanenan tanaman yang tepat.


(2)

- Peningkatan perawatan rutin pabrik yang terencana.

Dalam memproses barang setengah jadi menjadi barang jadi, peran pabrik sangatlah diperlukan. Untuk menjaga kualitas proses olahan maka perawatan rutin pabrik yang terencana terus dilakukan secara rutin. Dengan perwatan rutin pabrik yang terencana mesin-mesin olahan selalu dalam keadaan baik. Sehingga pengolahan daun teh tidak mengalami gangguan pada proses produksinya. Perawatan rutin pabrik yang terencana akan menghindari losis produksi. Losis produksi merupakan hilang atau rusaknya daun teh yang diolah ketika masih melalui proses produksi olahan. Sehingga ini akan berpengaruh terhadapa nilai randemen yang akan dicapai.

- Perencanaan pembangunan idustri hilir.

Salah satu kelemahan PTP N IV dalam memasarkan output produk daun teh kering adalah perusahaan tidak dapat menentukan harga jual daun teh kering. Yang mana harga jual daun teh kering sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Perkebunan menganggap tidak rasionalnya biaya pokok produksi dengan harga jual produksi.

Seluruh hasil output produksi daun teh kering dijual melalui ekspor. Hampir tidak ada hasil produksi daun teh kering PTP N IV dijual didalam negeri. Hal ini dikarenakan permintaan Negara-negara luar akan bubuk teh kering di Indonesia sangatlah tinggi. Negara-negara luar seperti Negara-negara Timur Tengah, Inggris, India dan lain-lain memiliki kebutuhan teh 2 kg/kapita. Karena dinegara-negara luar tersebut teh merupakan kebutuhan utama yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan di Indonesia sendiri kebutuhan teh hanya 3 gr/kapita. Di Indonesia kebutuhan akan teh hanya sebagai kebutuhan sekunder saja. Oleh karena itu permintaan akan teh di Indonesia sangat kecil, sehingga harga jual teh dalam negeri tidak terlalu


(3)

tinggi dibandingkan Negara luar. Kebutuhan teh dalam negeri pada umumnya dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan lain seperti perusahaan Teh Botol Sosro, Sari Wangi dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan waktu perkebunan-perkebunan teh di PTP N IV memiliki solusi dalam pemasaran outputnya. Dimana solusi ini merupakan penjulan output produksi didalam negeri.

Perkebunan Sidamanik tidak memiliki merek jual dalam menjual output produksinya. Sehingga ini merupakan kendala pemasaran yang di hadapi perkebunan-perkebunan teh di PTP N IV. Oleh sebab itu, dengan adanya industry hilir diharapakan akan meningkatkan penjualan produksi daun teh kering. Indusri hilir yang dimaksud yaitu hasil output produksi diolah kembali dengan bentuk pengepakan yang lebih menarik seperti pembutan teh celup atau rasa teh yang lebih difariasikan seperti teh yang memiliki rasa buah-buahan dan lain sebagainya. Sehingga perkebunan Sidamanik dapat mematenkan merek produksinya untuk dapat bersaing dipasar lokal. Dan perusahaan dapat menentukan harga jual yang lebih baik.


(4)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perkembangan konversi tanaman teh di PT Perkebunan Nusantara IV mengalami pengurangan lahan seluas 3408.4 Ha.

2. Secara umum faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi produksi daun teh kering adalah tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk Urea, obat Kleen Up, obat Repcord dan listrik.

3. Tingkat efesiensi harga, efesiensi teknik dan efesiensi ekonomi dari faktor-faktro produksi tenaga kerja tanaman, tenaga kerja pabrik, pupuk Urea, obat Kleen Up, obat Repcord dan listrik tidak efesien.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: Kepada Perkebunan Sidamanik

Perkebunan Sidamanik hendaknya melakukan upaya-upaya peningkatan efesiensi seperti pengurangan tenaga kerja, penanaman bibit unggul, menjaga mutu dan kualitas tanaman, peningkatan perawatan rutin pabrik yang terencana dan perencanaan industri hilir.

Kepada peneliti selanjutnya:

Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti peningakatan harga jual output dan solusi peningkatan faktor-faktor produksi yang selama ini tidak efesi


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2007. Sejarah Badan Usaha Milik Negar. ---, 2008. Badan Usaha Milik Negara

---, 2008, Laporan keuangan 2008, PT.Perkebunan Nusantara IV . Medan. ---, 2010. Profil PT Perkebunan Nusantara IV Bambang dan Kartasapoetra, 1988, Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi.

Bina Aksara. Jakarta.

Doll, John P dan Orazem, 1984. Production Economics Theory With Application. John Wiley & Sons inc, New York.

Gujarti, Damodar. 1996. Ekonometrika Dasar.Erangga. Jakarta

Hasibuan, U, S., 2008. Peranan Perkebunan, http://www.kpbptpn.co.id

Mosher, A.T., 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna. Jakarta. Mubyarto, 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta.

Anonimous, 2008, Laporan keuangan 2008, PT.Perkebunan Nusantara IV . Medan. Salvatore, Dominick. 2001, Managerial Economics Dalam Pengantar Global,

Erlangga, Jakarta.

Setiawati dan Nasikun, 1991. The Kajian Sosial-Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Soekartawi, 1994. Teori Ekonomi Produksi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---, 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia, (UI – Pers) jakarta. Spillane, James, J., 1992. Komodity Teh Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius, Yogyakarta.

Sujianto, Agus Eko. 2009. Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0. Prestasi, Pustakaraya. Sukirnao, Sadono. 2000. Pengantar teori Mikroekonomi. Rajawali Pers, Jakarta. Tim Penulis Penebar Swadaya, 1993. Pembudidayaan dan Pengolahan Teh. Penebar Swadaya, Jakarta.


(6)

Verbeek, Marno. 2008. A Guide to Modern Econometrics 3rd Edition. RSM Erasmus University, Rotterdam.


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara

28 165 117

Inventarisasi Serangga Pada Tanaman Teh (Cammelia sinenisis. L) di Perkebunan Teh PTPN IV Sidamanik Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

7 98 53

Analisis Faktor-Faktor Usaha Perkebunan Teh Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan (Petani Teh) di Daerah Kecamatan SIdamanik Kabupaten Simalungun

0 3 73

PENGARUH PRODUKSI DAUN TEH KERING TERHADAP PENDAPATAN PERUSAHAAN PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH BUTONG SIDAMANIK KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 8 18

Analisis Faktor-Faktor Usaha Perkebunan Teh Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan (Petani Teh) di Daerah Kecamatan SIdamanik Kabupaten Simalungun

0 0 10

Analisis Faktor-Faktor Usaha Perkebunan Teh Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan (Petani Teh) di Daerah Kecamatan SIdamanik Kabupaten Simalungun

0 0 2

Analisis Faktor-Faktor Usaha Perkebunan Teh Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan (Petani Teh) di Daerah Kecamatan SIdamanik Kabupaten Simalungun

0 0 7

Analisis Faktor-Faktor Usaha Perkebunan Teh Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan (Petani Teh) di Daerah Kecamatan SIdamanik Kabupaten Simalungun

0 0 13

Analisis Faktor-Faktor Usaha Perkebunan Teh Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan (Petani Teh) di Daerah Kecamatan SIdamanik Kabupaten Simalungun

0 0 2

Analisis Faktor-Faktor Usaha Perkebunan Teh Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan (Petani Teh) di Daerah Kecamatan SIdamanik Kabupaten Simalungun

0 0 14