Kajian Pengembangan Ekowisata Daerah Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas Linnaeus 1758) Di Pantai Pangumbahan, Sukabumi

(1)

SUKABUMI

ADE IRMA LISTIANI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Kajian Pengembangan Ekowisata Daerah Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydasLinnaeus 1758) Di Pantai Pangumbahan, Sukabumi

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Ade Irma Listiani C24080048


(3)

Ade Irma Listiani. C24080048. Kajian Pengembangan Ekowisata Daerah Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas Linnaeus 1758) Di Pantai Pangumbahan, Sukabumi. Dibawah bimbingan Fredinan Yulianda dan Mirza Dikari Kusrini.

Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan jenis satwa yang dilindungi karena statusnya yang terancam punah. Pantai Pangumbahan merupakan salah satu pantai yang terdapat penyu bertelur dan sangat sesuai untuk kegiatan ekowisata peneluran penyu, namun masih ada beberapa gangguan seperti pengambilan telur penyu secara ilegal, pendirian bangunan di sekitar pantai, banyaknya sampah di pantai dan pemaanfaatan ekowisata yang belum terkontrol dengan baik. Sehingga diperlukan pengelolaan yang baik dalam ekowisata karena kegiatan ekowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan rekreasi di alam bebas atau terbuka, yang di dalamnya terdapat juga kegiatan konservasi yang diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi beberapa permasalahan seperti ancaman berupa gangguan habitat peneluran penyu ataupun pengambilan telur-telur penyu secara ilegal. Kegiatan ekowisata diharapkan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat yang berasal dari wisatawan, sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki agar kelestarian penyu hijau tetap terjaga. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi sumberdaya alam dan sosial ekonomi kawasan, kesesuaian dan daya dukung potensi wisata peneluran penyu, status pengelolaan habitat penyu sehingga akan menghasilkan rumusan konsep pengelolaan ekowisata dan rekreasi penyu yang sesuai agar dapat melindungi, memanfaatkan potensi penyu.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima kelompok dengan aspek-aspek yang diteliti diantaranya; biologi, fisik, masyarakat, pengelola dan wisatawan. Pengambilan kelima kelompok data ini menggunakan data primer dan sekunder. Analisis yang digunakan diantaranya kondisi alam, sosial, ekonomi, status pengelolaan, Indeks Kesesuaian Wisata, Daya Dukung Kawasan, dan analisis SWOT. Data masyarakat dan wisatawan diambil menggunakan kuisioner dengan metodepurposive samplingkepada 30 orang masyarakat, dan 35 orang wisatawan

Kondisi sosial wisatawan dan sumberdaya alam yang ada di pangumbahan sudah baik. Hal ini terlihat dari kondisi habitat yang masih sangat sesuai untuk penyu. Kondisi wisatawan dengan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang tinggi. Sedangkan, kondisi sosial masyarakat lokal masih kurang baik. Hal ini dapat terlihat dari pendidikan dan pendapatan masyarakat yang rendah. Oleh karena itu, masih ada masyarakat yang mengambil telur penyu. Nilai ekonomi wisata di Pantai Pangumbahan sebesar Rp.238.450.784 /Ha/tahun. Status pengelolaan wisata di kawasan masih dalam keadaan kurang baik. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kelemahan dari pengelolaan, serta sarana dan prasarana yang ada di kawasan. Indeks Kesesuaian Wisata sangat sesuai dengan nilai kesesuaian 90,12%, untuk melihat seekor penyu bertelur maksimum wisatawan sebanyak 8 orang sesuai dengan Daya Dukung Kawasan. Adapun arahan pengelolaan diantaranya pemanfaatan wisata melihat peneluran penyu hendaknya mengikuti daya dukung kawasan; diperlukan perbaikan, perawatan dan penambahan fasilitas pendukung kegiatan wisata serta adanya arahan susunan kegiatan wisata penyu yang lebih terorganisir; pengelolaan yang lebih baik dan hukuman yang tegas bagi yang melanggar peraturan; penyuluhan bagi wisatawan mengenai hal yang dapat mengganggu penyu; dan penyuluhan bagi masyarakat sekitar dan diperlukan sumberdaya pengelola yang lebih baik.


(4)

SUKABUMI

ADE IRMA LISTIANI C24080048

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(5)

Judul : Kajian Pengembangan Ekowisata Daerah Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas Linnaeus 1758) di Pantai Pangumbahan, Sukabumi

Nama : Ade Irma Listiani

NIM : C24080048

Program studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.Ir. Fredinan Yulianda M.Sc Mirza Dikari Kusrini Ph.D

NIP. 19630731 198803 1 002 NIP. 19651114 199002 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr.Ir. Yusli Wardiatno M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002


(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Kajian Pengembangan Ekowisata Daerah Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas Linnaeus 1758) di Pantai Pangumbahan, Sukabumi . Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir Fredinan Yulianda M.Sc dan Mirza Dikari Kusrini Ph.D yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan, masukan dan arahan serta Orang Tua penulis yang telah memberikan dukungan moril dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, September 2012


(7)

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :

1. Allah SWT atas rahmatnya dan kasihnya selama ini. Kedua Orang tua saya, Bapak Moch. Muchlis Halim dan Ibu Dwi Endang Prasetyowati atas dukungan moril, materiil, kasih dan doa yang selalu diberikan selama penulis menjalani perkuliahan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Seluruh anggota keluarga saya, Mas Junaedy Prasetyanto, Mas Devianto Dwi Saputro, Mba Sovita dan Mba Dina Riah Kania serta kedua keponakan saya Sheyna Nadyta Zaleekah dan Aurelia Kiana Saputro.

2. Bapak Dr.Ir. Fredinan Yulianda, MSc dan Ibu Mirza Dikari Kusrini, Ph.D selaku pembimbing skripsi atas bimbingan dan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

3. Ibu Sri Harteti, Bapak Janawi, Bapak Arif, Bang Agung MSP 42, Bapak Empit, pengelola lainya yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan masyarakat Pangumbahan yang telah membantu dan memudahkan saya selama melakukan penelitian disana.

4. Sahabat sahabat saya Imanda Rizka Rosawulan, Winiasri Purwandari, Nurlia Febriyanti dan Lafiansyah Pradipta atas dukunganya selama ini dan telah bersedia mendengarkan keluh kesah selama pengerjaan skripsi.

5. Danang Dwiananto atas dukungan moril nya selama ini dan telah banyak membantu serta memberikan banyak pelajaran selama masa perkuliahan.

6. Teman teman terdekat saya di MSP Elfrida Megawati, Fawzan Bhakti Sofa, Rio Putra Ramadhan, Rina Shelvinawati, Nissa Izzani, Nugraha Bagoes Soegesty dan Rendra Danang Saputra atas kebersamaanya dalam suka maupun duka selama di MSP.

7. Abang Denny Wahyudi, Hendri, Aang, Ibad, Dina Silvia Dewi, Pionius dan teman teman MSP 45 lainya serta adik kelas MSP 46 dan 47 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas bantuanya dan dukungan selama ini.

8. Mba Widar, Mang Unus dan pegawai TU lainya serta pekerja lainya di MSP yang telah banyak membantu selama mengurus keperluan skripsi.


(8)

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 30 September 1990 dan merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan suami istri Moch. Muchlis Halim dan Dwi Endang Prasetyowati. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis yaitu TK Al- Irsyad (1995-1996), SDN Bojong Rawalumbu X Bekasi (1996-2002). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 8 Bekasi (2002-2005) dan SMAN 6 Bekasi (2005-2008). Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama perkuliahan penulis aktif sebagai anggota Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) di Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (Himasper) (2010-2011) dan menjadi panitia dalam Kongres Nasional X Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI). Selain itu penulis berkesempatan menjadi asisten luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan (2010-2011). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Kajian Pengembangan Ekowisata Daerah Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas Linnaeus 1758) di Pantai Pangumbahan, Sukabumi


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 5

1.4 Manfaat ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Kawasan Pantai... 6

2.2 Pariwisata dan Ekowisata ... 7

2.3 Ekowisata Penyu... 10

2.4 Penyu Hijau... 11

2.4.1 Klasifikasi dan morfologi penyu hijau... 11

2.4.2 Penyebaran ... 12

2.4.3 Pantai peneluran ... 12

2.4.4 Siklus hidup ... 13

2.4.5 Musim bertelur... 14

2.4.6 Ancaman terhadap penyu... 15

3. METODE PENELITIAN... 16

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Alat dan Bahan... 17

3.3 Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 17

3.4 Pengambilan Data dan Analisis Data... 18

3.4.1 Kondisi sumberdaya alam dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat serta wisatawan... 18

3.4.2 Nilai ekonomi wisata, kesesuaian wisata dan daya dukung potensi wisata... 19

3.4.2.1 Analisis nilai ekonomi wisata ... 19

3.4.2.2 Indeks kesesuaian wisata (IKW)... 20

3.4.2.3 Daya dukung kawasan (DDK) ... 21

3.4.3 Status pengelolaan habitat penyu ... 22

3.4.4 Analisis arahan perencanaan pengembangan ekowisata... 22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 24

4.1 Potensi Sumberdaya Alam dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Pantai Pangumbahan... 24

4.1.1 Potensi sumberdaya alam... 24

4.1.2 Karakateristik sosial ekonomi masyarakat dan wisatawan .. 28


(10)

4.3 Indeks Kesesuaian Wisata (IKW)... 36

4.4 Daya Dukung Kawasan (DDK) ... 37

4.5 Status Pengelolaan Habitat Penyu ... 39

4.5.1 Sumberdaya alam ... 40

4.5.2 Sumberdaya manusia ... 41

4.5.3 Regulasi/aturan ... 41

4.5.4 Promosi ... 42

4.5.5 Fasilitas dan sarana ... 42

4.5.5.1 Sarana dan prasarana kawasan... 42

4.5.5.2 Transportasi dan komunikasi ... 44

4.6 Arahan Perencanaan Pengembangan Ekowisata ... 44

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 49

5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51


(11)

Halaman

1. Musim bertelur penyu di Indonesia ... 14

2. Alat dan bahan penelitian... 17

3. Analisis, kelompok data, aspek-aspek, jenis data, sumber data, teknik pengambilan data ... 18

4. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata penyu kategori rekreasi ... 21

5. Skema analisis SWOT ... 23

6. Jumlah penyu yang bertelur ... 25

7. Jumlah wisatawan di daerah peneluran penyu Pantai Pangumbahan ... 34

8. Indeks kesesuaian wisata (IKW) daerah peneluran penyu hijau ... 36


(12)

Halaman

1. Diagram perumusan masalah... 4

2. Penyu Hijau (Chelonia mydas) ... 11

3. Peta Lokasi Penelitian (DKP Kab. Sukabumi 2011) ... 16

4. Pandanus tectorius... 24

5. (a) Kegiatan wisatawan melihat penyu bertelur; (b) Penyu bertelur; (c) Pemandangan matahari terbenam di Pantai Pangumbahan; (d) Wisatawan menikmati keindahan pantai; (e) Tukik menuju ke laut; (f) Wisatawan melepaskan tukik ke laut; (g) Hamparan padang lamun; (h) Pemandangan di muara sungai Cipanarikan ... 26

