11
selain itu mereka juga dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan untuk dapat membantu penyu agar keberadaanya tetap lestari Wilson dan Tisdell 2000.
2.4 Penyu Hijau
2.4.1 Klasifikasi dan morfologi penyu hijau
Klasifikasi penyu hijau menurut Hirth 1971 adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia Filum
: Chordata Kelas
: Reptilia Ordo
: Testudinata Famili
: Cheloniidae Genus
: Chelonia Spesies
: Chelonia mydas
Gambar 2. Penyu Hijau Chelonia mydas Penyu hijau Chelonia mydas mempunyai ciri-ciri kerangka ditutupi oleh
sisik zat tanduk, sebuah kuku pada tiap ekstrimitas depan, lima buah sisik vertebral, sebelas pasang sisik marginal, empat pasang sisik costal pada karapas, sepasang
12
sisik prefrontal yang berbentuk lonjong, sisik pada karapas tidak tumpang tindih, dan memiliki empat buah sisik post-orbital, warna karapas coklat cerah sampai
coklat tua dengan bintik-biktik berwarna abu-abu gelap. Penyu hijau dapat diidentifikasi berdasarkan jejak dan sarang di pantai peneluran. Lebar jejak penyu
hijau berkisar antara 100-130 cm. Jejak ekstrimitas depan, dalam dan simetris. Terdapat pula bekas seretan ekor yang membentuk garis lurus atau garis terputus-
putus. Penyu hijau membuat sarang dengan lubang yang dalam Pritchard dan Mortimer 1999.
2.4.2 Penyebaran
Daerah penyebaran penyu hijau di Indonesia meliputi Bengkulu Pulau Berhala dan Pulau Penyu, Jawa Barat dan Banten Pangumbahan, Citireum,
Cibulakan, Sindang Kerta, Ujung Kulon, Jawa Timur Pulau Barung, Sukamade, Sumbawa Al-Ketapang, Kalimantan Timur Derawan dan Maluku Kepulauan
Sanana Nuitja 1992.
2.4.3 Pantai peneluran
Penyu hijau secara teratur melakukan migrasi antara daerah yang menjadi sumber mencari makan dan daerah penelurannya. Penyu hijau sangat selektif dalam
memilih pantai peneluran. Pantai peneluran penyu mempunyai ciri khusus yaitu mempunyai akses ke laut dan cukup tinggi dari permukaan laut, untuk mencegah
terendamnya telur saat pasang tertinggi. Pantai peneluran yang panjangnya 3 km, kelerengan sekitar 30
o
dengan lebar antara 30 hingga 60 m merupakan daerah yang efektif bagi penyu untuk bertelur Nuitja 1983.
Faktor abiotik lain yang mempengaruhi pemilihan lokasi peneluran yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah kelembutan pasir, ketinggian pantai,
geomorfologi dan dimensi pantai, bentuk batimetrik pantai, tekstur pasir pantai, dan cahaya lampu pada lokasi pantai Yusri 2003. Menurut penelitian di beberapa
pantai peneluran, penyu cenderung memilih pantai yang landai seperti Pantai Blambangan dengan kelerengan 14
o
dan Pantai Pangumbahan dengan kelerengan antara 3
o
hingga 21,45
o
Susilowati 2002.
13
Komposisi pasir juga mempengaruhi preferensi peneluran penyu. Penyu biasanya bertelur pada kawasan pantai dengan komposisi pasir didominasi oleh pasir
kasar diameter partikel 500-1000 µ dan pasir halus-sedang diameter partikel 500 µ. Kondisi tersebut juga ditemui di Pantai Pangumbahan. Tempat yang diingini
penyu untuk bertelur yaitu memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Susunan tekstur daerah peneluran
berupa pasir tidak kurang dari 90 dan sisanya adalah debu maupun liat Nuitja 1992.
Penyu hijau mempunyai kecendrungan memilih kawasan pantai dengan latar belakang hutan pantai yang lebat, dan jenis Pandanus tectorius memeberikan naluri
kepada penyu untuk bertelur. Vegetasi yang ada di Pantai Pangumbahan diantaranya Pandanus tectorius, Scavevola tacada, Calophyllum inophyllum, Ipomoea pes-
caprae, Ardisa humilis dan Calotropis gigantea Susilowati 2002. Menurut Nuitja pada tahun 1992 terdapat susunan vegetasi pantai pada pantai
peneluran penyu di Sukamade sebagai berikut: 1.
Pada bagian depan, ditumbuhi tumbuhan pioner seperti katang-katang Ipomoea pes-caprae, rumput lari-lari Spinifex littoreus, atau pandan
Pandanus tectorius. 2.
Lapisan berikutnya ditumbuhi oleh waru Hibiscus tiliaceus, Gynura procumbens, dll.
3. Setelah itu pada lapisan berikutnya ditumbuhi oleh Cycas rumphii,
Hernandia peltata, dan Terminalia catappa. 4.
Zonasi terin dari formasi hutan pantai yaitu Callophylum inophylum, Canavalia ensiformis, Cynodon dactylon, dll.
2.4.4 Siklus hidup