6. Komposisi wisatawan responden berdasarkan kegiatan yang dilakukan di Pantai Pangumbahan... 27

7. Kondisi sampah di Pantai Pangumbahan ... 28

8. Komposisi masyarakat responden berdasarkan usia... 29

9. Komposisi masyarakat responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 29

10. Komposisi masyarakat responden berdasarkan jenis pekerjaan ... 30

11. Komposisi masyarakat responden berdasarkan tingkat penghasilan per bulan... 31

12. Komposisi wisatawan responden berdasarkan usia ... 31

13. Komposisi wisatawan responden berdasarkan daerah asal... 32

14. Komposisi wisatawan responden berdasarkan tingkat pendidikan... 32

15. Komposisi wisatawan responden berdasarkan jenis pekerjaan ... 33

16. Komposisi wisatawan responden berdasarkan tingkat penghasila per bulan... 33

17. (a) Aula serbaguna; (b) Mess peneliti; (c) Ruang penetasan telur indoor; (d) Ruang penetasan telur outdoor; (e) Ruang audio visual; (f) Kolam sentuh ... 43


(13)

Halaman

1. Kuisioner pengelola dan instansi terkait ... 55

2. Kuisioner masyarakat sekitar Pantai Pangumbahan ... 57

3. Kuisioner wisatawan Pantai Pangumbahan ... 63

4. Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) ... 69

5. Daya Dukung Kawasan (DDK) ... 70

6. Nilai Ekonomi Wisata / Travel Cost Method (TCM) ... 70


(14)

1.1 Latar Belakang

Penyu hijau (Chelonia mydas) dibunuh lebih dari 100.000 ekor/tahun untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia, dan hampir 25.000 diantaranya ditangkap dari Bali (Waayers 2006). Penyu hijau termasuk salah satu hewan yang statusnya yang telah terancam punah, oleh karena itu perlu perlindungan khusus terhadap satwa yang bertujuan untuk melindungi dari kepunahan (Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999). Pantai Pangumbahan termasuk salah satu wilayah di daerah Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi yang memiliki potensi sumberdaya yang beragam mulai dari kepariwisataan, pertanian, kehutanan dan terutama sumberdaya kelautan dan perikanan salah satunya penyu hijau. Pangumbahan menjadi daerah peneluran penyu dan berpotensi ekowisata, namun masih terjadi penjualan penyu secara ilegal (WWF-Indonesia 2009). Sejak tahun 2008 di Pantai Pangumbahan telah dibangun Turtle centre yang bertujuan untuk mengelola kawasan peneluran penyu hijau namun masih belum berjalan secara optimal.

Permasalahan pengelolaan penyu di Pantai Pangumbahan antara lain adanya ancaman dan gangguan bagi habitat peneluran penyu dan lemahnya dalam sistem pengelolaan serta sumber daya manusia (SDM). Dengan demikian diperlukan adanya penelitian mengenai ekowisata dan kawasan peneluran penyu di Pantai Pangumbahan agar dapat memberikan suatu konsep pengelolaan yang baik terhadap penyu hijau agar tetap lestari dengan konsep ekowisata. Ekowisata peneluran penyu hijau diharapkan dapat menerapkan konsep ekowisata dengan mengurangi kerusakan kawasan habitat dan pengambilan telur penyu secara ilegal serta memberikan strategi pengelolaan untuk pengembangan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan sesuai dengan daya dukungnya. Ekowisata akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan pada khususnya dan meningkatkan pendapatan daerah Sukabumi pada umumnya.


(15)

1.2 Perumusan Masalah

Pantai Pangumbahan memiliki banyak potensi sumberdaya alam pesisir yang indah sehingga dapat dijadikan objek wisata yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung. Pantai Pangumbahan memiliki pemandangan alam yang indah, ombak yang cocok untuk kegiatan surfing, pasir putih yang menghampar luas, masih banyaknya vegetasi pantai dan keadaan perairan yang jernih, serta banyaknya penyu yang naik ke pantai untuk bertelur menjadi daya tarik yang baik untuk kegiatan wisata.

Pengelolaan lingkungan pantai saat ini belum memadai, walaupun telah dibangun turtle centre, kurangnya SDM dan sistem yang masih lemah menjadi kendala utama dalam mengelola kawasan tersebut. Jumlah SDM yang ada disana masih kurang, selain itu memiliki pendidikan yang relatif rendah dan pengetahuan mengenai penyu yang masih kurang. Oleh karena itu sistem yang berjalan disana masih kurang optimal, selain itu hukuman bagi pengambil telur penyu secara ilegal masih kurang tegas.

Pengambilan telur penyu secara ilegal masih terjadi oleh masyarakat sekitar kawasan. Pengambilan tersebut didasari oleh rendahnya pendapatan dan pendidikan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat kurang sadar akan pentingnya kelestarian penyu. Semakin banyaknya bangunan yang berdiri di pinggir pantai dengan jarak yang semakin dekat dengan pantai lambat laun akan menyebabkan penyu tidak lagi bertelur disana, hal ini terjadi karena kurang tegasnya aturan mengenai mendirikan bangunan di pinggir pantai. Kerusakan vegetasi pantai oleh masyarakat lama kelamaan akan menyebabkan kerusakan habitat penyu, hal ini akan berdampak terhadap jumlah kenaikan penyu yang bertelur.

Kegiatan ekowisata yang prinsipnya merupakan kegiatan rekreasi di alam bebas atau terbuka, yang didalamnya terdapat juga kegiatan konservasi yang diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi beberapa permasalahan seperti ancaman berupa gangguan habitat peneluran penyu ataupun pengambilan telur-telur penyu secara ilegal. Hal ini juga didukung oleh peraturan daerah mengenai konservasi penyu hijau telah dikeluarkan oleh Kabupaten Sukabumi berupa perda


(16)

nomor 5 tahun 2009 tentang pelestarian penyu di Kabupaten Sukabumi. Pada intinya Perda tersebut menegaskan tidak ada pemanfaatan langsung dari penyu dan bagian-bagiannya serta perlindungan habitatnya, adanya peluang pengembangan ekowisata terbatas serta untuk kepentingan penelitian penyu hijau itu sendiri. Permasalahan yang ada di Pantai Pangumbahan perlu dikaji lebih dalam agar dapat memberikan konsep pengelolaan yang lebih baik. Kegiatan ekowisata diharapkan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat yang berasal dari wisatawan, sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki agar kelestarian penyu hijau tetap terjaga. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis kesesuaian lahan dan mengetahui daya dukung kawasan tersebut untuk dilakukanya kegiatan ekowisata (Gambar 1).


(17)

Gambar 1. Diagram perumusan masalah Kawasan Pantai

Pangumbahan

Potensi Sumberdaya Permasalahan

Wisata Peneluran Penyu Kurangnya SDM

Sistem yang lemah Penangkapan telur penyu

secara ilegal

Penggunaan lahan untuk bangunan di areal sekitar habitat penyu

Perusakan vegetasi

Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan

Analisis Nilai Ekonomi Wisata

Pendekatan Sosial Ekonomi Pendekatan Ekologi

Analisis SWOT

Strategi Pengelolaan untuk Pengembangan Ekowisata Penyu di Pantai Pangumbahan


(18)

1.3 Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan yang terdiri dari:

1. Mengidentifikasi kondisi sumberdaya alam dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat serta wisatawan

2. Mengkaji kesesuaian wisata dan daya dukung potensi wisata peneluran penyu.

3. Mengidentifikasi status pengelolaan habitat penyu.

4. Merumuskan konsep pengelolaan ekowisata dan rekreasi penyu yang sesuai agar dapat melindungi, memanfaatkan potensi penyu.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini adalah dapat memberikan referensi dan masukan bagi perencanaan dan pengambilan kebijakan dalam pengelolaan penyu hijau yang ada di daerah Pantai Pangumbahan agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakat serta tetap terjaga kelestarianya.


(19)

2.1 Kawasan Pantai

Pantai merupakan suatu kawasan pesisir beserta perairanya dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut. Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan (kontak) antara daratan dengan air laut. Posisisnya bersifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak antara garis surut terendah dan pasang tertinggi (Bengen 2001).

Menurut Dahuri (2003a) pantai di Indonesia secara morfologi dapat dibagi dalam beberapa bentuk, yaitu:

1. Pantai terjal berbatu

Pantai jenis seperti ini biasanya terdapat di kawasan tektonis aktif yang tidak pernah stabil karena proses geologi. Adanya vegetasi penutup ditentukan oleh 3 faktor, yaitu tipe batuan, tingkat curah hujan, dan cuaca.

2. Pantai landai dan datar

Pantai jenis seperti ini biasanya terdapat di wilayah yang sudah stabil sejak lama karena tidak terjadi pergerakan tanah secara vertikal. Pantai di kawasan seperti ini biasanya ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang padat dan hutan lahan basah lainya.

3. Pantai dengan bukit pasir

Pantai jenis seperti ini biasanya terbentuk akibat transportasi sedimen clastic secara horizontal. Karena adanya gelombang besar dan arus yang menyusur pantai (long shore current) yang dapat menyuplai sedimen yang berasal dari daerah sekitarnya. Sedimen yang telah mengalami pengeringan kemudian terbawa oleh angin yang kuat sehingga terakumulasi di tebing membentuk bukit pasir yang tinggi. Perubahanya berlangsung cepat dan terjadi di daerah yang kering, sehingga bukit pasir biasanya miskin akan tanaman penutup. 4. Pantai beralur

Pantai jenis seperti ini biasanya pembentukanya ditentukan oleh faktor gelombang daripada faktor angin. Proses penutupan yang berlangsung cepat


(20)

oleh vegetasi menyebabkan zona supratidal tidak terakumulasi oleh sedimen yang berasal dari erosi angin.

5. Pantai lurus di dataran pantai yang landai

Pantai jenis seperti ini biasanya ditutupi oleh sedimen lumpur hingga pasir kasar. Pantai ini merupakan fase awal untuk berkembangnya pantai yang bercelah dan bukit pasir apabila terjadi perubahan suplai sedimen dan cuaca (angin dan kekeringan).

6. Pantai berbatu

Pantai jenis seperti ini biasanya dicirikan oleh adanya belahan batuan cadas. Komunitas organisme pada pantai berbatu hidup di permukaan. Bila dibandingkan dengan habitat pantai lainya, pantai berbatu memiliki kepadatan mikroorganisme yang tinggi, khususnya di habitat intertidal di daerah angin (temperate) dan subtropik.

7. Pantai yang terbentuk karena adanya erosi

Pantai jenis seperti ini biasanya sedimenya yang terangkut oleh arus dan aliran sungai akan mengendap di daerah pantai. Pantai yang terbentuk dari endapan semacam ini dapat mengalami perubahan dari musim ke musim, baik secara alamiah maupun akibat kegiatan manusia yang cenderung melakukan perubahan terhadap bentang alam.

2.2 Pariwisata dan Ekowisata

Wisata adalah perjalanan dimana pelaku kegiatan akan kembali ke tempat awalnya, perjalanan sirkuler yang dilakukan untuk tujuan bisnis, senang-senang atau pendidikan, pada berbagai tempat dikunjungi dan biasanya menggunakan jadwal perjalanan yang terencana. Pariwisata adalah keseluruhan elemen-elemen terkait (wisatawan, daerah tujuan wisata, perjalanan, industri dan lain-lain) yang merupakan akibat dari perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata, sepanjang perjalanan tersebut tidak permanen (Saruni 2010).

Menurut Saruni (2010), untuk membedakan kegiatan perjalanan pada umumnya, wisata mempunyai karakter tersendiri, yaitu:


(21)

1. Bersifat sementara, bahwa dalam jangka waktu pendek pelaku wisata akan kembali ke tempat asalnya.

2. Melibatkan beberapa komponen wisata, misalnya transportasi, akomodasi, restoran, obyek wisata, toko cinderamata dan lain-lain.

3. Umumnya dilakukan dengan mengunjungi objek dan atraksi wisata daerah atau bahkan negara secara berkesinambungan.

4. Memiliki tujuan tertentu yang intinya untuk mendapatkan kesenangan. 5. Tidak untuk mencari nafkah di tempat tujuan, bahkan keberadaanya dapat

memberikan kontribusi pendapatan bagi masyarakat atau daerah yang dikunjungi, karena uang yang dibelanjakan dibawa dari tempat asal.

Menurut Mackinnon dkk (1990), faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung adalah:

1. Letaknya dekat, cukup dekat atau jauh terhadap bandar udara internasional atau pusat wisata.

2. Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit atau berbahaya.

3. Kawasan tersebut memiliki atraksi menonjol, misalnya satwa liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu.

4. Kemudahan untuk melihat atraksi atau satwa terjamin. 5. Memiliki beberapa keistimewaan berbeda.

6. Memiliki tambahan budaya yang menarik. 7. Unik dalam penampilan.

8. Mempunyai obyek rekreasi pantai, danau, air terjun, kolam renang atau tempat rekreasi lainya.

9. Cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga dapat menjadi bagian kegiatan wisatawan.

10. Sekitar kawasan itu memiliki pemandangan yang indah. 11. Keadaan makanan dan akomodasi tersedia.

Ekowisata merupakan perjalanan yang bertanggung jawab ke area yang masih alami dengan tetap menjaga kelestarianya dan memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal (Dalem 2000). Ekowisata bahari merupakan ekowisata yang


(22)

memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut. Kegiatan wisata bahari dapat dilakukan pada bentang laut maupun bentang pantai.

Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan untuk menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati, menjamin kelestarian, dan pemanfaatan spesies ekosistemnya serta memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, suatu konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi (Yulianda 2007):

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

6. Menjaga keharmonisan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

8. Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat).

Mengingat bahwa keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama bagi ekowisata. Bila suatu wilayah pesisir dibangun untuk tempat rekreasi, biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainya juga berkembang dengan pesat (Dahuri dkk 1996). Sumberdaya hayati baik secara langsung maupun tidak langsung yang terdapat dalam suatu wilayah pesisir memiliki manfaat yang besar sehingga perlu dilakukan suatu upaya konservasi dalam pengelolaan dan pengembangan yang


(23)

diarahkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang seluruh nilai atau nilai yang sebenarnya (the true value) dari manfaat sumberdaya tersebut (Cater 1993). Setiap kebijakan selayaknya diarahkan pada penggunaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan, mencegah tindakan yang merusak melalui penyediaan alternatif mata pencaharian yang bersifat lestari, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal dan pendapatan daerah melalui upaya konservasi, serta melestarikan sumberdaya laut melalui partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pelestarian (Dahuri 2003a).

2.3 Ekowisata Penyu

Ekowisata penyu telah dipraktikkan di beberapa negara, diantaranya Taman Laut Sabah di Malaysia, Fiji di Pasifik Selatan, Taman nasional Tortugero dan Rio Oro di Costa Rica, Bahia Magdalena di Mexico, Zakynthos di Yunani dan Bali di Indonesia semua negara ini dalam tahap pengembangan wisata penyu sebagai salah satu strategi bagi konservasi (Waayers 2006). Di Australia, ekowisata penyu ini telah dikembangkan. Pada beberapa pantai di Australia hampir sebanyak enam jenis penyu datang untuk bertelur, kebanyakan mereka bertelur selama musim panas biasanya terjadi di bulan Oktober hingga Maret yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan. Saat banyak penyu bertelur, akan banyak mendatangkan wisatawan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, yang kebanyakan berasal dari Eropa dan Amerika Utara.

Ekowisata penyu akan dapat meningkatkan pendapatan, memberikan lapangan pekerjaan baru dan disaat bersamaan dapat melindungi penyu dari kepunahan. Pengalaman dari melihat peneluran penyu adalah mendapatkan edukasi mengenai penyu sehingga wisatawan dapat mengetahui ancaman dan gangguan bagi penyu yang diharapkan dapat mencegah penangkapan dan pemanfaatan penyu di masa yang akan datang. Bahkan di Australia telah dibangun sebuah museum yang ditujukan bagi wisatawan agar lebih dapat mengenal penyu lebih dekat dengan mengetahui biologi penyu, kehidupan penyu di laut, penelitian terbaru tentang penyu, serta cerita mengenai bagaimana penyu memijah dan kemudian bertelur,


(24)

selain itu mereka juga dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan untuk dapat membantu penyu agar keberadaanya tetap lestari (Wilson dan Tisdell 2000).

2.4 Penyu Hijau

2.4.1 Klasifikasi dan morfologi penyu hijau

Klasifikasi penyu hijau menurut Hirth (1971) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Reptilia

Ordo : Testudinata

Famili : Cheloniidae

Genus :Chelonia

Spesies :Chelonia mydas

Gambar 2. Penyu Hijau (Chelonia mydas)

Penyu hijau (Chelonia mydas) mempunyai ciri-ciri kerangka ditutupi oleh sisik zat tanduk, sebuah kuku pada tiap ekstrimitas depan, lima buah sisik vertebral, sebelas pasang sisik marginal, empat pasang sisik costal pada karapas, sepasang


(25)

sisik prefrontal yang berbentuk lonjong, sisik pada karapas tidak tumpang tindih, dan memiliki empat buah sisik post-orbital, warna karapas coklat cerah sampai coklat tua dengan bintik-biktik berwarna abu-abu gelap. Penyu hijau dapat diidentifikasi berdasarkan jejak dan sarang di pantai peneluran. Lebar jejak penyu hijau berkisar antara 100-130 cm. Jejak ekstrimitas depan, dalam dan simetris. Terdapat pula bekas seretan ekor yang membentuk garis lurus atau garis terputus-putus. Penyu hijau membuat sarang dengan lubang yang dalam (Pritchard dan Mortimer 1999).

2.4.2 Penyebaran

Daerah penyebaran penyu hijau di Indonesia meliputi Bengkulu (Pulau Berhala dan Pulau Penyu), Jawa Barat dan Banten (Pangumbahan, Citireum, Cibulakan, Sindang Kerta, Ujung Kulon), Jawa Timur (Pulau Barung, Sukamade), Sumbawa (Al-Ketapang), Kalimantan Timur (Derawan) dan Maluku (Kepulauan Sanana) (Nuitja 1992).

2.4.3 Pantai peneluran

Penyu hijau secara teratur melakukan migrasi antara daerah yang menjadi sumber mencari makan dan daerah penelurannya. Penyu hijau sangat selektif dalam memilih pantai peneluran. Pantai peneluran penyu mempunyai ciri khusus yaitu mempunyai akses ke laut dan cukup tinggi dari permukaan laut, untuk mencegah terendamnya telur saat pasang tertinggi. Pantai peneluran yang panjangnya 3 km, kelerengan sekitar 30o dengan lebar antara 30 hingga 60 m merupakan daerah yang efektif bagi penyu untuk bertelur (Nuitja 1983).

Faktor abiotik lain yang mempengaruhi pemilihan lokasi peneluran yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah kelembutan pasir, ketinggian pantai, geomorfologi dan dimensi pantai, bentuk batimetrik pantai, tekstur pasir pantai, dan cahaya lampu pada lokasi pantai (Yusri 2003). Menurut penelitian di beberapa pantai peneluran, penyu cenderung memilih pantai yang landai seperti Pantai Blambangan dengan kelerengan 14o dan Pantai Pangumbahan dengan kelerengan antara 3ohingga 21,45o(Susilowati 2002).


(26)

Komposisi pasir juga mempengaruhi preferensi peneluran penyu. Penyu biasanya bertelur pada kawasan pantai dengan komposisi pasir didominasi oleh pasir kasar (diameter partikel 500-1000 µ) dan pasir halus-sedang (diameter partikel < 500 µ). Kondisi tersebut juga ditemui di Pantai Pangumbahan. Tempat yang diingini penyu untuk bertelur yaitu memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Susunan tekstur daerah peneluran berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya adalah debu maupun liat (Nuitja 1992).

Penyu hijau mempunyai kecendrungan memilih kawasan pantai dengan latar belakang hutan pantai yang lebat, dan jenis Pandanus tectorius memeberikan naluri kepada penyu untuk bertelur. Vegetasi yang ada di Pantai Pangumbahan diantaranya Pandanus tectorius, Scavevola tacada, Calophyllum inophyllum, Ipomoea pes-caprae,Ardisa humilisdanCalotropis gigantea(Susilowati 2002).

Menurut Nuitja pada tahun 1992 terdapat susunan vegetasi pantai pada pantai peneluran penyu di Sukamade sebagai berikut:

1. Pada bagian depan, ditumbuhi tumbuhan pioner seperti katang-katang (Ipomoea pes-caprae), rumput lari-lari (Spinifex littoreus), atau pandan (Pandanus tectorius).

2. Lapisan berikutnya ditumbuhi oleh waru (Hibiscus tiliaceus), Gynura procumbens,dll.

3. Setelah itu pada lapisan berikutnya ditumbuhi oleh Cycas rumphii, Hernandia peltata, danTerminalia catappa.

4. Zonasi terin dari formasi hutan pantai yaitu Callophylum inophylum, Canavalia ensiformis,Cynodon dactylon,dll.

2.4.4 Siklus hidup

Penyu hijau mencari makan di perairan yang ditumbuhi oleh oleh lamun atau alga. Periode musim kawin berlangsung setelah penyu dewasa dengan cara migrasi ke daerah sekitar pantai peneluran. Seekor penyu jantan melakukan kopulasi dengan beberapa ekor betina, setelah melakukan kopulasi penyu jantan akan bermigrasi ke feeding ground. Penyu betina melakukan aktivitas tidak jauh dari pantai peneluran.


(27)

Beberapa minggu setelah kopulasi, penyu betina menuju daratan untuk bertelur. Banyaknya telur rata-rata 100 butir, kemudian ditimbun pasir dan dibiarkan oleh induknya. Setelah bertelur, penyu betina akan kembali ke laut (Nuitja 1992).

Jika telur menetas, tukik akan merespon terhadap pengaruh sinar matahari dan gravitasi bumi. Setelah beberapa hari, baru tukik akan keluar dari sarang dengan menggali pasir sarang. Kemudian, tukik akan menuju ke laut yang disebut dengan masa hilang selama satu tahun (Nuitja 1992).

2.4.5 Musim bertelur

Musim bertelur penyu di berbagai tempat sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungan setempat. Musim bertelur penyu berlangsung pada waktu-waktu tertentu sekitar 2-5 bulan dalam setahun, frekuensi penyu yang bertelur di pantai peneluran meningkat berturut-turut menuju maksimum, kemudian menurun lagi. Waktu-waktu tersebut biasanya dikenal dengan musim bertelur (Nuitja 1992).

Musim bertelur penyu di setiap pantai peneluran berbeda-beda yang diakibatkan dari pengaruh faktor fisik, oseanografis, dan geografis masing-masing pantai peneluran (Tabel 1) (Nuitja 1992).

Tabel 1. Musim bertelur penyu di Indonesia

Lokasi Musim Bertelur (bulan) Puncak (bulan) Sumatera

Berhala 1-12 11-1

Pulau Penyu 1-12 6-7

Bengkulu 1-12 6-7

Jawa Barat

Pangumbahan 1-12 11-1

Citirem 1-12 11-1

Cibulakan 1-12 11-1

Sindangkerta 9-1 10-11

Ujungkulon 1-12 10-11

Jawa Timur

Pulau Barung 1-12 12-1

Sukamade 1-12 11-2

Sumbawa

Ai-Ketapang 4-9 5

Kalimantan Timur

Derawan 1-12 6-7

Maluku


(28)

2.4.6 Ancaman terhadap penyu

Pantai peneluran juga dihuni oleh berbagai satwa yang menjadi predator tukik dan telur penyu sehingga mengancam akan kelestarian penyu hingga dewasa. Hewan yang dapat menjadi predator penyu yaitu babi, biawak, tikus, semut, burung elang, dan kepiting hantu (Yusri 2003). Selain itu, tertangkapnya penyu pada alat tangkap nelayan, penangkapan telur penyu secara ilegal, banyaknya sampah plastik yang ada di pantai, pembangunan di daerah pantai dan polusi laut juga merupakan ancaman bagi penyu (Anonim 2011a). Jarak bangunan yang tidak menggangu penyu adalah berjarak lebih dari 1 km (Salmon 2006). Menurut Salmon 2003, cahaya lampu atau cahaya buatan dapat membuat penyu tidak jadi bertelur. Menurut Nuitja 1992 kebiasaan penyu bertelur, sangat tergantung dari situasi malam hari, suasana yang tenang, tidak ada petir, ombak laut tenang dan tidak adanya badai atau angin kencang. Kepercayaan masyarakat akan mitos, penyu dapat dijadikan sebagai ramuan obat kecantikan di beberapa daerah seperti Bali dan Cina telah menurunkan secara drastis populasi penyu yang ada disana. Di Australia juga terjadi masalah serupa, bagi suku asli Australia, suku Aborigin dan Torres, penyu masih dikonsumsi ketika ada acara adat, karena dipercaya dapat meningkatkan seksualitas serta membuat kulit menjadi lebih halus (Wilson dan Tisdell 2000).


(29)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pantai Pangumbahan yang secara administratif berada di daerah Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi dengan panjang pantai 2,3 km (Gambar 3). Pantai Pangumbahan berjarak 255 km dari kota Jakarta yang ditempuh dengan 9 jam perjalanan, 195 km dari kota Bogor yang ditempuh dengan 7 jam perjalanan, 150 km dari kota Sukabumi yang ditempuh dengan 4 jam perjalanan. Sebelah utara Pantai Pangumbahan berbatasan dengan cagar alam (BKSDA Cikepuh), dan desa Gunung Batu, sebelah timur desa Gunung Batu dan desa Ujung Genteng, sebelah selatan Samudra Indonesia. Penelitian ini dilakukan dari 3 Maret hingga 15 April 2012.


(30)

3.2 Alat dan Bahan

Alat alat yang digunakkan dalam penelitian ini adalah alat untuk mengukur aspek aspek yang ada di parameter fisik, keperluan dokumentasi dalam penelitian, pengambilan data sosial masyarakat dan wisatawan serta bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan, bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bahan yang digunakan untuk herbarium vegetasi sebelum diidentifikasi di Laboratorium (Tabel 2).

Tabel 2. Alat dan bahan penelitian

Parameter Alat Bahan Spesifikasi

Stasiun penelitian GPS (Global Positioning System)

Garmin GPS map 76CS x

Intensitas cahaya LUX meter Lutron LM 8000

Kemiringan pantai Clinometer Suunto PM5

Dokumentasi Lebar pantai

Kamera digital, papan jalan dan alat tulis

Meteran

Kamera Cannon Power shoot A2000 IS Meteran 500 meter Data wisatawan dan

masyarakat

Formulir kuisioner Pencatatan dan

pengumpulan data Herbarium vegetasi

Data sheet, bahan pustaka

Alkohol Konsentrasi 70%

3.3 Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima kelompok dengan aspek-aspek yang diteliti diantaranya; biologi, fisik, masyarakat, pengelola dan wisatawan. Pengambilan kelima kelompok data ini menggunakan data primer dan sekunder (Tabel 3). Data primer yang dikumpulkan meliputi keadaan umum lokasi, isu-isu yang berkembang, kebijakan terhadap kawasan, persepsi, partisipasi dan harapan terhadap kawasan. Pengambilan data sekunder berasal dari studi pustaka, buku-buku laporan hasil penelitian sebelumnya, dan buku-buku yang terkait dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan meliputi sumberdaya alam, keadaan umum kawasan Pantai Pangumbahan dan data dari instansi terkait.


(31)

Tabel 3. Analisis, kelompok data, aspek-aspek, jenis data, sumber data, teknik pengambilan data

No Analisis Kelompok Jenis Data Aspek-aspek Jenis Data Sumber Data Teknik Pengambilan Data

1 IKW Biologi Vegetasi (jenis) P & S Lapangan

dan Laporan

Observasi lapang dan Studi pustaka Satwa (jenis) P & S Lapangan

dan Laporan

Observasi lapang dan Studi pustaka

2 IKW, Status pengelolaan Fisik Morfometrik pantai Pasang surut P S Lapangan Laporan Observasi lapang Studi pustaka Kemiringan pantai

P Lapangan Observasi lapang

Jenis butir pasir P Lapangan Observasi lapang

Tipe pantai P Lapangan Observasi lapang

Sarana dan prasarana

P & S Lapangan dan laporan

Observasi lapang dan Studi pustaka

3 SWOT,

Kondisi sosial

Masyarakat Identitas P Lapangan Observasi lapang

Presepsi mengenai kawasan

P Lapangan Observasi lapang

Partisipasi P Lapangan Observasi lapang

Harapan P Lapangan Observasi lapang

Isu-isu yang berkembang

P Lapangan Observasi lapang

4 TCM,

Kondisi sosial, SWOT

Wisatawan Jumlah P Lapangan Observasi lapang

Identitas P Lapangan Observasi lapang

Motivasi P Lapangan Observasi lapang

Aktivitas P Lapangan Observasi lapang

Harapan P Lapangan Observasi lapang

Isu-isu yang berkembang

P Lapangan Observasi lapang

5 SWOT Pengelola Isu-isu yang

berkembang

P Lapangan Observasi lapang

Keterangan :

P : Data primer

S : Data sekunder

SWOT : Stregth weakness opportunities threat TCM : Travel cost method

IKW : Indeks kesesuaian wisata

3.4 Pengambilan Data dan Analisis Data

3.4.1 Kondisi sumberdaya alam dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat serta wisatawan

Pengukuran data biologi dan fisik dilakukan secara langsung. Data biologi seperti jenis vegetasi diambil langsung dari lapangan kemudian dilakukan herbarium menggunakan alkohol dengan konsentrasi 70% yang selanjutnya dibawa ke


(32)

laboratorium untuk mengidentifikasinya, untuk data pasir pantai setelah diambil dari lapangan kemudian dilakukan analisis di laboraturium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Data fisik seperti kemiringan pantai diukur menggunakan alat clinometer, panjang dan lebar pantai menggunakan meteran, penentuan titik sample menggunakan alat GPS serta pengukuran intensitas cahaya menggunakan alat LUX meter.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat ditelaah melalui wawancara kepada masyarakat dan wisatawan untuk melihat karakteristik sosial serta persepsi terhadap konservasi serta wisata penyu. Penetuan responden masyarakat dan wisatawan berdasarkanpurposive samplingyaitu memilih penduduk dewasa atau usia diatas 17 tahun yang berdomisili di sekitar lokasi penelitian. Jumlah masyarakat yang diwawancara adalah 30 orang. Sedangkan penentuan responden wisatawan dilakukan dengan cara sama yaitu purposive sampling. Responden dipilih dengan pertimbangan usia sudah diatas 17 tahun dengan alasan sudah dapat mempunyai keputusan wisata sendiri. Jumlah wisatawan yang diwawancara adalah 35 orang.

Analisis kondisi sumberdaya alam kawasan dilakukan dari hasil pengamatan peneliti selama penelitian berlangsung dan hasil kuisioner dari responden masyarakat lokal dan wisatawan. Analisis sosial kawasan dilakukan dari hasil kuisioner responden masyarakat lokal dan wisatawan.

3.4.2 Nilai ekonomi wisata, kesesuaian wisata dan daya dukung potensi wisata 3.4.2.1 Analisis nilai ekonomi wisata

Metode biaya perjalanan (Travel Cost Method) TCM yaitu metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi (recreational value) dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar (non market good or service). Cara ini mengasumsikan bahwa pengunjung dalam berwisata ke suatu tempat akan menanggung biaya pengeluaran seluruhnya berasosiasi dengan jarak yang ditempuh dan lamanya waktu yang digunakkan dalam berwisata (Iamtrakul dkk 2005).

Tujuan dari dilakukkanya perhitungan TCM ini untuk mengetahui nilai ekonomi suatu kawasan wisata. Dalam menganalisis TCM ini dilakukan dengan


(33)

pendekatan Individual Travel Cost Analysis yaitu untuk memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata, dalam hal ini pengunjung dikelompokkan berdasarkan pengeluaran (Iamtrakul dkk 2005). Perhitungan TCM atau nilai ekonomi wisata dalam bentuk rumus adalah sebagai berikut :

Keterangan :

TC rata-rata : Jumlah rata-rata total biaya yang dikeluarkan individu (Rp)

N : Jumlah kunjungan per tahun

L : Luas area (Ha)

3.4.2.2 Indeks kesesuaian wisata (IKW)

Analisis kesesuaian wilayah sebagai kawasan wisata peneluran penyu adalah analisis untuk mengetahui kecocokan dan kemampuan kawasan menyangga segala aktivitas wisata. Seberapapun besarnya daya tarik dari suatu ekowisata tetap memiliki keterbatasan ekologis sehingga jumlah dan frekuensi wisatawan dalam setiap kunjungan harus dibatasi sesuai dengan kemampuan ekologisnya. Sehingga analisis ini diperlukan agar pengembangan kawasan ekowisata agar tetap terkendali, dan dapat memperkirakan dampak lingkungan sehingga tujuan wisata menjadi selaras. Indeks kesesuaian wisata untuk penyu dilihat dari beberapa aspek diantaranya kemiringan pantai, jenis partikel, jenis vegetasi tumbuhan, lebar pantai peneluran, pasang surut air laut, cahaya lampu, dan jarak bangunan.

Perhitungan IKW dalam bentuk rumus adalah sebagai berikut (Yulianda 2007) :

Keterangan :

IKW : Indeks Kesesuaian Wisata (%) Ni : Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)


(34)

Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata penyu kategori rekreasi

Parameter Satuan Bobot Kategori Skor

Kemiringan Pantai (o) 5 S1 10 30 3

S2 3 9 ; 30 35 2

S3 <3 ; >35 1

Ukuran Partikel (µ) 5 S1 < 500 3

S2 500 1000 2

S3 >1000 1

Vegetasi Tumbuhan 5 S1 Pandanus tectorius 3

S2 Spinifex littoreus, Vigna marina 2 S3 Ipomea pescaprae, Gynura procumbens 1

Lebar Pantai (m) 5 S1 30 60 3

S2 >60 2

S3 <30 1

Cahaya Lampu (lux) 3 S1 0 0,25 3

S2 0.26 1 2

S3 >1 1

Jarak Bangunan (km) 3 S1 >1 3

S2 0,5 1 2

S3 <0,5 1

Pasang Surut (cm) 1 S1 30 80 3

S2 80 100 2

S3 >100 1

Keterangan : N maks : 81

S1 : Sangat sesuai (IKW 75 100%) S2 : Sesuai (IKW 50-<75%)

S3 : Tidak sesuai (IKW<50 %)

3.4.2.3 Daya dukung kawasan (DDK)

Analisis daya dukung kawasan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu kawasan peneluran penyu dapat menerima sejumlah wisata. Daya dukung dapat diartikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Perhitungan DDK dalam bentuk rumus adalah sebagai berikut (Yulianda, 2007) :


(35)

Keterangan :

DDK : Daya Dukung Kawasan

K : Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp : Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt : Unit area untuk kategori tertentu

Wt : Waktu yang disediakan oleh pengelola Wp : Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung

3.4.3 Status pengelolaan habitat penyu

Analisis status pengelolaan habitat penyu dilakukan dari hasil pengamatan peneliti selama penelitian dan hasil kuisioner dari masyarakat lokal dan wisatawan. Responden masyarakat dan wisatawan sama dengan responden pada butir 3.3. Status ini merupakan nilai kualitatif yang ditentukan berdasarkan kekuatan dan kelemahan (ancaman dan gangguan) yang ada di kawasan peneluran penyu. Kekuatan dan kelemahan yang ada dalam kawasan ini selanjutnya akan menjadi dasar dalam analisis arahan perencanaan pengembangan ekowisata.

3.4.4 Analisis arahan perencanaan pengembangan ekowisata

Arahan perencanaan pengembangan ekowisata dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini bertujuan untuk membantu menentukan kebijakan yang diperlukan dalam rencana pengembangan potensi wisata di daerah peisisir. Analisa SWOT merupakan instrumen perencanaan strategis yang klasik dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan eksternal dan ancaman untuk memformulasikan strategi suatu kegiatan (Start dan Hovland 2004). Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut :

1. Identifikasi Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/Ancaman

Pada tahap ini dilakukan penelaahan kondisi faktual di lapangan dan kecenderungan yang mungkin terjadi untuk menidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman pengelolaan wisata peneluran penyu di Pantai Pangumbahan sebagai kawasan ekowisata.


(36)

Pada tahap ini dilakukan analisis hubungan keterkaitan untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO, WT). Untuk mendapatkan prioritas kebijakan maka dilakukan pemberian skor dan bobot point faktor berdasarkan tingkat kepentingan. Skor yang diberikan berkisar antara 1-5, nilai tersebut mewakili tingkat kepentingan, yaitu nilai 1 untuk yang tidak penting hingga nilai 5 untuk yang terpenting. Sedangkan perhitungan bobot, masing-masing point faktor dilaksanakan secara saling ketergantungan. Artinya, penilaian terhadap satu point faktor adalah dengan membandingkan tingkat kepentingannya dengan point faktor lainnya.

Selanjutnya unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitanya untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO dan WT). Kemudian Skor dikalikan dengan bobot setiap alternatif kebijakan tersebut dijumlahkan dengan ranking tertinggi merupakan alternatif kebijakan yang diprioritaskan untuk dilakukan.

Alternatif kebijakan pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari kekuatan kawasan untuk mendapatkan peluang (SO), kebijakan berdasarkan penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST); pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT) (Tabel 5).

Tabel 5. Skema analisis SWOT

Internal -External Strength (S) Weakness (W)

Opportunities (O) SO WO

Threat (T) ST WT

Alternatif strategi yang diperoleh dari matrik tersebut adalah :

Strategi SO : Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mendapatkan peluang yang sudah ada.

Strategi ST : Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. Strategi WO : Berusaha mendapatkan keuntungan dan kesempatan yang ada

dengan mengatasi kelemahan yang ada.


(37)

4.1 Potensi Sumberdaya Alam dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Pantai Pangumbahan

4.1.1 Potensi sumberdaya alam

Pantai Pangumbahan memiliki potensi sumberdaya yang masih dalam keadaan baik, hal ini dapat terlihat dari kondisi habitat dan biota yang ada di kawasan yang masih dalam kondisi baik. Vegetasi dominan yang ada di Pantai Pangumbahan adalah pandan laut (Pandanus tectorius) (Gambar 4), selain itu terdapat juga Ipomoea pes-caprae,Terminalia catappa, Ardisia humilis,Calopyllum inophyllum, Crinum asiaticum, Cyperus peddinculatus. Menutut Nuitja (1992) banyak terdapatnya pandan laut akan meningkatkan naluriah alami penyu untuk bertelur. Pantai yang masih bersih, asri dan tidak terlalu banyak berubah dari masa sebelumnya membuat penyu tetap bertelur di Pantai Pangumbahan. Berbeda dengan Pantai Cibuaya dan Pantai Ujung Genteng yang menurut responden masyarakat sekitar, dahulu merupakan tempat bertelurnya penyu tetapi sekarang telah berubah dengan banyaknya bangunan di pinggir pantai dan cahaya buatan yang membuat hilangnya tempat penyu untuk bertelur. Semua kondisi tersebut membuat penyu tetap bertelur di Pantai Pangumbahan.


(38)

Kondisi sumberdaya alam di Pantai Pangumbahan masih dapat dikatakan dalam kondisi yang baik. Kondisi ini ditunjukkan dengan 100% jumlah responden masyarakat yang lokal yang mengatakan bahwa keadaan penyu, kondisi vegetasi sekitar pantai dan keindahan pantai masih dalam kondisi baik dan telah tersedianya sarana pendukung kegiatan wisata seperti villa dan kios kios makanan di sekitar kawasan. Kondisi ini dapat dijadikan modal awal dalam pengembangan potensi sumberdaya yang ada di Pantai Pangumbahan. Kondisi seperti ini harus tetap dijaga kelestarianya agar tetap dalam kondisi baik.

Sumberdaya yang menjadi primadona dari pantai pangumbahan sehingga menjadi daya tarik utama bagi wisatawan adalah adanya penyu hijau yang naik untuk bertelur dan pelepasan tukik pada sore hari dimana wisatawan dapat ikut berpartisipasi dalam melepasnya ke pantai. Penyu yang naik ke Pantai Pangumbahan masih dalam jumlah yang banyak dengan rata rata penyu yang naik pada musim bertelur sebanyak 5 hingga 7 ekor, sedangkan pada saat tidak musim bertelur rata-rata penyu yang naik untuk bertelelur berjumlah 2 ekor (Tabel 6).

Tabel 6. Jumlah penyu yang bertelur (DKP Kab. Sukabumi 2011)

Tahun Jumlah

2009 1.695 ekor

2010 1.733 ekor

2011 1.507 ekor

Selain itu, Pantai Pangumbahan juga memiliki potensi sumberdaya lainya, yaitu memiliki pantai berpasir putih halus yang landai dan luas, wisatawan juga dapat menikmati pemandangan matahari terbenam (sunset) yang indah dan wilayah yang masih asri serta hamparan terumbu karang yang indah (Gambar 5). Ketika air laut surut maka wisatawan dapat melihat terumbu karang yang indah dan terhampar luas. Pantai Pangumbahan juga memiliki ombak yang besar sehingga wisatawan dapat memanfaatkanya untuk olahragasurfing.


(39)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)

Gambar 5. (a) Kegiatan wisatawan melihat penyu bertelur; (b) Penyu bertelur; (c) Pemandangan matahari terbenam di Pantai Pangumbahan; (d) Wisatawan menikmati keindahan pantai; (e) Tukik menuju ke laut; (f) Wisatawan melepaskan tukik ke laut; (g) Hamparan padang lamun; (h) Pemandangan di muara sungai Cipanarikan


(40)

Berbagai kegitan dilakukan oleh wisatawan selama berwisata ke Pantai Pangumbahan antara lain, melihat penyu sebesar 43%, fotografi 22%, surfing 1%, melihat pemandangan 29% dan lainya sebesar 5% (Gambar 6).

Gambar 6. Komposisi wisatawan responden berdasarkan kegiatan yang dilakukan di Pantai Pangumbahan

Populasi penyu menurun karena disebabkan oleh beberapa gangguan, diantaranya masih adanya pencurian telur, pengambilan pandan laut untuk dijadikan anyaman dan penanggulangan sampah yang kurang baik menjadi permasalahan yang ada disana. Selama ini penanganan sampah di Pantai Pangumbahan oleh masyarakat masih dengan cara yang tradisional yaitu dengan dibakar. Tempat sampah yang jumlahnya masih kurang menjadi penyebab utama banyaknya sampah di beberapa tempat dan ditanggulangi dengan cara dibakar. Dengan banyaknya sampah berserakan akan menganggu ekologi habitat penyu dan pembakaran sampah akan menyebabkan polusi udara (Gambar 7). Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat serta wisatawan dalam penanganan sampah ini agar tidak merusak sumberdaya yang ada di Pantai Pangumbahan.


(41)

Gambar 7. Kondisi sampah di Pantai Pangumbahan

4.1.2 Karakateristik sosial ekonomi masyarakat dan wisatawan

Penduduk desa Pangumbahan tahun 2009 sebesar 4.474 jiwa yang terdiri dari laki-laki 2.215 jiwa dan perempuan 2.259 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Pangumbahan sebagai petani, peternak dan nelayan (DKP Kab. Sukabumi 2011). Selain itu sebagian lainya bermata pencaharian sebagai tukang ojek dan pedagang warung. Mata pencaharian ini menyebabkan perbedaan penghasilan yang lebih kecil dibandingkan dengan profesi lainya yang lebih baik.

4.1.2.1 Karakteristik responden masyarakat lokal

Masyarakat yang diwawancarai mayoritas berdomisili disekitar kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan yang terdiri dari 22 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Usia responden masyarakat lokal berkisar antara 21-75 tahun, dengan persentase 27% untuk usia 21-30 tahun, 43% untuk usia 31-40 tahun, 20% untuk usia 41-50 tahun dan 10% untuk usia 51 tahun (Gambar 8), ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar Pantai Pangumbahan memiliki usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak produktif.


(42)

Gambar 8. Komposisi masyarakat responden berdasarkan usia

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan suatu kawasan yang dijadikan kawasan ekowisata. Pengelolaan kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan yang berkelanjutan dibutuhkan tingkat pemahaman masyarakat sekitar kawasan akan pentingnya melestarikan penyu dan lingkungan hidup. Berdasarkan tingkat pendidikan responden masyarakat di Pantai Pangumbahan diketahui bahwa 67% berpendidikan SD, 16% berpendidikan SMP, 10% berpendidikan SMA serta 7% yang tidak bersekolah (Gambar 9), ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di sekitar Pantai Pangumbahan masih tergolong rendah sehingga kecenderungan akan tingkat kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan juga rendah.


(43)

Masyarakat disekitar Pantai Pangumbahan memiliki pekerjaan ataupun mata pencaharian utama yaitu sebagai petani dan nelayan. Hal ini terlihat dari persentase responden yang bermata pencaharian sebagai petani sebesar 37%, nelayan sebesar 17%, ibu rumah tangga sebesar 13%, pedagang sebesar 13%, dan lainya (karyawan swasta, ojek, pengelola losmen) sebesar 20% (Gambar 10). Wilayah Pantai Pangumbahan memiliki potensi ekowisata penyu, sehingga diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar kawasan sehingga akan meningkatkan kesejahteraanya.

Gambar 10. Komposisi masyarakat responden berdasarkan jenis pekerjaan

Masyarakat Pantai Pangumbahan masih memiliki penghasilan per bulan yang cukup rendah dengan persentase 60% berpenghasilan <500 ribu, 27% berpenghasilan 500 ribu 1 juta, 0% berpenghasilan 1 juta 2 juta, dan 13% berpenghasilan >2 juta (Gambar 11). Besarnya penghasilan masyarakat dilatar belakangi oleh tingkat pendidikan yang rendah sehingga mayoritas berprofesi sebagai petani dan nelayan dan menyebabkan adanya perbedaan dalam segi penghasilan dengan profesi yang lebih baik.


(44)

Gambar 11. Komposisi masyarakat responden berdasarkan tingkat penghasilan per bulan

4.1.2.2 Karakteristik responden wisatawan

Wisatawan yang diwawancara berjumlah 35 orang yang terdiri dari 24 orang laki-laki dan 11 orang perempuan. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan berusia <20 tahun dengan persentase 3%, 20 29 tahun sebesar 66%, 30 39 tahun sebesar 14%, 40 49 tahun sebesar 17%, dan >50 tahun sebesar 0% (Gambar 12). Berdasarkan hasil wawancara menggunakan kuisioner, sebagian besar usia responden wisatawan berkisar 20 29 tahun.

Gambar 12. Komposisi wisatawan responden berdasarkan usia

Wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan sebagian besar berasal dari daerah Jabodetabek dengan persentase 71%, dari Garut 17%, Bandung 3% dan lainya (Medan, Makasar dll) sebesar 9%


(45)

(Gambar 13). Dapat dilihat bahwa wisatawan yang datang tidak hanya berasal dari daerah Sukabumi.

Gambar 13. Komposisi wisatawan responden berdasarkan daerah asal

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan ekowisata penyu. Dibutuhkan tingkat pemahaman yang baik akan pentingnya melestarikan penyu dan habitatnya dalam pengembangan ekowisata penyu. Dilihat dari tingkat pendidikan, responden wisatawan di daerah ekowisata penyu Pantai Pangumbahan sebesar 0% berpendidikan SD, 6% berependidikan SMP, 20% berpendidikan SMA, 24% berpendidikan D3, dan 50% berpendidikan S1 (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan memiliki pendidikan yang cukup tinggi sehingga memiliki kecenderungan kesadaran yang tinggi untuk melestarikan dan menjaga penyu serta habitatnya.


(46)

Wisatawan yang datang ke kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan 60% adalah karyawan, 11% adalah PNS, 3% adalah mahasiswa, 6% adalah wiraswasta, dan 20% lainya (desainer, desain graphis) (Gambar 15). Dapat dilihat bahwa sebagian besar responden adalah karyawan ini disebabkan karena kebutuhan akan wisata untuk melepas penat setelah bekerja.

Gambar 15. Komposisi wisatawan responden berdasarkan jenis pekerjaan

Wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan memiliki penghasilan per bulan yang cukup tinggi dengan persentase 6% berpenghasilan 599 ribu 1 juta, 37% berpenghasilan 1 2 juta, 40% berpenghasilan 3 4 juta, 0% berpenghasilan 4 5 juta, dan 17% berpenghasilan >5 juta (Gambar 16).

Gambar 16. Komposisi wisatawan responden berdasarkan tingkat penghasila per bulan


(47)

4.2 Potensi Ekonomi Kawasan 4.2.1 Nilai ekonomi wisata

Pengeluaran wisatawan bervariasi tergantung jumlah anggota kelompok. Wisatawan mengeluarkan biaya untuk berwisata ke Pantai Pangumbahan dengan jumlah minimum Rp. 140.000 hingga mencapai Rp. 1.205.000. Hasil dari pengambilan data melalui kuisioner kepada wisatawan menunjukan bahwa wisatawan datang seorang diri maupun berkelompok (2-7 orang). Nilai yang tertinggi dikeluarkan oleh wisatawan dengan jumlah 7 orang per kelompok. Jumlah rata-rata total biaya yang dikeluarkan oleh setiap individu (TC rata-rata) dalam berwisata melihat peneluran penyu di Pantai Pangumbahan sebesar Rp. 566.304. Berdasarkan data dari laporan pengelola tahun 2011, terlihat bahwa jumlah pengunjung setiap tahun cenderung meningkat (Tabel 7).

Tabel 7. Jumlah wisatawan di daerah peneluran penyu Pantai Pangumbahan (DKP Kab. Sukabumi 2011)

Tahun Jumlah Wisatawan

2008 1.415 orang

2009 13.176 orang

2010 16.962 orang

2011 21.759 orang

Nilai ekonomi wisata pada tahun 2011 dengan jumlah pengunjung 21.759 orang dengan luas wilayah kawasan ekowisata peneluran penyu hijau sebesar 58,43 Ha didapatkan nilai sebesar Rp. 210.888.292 /Ha/tahun. Berdasarkan nilai ekonomi wisata tersebut diketahui bahwa Pantai Pangumbahan memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata penyu. Jumlah ini masih belum termasuk didalamnya biaya retribusi masuk ke kawasan untuk melihat peneluran penyu, karena saat ini di kawasan peneluran belum dikenakan biaya retribusi. Sedangkan di Levera Park, wisata peneluran penyu merupakan wisata eksklusif dengan biaya US$ 60 per orang dan untuk pelajar US$ 40 per orang (Anonim 2007). Apabila, dikawasan peneluran Pantai Pangumbahan diberlakukan biaya retribusi maka akan meningkatkan nilai ekonomi wisata kawasan. Nilai ekonomi ini akan


(48)

terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang berwisata setiap tahunnya sehingga diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar serta meningkatkan pendapatan ekonomi daerah. Selain itu nilai yang tinggi akan mencegah pencurian telur penyu. Diharapkan masyarakat lebih sadar bahwa jika penyu tetap lestari akan banyak mendatangkan pendapatan bagi masyarakat sekitar.

Pengetahuan masyarakat mengenai ekowisata penyu masih kurang. Hal ini didasari akan masih rendahnya pendidikan yang ada di Pantai Pangumbahan. Masyarakat yang belum pernah mendengar istilah ekowisata sebanyak 53%, dan 47% pernah mendengar istilah ekowisata tetapi tidak memahami pengertian ekowisata. Oleh karena itu, diperlukan adanya penyuluhan mengenai ekowisata agar masyarakat sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan tempat tinggal mereka dan mendukung kegiatan ekowisata yang dilaksanakan di Pantai Pangumbahan.

Masyarakat lokal, 83% ingin terlibat secara langsung dan 17% tidak ingin terlibat dalam pengembangan kawasan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan, hasil ini didapatkan dari wawancara responden. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan antara lain sebagai pendamping wisata (guide), penjual makanan, penjual cinderamata dan menyewakan penginapan. Keterlibatan masyarakat yang cukup besar dalam pengembangan ekowisata penyu di Pantai Pangumbahan tidak terlepas dari keseharian masyarakat yang memang bermata pencaharian di sekitar kawasan.

Ekowisata penyu di Pangumbahan makin menarik dengan karakteristik wisata yang unik dimana objek wisata tidak ditemukan di tempat lain, biaya yang terjangkau serta didukung dengan pantai yang bersih dan pemandangan yang indah. Ekowisata melihat peneluran penyu ini makin diminati dapat dilihat berdasarkan hasil koresponden wisatawan yang menunjukkan bahwa rata rata mereka datang untuk waktu berkunjung yang kedua kalinya. Jumlah wisatawan ini akan terus meningkat apabila kelestarian penyu tetap terjaga, peningkatan sarana serta prasarana dan juga didukung dengan peran serta masyarakat sekitar.


(49)

4.3 Indeks Kesesuaian Wisata (IKW)

Pantai Pangumbahan memiliki potensi wisata peneluran penyu berdasarkan karakteristik sumberdayanya. Kesesuaian sumberdaya untuk wisata peneluran penyu ini dapat dilihat dari hasil penghitungan indeks kesesuaian wisata yang menunjukkan bahwa diperoleh nilai skor (Ni) sebesar 73 (Tabel 8). Bila dibagi dengan nilai skor maks (N maks) sebesar 81, maka nilai IKW adalah 90,12 % yang termasuk kedalam kategori S1 yaitu sangat sesuai dijadikan kawasan wisata peneluran penyu.

Tabel 8. Indeks kesesuaian wisata (IKW) daerah peneluran penyu hijau Parameter Satuan Bobot Kategori Skor Hasil di

Lapangan

Ni (Bobot x Skor)

Kemiringan Pantai

(o) 5 S1 10 30 3 11* 15

S2 3 9 ; 30 35 2

S3 <3 ; >35 1

Jenis Partikel (µ) 5 S1 < 500 3 250 500 15

S2 500 1000 2

S3 >1000 1

Vegetasi Tumbuhan

5 S1 Pandanus tectorius 3 Pandanus tectorius

15 S2 Spinifex littoralis,

Vigna marina

2 S3 Ipomoea pes-caprae,

Gynura procumbens

1

Lebar Pantai (m) 5 S1 30 60 3 31* 15

S2 >60 2

S3 <30 1

Cahaya Lampu

(lux) 3 S1 0 0,25 3 0 9

S2 0.26 1 2

S3 >1 1

Jarak Bangunan

(km) 3 S1 >1 3 0,095 3

S2 0,5 1 2

S3 <0,5 1

Pasang Surut (cm) 1 S1 30 80 3 130 1

S2 80 100 2

S3 >100 1

Keterangan : * = Hasil rata-rata


(50)

Keadaan habitat peneluran ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Segara (2008) pada musim barat di bulan Oktober 2008 dengan kemiringan pantai 27,060, lebar pantai 62,25 m kemungkinan besar perbedaan ini terjadi karena telah terjadi erosi dan kenaikan air laut. Vegetasi yang dominan di Pantai Pangumbahan masih sama dengan penelitian penelitian sebelumnya yaitu Pandanus tectorius. Sedangkan untuk data pasang surut dalam penelitian ini menggunakan data sekunder hasil penelitian Segara (2008).

Kesesuaian wisata ini harus tetap dijaga, apabila kesesuaian kawasan habitat penyu terus berkurang maka akan mengurangi jumlah penyu yang naik. Menurut pengelola dan beberapa masyarakat sekitar, pada tahun 1970 1990 penyu juga bertelur di Pantai Cibuaya dan Ujung Genteng, tetapi karena kondisi kedua pantai tersebut sudah tidak memenuhi kriteria pantai peneluran seperti banyaknya bangunan di pinggir pantai, lebar pantai yang semakin berkurang, dan banyaknya aktifitas manusia dipinggir pantai pada malam hari menyebabkan saat ini sudah tidak ada lagi penyu yang naik untuk bertelur. Kondisi habitat peneluran lain yang telah berubah ada pada Pantai Selatan Florida yang telah dibangun jalanan dekat dengan pinggir pantai dan adanya cahaya lampu jalan menyebabkan seekor penyu terbunuh terlindas kendaraan akibat salah mengorientasikan cahaya lampu. Selain itu, pada tahun 1989 hingga 1990 kurang lebih sebanyak 37.159 ekor penyu betina tidak jadi bertelur dan kembali kelaut akibat perubahan habitat pantai peneluran (Witherington 1992).

4.4 Daya Dukung Kawasan (DDK)

Kawasan Pantai Pangumbahan memiliki kapasitas yang baik untuk mendukung kegiatan ekowisata penyu. Luas area Pantai Pangumbahan yang dapat dimanfaatkan (Lp) sepanjang 800 m, luas unit area untuk kegiatan ekowisata penyu (Lt) yang dibutuhkan untuk setiap orang 200 m, waktu yang disediakan oleh pengelola dibagi dengan waktu yang biasa digunakan oleh wisatawan dalam satu hari (Wt/Wp) 2 jam, serta potensi ekologis pengunjung per satuan unit area (K) bernilai 1 orang. Daya dukung kawasan wisata yang dihitung berdasarkan panjang pantai yang sesuai dan dapat dimanfaatkan di Pantai Pangumbahan adalah 8 orang.


(51)

Di Pantai Pangumbahan, setiap malamnya selalu ada wisatawan yang datang untuk melihat proses penyu bertelur tetapi belum ada batasan jumlah wisatawan yang sesuai dengan daya dukung kawasan. Setiap penyu yang naik untuk bertelur akan menarik banyak wisatawan yang datang untuk melihat proses tersebut. Terlalu banyaknya wisatawan yang melihat akan berdampak terhadap kondisi psikologis penyu. Menurut pengamatan peneliti selama penelitian pada saat musim liburan, wisatawan yang datang jumlahnya meningkat hingga mencapai 50 orang dalam satu malam (Gambar 5a). Sedangkan, penyu yang naik untuk bertelur diluar musim puncak bertelur yang terjadi pada bulan Agustus-Desember hanya berjumlah 1 hingga 4 penyu pada setiap malam. Jika satu ekor penyu bertelur dan dilihat oleh terlalu banyaknya pengunjung maka penyu tersebut akan merasa terganggu saat bertelur dan merasa tidak nyaman untuk kembali ke lokasi peneluran semula untuk peneluran berikutnya. Solusi lain untuk mengatasi masalah ini diantaranya menkoordinasikan waktu wisatawan untuk melihat penyu bertelur, adanya pergantian kelompok pengunjung yang terdiri dari jumlah maksimum yang telah ditentukan (8 orang) secara bergantian setiap 15 menit sekali.

Ekowisata melihat penyu bertelur ini merupakan wisata yang ekslusif di beberapa negara yang sudah lebih dahulu mengembangkan ekowisata penyu. Pada pantai pulau Cape Verde setiap satu ekor penyu dapat dilihat oleh 6-16 orang wisatawan dengan luas keseluruhan kawasan 3500 Ha (Anonim 2011b), di Playa Grande Marine Turtle National Park maksimum wisatawan 15 orang dengan luas keseluruhan kawasan 445 Ha (Baker 2003) sedangkan di pantai taman nasional Levera jumlah wisatawan maksimum sebanyak 25 orang dengan luas keseluruhan kawasan 182 Ha (Anonim 2007). Perbedaan jumlah wisata ini diduga karena adanya perbedaan luasan wilayah kawasan. Namun belum diketahui pasti berapa luasan yang dapat dibuka untuk kegiatan ekowisata pada kawasan kawasan tersebut. Pembatasan jumlah wisatawan untuk melihat penyu bertelur bertujuan untuk meminimalisir gangguan terhadap penyu, selain itu agar wisatawan merasakan kenyamanan saat melihat penyu bertelur sehingga tujuan dari ekowisata penyu yaitu dapat melihat lebih dekat cara penyu bertelur serta pengalaman dari melihat peneluran penyu untuk mendapatkan edukasi mengenai penyu, sehingga wisatawan dapat mengetahui ancaman dan gangguan bagi penyu yang diharapkan dapat


(52)

mencegah penangkapan dan pemanfaatan penyu di masa yang akan datang akan sampai kepada wisatawan dengan baik.

4.5 Status Pengelolaan Habitat Penyu

Pengelolaan penyu di Pantai Pangumbahan sebelumnya dilakukan oleh CV. Daya Bakti. Mulai bulan Agustus 2008 pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu di Pantai Pangumbahan diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi berdasarkan dan ditindaklanjuti dengan kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dengan CV Daya Bakti No:660.1/PJ.3425-HUK/2008 No:29/DB-UPP/XII/2008 tanggal 18 Desember 2008, selanjutnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi ditunjuk sebagai pengelola kawasan penyu Pangumbahan berdasarkan surat keputusan Bupati Sukabumi No.523/Kep.638-Dislutkan/2008 dengan sistem pengelolaan telur penyu 100% ditetaskan (dilestarikan), adapun biaya pengelolaan menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Bupati Sukabumi telah membentuk sebuah unit pengelola kawasan konservasi penyu, yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) konservasi penyu Pangumbahan berdasarkan Peraturan Bupati No. 49 Tahun 2010. Tugas pokok dan fungsi UPTD ini adalah melaksanakan sebagian fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan di bidang teknis pengelolaan konservasi penyu. Dalam operasionalnya, unit kerja tersebut bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan.

Dalam pengelolaan kawasan peneluran penyu ini masih dalam status kurang baik karena hanya memiliki capaian jumlah pengunjung yang semakin meningkat untuk melihat peneluran penyu dan beberapa sarana prasarana dalam kondisi baik sehingga dapat menjadi kekuatan bagi wisata, namun masih ada beberapa kelemahan dalam prasarana jalan, transportasi dan komunikasi serta masih adanya ancaman dan gangguan bagi penyu. Selain itu, masih rendahnya pendidikan pengelola kawasan dan juga regulasi sistem yang kurang baik menjadi kelemahan dalam pengelolaan (Tabel 9).


(53)

Tabel 9. Analisis status pengelolaan

No. Indikator Pengelolaan Target Capaian Status

1 Sumberdaya alam - Pasir/pantai - Air laut - Penyu - Vegetasi

Kondisi

baik/populasi penyu tidak terganggu

Populasi penyu menurun 1

2 Sumberdaya manusia -Pengelola paham dengan baik mengenai penyu. -Memiliki kemampuan dalam mengelola. Pemahaman masih kurang baik 1

3 Regulasi/aturan -Memiliki sistem yang baik

Aturan masih tidak tegas 1

4 Promosi -Dikenal oleh masyarakat

-Banyak pengunjung

Jumlah pengunjung semakin meningkat

2

5 Fasilitas dan sarana -Sarana dan prasarana -Komunikasi

Sudah tersedia, namun memerlukan berbagai perbaikan dan ditambahkan.

1

Keterangan : 1 : Tidak tercapai 2 : Cukup

3 : Tercapai

4.5.1 Sumberdaya alam

Status pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh pengelola masih dalam status kurang baik. Kondisi sumber daya alam yang menjadi indikator seperti pasir pantai, air laut, penyu dan vegetasi ternyata masih belum dapat mencapai target yaitu kondisi habitat yang baik dan populasi penyu yang tidak terganggu. Banyaknya sampah plastik di sekitar daerah POS I pada kawasan konservasi dan daerah pantai yang dekat dengan villa wisatawan, terdapatnya bangunan dan cahaya yang datang dari bangunan disekitar pantai, tertangkapnya penyu pada jaring nelayan, dan erosi pantai. Predator alami penyu seperti anjing, biawak, ular, babi hutan dan elang yang terdapat di sekitar kawasan peneluran penyu. Adapun solusi untuk mengurangi ancaman tersebut diantaranya adanya pengawasan yang lebih intensif pada daerah kawasan agar dapat mengurangi ancaman dari manusia ataupun predator alami, adanya penertiban bangunan dan dilarangnya pembangunan vila


(54)

baru di sekitar pantai hingga minimum jarak 0,5-1 km dari pantai, adanya penyuluhan bagi nelayan, serta disediakanya banyak tempat sampah di area kawasan wisata. Masih kurang tegasnya pengelola dalam menindak lanjuti kegiatan yang merusak kondisi sumberdaya alam sehingga habitat menjadi kurang sesuai untuk peneluran menyebabkan populasi penyu yang bertelur di Pantai Pangumbahan mengalami penurunan.

4.5.2 Sumberdaya manusia

Status pengelola dalam sumber daya manusia masih dalam status kurang baik. Hasil dari laporan pengelola (DKP Kab. Sukabumi 2011) menunjukkan bahwa hanya 12% pengelola berpendidikan mencapai tingkatan strata satu, sedangkan yang lainya hanya berpendidikan hingga tingkat SMA bahkan ada yang hanya mencapai tingkat SD. Masih rendahnya tingkat pendidikan pengelola, sehingga pemahaman dan kemampuan dalam pengelolaan kawasan masih belum optimal.

4.5.3 Regulasi/aturan

Status pengelola dalam regulasi/aturan yang sudah ada masih tidak tercapai. Sistem aturan yang dimiliki oleh pengelola masih berjalan kurang baik. Pengelola masih tidak tegas dalam menindaklanjuti ancaman dan gangguan yang ada di Pantai Pangumbahan. Di Pangumbahan masih terdapat ancaman dan gangguan terhadap penyu, ancaman dan gangguan ini dianalisis melalui jawaban koresponden masyarakat lokal di sekitar Pantai Pangumbahan dan pengamatan peneliti dilokasi penelitian selama penelitian berlangsung. Ancaman dan gangguan terhadap penyu antara lain masih adanya pencurian telur penyu secara ilegal karena alasan ekonomi ataupun mitos yang dipercaya oleh masyarakat bahwa telur penyu dapat menghilangkan sakit perut dan baik untuk ibu hamil dan cahaya blitz kamera wisatawan saat melihat penyu. Adapun solusi untuk mengurangi ancaman tersebut diantaranya adanya pengawasan yang lebih intensif pada daerah kawasan, diperlukan penyuluhan yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar kawasan mengenai keuntungan yang akan diperoleh apabila tetap melestarikan penyu, dan tidak diperbolehkanya kamera yang memakai blitz saat mengambil gambar penyu


(55)

dianjurkan yang menggunakan infrared serta pengelola harus menindak dengan tegas bagi yang melanggar aturan.

4.5.4 Promosi

Status pengelola dalam melakukan promosi sudah cukup baik. Wisata peneluran penyu di Pantai Pangumbahan makin menjadi daya tarik karena promosi yang sudah dilakukan melalui berbagai media dengan memanfaatkan semakin mudahnya masyarakat melihat perkembangan informasi melalui media internet. Wisatawan yang datang untuk melihat penyu setiap tahunnya makin meningkat (Tabel 7).

4.5.5 Fasilitas dan sarana

4.5.5.1 Sarana dan prasarana kawasan

Sarana dan prasarana merupakan faktor yang penting dalam mendukung kegiatan ekowisata. Secara umum sarana dan prasarana di Pantai Pangumbahan sudah cukup baik. Namun, ada beberapa sarana dan prasarana yang perlu diperbaiki dan ditambahkan terutama jumlah tempat sampah, jalan dan alat transportasi menuju kawasan ekowisata peneluran penyu. Beberapa sarana dan prasarana yang terdapat di Pantai Pangumbahan diantaranya penginapan, wisma untuk peneliti, aula, ruang penetasan tukik, WC atau kamar mandi, masjid, kios penjual makanan dan minuman, areal parkir namun ada beberapa sarana yang sudah tersedia tetapi belum dapat digunakan sebagaimana fungsinya seperti kolam sentuh dan juga ruang audio visual untuk menyaksikan pemutarann film penyu (Gambar 17). Adapun sarana dan prasarana yang perlu ditambahkan yaitu kios souvenir, unit kesehatan, laboratorium basah dan kering, serta museum penyu.


(56)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 17. (a) Aula serbaguna; (b) Mess peneliti; (c) Ruang penetasan telur indoor; (d) Ruang penetasan teluroutdoor; (e) Ruang audio visual; (f) Kolam sentuh


(1)

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

5. Berapa jumlah kunjungan anda ke lokasi wisata setiap

tahunya?...trip/tahun

6. Berapa lama waktu yang anda habiskan untuk perjalanan wisata ini mulai dari

berangkat hingga pulang?...(jam atau hari)

7. Dengan melakukan kegiatan wisata ini, mungkin anda kehilangan waktu

produktif anda untuk bekerja. Bila dikonversi dengan uang, berapa kehilangan

pendapatan anda selama melakukan kegiatan wisata ini?


(2)

Lampiran 4. Indeks Kesesuaian Wisata (IKW)

Parameter Bobot Kategori Skor Hasil di

Lapangan Ni (Bobot

x Skor) Kemiringan

Pantai (oderajat)

S1 10 30 3

5 S2 3 9 ; 30 35 2 11* 15

S3 <3 ; >35 1

Jenis Partikel (µ)

S1 < 500 3

5 S2 500 1000 2 250 500 15

S3 >1000 1

Vegetasi Tumbuhan

S1 Pandanus tectorius 3

5 S2 Spinifex littoralis, Vigna marina 2 Pandanus tectorius

15 S3 Ipomea pescaprae, Gynura

procumbens

1

Lebar Pantai (m)

S1 30 60 3

5 S2 >60 2 31* 15

S3 <30 1

Cahaya Lampu (lux)

S1 0 0,25 3

3 S2 0.26 1 2 0 9

S3 >1 1

Jarak Bangunan (km)

S1 >1 3

3 S2 0,5 1 2 0,095 3

S3 <0,5 1

Pasang Surut (cm)

S1 30 80 3

1 S2 80 100 2 130 1

S3 >100 1

Ket :

* = Hasil rata-rata

IKW = 90,12 %

Dengan nilai IKW sebesar 90,12% kawasan peneluran penyu ini dikatakan

sangat sesuai untuk kegiatan wisata.


(3)

K

: 1 orang

Lp

: 800 m

Lt

: 200 m

Wt

: 8 jam

Wp

: 4 jam

DDK = 8 orang

Dengan hasil analisis DDK dapat diketahui bahwa untuk melihat seekor penyu

bertelur di pantai sepanjang 800 m maksimum jumlah wisatawan yang dapat

melihatnya sebanyak 8 orang.

Lampiran 6. Nilai Ekonomi Wisata / Travel Cost Method (TCM)

TC rata-rata

: Rp. 566.304

N

: 21.759 orang

L

: 58,43 Ha


(4)

Lampiran 7. Analisis SWOT

Unsur Internal

Unsur Eksternal

Kekuatan (S) 1. Bentang alam

yang indah & masih alami, pemandangan

sunsetdan ombak untuk

surfing(3) 2. Daya dukung

kawasan cukup tinggi (4) 3. Adanya penyu

yang naik untuk bertelur dan pelepasan tukik yang sesuai untuk kegiatan wisata (5) Kelemahan (W) 1. Pengaturan pengunjung

yang lemah (1) 2. Kualitas sumberdaya

yang masih rendah & pengelolaan yang belum optimal (1) 3. Kurangnya fasilitas

penunjang kegiatan wisata peneluran penyu (3)

4. Sarana transportasi masih kurang dan prasarana jalan masih rusak (3)

Peluang (O)

1. Pembangunan jalan

TOL

menuju

Sukabumi (2)

2. Perkembangan

informasi

dari

internet (4)

Pertama (S1,2,3dan O1,2) Pemanfaatan wisata melihat penyu sesuai dengan DDK

Kedua

(W1,3,4dan O1,2) Diperlukan perbaikan, perawatan dan penambahan fasilitas pendukung

kegiatan wisata serta adanya arahan susunan kegiatan wisata penyu yang lebih terorganisir

Ancaman (T) 1. Adanya erosi pantai

dan ancaman predator alami (1) 2. Pemahaman

perlindungan penyu wisatawan yang rendah (2)

3. Adanya pengambilan telur secara ilegal, pembangunan pinggir pantai serta sampah (3)

Ketiga (S3dan T3) Pengelolaan yang lebih baik dan hukuman yang tegas bagi yang melanggar peraturan.

Keempat (S3dan T2) Penyuluhan bagi wisatawan mengenai hal yang dapat mengganggu penyu

Kelima (W1,2dan T1,3) Penyuluhan bagi masyarakat sekitar dan diperlukan sumberdaya pengelola yang lebih baik.


(5)

S-O

= 3.1 + 4.2 + 5.3 +

2.1 + 4.2

= 36

1

W-O

= 1.1 +3.3 + 3.4 +

2.1 + 4.2

= 32

2

W-T

= 1.1 +1.2 +1.1

+3.3

= 13

5

S-T

= 5.3 + 2.2

= 5.3 + 3.3

= 19

= 24

4

3


(6)

Ade Irma Listiani. C24080048. Kajian Pengembangan Ekowisata Daerah

Peneluran Penyu Hijau (

Chelonia

mydas

Linnaeus 1758) Di Pantai

Pangumbahan, Sukabumi. Dibawah bimbingan Fredinan Yulianda dan Mirza

Dikari Kusrini.

Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan jenis satwa yang dilindungi karena statusnya yang terancam punah. Pantai Pangumbahan merupakan salah satu pantai yang terdapat penyu bertelur dan sangat sesuai untuk kegiatan ekowisata peneluran penyu, namun masih ada beberapa gangguan seperti pengambilan telur penyu secara ilegal, pendirian bangunan di sekitar pantai, banyaknya sampah di pantai dan pemaanfaatan ekowisata yang belum terkontrol dengan baik. Sehingga diperlukan pengelolaan yang baik dalam ekowisata karena kegiatan ekowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan rekreasi di alam bebas atau terbuka, yang di dalamnya terdapat juga kegiatan konservasi yang diharapkan dapat menjadi alternatif solusi bagi beberapa permasalahan seperti ancaman berupa gangguan habitat peneluran penyu ataupun pengambilan telur-telur penyu secara ilegal. Kegiatan ekowisata diharapkan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat yang berasal dari wisatawan, sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki agar kelestarian penyu hijau tetap terjaga. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi sumberdaya alam dan sosial ekonomi kawasan, kesesuaian dan daya dukung potensi wisata peneluran penyu, status pengelolaan habitat penyu sehingga akan menghasilkan rumusan konsep pengelolaan ekowisata dan rekreasi penyu yang sesuai agar dapat melindungi, memanfaatkan potensi penyu.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima kelompok dengan aspek-aspek yang diteliti diantaranya; biologi, fisik, masyarakat, pengelola dan wisatawan. Pengambilan kelima kelompok data ini menggunakan data primer dan sekunder. Analisis yang digunakan diantaranya kondisi alam, sosial, ekonomi, status pengelolaan, Indeks Kesesuaian Wisata, Daya Dukung Kawasan, dan analisis SWOT. Data masyarakat dan wisatawan diambil menggunakan kuisioner dengan metodepurposive samplingkepada 30 orang masyarakat, dan 35 orang wisatawan

Kondisi sosial wisatawan dan sumberdaya alam yang ada di pangumbahan sudah baik. Hal ini terlihat dari kondisi habitat yang masih sangat sesuai untuk penyu. Kondisi wisatawan dengan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan yang tinggi. Sedangkan, kondisi sosial masyarakat lokal masih kurang baik. Hal ini dapat terlihat dari pendidikan dan pendapatan masyarakat yang rendah. Oleh karena itu, masih ada masyarakat yang mengambil telur penyu. Nilai ekonomi wisata di Pantai Pangumbahan sebesar Rp.238.450.784 /Ha/tahun. Status pengelolaan wisata di kawasan masih dalam keadaan kurang baik. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kelemahan dari pengelolaan, serta sarana dan prasarana yang ada di kawasan. Indeks Kesesuaian Wisata sangat sesuai dengan nilai kesesuaian 90,12%, untuk melihat seekor penyu bertelur maksimum wisatawan sebanyak 8 orang sesuai dengan Daya Dukung Kawasan. Adapun arahan pengelolaan diantaranya pemanfaatan wisata melihat peneluran penyu hendaknya mengikuti daya dukung kawasan; diperlukan perbaikan, perawatan dan penambahan fasilitas pendukung kegiatan wisata serta adanya arahan susunan kegiatan wisata penyu yang lebih terorganisir; pengelolaan yang lebih baik dan hukuman yang tegas bagi yang melanggar peraturan; penyuluhan bagi wisatawan mengenai hal yang dapat mengganggu penyu; dan penyuluhan bagi masyarakat sekitar dan diperlukan sumberdaya pengelola yang lebih baik.